Di perjalanan pulang, ponsel Raffael terus saja berdering.
"Angkatlah, berisik. Al sepertinya mau tidur lagi," kata Revalina.
"Tidak usah."
Revalina yang merasa penasaran akhirnya melirik ponsel sang suami yang memang ia simpan di dashboard. 'My Honey-Maria', satu nama yang jelas terbaca oleh Revalina.
"Tidak usah anggap aku ada. Bicaralah!" titah Revalina dengan nada gemetar sambil menekan tombol pada stir.
"Jangan, Sa-" Ucapan Raffael terhenti karena Maria mulai angkat bicara.
"Honey, kenapa lama sekali angkatnya. Kamu sedang apa?" tanya Maria dengan nada manja.
"Dari kampus."
Maria terbatuk.
"Kau sakit?" tanya Raffael dengan nada cemas.
Terdengar Maria mulai terisak, menangis.
"Kau kenapa? Bicaralah?" tanya Raffael lagi.
"Kenapa kamu tega, Honey. Kau ingin putus denganku? Apa kau tau sedang apa aku sekarang?"
"Katakanlah, kau kenap
Sudah dua malam Revalina menginap di kediaman Carlos.Kegiatan pagi hari Revalina lakukan sama seperti di kediaman Xie. Hanya saja aktivitasnya berkurang satu yaitu menyiapkan keperluan suaminya. Tidak seperti biasanya pula, Aldevaro tidur nyenyak sekali. Sudah pukul tujuh pagi, tetapi bayi itu belum bangun. Seolah-olah Aldevaro tahu jika mama sambungnya sedang tidak baik-baik saja dan butuh waktu untuk sendiri.Revalina memilih taman belakang untuk menghirup udara segar."Mawar, andai aku punya duri sepertimu ... mungkin, jika ada orang yang menyakitiku, aku akan tancapkan duriku. Paling tidak, orang akan berpikir dua kali untuk menyakitiku," ucap Revalina sambil menghirup wangi bunga mawar."Awww!" pekik Revalina saat jarinya tertusuk duri."Eeeh!" Revalina kaget kala jarinya ada yang meraih bahkan menyesapnya."Kau! Mau apa ke mari?" tanya Revalina sambil menarik jarinya kemudian memalingkan muka."Men
Raffael mengajak Revalina untuk bicara dengan pengawalnya yang sedari lama mengawasi Maria. Namun, Revalina menolak."Tolong jawab dengan jujur. Apa kau masih sayang dan masih peduli kepada Maria?" tanya Revalina tanpa menoleh."Tidak! Jelas tidak, Sayang.""Aku tanya sekali lagi. Apa kau masih sayang dan masih peduli kepada Maria?""Kenapa kau bertanya seperti itu?"Revalina menoleh dan memandang wajah suaminya lekat. "Sangat jelas kau khawatir terhadapnya saat ia mengatakan sakit jantung. Entah sadar apa tidak, kau bahkan menyebutnya dengan panggilan sayang."Raffael menarik napasnya dalam kemudian menggenggam tangan Revalina. "Maaf, jujur ... rasa peduli memang ada. Dia adalah wanita yang mampu membuatku bangkit dari Casandra. Panggilan sayang memang spontan ke luar dari mulutku, tetapi bukan berarti aku cinta kepadanya."Revalina terpejam seraya menarik napasnya dalam. Ia menghargai pengakuan suaminya. Namun, yang ia m
Hari terus berganti, hingga tak terasa usia pernikahan Revalina dan Raffael sudah menginjak bulan ketiga. Foto yang berhubungan dengan Maria pun tentu saja sudah dihapus, bahkan di hadapan Revalina. Pun dengan nomor sang mantan sudah Raffael blokir. Tak cukup sampai di situ. Setiap hari Revalina bersikap manis dan terus bertingkah agresif agar Raffael tidak jauh darinya, dan yang paling utama adalah agar Raffael bisa seratus persen melupakan Maria.Revalina menjalani hari-harinya dengan tenang. Casandra dikabarkan sudah menikah lagi dan sedang hamil besar. Sekarang, ia sedang gelisah. Bagaimana tidak? Kedua orang tuanya meminta seorang cucu. Memang, dirinya sadar, sebagai seorang istri seharusnya tidak egois. Sejak awal menerima pernikahan seharusnya ia tahu akan seperti apa rumah tangga dan hubungan sebagai suami istri itu.Pukul tujuh pagi, Raffael sudah berangkat ke kantor. Sebagai seorang istri, Revalina tengah disibukkan dengan merapikan meja makan dan
