Share

Bab 6 : Tatapan Yang Berbeda

“Loh, kalian berdua ternyata ada di sini, Umi bingung tadi mencari kalian berdua, kirain sudah berangkat.”

Kami terkejut karena kedatangan umi yang secara tiba-tiba seperti itu, aku tidak tahu lagi harus bagaimana setelah ini, bertanya pun rasanya sudah percuma.

Agar tak terlihat seperti orang yang sedang bermasalah, ku alihkan pembicaraan sebelum semuanya benar-benar kacau, bisa saja nanti umi menginterogasi lebih jauh lagi daripada sekarang, lebih baik sedia payung sebelum hujan, berjaga-jaga sebelum hal-hal yang tak diinginkan terjadi.

“Umi ... ini katanya Gus eh suamiku maksudnya, ada yang ingin dibicarakan dulu sebelum berangkat,” sahutku sedikit gelagapan.

“Apa itu? Sebaiknya bicarakan nanti saja saat di perjalanan, Umi bukan apa-apa, coba lihatlah ... di luar sudah mulai mendung, walaupun masih pagi, kan, sebaiknya jangan menunggu hujan deras, kurang aman di jalan nya.”

Benar memang apa yang umi katakan, keselamatan di perjalanan jauh lebih penting sekarang, jangan sampai aku lah penyebab kesalahan nanti, syukur-syukur tak terjadi apa-apa sampai ke tempat tujuan, apapun dan bagaimanapun kondisinya.

“Benar apa kata Umi, sebaiknya kita langsung berangkat, nanti saja lanjutkan pembicaraan kita di perjalanan, benar begitu, Umi?” Suamiku itu pandai sekali mencari muka pada kedua orang tuaku.

Apakah dia juga pandai bermuka dua seperti itu kepada semua yang ada di sekitarnya? Apakah itu semua mungkin? Kenyataan memang tak seindah ekspetasi manusia.

Apapun profesi serta gelar nya, bagaimanapun juga setiap manusia pasti ada kesalahan dan kekurangan nya, tak mungkin semuanya baik-baik saja tanpa cela, gelar tak menjamin seseorang itu adalah orang yang baik.

Aku tak bisa menghakimi seseorang itu seperti apa dan bagaimana, diri kita saja bahkan belum tahu sebenarnya orang tersebut orang yang bagaimana.

Setelah beberapa menit berpamitan lagi dengan semuanya, tak lama dari itu mobil yang kami tumpangi sudah melaju dengan cukup cepat, sebelum diterjang oleh hujan deras, suamiku hanya fokus mengemudi berbeda denganku yang sibuk memikirkan hal-hal aneh untuk ke depannya nanti.

Belum pernah satu kali pun terlibat dalam permasalahan asmara, hanya kali ini dan untuk pertama kalinya merasakan serta mengalami semua rasa resah ini. Ternyata rumah tangga memang tak melulu soal kebahagiaan, pasti ada pasang surut nya.

“Bagaimana? Mau dilanjutkan perbincangan kita yang tadi di dapur, Ning?” tanya Gus Yusuf memecahkan keheningan.

Ku lirik dia, mana mungkin aku berbicara tanpa menatap kedua matanya, ku ingin lihat langsung bagaimana reaksi wajahnya ketika nanti berbicara banyak denganku.

Katanya, kontak mata saat berbicara itu sangat penting, kita bisa tahu kapan mereka berbohong dan kapan mereka berkata dengan jujur, melalui kedua matanya, yang memang tak mungkin bisa berbohong seperti mulutnya.

“Jika memang tak menganggu saat mengemudi, baiklah ... Gus.”

“Biar saya yang berbicara terlebih dahulu, oke? Pertama-tama saya tidak bermaksud untuk berbohong pada kedua orang tuamu, Ning. Saya paham, saat itu kamu mencoba untuk mengalihkan pembicaraan, bukan? Maka dari itu, saya mengikuti kamu. Agar tak ada kecurigaan apapun kepada kita berdua, mencoba lah untuk tak bertanya yang aneh-aneh saat ada orang tua kita, dari pihak manapun.”

“Maaf, Gus. Aku tak ada maksud untuk menyela saat suami masih berbicara, tapi kenapa memangnya? Jika aku banyak bertanya saat ada orang tua kita, ada perbedaan jika saat tak ada mereka? Jelaskan, Gus.”

“Karena yang mereka semua tahu, kita bisa menerima pernikahan ini,” jawabnya.

“Loh? Bukankah itu semua benar? Tak salah, kan, Gus?” Ku tanya lagi, mengapa sekarang semakin aneh.

