Share

04. Mulut Pedas

"Enggak," ucap Intan.

 

"Iya," sahut Bian secara bersamaan.

 

Jawaban Intan dan pria itu berbeda. Pria itu pun tersenyum karena Intan mengatakan tidak mengenalnya. Sementara Zein melirik sinis pada Intan, seolah Intan telah mengkhianatinya. Padahal, meski sudah dijodohkan, hubungan mereka tidak terlalu baik.

 

"Oh, sudah kenal," sindir Zein. Ia tak mengindahkan jawaban Intan.

 

"Iya, Prof. Tapi sebenarnya baru ketemu tadi, sih. Belum kenal nama," ucap pria itu. Kemudian ia mengulurkan tangannya pada Intan.

 

"Bian," ucapnya, sambil tersenyum manis pada Intan. Ia merupakan seorang komandan angkatan darat yang selalu ramah pada siapa pun. Hal itu pun membuat Bian senang karena bisa mendapatkan kesempatan berkenalan dengan Intan.

 

Saat ini Bian sedang menjenguk ayahnya yang sudah dirawat selama satu minggu di rumah sakit tersebut.

 

Intan bingung bagaimana cara meresponnya. Terlebih di sana ada Zein yang sudah jelas akan menikah dengannya. Meski Zein tidak bersikap baik pada Intan. Namun gadis itu merasa perlu menjaga sikap agar Zein tidak semakin merendahkannya.

 

Akhirnya Intan hanya menyebutkan nama sambil mengatupkan kedua tangan di depan dadanya. "Intan."

 

Zein yang sedang memeriksa kondisi pasien pun melirik ke arah Intan. Pandangan mereka bertemu dan hal itu membuat Intan salah tingkah karena tidak enak hati. Zein penasaran apakah Intan menjabat tangan Bian atau tidak.

 

Bian paham jika Intan tidak ingin menyentuh tangannya. Ia dapat melihat dari penampilan Intan yang anggun dan berkelas.

 

"Nama yang bagus," ucap Bian sambil tersenyum. Kemudian ia beralih ke Zein.

 

"Bagaimana kondisi Papah saya, Prof?" tanya Bian. Ia mengenal Zein karena selama ini beliaulah yang menangani papahnya.

 

Namun, Bian yang bertugas di luar kota itu baru mendapatkan izin bebas tugas dari atasannya. Sehingga ini kali pertama Bian datang ke rumah sakit. Setelah papahnya dirawat selama beberapa hari.

 

"Sudah ada kemajuan. Kondisi Bapak sekarang jauh lebih baik dari sebelumnya. Jika sampai nanti sore tidak ada keluhan, mungkin besok sudah bisa pulang," jelas Zein.

 

"Wah, terima kasih banyak, Prof. Tidak salah Anda diberi gelar Profesor. Saya sangat berterima kasih pada Prof Zein dan keluarga. Jika bukan karena Prof, mungkin saya tidak akan bisa segera pulih seperti sekarang." ucap Papah Bian. Ia memiliki hubungan dekat dengan keluarga Zein.

 

"Jangan bicara seperti itu, Pak. Saya hanya perantara. Yang memberi kesembuhan tetap Allah SWT," jawab Zein. Ia tidak besar kepala meski dipuji seperti itu.

 

Beberapa saat kemudian mereka sudah selesai visit di ruang VVIP. Saat berada di dalam lift menuju ruangan lain, Zein membuka suaranya.

 

"Kenapa telat?" tanyanya tanpa menoleh.

 

"Maaf, Prof. Tadi saya-" Intan tidak dapat melanjutkan ucapannya karena Zein langsung memotong.

 

"Jika kamu ingin sukses, jangan selalu membuat alasan. Tapi berusaha lakukan yang terbaik. Manajemen waktu itu sangat penting bagi seorang dokter. Bagaimana kamu bisa mengurus pasien yang banyak jika tidak bisa mengatur waktu?" ucap Zein dengan nada yang cukup tinggi.

 

"Maaf, Prof," sahut Intan sambil menunduk. Ia sangat kesal karena apa yang dilakukannya selalu salah di mata Zein.

 

"Dasar amatir," cibir Zein. Kemudian ia berlalu keluar lift.

 

Intan yang sedang menunduk itu langsung mendongak. "Kalau aku udah profesional, gak mungkin kamu jadi konsulen aku!" gumam Intan, kesal.

 

Setiap ucapan yang keluar dari mulut Zein selalu mampu membuat hati Intan terbakar.

 

Saat ini mereka sedang menuju ke bangsal khusus anak-anak untuk memeriksa beberapa pasien Zein yang masih di bawah umur.

 

"Selamat pagi," sapa Zein saat masuk ke ruangan tersebut.

 

Melihat dokter datang, para anak-anak yang dirawat di ruangan kelas dua itu pun ketakutan. Mereka trauma karena pernah disuntik dan sikap Zein yang kurang begitu ramah pada anak-anak. Sebab Zein memang bukan dokter khusus anak.

