Share

Bab 3

Penulis: Allina
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-05 12:38:38

Nona Sora, si bungsu yang katanya manja itu, kini kakinya melilit kakiku dengan simpul mati, membuat area paling sensitif di kedua dadanya menekan telak ke perut bawahku.

Setiap kali dia terisak pelan karena sisa ketakutan, tubuhnya bergetar, menciptakan gesekan-gesekan kecil yang mahadahsyat di area terlarang.

"Mas Rafli, jangan dilepas, nggak mauuu! Sora takut gelap, Sora nggak mau lepas sama Mas Rafli, huhuhu!"

Si Gatot yang masih terjepit , kini memberontak semakin brutal. Mungkin ukuran angka milik Nona Sora tidak sebesar kedua kakaknya, tapi lingkarnya dia besar, sehingga terasa penuh-sesak saat menekanku.

Otak udangku mendadak membayangkan hal yang tidak-tidak. Bagaimana jika Nona Sora sadar ada pentungan yang mengganjal di mainan squishy itu?

"A-anu, Non-Nona Sora," panggilku terbata-bata, tangan kiriku  masih menopang bagian belakangnya yang sintal dan luar biasa empuk itu agar dia tidak jatuh.

Sumpah mati, tanganku gemetar bukan main merasakan tekstur daging yang kenyal dan padat di balik kain tipis itu. "Sumpah, Non, ini berat banget, Nona juga ngerangkulnya kuat banget. Lilinnya mau mati kalau Nona napasnya kencang begitu di dekat api."

"Nggak mau!" tolaknya tegas.

Saat si Gatot sudah hampir maksimal, aku baru sadar sesuatu.

Astaga, apakah dia tidak pakai kacamata? Rasanya seperti ada dua titik kecil yang menonjol menekan otot helm si Gatot, serasa geli-geli aneh.

“Gusti, lindungi iman hamba yang setipis kulit bawang ini, jangan dianggap dosa ya, Gusti, ini di luar kehendak hamba yang baik hati dan rajin menabung ini," batinku merana.

Namun, seperti kata pepatah, sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Dan seindah-indahnya momen ini, pasti akan berakhir dengan bencana.

LHAP!

Lampu ruang tengah tiba-tiba menyala terang benderang, menyilaukan mata kami yang sudah terbiasa dengan kegelapan.

Aku mengerjap-ngerjap kaget, tapi belum sempat aku menurunkan Nona Sora dari gendongan darurat ini, sebuah teriakan melengking yang penuh amarah sudah lebih dulu memecahkan gendang telingaku.

"HEH, Rafli! Apa-apaan kalian berdua?!"

Aku menoleh kaku ke pintu yang mengarah ke tangga lantai dua.

Di sana, berdiri Nona Shella dengan wajah yang lebih menyeramkan daripada kuntilanak di film horor. Tangannya berkacak pinggang dan matanya melotot tajam seolah ingin menguliti aku hidup-hidup.

Nona Sora yang kaget langsung melepaskan pelukannya dan meluncur turun dari tubuhku. Dia berdiri canggung di sampingku sambil merapikan kaus oblongnya yang kusut.

Nona Shella menuruni tangga dengan langkah lebar dan cepat, suara hentakan kakinya di lantai marmer terdengar mengintimidasi. Dia langsung berdiri tepat di depan wajahku, menunjuk hidungku dengan telunjuknya yang lentik namun tajam.

"Dasar sopir kampung nggak tahu diri! Ngapain kamu peluk-peluk adikku?! Kamu mau manfaatin keadaan, Hah? Mentang-mentang Sora takut gelap, kamu ga bisa seenaknya kayak gitu!"

Aku mundur selangkah, mengangkat kedua tangan dengan pose menyerah. "Sumpah, Non Shella! Saya nggak peluk-peluk! Saya tadi cuma lari bawa lilin karena Nona Sora teriak, eh tiba-tiba Nona Sora loncat jadi koala di badan saya!"

"Alasan!" potong Nona Shella. "Kamu pasti sengaja kan? Kamu pasti senang kan ada kesempatan buat grepe-grepe adikku di tempat gelap? Ngaku kamu, Rafli!"

"Ya Allah, Non, sumpah, boro-boro grepe, tangan saya sibuk megang lilin sama nahan... nahan beban…” Hampir saja aku keceplosan kalau tangan kiriku tadi sempat meremas bagian belakang adiknya, ya walau tiga remasan aja.

