Revalina mencoba menahan emosinya. Setelah mengganti pakaian Aldevaro, ia mengajak Jumi untuk ikut dengannya.
"Bi, tolong siapin keperluan Al," pinta Revalina. "Kita jalan sebentar ke Mall, yuk?"
"Iya, Non. Eh, tapi, Non, Bibi harus siapin bahan-bahan untuk nanti makan malam. Bagaimana?"
"Cuman sebentar, kok, Bi."
Ya, Revalina berfikir mungkin saja jika tidak melihat Raffael bisa mengurangi rasa kesalnya.
Jumi memasukan perlengkapan Aldevaro ke dalam tas kecil sedangkan Revalina menyiapkan mobil di garasi.
"Nona mau ke mana?" tanya James.
"Mau ke luar sebentar."
"Biar saya antar," tawar James, tetapi Revalina menolak.
Di kamar, Raffael duduk termenung memikirkan apa yang sudah istrinya katakan. Ia akui, dirinya tidak tegas menghadapi Maria.
Tin Tin!
Suara klakson memecah lamunan Raffael. Ia segera berjalan ke arah jendela dan melihat mobil siapa. Matanya memic
Jarum jam sudah menunjuk pada angka sepuluh. Namun, Raffael enggan terpejam. Rasa bersalah kepada Revalina kian bertambah, terlebih lagi wanitanya memilih tidur secara terpisah.Tangannya meraih gawai di atas nakas. Ia menghubungi orang kepercayaannya."Cetak semua foto Maria yang kau dapat dan kirim atas namaku ke alamatnya!" titahnya pada sambungan telepon."Siap, Tuan!""Jika fotonya sudah dia terima. Segera hubungi aku!""Baik."Raffael memutus sambungan sepihak.Pria itu beranjak dan membuka pintu balkon. Tidak disangka, saat menoleh ke arah samping, di sana Revalina pun sedang berdiri sambil menatap langit. Raffael mengendap melangkah pagar pembatas dan ...Grep!"Eeeh ...." Revalina terperanjat kaget. Ia mencoba melerai pelukan, tetapi pelukan Raffael makin erat. "Lepas!""Aku mohon, biarkan seperti ini, Sayang."Revalina bergeming. Pun dengan Raffael. Ia menikmati suasana seperti i
Pria jangkung berkulit putih pemilik Xie Company itu sudah melaksanakan meetingnya. Ia bergegas kembali ke ruangan. Namun, langkahnya terhenti kala Amanda merangkul lengannya dengan mesra."Sayang, kau sengaja, ya, bikin aku cemburu?" katanya dengan nada manja.Raffael melepas paksa rangkulan sang sekretaris. "Lepas! Tolong jaga sikapmu Amanda!""Kenapa? Apa karena wanita itu?""Wanita itu istriku! Camkan, itu!" tegas Raffael kemudian pergi.Brugh!"Aaaww!" Amanda memekik membuat Raffael menoleh dan kembali menghampiri, pun beberapa karyawan lainnya."Kamu kenapa?" tanya Raffael."Iih, gak liat emangnya? Aku, kan, jatoh," sahut Amanda. "Sakit, Sayang. Bantu aku bangun, dong," lanjutnya manja.Tanpa mereka sadari, Revalina melihat aksi Amanda sedari tadi. Semula, Revalina yang hendak ke luar untuk sekadar melihat suasana kantor, kini menghampiri suaminya. Sejujurnya wanita itu mer
Di perjalanan pulang, ponsel Raffael terus saja berdering."Angkatlah, berisik. Al sepertinya mau tidur lagi," kata Revalina."Tidak usah."Revalina yang merasa penasaran akhirnya melirik ponsel sang suami yang memang ia simpan di dashboard. 'My Honey-Maria', satu nama yang jelas terbaca oleh Revalina."Tidak usah anggap aku ada. Bicaralah!" titah Revalina dengan nada gemetar sambil menekan tombol pada stir."Jangan, Sa-" Ucapan Raffael terhenti karena Maria mulai angkat bicara."Honey, kenapa lama sekali angkatnya. Kamu sedang apa?" tanya Maria dengan nada manja."Dari kampus."Maria terbatuk."Kau sakit?" tanya Raffael dengan nada cemas.Terdengar Maria mulai terisak, menangis."Kau kenapa? Bicaralah?" tanya Raffael lagi."Kenapa kamu tega, Honey. Kau ingin putus denganku? Apa kau tau sedang apa aku sekarang?""Katakanlah, kau kenap
Sudah dua malam Revalina menginap di kediaman Carlos.Kegiatan pagi hari Revalina lakukan sama seperti di kediaman Xie. Hanya saja aktivitasnya berkurang satu yaitu menyiapkan keperluan suaminya. Tidak seperti biasanya pula, Aldevaro tidur nyenyak sekali. Sudah pukul tujuh pagi, tetapi bayi itu belum bangun. Seolah-olah Aldevaro tahu jika mama sambungnya sedang tidak baik-baik saja dan butuh waktu untuk sendiri.Revalina memilih taman belakang untuk menghirup udara segar."Mawar, andai aku punya duri sepertimu ... mungkin, jika ada orang yang menyakitiku, aku akan tancapkan duriku. Paling tidak, orang akan berpikir dua kali untuk menyakitiku," ucap Revalina sambil menghirup wangi bunga mawar."Awww!" pekik Revalina saat jarinya tertusuk duri."Eeeh!" Revalina kaget kala jarinya ada yang meraih bahkan menyesapnya."Kau! Mau apa ke mari?" tanya Revalina sambil menarik jarinya kemudian memalingkan muka."Men
