Bola mata Intan membulat sempurna. "Dia ada di belakang gue?" bisik Intan pada Fany yang duduk di depannya."Iya, gue juga tadi gak lihat," sahut Fany pelan sambil merapatkan giginya.Mereka berdua sangat gugup karena ketahuan sedang menggunjing profesor galak di kantin.'Mati gue!' batin Intan. Kemudian ia menoleh perlahan ke belakang."S-siang, Prof!" sapanya sambil tersenyum kikuk."Saya tunggu di ruangan operasi lima menit lagi!" sahut Zein. Kemudian ia berlalu."Kan, gue bilang juga apa," ucap Intan, kesal. Makanannya bahkan belum habis separuh. Namun Zein sudah memanggilnya lagi.Akhirnya Intan pun pamit pada Fany dan berlari menuju ruang operasi agar tidak dimarahi Zein lagi karena terlambat."Bisa gak sih dia lebih manusiawi dikit? Gue harap perjodohan itu bisa dibatalin gimana pun caranya. Gue gak mau hidup sama manusia gak punya hati kayak dia," gumam Intan sambil berlari.Saat Intan sedang berlari, Bian melihatnya dari kejauhan. Ia tersenyum karena melihat Intan sudah seper
Sepanjang perjalanan pulang, Zein terus melamun. Ia tidak menyangka ternyata Intan mengalami nasib seberat itu. Obrolannya dengan ibu Intan tadi telah membuka mata hatinya."Bagaimana mungkin gadis dengan beban hidup seberat dia masih tetap bisa beraktifitas seperti orang normal?" gumam Zein.Ia masih tidak percaya bahwa Intan jauh dari apa yang ia pikirkan. "Berarti selama ini aku telah mendzaliminya? Astaghfirullah ...." Zein sangat menyesal karena telah mempersulit Intan.Ia selalu menganggap Intan pemalas. Hal itu pula yang membuatnya memberi pekerjaan berat pada Intan."Seandainya aku tahu bahwa dia sedang kesulitan, mana mungkin aku menambah bebannya seperti itu?" Rasanya Zein ingin memutar waktu. Sehingga ia bisa merubah sikapnya terhadap Intan. Namun sayang, nasi telah menjadi bubur. Intan sudah terlanjur ia siksa sampai pingsan seperti itu.Meski tidak secara langsung. Namun ia ingat betul tadi Intan belum selesai makan saat dirinya memaksa Intan pergi ke ruang operasi. “Bera
Sepanjang jalan intan melamun. Ia bingung mengapa Zein selalu membuatnya kesal. Seolah ia tidak memiliki hati nurani sedikit pun. "Dia tuh kenapa, sih? Apa coba salahnya aku? Bahkan aku lagi sakit pun bela-belain datang ke rumah sakit biar dia gak marah dan ngatain aku pemalas. Tapi kenapa dia malah ngusir aku seenaknya? Dia pikir aku gak butuh usaha buat datang dari rumah ke rumah sakit?" Intan menggerutu sepanjang jalan. Ia sangat kesal karena Zein tidak memiliki perasaan. "Ya Tuhan, gimana bisa aku harus hidup sama pria menyebalkan seperti dia? Lagian dia kenapa gak nolak aja waktu dijodohin? Ini benar-benar mimpi buruk buatku," keluh Intan. Membayangkan harus hidup bersama pria yang paling ia benci itu rasanya membuat Intan gemas. Sebab, dari sikap Zein ia yakin bahwa pria itu tidak menyukainya. Namun mengapa ia tidak menolak ketika dijodohkan oleh orang tuanya. Tiba di rumah, Fatma heran karena Intan sudah pulang. Padahal baru beberapa menit yang lalu ia pergi. "Kam
