LOGINSaat aku menyerahkan gelas berisi air hangat itu kepadanya di ambang pintu kamar pelayan, jari-jari lentiknya yang halus sengaja bersentuhan lama dengan tanganku.
Piyama sutra merah mudanya yang tipis menerawang di bawah sorot lampu lorong yang remang-remang, memperlihatkan siluet tubuh mudanya yang padat dan belum tersentuh gravitasi.
Nona Sora kemudian menatapku lalu berjinjit sedikit, mendekatkan wajahnya ke telingaku.
"Makasih ya, Mas Rafli, aku nggak nyangka kamu gagah banget waktu nahan badan aku, padahal tubuh kamu cungkring. Tapi barusan, aku lihat, loh, perut kamu kotak-kotak, ternyata kamu punya badan bagus cungkring-cungkring gini," bisiknya manja.
Sebelum aku sempat menjawab dengan otakku yang korslet, gadis itu sudah melesat pergi ke kamarnya sambil terkikik kecil.
Keesokan paginya, aku bangun lebih awal dengan mata sedikit bengkak kurang tidur.
Setelah mandi dan memakai seragam sopir yang sudah disetrika licin, aku menghadap Nyonya Alika di ruang makan.
Nyonya Alika sedang menikmati kopi paginya sambil membaca tablet, mengenakan kimono tidur satin berwarna emas tua. Tali pengikat di pinggangnya terlihat longgar, membuat bagian dada kimono itu terbuka cukup lebar dan menampilkan belahan dada putih mulus yang matang dan penuh.
"Pagi, Nyonya," sapaku sambil menunduk sopan, berusaha mati-matian agar bola mataku tidak menggelinding ke arah dada beliau.
"Pagi, Rafli, kayaknya pagi ini kamu kelihatan seger banget," balas Nyonya Alika sambil tersenyum tipis, matanya meneliti tubuhku dari atas ke bawah seolah sedang menilai barang dagangan.
“Ahha, Nyonya bisa aja. Oh iya, tumben banget Nyonya panggil saya pagi-pagi begini. Biasanya saya udah repot motongin rumput di kebon belakang.”
"Tugasmu pagi ini antar Claudia ke kampus, jadi kamu nggak usah potongin rumput dulu."
" Nona Claudia itu yang anak tengah ya?" tanyaku memastikan.
"Iya, yang paling fashionable tapi juga paling susah diatur," Nyonya Alika meletakkan cangkir kopinya, lalu menatapku tajam. "Dengar baik-baik, Rafli. Hari ini kamu antar-jemput dia Jangan biarkan dia naik taksi online, apalagi dijemput teman-temannya yang rambutnya warna-warni itu!"
"Kenapa memangnya, Nyonya?" tanyaku polos.
Nyonya Alika menghela napas panjang. "Dia itu lagi hobi banget keluyuran ke diskotik atau bar sepulang kuliah. Nilainya sudah hancur, terus kuliahnya udah masuk sesi skripsian. Dia udah telat 1 semester. Jadi, pastikan kamu seret dia pulang ke rumah begitu kuliahnya selesai. Kalau dia maksa belok ke tempat hiburan malam, kamu lapor saya atau kamu hadang dia. Paham?"
"Siap, Nyonya! Berarti saya jadi bodyguard dadakan nih?"
"Kurang lebih begitu. Kalau kamu berhasil jaga Claudia hari ini, saya kasih bonus buat rokok kamu, Surya Exclusive 2 bungkus!" janji Nyonya Alika sambil mengedipkan sebelah matanya.
Bonus uang itu penting, tapi kedipan mata janda kaya ini rasanya lebih mahal dari bonusku hari ini.
Tak lama setelah aku menunggu di pintu depan, Nona Claudia turun dari lantai dua.
Berbeda dengan Nona Shella yang elegan atau Nona Sora yang imut nan manja, Nona Claudia ini definisi cabe-cabean mahal.
Berangkat ke kampus aja memakai crop top ketat berwarna putih yang memamerkan perut ratanya yang bertindik, dipadu dengan rok mini jeans yang saking pendeknya aku sampai khawatir dia bakal masuk angin kalau duduk.
Wajahnya jutek minta ampun saat melihatku berdiri di samping mobil sedan hitam yang sudah mengkilap kucuci subuh tadi.
"Ih, Mama serius nyuruh orang kampung ini nganter aku?" protes Nona Claudia sambil memutar bola matanya malas.
"Tenang aja, Claudia, itu si Rafli punya SIM A dan SIM B, terus dia lebih jago nyetir daripada teman-teman kamu yang modal gaya doang," potong Nyonya Alika tegas dari ambang pintu.
“Nggak ada opsi lain yang lebih bagus, apa? Mending aku naik taksi daripada…”
"Diantar Rafli atau Mama bekukan kartu kredit kamu bulan ini?" Ancaman kartu kredit itu ampuh. Nona Claudia langsung cemberut, lalu masuk ke kursi penumpang depan dengan kasar.
