Share

Bab 7 : Dua Persamaan

“Ning, ayo ... ke luar dulu, biar saya ajak kamu ke restoran dulu untuk makan siang,” ucapnya, aku yang masih bingung hanya mengangguk dan turun dari mobil sesuai dengan perintah nya.

Mobil ditinggalkan begitu saja di pinggir jalan tadi, sedangkan kami memilih untuk makan siang terlebih dahulu agar tak terlalu merisaukan mobil lagi.

“Kita mau makan di mana? Kamu saja yang pilih dan tentukan harus makan di mana,” titahnya.

Aku sebenarnya ada keinginan tetapi itu semua ku urungkan terlebih dahulu, karena sangat ingin menghormati serta menghargai suamiku sebagai imam dalam rumah tangga kami, sudah sepantasnya dia ku berikan kenyamanan saat bersama.

“Ning, ayo ... katakan ingin makan di mana? Katakan, saya benar-benar ingin kamu yang menentukan, ini perintah suami!”

“BONCAFE PREGOLAN,” jawabku dengan tegas.

“Baik, kita makan dan beristirahat terlebih dahulu sembari menunggu tukang memperbaiki mobil nya,” cecar Gus Yusuf, dia terlihat seperti sedang memikirkan hal lain, yang berbeda dari topik pembicaraan kami saat ini.

Sebelumnya, aku memang lulusan terbaik bimbingan konseling di universitas Uinsa, yang bisa dibilang itu sangat mengejutkan sebagai anak abah, karena banyak sekali orang mengatakan kenapa aku lebih memilih psikologi dibandingkan kerohanian lainnya, ku tak bisa menjelaskan panjang lebar akan hal ini, karena keturunan tak sama dengan keahlian masing-masing seseorang, hanya itu saja yang selalu ku jawab, sedikit tak aneh jika aku bisa dengan mudah membaca gelagat ataupun pikiran seseorang yang ada di sekitar ku.

Saat masuk di pintu utama restoran yang ku pilih, tiba-tiba saja ku dikejutkan dengan tanganku digenggam erat oleh tangannya, kami berjalan bersama layaknya suami istri yang benar-benar saling mencintai, padahal kenyataannya sangatlah berbeda.

Mungkin dia ingin menunjukkan rasa keamanan saja untukku sebagai istrinya, mungkin hanya begitu saja tak ingin banyak menerka-nerka apapun itu yang belum pasti kebenarannya, yang ujungnya pasti soouzon lagi.

“Rupanya kamu suka sekali makan steak, ya? Saya akan pesan meja di sebelah sana,” tanyanya sembari menunjuk ke arah yang diinginkan.

Ku mengangguk paham, karena itulah meja yang cukup jauh dari keramaian orang-orang, dan bisa membuatku makan serta minum dengan tenang nantinya.

Sembari menunggu pesanan datang, ku perhatikan gerak-gerik Gus Yusuf, cukup tenang seperti tidak ada masalah apapun, bersikap seperti biasanya, seperti bersusah payah menyembunyikan sesuatu dengan cara bersikap tenang, perubahan dari kedua matanya cukup bisa terbaca.

“Ada apa, Ning? Saya lihat kamu seperti terus memperhatikan saya?”

“Emm, tak ada. Bukan seperti itu, Gus.”

“Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan saat sudah makan dan beristirahat saja, jangan khawatir, hujan tidak jadi turun sekarang, masih banyak waktu juga,” cecarnya lagi.

“Tapi, Gus ... kenapa mobil nya? Ada masalah, kah? Memangnya tak apa-apa jika kita tinggalkan di pinggir jalan seperti tadi, Gus? Aku hanya cemas.”

“Tak apa-apa, lagi pula saya sudah menyerahkan mobil itu pada tukang yang saya kenali di Surabaya, insya Allah aman tak akan ada masalah, nanti mungkin mereka menderek mobil nya.”

Tutur katanya, mimik wajahnya, sangat tenang seperti tidak ada masalah sama sekali di dalam hidupnya. Apa mungkin hanya dugaan ku saja? Mungkin memang tak ada apa-apa dalam diri suamiku, terlalu banyak teka-teki sampai bisa menimbulkan fitnah yang tidak-tidak, aku tak harus melanjutkan kecurigaan ini jika memang tak ada bukti kuat.

“Ning?”

“Kamu sudah siap?”

