"Hati-hati makannya," ucap Desta sambil menyodorkan air minum miliknya. "Makasih, Mas." Pria itu mengambil selembar tisu dan mengelap bibir sang istri dengan gerakan lembut. Hal itu semakin membuat darah Diana mengalir lebih cepat. Untuk menghilangkan kegugupannya, Diana bangkit dan membereskan bekas makannya. Berjalan menuju wastafel untuk mencuci piring dan gelasnya. Sebuah tangan terulur membantu kegiatan itu. Jantung Diana yang sudah mulai normal kembali jumpalitan akibat perbuatan lelaki itu. "Sudah, Mas biar aku saja. Mas ke depan saja!" "Tidak papa. Aku mau membantumu. Setelah ini kita ke kamar ya," bisiknya di telinga sang istri membuat bulu kuduknya meremang. "Kamu tegang sekali, Di. Apa aku menakutimu?" Pria itu semakin merapatkan tubuhnya hingga dadanya membentur punggung sang istri. "Ti--tidak!" ucapnya semakin gugup. Bahkan suaranya tercekat di tenggorokan karena ulah tangan nakal suaminya.
"Itu tidak benar kan, Bu? Saya yakin kabar bu Diana sudah menikah itu hanya gosip." Seorang pria berseragam kaos dan training tiba-tiba masuk dengan senyum khasnya. Sudah menjadi rahasia umum kalau guru olahraga ini naksir berat sama Diana sejak pertama kali ia masuk ke sekolah ini. Sudah beberapa kali ia mengutarakan isi hatinya pada Diana baik secara tersirat maupun terang-terangan. Sayangnya Diana selalu menolak secara halus karena ia memang tak mau tak mau menjalin hubungan dengan laki-laki dalam satu naungan kerja. "Maaf, Pak Dody, sayangnya gosip itu benar. Saya sudah menikah sebulan yang lalu.""Kok nggak ada yang ngasih tahu saya, Bu? Kenapa bu Diana tega melakukan ini pada saya? Bukankah bu Diana tahu kalau saya selalu menunggu kesiapan bu Diana untuk menikah dengan saya?" ucap pria itu sendu. Kini kantor guru menjadi sedikit ramai akibat ulah guru olah raga itu. Sementara Diana yang merasa menjadi tertuduh hanya bisa menarik
"Diana, gimana kabarnya?" ucap pria itu lirih. "Mas Iqbal, ... ka--kapan balik ke Indonesia? Ke--kenapa nggak pernah berkabar?" lanjutnya. Pria itu menatap Diana dengan tatapan yang berbeda. Seolah tidak ada orang lain di sana selain mereka berdua. "Aku kehilangan kontakmu, Di. Hp-ku hilang saat baru sampai Kairo. Siapa pria ini?"Diana menatap suaminya dengan tatapan bersalah. Tersenyum getir kala pria itu menunjukkan sorot mata tak suka.Merasa disebut, Desta langsung mengulurkan tangannya. "Kenalkan, saya Desta. Suami Diana!" ucapnya mantap, seolah menegaskan bahwa Diana hanya miliknya seorang."Kamu sudah menikah?" Terlihat ada bias cemburu tersirat dari sorot mata cokelat pria itu. Diana yang masih berusaha mencerna situasi ini menegang melihat aura permusuhan yang dipancarkan suaminya. Rahang pria itu mengeras. Gurat wajahnya jelas menunjukkan kalau dia tidak suka."Maaf, kami makan dulu, apa Anda mau ikut maka
"Apa ... kamu masih mencintainya?" lirih Desta dengan nada cemburu. Melihat perubahan mimik wajah sang istri hatinya terasa nyeri. "Aku ... Aku ... nggak pernah menjalin hubungan dengannya. Dia hanya kakak tingkatku waktu kuliah dulu." Desta masih tak percaya. Iya terus saja mendesak agar sang istri berterus terang mengenai pria yang baru saja membuat darahnya mendidih. "Tapi dia tampak seperti merindukanmu. Sesama pria aku tahu arti tatapan mata itu.""Sudahlah, Mas lebih baik kita pulang saja aku capek dan pengen istirahat."Wanita itu bangkit diikuti oleh suaminya yang masih dipenuhi tanda tanya di kepala. Sebenarnya pria itu masih belum puas dengan jawaban sang istri, tapi Ia juga tak mau mendesaknya. Hubungan mereka baru saja terjalin indah, tidak mungkin Desta melakukan kesalahan dengan tak memercayai istrinya sendiri. ***Tak terasa Diana telah melewati 3 bulan masa pernikahannya. Pagi ini ketika hendak membua