 

Saat Zein menghampiri satu orang anak, anak tersebut tantrum hingga mengganggu semua orang yang ada di sana karena tangisannya yang menggelegar. Menghadapi hal seperti itu, Zein pun bingung dan kewalahan. Baginya itu sangat menjengkelkan.

 

Namun hal itu tidak berlaku untuk Intan. Ia justru menemukan cara untuk menenangkan anak tersebut dan memberinya hadiah kecil hingga anak itu sedikit lebih tenang.

 

Anak itu bahkan mau diajak berbincang dengan Intan. Sehingga Intan memanfaatkan momen tersebut untuk memeriksa kondisinya tanpa ia sadari.

 

"Halo, Cantik ... nama kamu siapa?" sapa Intan dengan ramah. Ia duduk di samping anak itu agar lebih akrab.

 

"Namaku Celly, Tante siapa?" respon anak tersebut.

 

"Wah, nama yang bagus. Kalau aku Intan. Celly mau gak jadi teman Tante?" tanya Intan.

 

"Mau-mau. Emang Tante gak punya teman?" Mereka berbincang layaknya sahabat.

 

Zein terkesima melihat Intan. Ia tidak menyangka Intan memiliki sisi lain yang mampu meluluhkan hati anak-anak. Selama ini ia selalu menganggap Intan adalah calon dokter yang malas karena sering terlambat dan mengantuk ketika sedang bertugas. Padahal ia tidak tahu apa yang selama ini Intan alami.

 

Intan sering terlambat karena ia harus mengerjakan pekerjaan rumah dahulu. Meski hampir menjadi dokter. Namun Intan tak segan mengerjakan pekerjaan rumah serta memasak. Terlebih saat ini ibunya sedang sakit.

 

Hal itu pula yang membuat Intan terpaksa menerima perjodohan tersebut. Ia tidak ingin mengecewakan ibunya. Sehingga Intan tidak berani untuk menolaknya.

 

Malam hari, meski lelah setelah bekerja, Intan masih membuat artikel yang bisa dikirimkan ke redaksi demi mendapatkan uang tambahan. Semenjak ayahnya meninggal, mereka harus bekerja keras mencari uang.

 

Awalnya Intan hampir menyerah dan tidak ingin melanjutkan kuliahnya. Sebab ia sadar biaya untuk kuliah kedokteran itu tidaklah murah. Namun, Ibu Intan memohon agar ia tidak menyerah. Sebab ini adalah harapan satu-satunya almarhum ayah Intan.

 

Akhirnya Intan pun tetap melanjutkan kuliahnya sambil mencari pekerjaan tambahan agar tidak terlalu membebani ibunya yang sudah sakit-sakitan itu. Ia pun selalu berusaha untuk mendapatkan beasiswa.

 

"Kamu suka anak kecil?" tanya Zein setelah mereka keluar dari ruangan itu.

 

"Suka, Prof. Mereka itu makhluk paling jujur. Jadi saya senang berbincang dengan anak-anak," jawab Intan. Meski sempat kesal pada Zein, Intan tetap bersikap sopan terhadapnya.

 

"Oh," sahut Zein singkat. Ia tidak ingin menunjukkan kekagumannya saat tahu Intan menyukai anak-anak.

 

Melihat reaksi Zein, Intan pun heran. "Susah emang ngomong sama kanebo kering. Dia bisa nanya gitu aja udah rekor," gumam Intan, pelan.

 

Beberapa jam kemudian, Intan sedang beristirahat dan makan di kantin bersama temannya yang juga merupakan dokter muda. Mereka sharing mengenai pengalaman yang mereka lewati hari itu. Terlebih mengenai bagaimana sikap konsulen mereka.

 

"Lo mah beruntung, Fan, bisa dapet konsulen baik. Lha gue? Konsulen gue udah kayak monster yang gak bisa ditebak. Bawaannya tegang aja kalau ada di deket dia," keluh Intan.

 

"Tegang dalam hal apa dulu, nih? Jatuh cinta juga bisa bikin tegang, lho," ledek sahabat Intan yang bernama Fany.

 

"What? Gue cinta sama dia? Gak mungkin! Cinta sama orang kayak gitu sama aja dapet musibah. Kebayang gak sih gue dimarahin terus setiap hari?" Intan kesal mendengar ucapan Fany barusan.

 

"Hati-hati kalau bicara! Ketula aja, baru nyaho, lo!" ucap Fani sambil tersenyum.

 

"Hiihh, amit-amit! Lo gak tau sih gimana penderitaan gue selama kerja ma dia. Untung tinggal beberapa bulan lagi. Kalau gak, bisa kena tekanan batin gue." Intan bahkan menunjukkan ekspresi jijik.

 

"Jadi ini kerjaan calon dokter zaman sekarang?" ucap Zein yang tiba-tiba muncul dari belakang Intan.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status