Share

Adrian Wijaya

Sarayu temaram berhembus indurasmi langit malam. Memeluk, membelai, dan menemani di teras dinding hening malam.

Sepi ...

Kini kembali Adrian rasakan setelah ditinggal pergi dengan begitu pilunya oleh mendiang Zahra, sang istri yang sudah tiga tahun ini kembali kepangkuan sang ilahi dengan meninggalkan sepasang anak kembar yang begitu lucu nan menggemaskan.

Matanya kembali menatap sendu sepasang anak kembar yang tengah tertidur lelap di sampingnya.

Sungguh, kesedihan yang mendalam masih saja ia rasakan meski telah lama Zahra meninggalkannya. Ah, rasanya ia tak akan lagi menemukan wanita secantik dan sesolehah dia dimuka bumi ini.

"Ri," sebuah panggilan disertai tepukan tangan di pundaknya, membuat Adrian sontak terperanjat kaget seraya mengusap air mata yang jatuh di pipinya.

"Syut... Jangan berisik mah. Mereka belum lama terlelap" 

Segera Adrian bangkit, menarik lembut mamahnya untuk keluar dari kamar kedua anaknya.

"Ada apa Mah?" tanyanya. Kini mereka sudah berada di ruang keluarga, duduk saling berhadapan dengan saling menatap penuh arti.

"Mau sampai kapan sih nak, kamu begini?" tanya Melati sendu. Mau bagaimana pun, ia sungguh tak tega menyaksikan putra bungsunya terus-terusan hidup penuh kemalangan seperti ini. 

"Begini gimana sih Mah?" tanya Adrian berpura-pura meski ia tahu arah pembicaraan ibunya akan mengarah ke hal yang lebih penting untuk hidupnya. Tapi, sungguh sampai saat ini hatinya enggan untuk mencari wanita pengganti dihatinya. Cinta Zahra yang ia rasakan tak akan pernah pudar dihatinya, seakan melekat penuh pada jiwanya. 

"Hidup menduda dengan dua anak kembar yang sedang aktif-aktifnya? Apa kamu tidak capek dengan semua ini?" tanya Melati, kini napasnya memburu. Penuh dengan kekesalan, bukan! Ia bukan kesal pada kehidupan anaknya melainkan ia begitu kesal pada dirinya yang sampai saat ini belum bisa mencarikan pendamping yang mirip sekali sifatnya dengan mantan menantunya itu untuk Adrian.

Adrian menggeleng dengan senyuman. "Tidak Mah, Adrian tidak merasa capek dengan apa yang Adrian jalani"

Melati menghela napas panjang. Selalu saja begitu, putra bungsunya itu selalu saja tak mau terlihat lemah dan terpuruk oleh siapa pun. Termasuk dirinya, ibu kandungnya sendiri.

"Jangan berbohong! Ibu tahu, kamu sering kali menangis saat terbangun di tengah malam kala si kembar rewel. Ibu tahu kamu sering sekali marah pada alam saat kamu merasakan kesepian. Ibu tahu itu nak, jangan lagi berbohong dengan ibu. Sehebat-hebatnya kamu, kamu tidak akan pernah bisa menggantikan sosok ibu bagi mereka. Kamu tidak akan pernah bisa, menjalani dua peran sekaligus untuk si kembar, apa lagi kini usahamu sedang di puncak kejayaan. Pasti sebentar lagi kamu akan disibukan dengan dunia bisnismu itu" 

Panjang lebar Melati berbicara, namun tetap saja Adrian hanya memberi respon dengan anggukan hingga sebuah dering ponsel di saku Adrian membuat keduanya saling beradu pandang sejenak. Setelah itu Adrian buru-buru menjawab panggilan yang masuk ke gawainya.

"Hallo, ya kenapa Ram?" tanya Adrian ke sebrang sana. 

[Ada beberapa berkas yang harus bapak tandatangani malam ini juga. Dan ya, malam ini juga bapak harus berangkat keluar kota untuk mempromosikan produk obat-obatan yang bapak luncurkan]

suara di sebrang sana membuat Adrian mengusap wajah kasar. Bagaimana bisa dirinya meninggalkan si kembar sejauh itu? Apalagi mengingat ibu yang akhir-akhir ini sering mengeluh akan keaktifan kedua anaknya, sungguh membuat ia ragu untuk kembali menitipkan si kembar padanya.