"Lagian saya mana berani sama Nona Sora, dia kan adik Nona Shella, pasti sama-sama galak."

"Kurang ajar! Kamu nyamain aku sama dia?" Nona Shella semakin murka. Dia maju selangkah lagi, mendesakku hingga punggungku menabrak dinding.

"Maaf, Non, saya tahu diri kok. Saya sadar saya cuma butiran debu di rumah ini. Saya berani sumpah, itu tadi murni kecelakaan, Non. Nona Sora takut petir terus ngerangkul saya."

"Halah, basi! Kamu itu laki-laki, pasti otaknya ngeres semua! Liat tuh celana kamu! Masih berani bilang nggak mikir jorok?"

Mampus.

Aku refleks menutupi area si Gatot dengan ember yang ada di dekatku. Wajahku panas bukan main, rasanya ingin menghilang ditelan bumi sekarang juga.

Nona Shella sudah mengangkat tangannya, bersiap melayangkan tamparan kedua malam ini ke pipiku yang satunya. Aku memejamkan mata pasrah, siap menerima nasib kalau malam ini aku ditampar dua kali.

Tapi tiba-tiba…

"Kak, udahlah, jangan marah-marah mulu, Sora bosen liat Kakak marah!"

Suara Nona Sora menghentikan gerakan tangan kakaknya di udara. Gadis bungsu itu maju, berdiri di antara aku dan Nona Shella.

"Mas Rafli nggak salah, Kak! Aku yang lompat ke dia. Aku takut banget tadi, gelap, terus ada petir. Kalau nggak ada dia, aku mungkin udah pingsan di lantai!" bela Nona Sora dengan suara serak.

Nona Shella menurunkan tangannya perlahan, menatap adiknya dengan tatapan tak percaya. "Kamu belain sopir dekil ini, Sora? Sadar, pliss, dia itu pasti manfaatin kesempatan buat bisa ambil keuntungan dari kamu. Liat mukanya yang sok polos itu, aslinya dia itu mesum!"

"Terserah Kakak mau ngomong apa, yang jelas dia nolongin aku! Ah udahlah, Kakak ini mesti berpikiran buruk terus ke orang lain, pantes gonta-ganti pacar, diputusin terus. Hari-hari kayak singa, sih!" Nona Sora kemudian menggandeng tanganku dan memintaku kembali.

Saat itu, Nona Sora menoleh ke arahku sekilas, pipinya merona merah saat melihatku, atau mungkin melihat ember yang menutupi Gatot.

Tanpa menunggu balasan dari Nona Shella yang terlihat siap meledak lagi, aku langsung melipir cepat menuju pintu belakang. Samar-samar, aku masih mendengar omelan Nona Shella di belakangku.

"Kamu tuh ya, Sora, jangan terlalu baik sama bawahan. Meskipun dia udah jadi sopir selama 6 bulan, tapi ingat, dia baru aja tinggal di sini. Kalau nanti dia ngelunjak, gimana? Lihat tuh, hari pertama aja dia udah kayak gini. Dia pasti lagi ngebayangin badan kamu di kamarnya sekarang!"

"Biarin aja! Kakak sendiri kenapa bajunya acak-acakan gitu? Terus, kenapa kancing atas kemeja Kakak hilang satu?” Nona Sora sepertinya muak dirinya disalahkan terus-menerus.

“Ah, serah kamu aja! Cepat, masuk kamar, tidur. Besok kamu kuliah daring pagi jam 8!”

Aku menutup pintu kamar pelayan dengan napas lega, lalu bersandar di baliknya sambil memegangi dada. Gila.

Benar-benar gila keluarga ini!

Yang satu habis main kuda-kudaan di mobil tapi sok suci, yang satu manja tapi meluknya kencang banget sampai bikin sesak napas dan sesak yang lain.

Tanganku meraba celana, merasakan si Gatot yang masih berdenyut nyeri. Aku kemudian menepuk-nepuknya pelan, seraya berujar, "Sabar ya, Tot. Belum rezeki kita malam ini. Kamu sabar dulu, jangan gampang bangun. Iya kalau dirimu kecil kayak cabai keriting, ga apa bangun aja. Masalahnya, gedemu itu kayak Tugu Pancoran dan ngecap banget kalau bangun!”