"Saya mau minum ini. Nanti kan mau operasi, jadi butuh yang segar-segar supaya gak ngantuk," jelas Zein, kikuk. Ia tidak mungkin mengatakan bahwa dirinya datang ke sana untuk menemani Intan makan."Ooh," sahut Intan, heran. Baginya penjelasan Zein sangat tidak masuk akal. Namun ia sedang tidak ingin berdebat."Ya sudah, tolong cepat! Waktu kita tinggal lima menit," ucap Zein, santai.Intan tidak menjawabnya. Ia pun buru-buru menghabiskan makanannya. Beruntung ia hanya memesan sandwich. Sehingga tidak butuh waktu lama untuk menghabiskannya.'Aku pikir dia berubah jadi malaikat. Tapi ternyata sama aja. Gila, apa? Masa aku cuma dikasih waktu lima menit buat ngabisin ini?' batin Intan, kesal.Zein
"Euh, enggak, Prof. Maaf," jawab Intan, gugup.'Gimana aku mau semangat kalau dia marah-marah terus kayak gitu? Ya ampun, sampai sekarang aku masih gak nyangka orang kayak dia bakalan jadi suamiku. Semoga perjodohannya dibatalkan,' batin Intan."Kamu itu masih muda. Tolong lebih semangat lagi dalam bertugas!" pinta Zein. Kemudian ia kembali fokus ke pekerjaannya."Baik, Prof," jawab Intan.Setelah itu poli pun dimulai. Intan memerhatikan Zein serta keluhan pasien sesuai arahan dari konsulennya itu. Ia juga menjadi asisten Zein selama proses praktek berlangsung.Hingga datang seorang pasien paruh baya, ditemani oleh cucunya yang begitu cantik.
Intan langsung menoleh ke belakang. "Eh, Prof," ucapnya, salah tingkah. Ia malu karena tadi sedang menggumam.'Tadi aku ngomong apa, ya?' batin Intan. Ia mengingat-ingat apa yang telah ia ucapkan. Khawatir dirinya sudah menjelekkan Zein lagi."Kalau capek, lebih baik kamu pulang!" ucap Zein tanpa menoleh.Intan melirik sekilas. Ia merasa ucapan Zein itu sarkas. Sehingga Intan merasa sedang disindir. Padahal Zein serius memperhatikannya."Enggak kok, Prof. Ini cuma pegel biasa aja. Kurang olah raga," sahut Intan, kikuk."Oya? Kalau begitu kamu harus rajin olah raga. Jangan malas!" sahut Zein. Lagi-lagi perhatian yang Zein berikan membuat Intan salah paham.
Uhuk! Uhuk!Intan langsung tersedak setelah mendengar ucapan Zein. Mereka memang sudah dijodohkan. Namun, jangankan pernikahan, pertunangan saja belum dibahas."Lho, kenapa, Tan? Hati-hati makannya!" ucap Dimas, tanpa dosa. Ia belum tahu bahwa Intan adalah calon istri Zein.Zein menyunggingkan sebelah ujung bibirnya saat melihat reaksi Intan setelah mendengar ucapannya barusan.Ia senang menggoda Intan seperti itu. ‘Pasti kamu senang karena pernikahan kita akan segera terlaksana, kan?’ batin Zein. Ia selalu over percaya diri.Intan pun segera mengambil air mineral dan meneguknya. "Gak apa-apa, Dok," jawab Intan setelah tenggorokkannya kembali netral.Namun wajahnya terlihat merah padam.
Deg!Tubuh Intan membeku kala Zein mengukungnya dari belakang. Apalagi saat ini tangannya sedang digenggam oleh Zein.Bukan hanya Intan. Seluruh orang yang ada di ruangan tersebut pun sangat terkejut. Ini kali pertama mereka melihat Zein seperti itu. Bahkan selama ini Zein seolah tak pernah ingin disentuh oleh orang lain."Lemaskan tangannya! Jangan kaku," ucap Zein di telinga Intan.Intan bahkan dapat merasakan embusan napas hangat profesor itu.Napas Intan pun tercekat dibuatnya. Aroma tubuh Zein menguar hingga ke hidungnya. Membuat Intan semakin tidak fokus. Ia pun hanya menjawab ucapan Zein dengan anggukkan.Akhirnya Intan berusaha melemaskan tangannya. Meskipun sebenarnya saat ini ya