"Baiklah Ram, tunggu sebentar saya berkemas dulu" meski berat Adrian tetap mengambil keputusan ini demi masa depan ia dan kedua anaknya.

[Saya tunggu pak, kalau gitu terimakasih atas waktunya. Saya tutup ya pak, Assalamualaikum] ucap Rama di sebrang sana sebelum menutup teleponnya.

Hembusan napas panjang ia keluarkan, melirik sang ibu yang masih setia duduk menunggu di kursi sana membuat ulu hatinya berdenyut nyeri. Apa yang dikatakan ibunya barusan seakan ada benarnya.

"Bu," panggil Adrian dengan ragu.

"Apa?" tanya Melati sinis, seolah dirinya telah tahu apa yang akan Adrian katakan padanya.

"Titip Raja dan Ratu ya, Rian ada ..."

"Tuhkan apa yang ibu bilang, ujung-ujungnya pasti kamu titipin mereka sama ibu. Ibu tuh udah tua Rian, pengen hidup tenang. Istirahat yang cukup, bukan malah ngejaga si kembar yang super aktif itu! Membuat kepala ibu pusing saja!"

Dengan nada tinggi Melati berujar memotong pembicaraan Adrian, bukan ia tak mau mengasuh si kembar tapi inilah cara agar putra bungsunya itu berpikir supaya bisa mencari ibu sambung untuk anak-anaknya.

Kasar memang, apa yang Melati ucapkan itu. Bahkan kini perkataannya tanpa sadar telah melukai hati putra kesayangannya itu, tapi mau gimana lagi. Sudah ia katakan, inilah cara paling ampuh untuk segera membuat putra bungsunya berpikir jauh.

"Kenapa ibu berbicara seperti itu? Mereka itu cucu ibu loh, apa jangan-jangan selama ini ibu tak ikhlas merawat mereka?" 

Benar saja dugaan Melati, anaknya itu akan berkata demikian. seolah ialah ibu dan nenek yang paling tega membiarkan mereka.

"Bukan maksud ibu begitu, tapi apa susahnya sih jika kamu mau mencari ibu sambung buat mereka? Pikirkan baik-baik Rian, setidaknya demi mereka bukan demi kamu!"

"Bu, sudah berulang kali Rian katakan. Rian tidak perlu menikah lagi, tidak perlu mencari ibu sambung untuk mereka. Rian bisa hidup bahagia bersama mereka meski tanpa seorang istri yang mendampingi!"

"Sudahlah, ibu capek. Pengen istirahat, kamu pergi saja sana. Bawa si kembar, ibu tak sudi jika harus kembali merawat mereka!" ucap Melati berlalu pergi dari hadapan Adrian. Sungguh, ia tak begitu benar-benar mengucapkan kata itu. Ia hanya ingin kehidupan putranya kembali normal dan bahagia seperti dulu, saat Zahra. Sang menantu kesayangannya masih hidup bersama mereka.

"Jika itu yang ibu inginkan, Rian akan membawa si kembar pergi dari rumah ini untuk selamanya!"

Tubuh Meletai menegang saat Adrian dengan tegas berkata seperti itu. Matanya terpejam, ia melengos pergi begitu saja tanpa mengindahkan perkataan Adrian. Lagi, untuk kali ini dirinya harus bersikap lebih tega pada anak bungsunya itu.

Rahang Adrian mengeras, kedua telapak tangannya bahkan telah mengepal sempurna. Sungguh, ia begitu kecewa pada ibunya yang tega bersikap seperti itu pada dirinya dan anak-anaknya.

"Argh!" geram Adrian segera berlalu pergi menuju kamarnya untuk segera bersiap pergi keluar kota bersama kedua anaknya.

"Maafkan ayah sayag" lirih Adrian mengusap kepala Raja dengan lembut.

Terganggu dengan usapan sang ayah,mata Raja mengerjap-ngerjap.

"Ayah ..." rengek Raja.

"Bangun yuk sayang, ayah mau ajak kamu sama Ratu jalan-jalan" ucap Candra mengecup lembut pipi Raja.

Raja berdecak, rasanya ia masih mengantuk kali ini. Bahkan ajakan jalan-jalan pun tak membuat kedua matanya terbuka sempurna.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status