Baru saja aku hendak melepas baju seragam yang lengket oleh keringat, tiba-tiba terdengar suara ketukan pelan di pintu kamarku.

Tok!

Tok!

Suara ketukan itu sangat pelan dan membuat jantungku kembali berpacu.

Aku berjalan mendekati pintu dan membukanya sedikit.

Di sana, berdiri Nona Sora.

Dia sudah berganti pakaian, memakai piyama sutra tipis berwarna merah muda. Tangannya memegang sikat gigi, tapi matanya menatapku dengan sorot yang sulit diartikan.

"Mas Rafli," panggilnya lirih, suaranya jauh lebih lembut dari sebelumnya. "Boleh minta tolong ambilin air panas di dispenser? Aku, aku masih gemetaran, nggak kuat angkat gelas buat air panas."

Aku menatapnya bingung.

Dispenser air ada di dapur, tinggal pencet. Terus, masa angkat gelas aja nggak kuat?

Tapi melihat bibirnya yang sedikit terbuka dan matanya yang melirik ke arah dadaku yang terekspos karena kancing seragamku sudah kubuka setengah, insting laki-lakiku mengatakan ini bukan sekadar soal air panas, apalagi ini sudah pukul satu pagi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dimanja Tiga Majikan Cantik   Bab 8

    "Non, ini ruang tengah, terus masih jam sembilan pagi. Nanti kalau Nona Shella atau Mbak Inem lewat gimana?""Duduk sini, Mas!""Waduh, jangan, Non. Saya berdiri aja. Pamali, kalau pelayan duduk di sofa mahal begini, nanti kualat pantat saya bisulan. Lagian saya masih keringetan habis nyupirin Nona Claudia tadi."Dengan tenaga yang mengejutkan untuk ukuran gadis semungil itu, dia terus menarik tanganku menuju sofa kulit berwarna krem yang terletak tepat di depan televisi layar datar raksasa.Alasanku yang sebenarnya tentu saja bukan soal kualat atau keringat, tapi karena si Gatot. Benda pusaka di balik celana kainku ini masih berdiri tegak seperti menantang tinju milik Nona Sora yang tidak menggunakan pelindung."Mas Rafli ma

  • Dimanja Tiga Majikan Cantik   Bab 7

    "Sora? Kamu di dalam? Kenapa dikunci segala, sih? Ini Kakak bawain buah potong, bukain pintunya!"Jantungku rasanya berhenti berdetak detik itu juga..Aku menatap Nona Sora dengan mata melotot, keringat dingin sebesar biji jagung mulai mengalir deras dari pelipis, bercampur dengan uap panas kamar mandi yang membuat seragamku semakin lengket dan tidak nyaman.Kalau pintu ini terbuka, tamatlah riwayatku.Bukan hanya dipecat, bisa-bisa aku digebuki warga satu kompleks karena dikira mau memperkosa anak majikan di kamar mandi.Nona Sora, meski terlihat sedikit gugup, dengan cepat menempelkan jari telunjuknya ke bibir, memberi isyarat agar aku diam seribu bahasa."Iya, Kak, bentar! Aku lagi luluran nih, badan lengket semua kena krim, ribet kalau aku jalan ke pintu terus ambil buahnya. Kakak taruh aja buahnya di meja makan, nanti aku ambil kalau udah selesai bilas!""Luluran?" Suara Nona Shella terdengar curiga, nadanya meninggi satu oktaf."Tumben banget luluran di kamar mandi bawah? Biasan

  • Dimanja Tiga Majikan Cantik   Bab 6

    “Pu-putih, mulus, agak ramping, da-dan sedikit tepos! Ta-tapi, punggungnya bagus banget, sumpah, i-ini bidadari apa gimana? Tapi kok bidadari agak mungil kayak botol yakult?”Nona Sora menunduk sedikit, satu kakinya dinaikkan ke atas kursi kecil berlapis beludru, sementara tangannya sibuk mengoleskan body lotion ke betisnya yang jenjang dan mulus bak pualam.“Waduh Gusti… ini mata saya yang salah lihat atau memang bidadari lagi turun mandi? Kulitnya itu lho, merah-merah muda kayak bayi baru lahir, emang sih belahannya ga segede kakaknya, ta-tapi…”Gerakan tangannya yang lambat dan sensual saat meratakan krim putih itu dari pergelangan kaki naik ke betis, lalu ke lutut, dan terus naik ke paha bagian belakang yang sedikit terekspos karena handuknya terangkat, benar-benar pemandangan yang sanggup meruntuhkan iman ustad sekalipun, apalagi iman sopir sepertiku.Aku terpaku di ambang pintu, tangan masih memegang gagang pintu yang terbuka setengah.Otakku memintaku untuk lari, tapi kakiku se