“Siap? Apa maksudnya, Gus? Jangan terus bersikap misterius, aku tak bisa selalu menebak nya, Gus.”

“Ya, siap untuk jadi ....”

“Permisi, makanan sudah jadi dan siap dihidangkan, maaf saya menganggu.”

Baru saja aku akan segera tahu apa sebenarnya yang dimaksud oleh Gus Yusuf, akan tetapi pesanan kami sudah datang, dan pembicaraan pun terpotong kembali, entah nanti akan dilanjutkan atau tidak.

Setelah makanan sudah dihidangkan di meja, lalu kami hanya berdua lagi, ku tatap kedua matanya, itu adalah sinyal yang menandakan aku ingin melanjutkan percakapan yang tadi.

“Ayo, mari makan, saya tahu kamu tidak sarapan dengan baik di rumah, sekarang sudah saatnya perbaiki asupan gizi untuk kesehatan mu,” ucap Gus Yusuf, dia telah membuatku membeku lagi di tempat.

Bagaimana bisa makan? Sedangkan masih ada suatu hal yang belum diselesaikan dengan baik, berbicara banyak saat makan pun tak baik, jadi serba salah jika sudah seperti ini.

“Benar dan tepat sekali pilihan mu, Ning. Makan di sini sangatlah tepat, rasa makanan nya masya Allah enak sekali, belum pernah saya makan steak senikmat ini, terkadang ada yang kurang pas dirasa, ada juga pernah saya makan steak yang dalam nya itu kurang matang, untung saja di sini tidak mengecewakan.”

“Hmm, benar, Gus. Untung tak mengecewakan, ya.”

Makanan memang tak mengecewakan, tetapi tanpa berpikir lagi dia sebenarnya yang sudah membuatku kecewa, ucapannya yang terhenti selalu dianggap nya hal sepele, tidak mengerti bahwa aku? Sangatlah penasaran serta kepikiran.

***

“Kenapa? Angkat aja dulu, Gus. Siapa tahu memang penting, telepon nya tak berhenti berdering terus dari tadi.”

Tak tahu persis siapa sebenarnya yang terus saja menghubungi Gus Yusuf, tetapi itu sangatlah membuatku risih, terlebih lagi Gus Yusuf tak ingin menjawab nya walaupun sekali, suara dering nya semakin terdengar setelah ku lihat dia mengeluarkan ponsel nya di saku celana.

“Sudah, suaranya tak akan menganggu kita lagi,” katanya, lalu ku lihat Gus Yusuf kembali memasukkan ponsel itu seperti semula.

“Kenapa, Gus? Apa kamu mematikan telepon nya?” tanyaku yang ingin tahu.

“Ya, biarkan saja. Saya tidak suka jika telepon berdering saat makan seperti ini, sudah jangan dipikirkan, lanjutkan makan nya.”

“Bukan dari seseorang yang penting, kah?” tanyaku lagi.

Dia hanya menggeleng kali ini, tanpa menjawab lagi, setelah itu pun ku biarkan saja hal seperti tadi berlalu. Ada dua hal persamaan ku dengannya, yang pertama benar-benar tak suka jika makan ku terganggu oleh ponsel, dan yang kedua sering sekali makan steak ditaburi garam sedikit diatas nya.

Apakah itu benar-benar terjadi dengan sendirinya? Kebetulan? Ku tak percaya apa itu kebetulan dalam hidup ini, pertanyaan seperti itu pun ku simpan terlebih dahulu sampai makan siang kali ini selesai.

Banyak sekali hal ganjil yang terjadi dari awal pernikahan hingga sampai saat ini, akan tetapi semua itu selalu saja ada alasannya, tidak terjadi dengan tiba-tiba, aku pun yakin ada alasan kuat mengapa suamiku masih berhubungan dengan wanita itu, yang tak lain adalah Marwah.

Sekali ku pernah bertanya pada umi, siapa Marwah itu. Katanya, dia seorang anak yatim piatu, sejak usianya tujuh tahun sudah ikut dengan keluarganya Gus Yusuf, yang tak lain adalah sudah dianggap seperti keluarga sendiri.

Apa mungkin mereka saling jatuh cinta saat usia keduanya sudah dewasa? Itu yang sangat ingin ku tanyakan pada suamiku, tak ingin tahu dari orang lain, selain dari mulut suamiku sendiri.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
suryanti bunda ifa
menarik ceritanya... jadi penasaran...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status