Raffael mengajak Revalina untuk bicara dengan pengawalnya yang sedari lama mengawasi Maria. Namun, Revalina menolak."Tolong jawab dengan jujur. Apa kau masih sayang dan masih peduli kepada Maria?" tanya Revalina tanpa menoleh."Tidak! Jelas tidak, Sayang.""Aku tanya sekali lagi. Apa kau masih sayang dan masih peduli kepada Maria?""Kenapa kau bertanya seperti itu?"Revalina menoleh dan memandang wajah suaminya lekat. "Sangat jelas kau khawatir terhadapnya saat ia mengatakan sakit jantung. Entah sadar apa tidak, kau bahkan menyebutnya dengan panggilan sayang."Raffael menarik napasnya dalam kemudian menggenggam tangan Revalina. "Maaf, jujur ... rasa peduli memang ada. Dia adalah wanita yang mampu membuatku bangkit dari Casandra. Panggilan sayang memang spontan ke luar dari mulutku, tetapi bukan berarti aku cinta kepadanya."Revalina terpejam seraya menarik napasnya dalam. Ia menghargai pengakuan suaminya. Namun, yang ia m
Hari terus berganti, hingga tak terasa usia pernikahan Revalina dan Raffael sudah menginjak bulan ketiga. Foto yang berhubungan dengan Maria pun tentu saja sudah dihapus, bahkan di hadapan Revalina. Pun dengan nomor sang mantan sudah Raffael blokir. Tak cukup sampai di situ. Setiap hari Revalina bersikap manis dan terus bertingkah agresif agar Raffael tidak jauh darinya, dan yang paling utama adalah agar Raffael bisa seratus persen melupakan Maria.Revalina menjalani hari-harinya dengan tenang. Casandra dikabarkan sudah menikah lagi dan sedang hamil besar. Sekarang, ia sedang gelisah. Bagaimana tidak? Kedua orang tuanya meminta seorang cucu. Memang, dirinya sadar, sebagai seorang istri seharusnya tidak egois. Sejak awal menerima pernikahan seharusnya ia tahu akan seperti apa rumah tangga dan hubungan sebagai suami istri itu.Pukul tujuh pagi, Raffael sudah berangkat ke kantor. Sebagai seorang istri, Revalina tengah disibukkan dengan merapikan meja makan dan
Sinar mentari menelusup melalui jendela kaca yang tidak tertutup rapat oleh gorden membuat Revalina tersadar dari mimpi.Revalina menggeliat."Pagi, Sayang?" sapa Raffael sambil mencium pipi istrinya.Mata Revalina perlahan terbuka."Hmm ... pagi. Astaga, jam berapa ini?""Baru jam tujuh," jawab Raffael."Ya, ampun! Kenapa kau tidak bangunkan aku?" tutur Revalina sambil turun dari kasur. "Aww!" sambungnya memekik. Ia merasakan sakit di area intimnya.Pun Revalina baru menyadari jika dirinya masih polos. "Ya, Tuhan!" Revalina berbalik menatap Raffael. "Jangan lihat!" Wanita itu menarik selimut untuk menutupi dirinya."Astaga! Kenapa kau juga tidak mengenakan baju?""Ish! Kenapa? Toh semalam kita sudah sama-sama melihat," goda Raffael.Revalina mendelik. Matanya membulat sempurna saat melihat bercak darah di sprei berwarna putih. Raffael mengikuti ke mana arah istrinya melihat. Tersenyu
Revalina dan Raffael berpamitan kepada Hanna sekaligus mengajak Aldevaro. Namun, mulai hari itu Hanna melarang mereka untuk membawa sang cucu ikut bekerja dengan alasan Aldevaro masih kecil untuk dibawa perjalanan jauh. Apalagi bayi itu harus menempuh dua perjalanan dalam sehari yaitu ke kantor Raffael dan Carlos. Revalina hanya pasrah dengan keputusan Hanna.Di perjalanan menuju Xie Company Revalina tampak murung."Kenapa, Sayang?" tanya Raffael."Tidak," jawab Revalina singkat.Tangan kiri Raffael menggenggam tangan Revalina, sedangkan tangan kanan, ia fokuskan untuk memegang kendali stir. "Bicaralah, ada apa? Apa masih sakit?""Aah ... tidak, sudah tidak sakit.""Lalu?"Revalina mengatakan bahwa suaminya fokus menyetir saja. Nanti di kantor ia akan bicara.***Mobil sudah terparkir di depan lobi Xie Company.Raffael dan Revalina turun bersamaan. Pemilik perusahaan itu memberikan ku