Sepanjang perjalanan menuju kampus yang terletak di pusat kota, Nona Claudia sibuk dengan ponselnya, sesekali berdecak kesal atau memaki pelan.
Ekor mataku sesekali melirik ke arahnya, karena posisi duduknya yang mengangkat satu kaki ke atas dasbor itu benar-benar menguji iman. Paha putih mulusnya terekspos jelas dari samping.
"Heh! Mata lo dijaga ya! Ngapain ngelirik-lirik paha gue?" semprot Nona Claudia tiba-tiba tanpa menoleh, seolah dia punya mata di setiap sisi kepalanya.
Aku kaget dan nyaris salah injak pedal gas. "Eh, anu Non, saya liat spion kiri. Spionnya agak miring ke dalam. Lagian Nona duduknya begitu, saya jadi ngeri kalau Nona kesemutan, terus jalan pincang ke kampus."
"Alasan! Dasar sopir mesum. Semua cowok sama aja, liat kulit dikit langsung jelalatan!”
Claudia menurunkan kakinya, tapi kini malah menyilangkan kaki dengan gaya yang membuat roknya semakin ketat mencetak pinggulnya. "Awas ya lo kalau bawa mobilnya nggak becus. Gue nggak suka sopir yang ngerem mendadak atau gaspol nggak jelas!”
Aku mengemudi dengan hati-hati, berusaha membuktikan kalau aku bukan sopir gerobak sapi seperti tuduhannya.
Nona Claudia mulai terlihat sedikit rileks, mungkin karena dia sibuk video call dengan temannya, merencanakan pesta nanti malam yang jelas-jelas dilarang ibunya.
"Iya beb, gue bete banget diantar sopir baru nyokap. Sumpah, orangnya freak banget, badannya oke, sih, beroto kayak kuli panggul, cuma agak cungkring. Kek, apasih, najis deh," ucapnya di telepon, tak peduli aku mendengarnya dengan jelas.
Aku hanya bisa mengelus dada.
Tiba-tiba, dari arah jalur busway di sebelah kanan, sebuah bus besar berwarna oranye memotong jalur kami dengan brutal tanpa menyalakan lampu sein.
Bus itu membanting setir ke kiri untuk menghindari motor, tepat ke arah moncong mobil sedan yang kami tumpangi. Jaraknya hanya tinggal sejengkal.
"AAAAAA!!!" Nona Claudia menjerit histeris dengan ponsel yang terlempar dari tangan.
Refleksku yang terlatih menghindari sapi nyebrang dan lubang jalanan di desa langsung bekerja otomatis.
Kakiku menginjak pedal rem dalam-dalam tapi tidak sampai mengunci ban, sementara tanganku memutar setir sedikit ke kiri untuk memberi ruang, lalu meluruskannya kembali begitu bus itu lewat.
"Non, ini ruang tengah, terus masih jam sembilan pagi. Nanti kalau Nona Shella atau Mbak Inem lewat gimana?""Duduk sini, Mas!""Waduh, jangan, Non. Saya berdiri aja. Pamali, kalau pelayan duduk di sofa mahal begini, nanti kualat pantat saya bisulan. Lagian saya masih keringetan habis nyupirin Nona Claudia tadi."Dengan tenaga yang mengejutkan untuk ukuran gadis semungil itu, dia terus menarik tanganku menuju sofa kulit berwarna krem yang terletak tepat di depan televisi layar datar raksasa.Alasanku yang sebenarnya tentu saja bukan soal kualat atau keringat, tapi karena si Gatot. Benda pusaka di balik celana kainku ini masih berdiri tegak seperti menantang tinju milik Nona Sora yang tidak menggunakan pelindung."Mas Rafli ma
"Sora? Kamu di dalam? Kenapa dikunci segala, sih? Ini Kakak bawain buah potong, bukain pintunya!"Jantungku rasanya berhenti berdetak detik itu juga..Aku menatap Nona Sora dengan mata melotot, keringat dingin sebesar biji jagung mulai mengalir deras dari pelipis, bercampur dengan uap panas kamar mandi yang membuat seragamku semakin lengket dan tidak nyaman.Kalau pintu ini terbuka, tamatlah riwayatku.Bukan hanya dipecat, bisa-bisa aku digebuki warga satu kompleks karena dikira mau memperkosa anak majikan di kamar mandi.Nona Sora, meski terlihat sedikit gugup, dengan cepat menempelkan jari telunjuknya ke bibir, memberi isyarat agar aku diam seribu bahasa."Iya, Kak, bentar! Aku lagi luluran nih, badan lengket semua kena krim, ribet kalau aku jalan ke pintu terus ambil buahnya. Kakak taruh aja buahnya di meja makan, nanti aku ambil kalau udah selesai bilas!""Luluran?" Suara Nona Shella terdengar curiga, nadanya meninggi satu oktaf."Tumben banget luluran di kamar mandi bawah? Biasan