Sinar mentari menelusup melalui jendela kaca yang tidak tertutup rapat oleh gorden membuat Revalina tersadar dari mimpi.Revalina menggeliat."Pagi, Sayang?" sapa Raffael sambil mencium pipi istrinya.Mata Revalina perlahan terbuka."Hmm ... pagi. Astaga, jam berapa ini?""Baru jam tujuh," jawab Raffael."Ya, ampun! Kenapa kau tidak bangunkan aku?" tutur Revalina sambil turun dari kasur. "Aww!" sambungnya memekik. Ia merasakan sakit di area intimnya.Pun Revalina baru menyadari jika dirinya masih polos. "Ya, Tuhan!" Revalina berbalik menatap Raffael. "Jangan lihat!" Wanita itu menarik selimut untuk menutupi dirinya."Astaga! Kenapa kau juga tidak mengenakan baju?""Ish! Kenapa? Toh semalam kita sudah sama-sama melihat," goda Raffael.Revalina mendelik. Matanya membulat sempurna saat melihat bercak darah di sprei berwarna putih. Raffael mengikuti ke mana arah istrinya melihat. Tersenyu
Revalina dan Raffael berpamitan kepada Hanna sekaligus mengajak Aldevaro. Namun, mulai hari itu Hanna melarang mereka untuk membawa sang cucu ikut bekerja dengan alasan Aldevaro masih kecil untuk dibawa perjalanan jauh. Apalagi bayi itu harus menempuh dua perjalanan dalam sehari yaitu ke kantor Raffael dan Carlos. Revalina hanya pasrah dengan keputusan Hanna.Di perjalanan menuju Xie Company Revalina tampak murung."Kenapa, Sayang?" tanya Raffael."Tidak," jawab Revalina singkat.Tangan kiri Raffael menggenggam tangan Revalina, sedangkan tangan kanan, ia fokuskan untuk memegang kendali stir. "Bicaralah, ada apa? Apa masih sakit?""Aah ... tidak, sudah tidak sakit.""Lalu?"Revalina mengatakan bahwa suaminya fokus menyetir saja. Nanti di kantor ia akan bicara.***Mobil sudah terparkir di depan lobi Xie Company.Raffael dan Revalina turun bersamaan. Pemilik perusahaan itu memberikan ku
Mobil Raffael memasuki gerbang kediamannya. Raffael menyipit karena ia melihat sebuah mobil hitam teronggok di halaman."Casandra?" gumam Raffael."Maksudnya apa?" tanya Revalina. Ia mengikuti arah Raffael menatap.Mata Revalina membulat sempurna saat melihat Casandra menggendong Aldevaro di teras dan bayi itu menangis hingga mukanya memerah.Belum juga mobil berhenti, Revalina nekat turun."Astaga, Sayang!" teriak Raffael sambil mengerem.Revalina berlari menghampiri Casandra. Tangannya dengan cepat meraih Aldevaro. "Jangan ambil anakku!" seru Revalina sambil memeluk Aldevaro erat.Casandra hanya terbengong atas tindakan dan ucapan Revalina.Raffael bergegas turun dan berlari menghampiri istrinya kemudian berkata, "Mau apa kau ke sini? Jangan harap kau bisa mendapatkan anakku!"Casandra mendengkus. "Jangan salah paham dulu. Aku ke sini hanya ingin memberinya kado ulang tahun.
Udara malam yang dingin mampu menusuk tulang siapa saja. Namun, lain halnya dengan Revalina. Ia tetap berdiri di balkon kamar seraya menatap rembulan."Hei, kenapa di sini, hm?" tanya Raffael sambil memeluk Revalina dari belakang dengan dagu ia sandarkan pada pundak sang istri.Revalina menoleh kemudian mencium pipi suaminya. "Sudah selesai laporannya?""Sudah," jawab Raffael sambil mengencangkan pelukannya. "Kau tidak merasa dingin?" sambungnya.Revalina menggeleng."Masuk, yuk," ajak Raffael."Kau saja, Pak Suami."Raffael memutar tubuh Revalina. Kini mereka berhadapan. Telapak tangan kekar itu membingkai wajah sang istri kemudian bertanya, "Kenapa jadi Pak Suami lagi, hm? Aku lebih suka kau memanggilku dengan sebutan SA-YANG!" tegas Raffael.Revalina tersenyum. "Sayang, Sayang, Sayang, Sayang, Sayang," ucapnya sampai beberapa kali."Ish! Tidak seperti itu juga, Yang," bantah Raffael
Jarum jam menunjuk pada angka sembilan. Mobil Raffael sudah teronggok di area parkir Xie Mega Mall.Kedatangan mereka tentu saja mencuri perhatian pengunjung bahkan penjaga toko di sana. Mereka yang mengetahui jika yang datang itu adalah pemilik Mall, maka tak segan mereka akan sengaja menghampiri semata untuk menyapa dan bertanya kabar.Marga Xie itu akhirnya tiba di kantor. Semua karyawan di sana tentu saja dikagetkan dengan kedatangan Raffael. Bagaimana tidak? Karena bukan jadwalnya Raffael berkunjung. Mereka beranggapan jika itu adalah benar-benar sebuah sidak.Raffael menghubungi asistennya. Ia memerintahkan untuk membawa semua baju anak keluaran terbaru dan pembukuan bulan lalu."Sayang, nanti ada kejutan untukmu," kata Raffael.Revalina sumringah. "Waah, apa itu?""Ada, deh. Tunggu aja, ya."***Di sebuah counter barang-barang branded, seorang wanita bertubuh jangkung sedang memilih dan memilah be