Share

Bab 5 : Suami Misterius

Ada banyak pertanyaan yang sudah ku pikirkan sebelumnya, tetapi kenapa setelah ingin membahas nya aku tidak bisa seberani itu kepadanya. Malam ini, hal baik yang sudah seharusnya dilakukan pun tidak terjadi lagi, aku tidak menjawabnya, dan dia pun tak lagi memaksa untuk melakukan apapun.

Selain hanya saling diam, kami tak ingin membahas nya lagi. Ku biarkan saja dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, aku hanya ingin sedikit mengurangi kecemasan terhadapnya, dengan cara tak terlalu banyak berbicara saat berada di dekatnya.

“Ning ... kemarilah, kenapa kamu masih saja berdiri di situ? Masih marah pada saya?” tanya Gus Yusuf.

“Aku? Marah? Nggak mungkin, Gus.”

“Lalu? Apa yang membuatmu seperti ini sekarang, jika tidak ada kemarahan, lantas apalagi? Katakan, jika memang kamu sedang marah,” tanyanya, sangat menuntut kali ini.

Menuntut seperti ingin segera dijawab olehku, hanya saja rasanya masih malas untuk kembali berbicara dengan seseorang yang sudah membuatku semakin meningkatkan tingkat soouzon yang tak seharusnya ku lakukan kepadanya ataupun pada orang lain.

Selama ini, umi dan abah tak pernah mengajarkan aku untuk melakukan ataupun bersikap yang tidak baik pada semua orang, seburuk apapun orang tersebut. Akan tetapi, kali ini dia yang sudah bergelar suami, sudah berhasil meruntuhkan tingkat kebaikan menjadi tingkat tinggi kemarahan dalam dada.

Ku beranikan diri untuk lebih dekat lagi dengannya saat berbicara, jika punya nyali kecil bagaimana nanti untuk mengungkap misteri yang ada? Ku tak harus lemah di hadapannya, hanya karena dia suamiku.

“Jika aku boleh membuka pembicaraan, apakah boleh juga aku bertanya sesuatu yang cukup serius, Gus?” tanyaku, pada akhirnya aku berani juga.

“Tentu, apa yang ingin kamu tanyakan pada saya, hmm? Tanyakan jika itu bisa membuatmu jauh lebih tenang, Ning.”

“Apa alasan kamu berkata seperti itu kepadaku tadi? Mengatakan bisa melakukan walaupun tanpa rasa, apa itu menandakan sebelumnya Gus pernah ... hmm melakukannya, maaf jika pertanyaan ini membuatmu tersinggung, Gus.”

Aku hanya bisa menatapnya, ku lihat raut wajahnya biasa saja setelah mendengar pertanyaan dariku tadi, apakah dia memang sesantai itu dalam menghadapi semua masalah? Ya, ini sudah jelas-jelas masalah bagi pernikahan kami, dia yang lebih dulu memberikan teka-teki misteri yang sudah seharusnya ku pecahkan agar selesai dengan baik.

“Gus?”

“Memang, jika seandainya saya pernah melakukan, apa yang akan kamu lakukan kepada saya, hmm? Apa mungkin itu berpisah? Menggugat saya? Atau mungkin ... yang lebih parah dari itu semua?” Pertanyaan macam apa itu? Dia seolah-olah tak ingin dikalahkan, justru sekarang dia melemparkan pertanyaan yang sangat sulit untuk ku jawab.

Rupanya dia sudah sangat pandai bermain-main dengan kata saat berbicara dengan lawan bicaranya, ku tak ingin dikalahkan juga jika sudah begini, tetap menatap kedua matanya, dia pun terlihat seperti meremehkan wajahku yang tengah nerves saat menghadapi dirinya.

Andai saja cadar ku belum dia buka, mungkin ku bisa menutupi rasa tidak percaya diri ini di balik cadar ku, sungguh ini posisi yang sangat menyulitkan.

“Ning, jawab lah. Katanya, kamu ingin tahu, tapi kenapa pertanyaan saya tidak dijawab, aja seneng mbuwang wektu, Ning.”

Memangnya siapa yang suka membuang waktu? Tidak ada seperti itu, hanya saja memang benar-benar sangat sulit menjawab pertanyaan yang sudah dia tanyakan tadi.

“Jika kamu saja tidak bisa menjawab, maka saya juga tak mungkin menjawab pertanyaan yang sebelumnya kamu tanyakan,” cecarnya, lalu ku lihat dia menarik selimut dan menyelimuti tubuhnya.

“Sudah, lebih baik kita tidur sekarang, ada hari esok untuk kembali membicarakan nya, ayo ... tidur, tenang saja, saya tidak mungkin melakukan apapun jika kamu tak memberi izin,” ungkapnya.