“Pu-putih, mulus, agak ramping, da-dan sedikit tepos! Ta-tapi, punggungnya bagus banget, sumpah, i-ini bidadari apa gimana? Tapi kok bidadari agak mungil kayak botol yakult?”Nona Sora menunduk sedikit, satu kakinya dinaikkan ke atas kursi kecil berlapis beludru, sementara tangannya sibuk mengoleskan body lotion ke betisnya yang jenjang dan mulus bak pualam.“Waduh Gusti… ini mata saya yang salah lihat atau memang bidadari lagi turun mandi? Kulitnya itu lho, merah-merah muda kayak bayi baru lahir, emang sih belahannya ga segede kakaknya, ta-tapi…”Gerakan tangannya yang lambat dan sensual saat meratakan krim putih itu dari pergelangan kaki naik ke betis, lalu ke lutut, dan terus naik ke paha bagian belakang yang sedikit terekspos karena handuknya terangkat, benar-benar pemandangan yang sanggup meruntuhkan iman ustad sekalipun, apalagi iman sopir sepertiku.Aku terpaku di ambang pintu, tangan masih memegang gagang pintu yang terbuka setengah.Otakku memintaku untuk lari, tapi kakiku se
CIIIIIIT!Mobil berhenti mendadak dengan jarak hanya beberapa sentimeter dari bodi bus yang gila itu. Guncangannya cukup keras karena pengereman darurat.Tubuh Nona Claudia terlempar ke depan karena dia tidak memakai sabuk pengaman dengan benar, tapi untungnya airbag tidak meledak.Namun, karena panik dan ketakutan setengah mati melihat bemper bus di depan matanya, Nona Claudia secara insting mencari pegangan.Dan pegangan terdekat adalah aku."Mamaaa!!!" jeritnya sambil melemparkan tubuhnya ke arahku.Kedua tangannya memeluk lengan kiriku erat-erat, wajahnya dibenamkan ke bahuku. Dan yang membuat napasku tercekat seketika bukan karena hampir tabrakan, melainkan sensasi bantalan empuk yang menghantam lengan atasku.Dada Nona Claudia yang sintal dan padat di balik crop top ketat itu menekan telak otot bisepku. Rasanya begitu lembut, kenyal, dan hangat, apalagi guncangan mobil tadi membuat posisinya semakin menekan ke dalam, seolah dia berusaha menyatukan tubuhnya denganku saking takutn
Saat aku menyerahkan gelas berisi air hangat itu kepadanya di ambang pintu kamar pelayan, jari-jari lentiknya yang halus sengaja bersentuhan lama dengan tanganku.Piyama sutra merah mudanya yang tipis menerawang di bawah sorot lampu lorong yang remang-remang, memperlihatkan siluet tubuh mudanya yang padat dan belum tersentuh gravitasi.Nona Sora kemudian menatapku lalu berjinjit sedikit, mendekatkan wajahnya ke telingaku."Makasih ya, Mas Rafli, aku nggak nyangka kamu gagah banget waktu nahan badan aku, padahal tubuh kamu cungkring. Tapi barusan, aku lihat, loh, perut kamu kotak-kotak, ternyata kamu punya badan bagus cungkring-cungkring gini," bisiknya manja.Sebelum aku sempat menjawab dengan otakku yang korslet, gadis itu sudah melesat pergi ke kamarnya sambil terkikik kecil.Keesokan paginya, aku bangun lebih awal dengan mata sedikit bengkak kurang tidur.Setelah mandi dan memakai seragam sopir yang sudah disetrika licin, aku menghadap Nyonya Alika di ruang makan.Nyonya Alika seda
Nona Sora, si bungsu yang katanya manja itu, kini kakinya melilit kakiku dengan simpul mati, membuat area paling sensitif di kedua dadanya menekan telak ke perut bawahku.Setiap kali dia terisak pelan karena sisa ketakutan, tubuhnya bergetar, menciptakan gesekan-gesekan kecil yang mahadahsyat di area terlarang."Mas Rafli, jangan dilepas, nggak mauuu! Sora takut gelap, Sora nggak mau lepas sama Mas Rafli, huhuhu!"Si Gatot yang masih terjepit , kini memberontak semakin brutal. Mungkin ukuran angka milik Nona Sora tidak sebesar kedua kakaknya, tapi lingkarnya dia besar, sehingga terasa penuh-sesak saat menekanku.Otak udangku mendadak membayangkan hal yang tidak-tidak. Bagaimana jika Nona Sora sadar ada pentungan yang mengganjal di mainan squishy itu?"A-anu, Non-Nona Sora," panggilku terbata-bata, tangan kiriku masih menopang bagian belakangnya yang sintal dan luar biasa empuk itu agar dia tidak jatuh.Sumpah mati, tanganku gemetar bukan main merasakan tekstur daging yang kenyal dan