Dari mulai nada suaranya saat berbicara, sampai kedua matanya yang sedikit sinis, ku bisa dengan jelas membedakan dengan dirinya yang sebelumnya.

Siapa sebenarnya suamiku ini? Pria seperti apa dia? Aku sebagai istrinya yang baru beberapa hari ini, terkadang sulit untuk memahami semua tentang dirinya.

Beberapa saat hening, entah mengapa ucapannya tadi sudah cukup menjawab semua rasa penasaran ku terhadapnya, dia sangat pandai bermain kata, mencari muka, dan hal aneh lainnya, Allahu alam, hanya Allah yang tahu segalanya.

“Perjalanan kita akan cukup lama, lima jam jika tak ada kemacetan atau halangan lainnya, saya tanya ... apakah kamu sudah siap menjadi istri yang sesungguhnya dimulai dari hari ini?” Gus Yusuf kembali bersuara ditengah keheningan yang dia ciptakan sendiri.

“Istri yang sesungguhnya memang inginku, tapi dalam artian setelahnya ... kita tak boleh ada yang dirahasiakan lagi,” sahutku, saat ini ku hanya meliriknya sekilas saja.

Lalu kembali menatap jalanan yang sangat indah luar biasa saat pagi hari, Surabaya memang tak bisa ku pungkiri segala keindahan nya, dari diriku masih kecil hingga sekarang, tak pernah berhenti mencintai kota kelahiran, walaupun hari ini ku benar-benar akan meninggalkan kota tercinta untuk mengabdi sepenuhnya pada suamiku, di tempat yang sudah dia tentukan.

“Kita lihat saja nanti, setelah kamu tahu apa artian menjadi istri yang sesungguhnya, masih diinginkan atau bahkan sebaliknya.”

“Ma ... maksudnya, Gus?”

Ku tatap dia lagi, selalu saja membuatku dag-dig-dug di setiap kata yang keluar dari mulutnya saat berbicara, memangnya apa artian dari istri yang sesungguhnya versi nya? Bukankah itu berarti menyerahkan hidup dan mati kepada suami? Memangnya apalagi? Semoga Engkau tetap melindungi ku ya Rabb.

***

Belum sampai ke tempat tujuan, mobil yang kami tumpangi sudah tidak bisa melanjutkan lagi perjalanan dalam artian berhenti tiba-tiba di pinggir jalan. Ku tak mengerti sebenarnya ada apa? Mengapa? Apa karena ada masalah dengan mesin dan semacamnya.

“Oh, astaghfirullah. Bisa-bisanya,” lirihnya, ku dengar dia mengatakan itu.

“Ada apa, Gus? Kenapa berhenti? Ada masalah, kah?”

“Ya, Ning. Kamu benar, ada sedikit masalah yang terjadi, sepertinya ... memang tak diperbolehkan untuk membuatmu tersakiti,” jawabnya, apa katanya? Kenapa aku? Lagi dan lagi ku geleng-geleng dengan semua teka-teki ini.

“Memangnya apa? Kenapa ada sangkut pautnya denganku, Gus?”

Dia tak menjawab, yang ku lihat dia turun dari mobil tanpa mengatakan apapun, tadinya aku ingin ikut turun juga untuk memastikan apa sebenarnya yang terjadi, tetapi dari luar sepertinya dia sudah mengunci pintu mobil nya, otomatis mana bisa aku ke luar jika sudah begitu.

Tak ada salahnya jika dia melakukan itu, mungkin saja untuk keselamatan ku, agar tak nekat ke luar dari mobil karena jalanan sini memang cukup rawan sekali kejadian yang sangat tak diinginkan setiap orang, entah itu pencurian barang, pelecehan, dan bahkan sebagainya sering terjadi, meskipun itu siang hari.

“Tapi, apa sebenarnya yang dia maksud? Apa sangkut pautnya mobil berhenti dan hatiku yang sakit? Lagi pula, hatiku tak sakit sama sekali, aneh sekali.”

Tatapan saat dia mengatakan hal aneh tersebut, tatapannya sangat berbeda saat menatapku, seperti ada sesuatu yang memang dia sembunyikan tanpa sepengetahuan ku selama ini, apapun itu akan ku ketahui sebentar lagi, aku yakin itu.

Kebohongan seperti apapun, pasti akan terungkap pada waktunya, tinggal usaha dan doa nya yang tak boleh berhenti, ku pasrahkan semuanya pada Allah SWT, karena itu sebaik-baiknya cara untuk menghindari sikap menghakimi dan juga menjauhkan ku dari prasangka yang buruk terhadap suamiku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status