  • Dimanja Tiga Majikan Cantik   Bab 5

    CIIIIIIT!Mobil berhenti mendadak dengan jarak hanya beberapa sentimeter dari bodi bus yang gila itu. Guncangannya cukup keras karena pengereman darurat.Tubuh Nona Claudia terlempar ke depan karena dia tidak memakai sabuk pengaman dengan benar, tapi untungnya airbag tidak meledak.Namun, karena panik dan ketakutan setengah mati melihat bemper bus di depan matanya, Nona Claudia secara insting mencari pegangan.Dan pegangan terdekat adalah aku."Mamaaa!!!" jeritnya sambil melemparkan tubuhnya ke arahku.Kedua tangannya memeluk lengan kiriku erat-erat, wajahnya dibenamkan ke bahuku. Dan yang membuat napasku tercekat seketika bukan karena hampir tabrakan, melainkan sensasi bantalan empuk yang menghantam lengan atasku.Dada Nona Claudia yang sintal dan padat di balik crop top ketat itu menekan telak otot bisepku. Rasanya begitu lembut, kenyal, dan hangat, apalagi guncangan mobil tadi membuat posisinya semakin menekan ke dalam, seolah dia berusaha menyatukan tubuhnya denganku saking takutn

  • Dimanja Tiga Majikan Cantik   Bab 4

    Saat aku menyerahkan gelas berisi air hangat itu kepadanya di ambang pintu kamar pelayan, jari-jari lentiknya yang halus sengaja bersentuhan lama dengan tanganku.Piyama sutra merah mudanya yang tipis menerawang di bawah sorot lampu lorong yang remang-remang, memperlihatkan siluet tubuh mudanya yang padat dan belum tersentuh gravitasi.Nona Sora kemudian menatapku lalu berjinjit sedikit, mendekatkan wajahnya ke telingaku."Makasih ya, Mas Rafli, aku nggak nyangka kamu gagah banget waktu nahan badan aku, padahal tubuh kamu cungkring. Tapi barusan, aku lihat, loh, perut kamu kotak-kotak, ternyata kamu punya badan bagus cungkring-cungkring gini," bisiknya manja.Sebelum aku sempat menjawab dengan otakku yang korslet, gadis itu sudah melesat pergi ke kamarnya sambil terkikik kecil.Keesokan paginya, aku bangun lebih awal dengan mata sedikit bengkak kurang tidur.Setelah mandi dan memakai seragam sopir yang sudah disetrika licin, aku menghadap Nyonya Alika di ruang makan.Nyonya Alika seda

  • Dimanja Tiga Majikan Cantik   Bab 3

    Nona Sora, si bungsu yang katanya manja itu, kini kakinya melilit kakiku dengan simpul mati, membuat area paling sensitif di kedua dadanya menekan telak ke perut bawahku.Setiap kali dia terisak pelan karena sisa ketakutan, tubuhnya bergetar, menciptakan gesekan-gesekan kecil yang mahadahsyat di area terlarang."Mas Rafli, jangan dilepas, nggak mauuu! Sora takut gelap, Sora nggak mau lepas sama Mas Rafli, huhuhu!"Si Gatot yang masih terjepit , kini memberontak semakin brutal. Mungkin ukuran angka milik Nona Sora tidak sebesar kedua kakaknya, tapi lingkarnya dia besar, sehingga terasa penuh-sesak saat menekanku.Otak udangku mendadak membayangkan hal yang tidak-tidak. Bagaimana jika Nona Sora sadar ada pentungan yang mengganjal di mainan squishy itu?"A-anu, Non-Nona Sora," panggilku terbata-bata, tangan kiriku masih menopang bagian belakangnya yang sintal dan luar biasa empuk itu agar dia tidak jatuh.Sumpah mati, tanganku gemetar bukan main merasakan tekstur daging yang kenyal dan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status