Baiklah, mungkin memang sesi pertanyaan itu diakhiri saja dulu sampai benar-benar aku siap untuk menjawabnya, dan siap menerima kenyataan apapun yang terjadi sebelumnya.

Seperti kemarin malam, kami hanya merebahkan tubuh masing-masing di tempat tidur yang sama tanpa melakukan apapun selain tidur, tetapi entah apa saja yang dia lakukan selama aku tertidur pulas semalaman tanpa memperhatikan nya lagi.

Katakan saja aku ini hanya ingin tahu masa lalunya, tanpa harus menghakimi masa itu jika memang nanti kenyatannya sangat menyakitkan.

***

Dua hari setelah kejadian malam yang sangat membingungkan hanya karena sebuah pertanyaan, hari ini kami semua sedang berkumpul di ruang keluarga, katanya memang ada yang ingin didiskusikan untuk ke depannya akan seperti apa.

“Anisa, tolong dengarkan Abah baik-baik, ya, Ning. Abah sudah tua, maka dari itu Abah menikahkan kamu dengan Gus Yusuf, untuk apa? Untuk bisa menggantikan posisinya Abah, menjaga kamu sekaligus membimbing kamu,” ucap Abah.

Apa maksudnya? Kenapa Abah berbicara seperti itu? Aku hanya bisa mendengarkan tanpa ada keberanian untuk menyela pembicaraan kali ini, umi saja senyum-senyum seperti tak ada masalah, aneh sekali.

“Jadi, alangkah baiknya kamu ikut dengan suamimu. Untuk tinggal bersamanya, di manapun yang diinginkan oleh suamimu.”

Itulah kata-kata yang sangat menancap di hatiku, entah kenapa rasanya seperti diusir secara tidak langsung oleh kedua orang tuaku. Tak banyak percakapan setelah keputusan yang Abah putuskan tadi, mau tak mau, terima ataupun tidak, aku tetap harus ikut dengan suamiku, ke manapun dia melangkah.

Selama itu langkah yang baik, akan ku ikuti dia, meskipun masih ada keraguan serta rasa takut yang ku rasakan sejak dua hari yang lalu.

“Sudah selesai, kah, kamu berkemas-kemas? Saya tunggu di mobil, ya, biar koper yang besar saya yang bawa,” ucap Gus Yusuf.

Tanpa ku jawab pun dia sudah melakukan nya, melenggang ke luar sembari membawa koper besar milikku. Dia memang selalu mencurigakan, tetapi kedewasaannya saat menghadapi masalah, itulah yang menjadi poin dari penilaian ku akhir-akhir ini.

Kedewasaan yang tidak memaksa, tidak bersikeras, itulah yang ku suka darinya. Usianya saja jauh lebih tua dariku, tidak aneh lagi jika dirinya jauh lebih dewasa saat menghadapi permasalahan.

Kembali percaya padanya itu sebuah tantangan bagiku, belum lama menikah pun dia sendiri yang sudah meluluh lantakan diriku. Membuat benteng yang sangat besar diantara kami, dengan ketidakmampuan untuk saling jujur.

Setelah selesai berkemas, niatku ingin berpamitan dengan umi sekali lagi, tetapi kedua telinga ini tak sengaja mendengar percakapan seseorang dengan siapa itu? Tidak jelas, seperti sedang menelepon.

“Jangan khawatir, secepatnya akan ku selesaikan semua ini, kamu jangan panik begitu, tunggu aku, dan tetaplah bersabar.”

Rasa penasaran membuatku kembali nekat untuk terus mendengarkan, dan saat ku lihat siapa orang itu, ternyata suamiku, dia? Menelepon siapa? Katanya, langsung menunggu di mobil tetapi kenapa masih ada di dapur? Hobi sekali dia membuat misteri di dapur rumah ini.

“Gus?” panggilku.

Ku lihat dia langsung memasukkan ponsel nya ke dalam saku celana, dia tetap rileks tanpa terlihat gemetar sama sekali saat ku pergoki dirinya.

Sesantai itukah dia? Benar-benar sangat tidak ketakutan sama sekali, mungkin gerogi saja tidak pernah dia rasakan, selalu santai setiap harinya.

“Sedang apa kamu di sini, Gus? Katanya, akan menunggu di mobil, kok masih di dapur?” tanyaku, kali ini aku berpura-pura seperti tak terjadi apa-apa.

Dia saja bisa setenang itu, aku pun harus bisa bermain cantik agar tak ada kekalahan dalam menghadapi dirinya.

“Gus? Kenapa diam terus? Ada yang diinginkan, kah? Apa masih lapar?” tanyaku lagi.

Tetapi, dia tetap diam. Apa diam caranya untuk menyembunyikan rasa bersalah nya? Entahlah, terlalu banyak misteri dalam hidupnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status