"Apakah aku sedang hamil sekarang?" Humam wanita itu sambil mengelus perutnya yang masih rapat. Seketika senyumnya terbit membayangkan di dalam rahimnya tumbuh calon buah hati mereka. Meski belum bisa dipastikan bahwa ia hamil namun ia merasa bahwa kini dirinya telah berbadan dua. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Lalu ia melangkah keluar dari kamar mandi menuju pintu kamar. "Ada apa, Bik?" tanya Diana sambil memberikan akses untuk sang ART agar bisa masuk ke dalam kamarnya."Ini non sudah saya buatkan bubur di makan dulu ya, terus kalau sudah nanti cobain ini ya Non, ya." Wanita paruh baya itu menyodorkan sebuah benda bertuliskan merk kesehatan yang isinya berupa alat tes kehamilan. Tanpa pikir panjang Diana langsung mengambil alih benda itu dan kembali masuk ke kamar mandi. Wanita yang masih tampak pucat itu mengikuti petunjuk yang ada dalam kemasan dengan mencelupkan ujung tespek pada urine yang telah Ia tampung
Diana tercenung. Mencerna apa yang baru saja dialami. Suaminya yang sudah mulai berubah hangat, kini seolah kembali memasang tembok tinggi diantara mereka. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa suaminya pulang bersama mantan kekasihnya?Segala macam pikiran bekecamuk dalam benaknya. Namun wanita itu berusaha menepis kecurigaan yang mulai menghinggapi hati. "Di, bisakah kamu meminjamkan bajumu untuknya?" Suara bariton Desta mengalihkan fokusnya. "Dia kenapa, Mas? Kenapa sama kamu?" "Sudahlah jangan banyak bertanya dulu, ambilkan saja dulu baju ganti untuknya. Aku harus segera memeriksanya!" ucap Desta dengan nada meninggi. Terlihat jelas kekhawatiran pria itu pada Meta, mantan kekasihnya. Kedua netra bening Diana sudah penuh dengan kaca-kaca yang siap pecah dalam sekali kedipan mata. Dengan hati tersayat, wanita itu berjalan menuju kamarnya. Mengambil satu setel baju tidur berlengan panjang. Meski dadanya bergemuruh, wanita itu
Sebenarnya Desta berencana untuk membawanya ke rumah sakit hari ini jika kondisinya belum membaik. Namun kejadian semalam membuatnya tak bisa melakukan itu sekarang. Terlebih Meta sudah mengancam akan melakukan hal yang lebih gila lagi. Baru saja ia akan mendekati sang istri, suara teriakan Meta dari kamar tamu menghentikan langkah kakinya. Diana pun ikut mendongak dan memutar lehernya. Sekelebat bayangan Desta masih ia lihat. Namun sudah tertelan kembali oleh pintu kamar tamu. Entah apa yang mereka lakukan sebenarnya. "Bik, apa dari semalam mereka belum keluar kamar?" tanya Diana lirih. Tubuh wanita paruh baya itu menegang. "Bibik nggak tahu, Non. Sudah, nggak usah dipikirkan. Sebaiknya Non segera sarapan agar perutnya terisi. Terus minum susu hamil ya, Non. Biar calon dedeknya tumbuh sehat. Bibik sudah membelikannya tadi pagi di toko 24 jam dekat rumah bibik.""Apa dia sudah tahu, Bik?""Belum, Non. Kan, Non Diana sendiri yang minta
"Apa yang sedang terjadi?" tanya Desta memicing. Tatapannya tertuju pada sang istri dan mantan kekasih bergantian. Seketika matanya membulat melihat darah menetes di lantai. "Apa yang terjadi? Apa nggak ada yang bisa menjelaskan semua ini?" Nada biacara pria itu naik satu oktaf. "Dia melukai dirinya sendiri setelah menamparku," lirih Diana sambil memegang pipinya yang masih terasa panas. Bekas telapak tangan adiknya masih tercetak jelas di sana. Siapapun tahu bahwa wanita itu habis ditampar. Namun tuduhan dusta Meta justru membalikkan fakta yang terjadi. "Dia mencoba melukaiku karena cemburu. Lihat ini tanganku, dia kejam sekali ... padahal aku hanya ingin menjelaskan yang terjadi semalam, tapi dia malah marah dan melukaiku seperti ini," bantah Meta dengan dibumbui acting menagis yang membuat kedua pasang mata Diana dan bi Ijah membulat seketika. "Tidak. Itu tidak benar," ucap Diana menggeleng. Kedua matanya sudah basah akibat bendun