Share

05. Sisi Lain Intan

Penulis: Just Mommy
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-29 20:38:08

Bola mata Intan membulat sempurna. "Dia ada di belakang gue?" bisik Intan pada Fany yang duduk di depannya.

 

"Iya, gue juga tadi gak lihat," sahut Fany pelan sambil merapatkan giginya.

 

Mereka berdua sangat gugup karena ketahuan sedang menggunjing profesor galak di kantin.

 

'Mati gue!' batin Intan. Kemudian ia menoleh perlahan ke belakang.

 

"S-siang, Prof!" sapanya sambil tersenyum kikuk.

 

"Saya tunggu di ruangan operasi lima menit lagi!" sahut Zein. Kemudian ia berlalu.

 

"Kan, gue bilang juga apa," ucap Intan, kesal. Makanannya bahkan belum habis separuh. Namun Zein sudah memanggilnya lagi.

 

Akhirnya Intan pun pamit pada Fany dan berlari menuju ruang operasi agar tidak dimarahi Zein lagi karena terlambat.

 

"Bisa gak sih dia lebih manusiawi dikit? Gue harap perjodohan itu bisa dibatalin gimana pun caranya. Gue gak mau hidup sama manusia gak punya hati kayak dia," gumam Intan sambil berlari.

 

Saat Intan sedang berlari, Bian melihatnya dari kejauhan. Ia tersenyum karena melihat Intan sudah seperti booster baginya.

 

Kali ini Intan tidak terlambat. Ia berhasil tiba di ruang operasi sebelum lima menit dan segera berganti pakaian lalu membersihkan tubuhnya di sana.

 

"Selamat siang," sapa Intan saat masuk ke ruang operasi. Di sana sudah siap beberapa orang dokter dan juga perawat senior. Hanya Intan yang merupakan dokter muda dan bisa dibilang belum berpengalaman.

 

Saat Intan masuk ke ruangan tersebut, Zein sudah stand by di posisinya. "Operasi ini akan berjalan paling cepat 6 jam. Jadi, jika ada yang merasa tidak sanggup, silakan keluar dari sekarang!" Zein menyindir Intan.

 

Padahal dia yang memanggil Intan untuk datang ke sana. Namun, dia pula yang mengusirnya. Sebenarnya Zein hanya kesal karena Intan menggunjingnya tadi. Sehingga ia ingin menghukum dokter muda itu.

 

Intan sempat terkejut kala mendengar operasinya begitu lama. Namun ia tidak ingin mundur karena kesempatan seperti ini sangat langka.

 

Akhirnya Zein pun memulai operasinya. Selama itu Intan memperhatikan apa saja yang dilakukan oleh Zein. Ia pun terkesima melihat kepiawaian calon suaminya itu dalam melakukan operasi.

 

"Pantes aja dia dijuluki sebagai tangan magic. Ternyata dia memang ahli," gumam Intan pelan. Ia tidak melihat keraguan sedikit pun di wajah Zein.

 

Saat setengah perjalanan, Intan mulai mengantuk. Perutnya pun terasa lapar karena seharian ini ia baru makan sedikit.

 

'Kamu harus kuat, Intan! Jangan sampai Prof marah lagi,' batin Intan. Ia berusaha untuk tetap terjaga meski matanya sangat berat karena saat ini ia hanya menjadi penonton.

 

Sesekali Zein melirik ke arah Intan. Ia dapat melihat gadis itu sedang menahan kantuk. "Ini bukan tempat untuk tidur. Perhatikan baik-baik jika memang ingin belajar!" sindir Zein tanpa menoleh ke arah Intan.

 

Disindir seperti itu, Intan pun kembali segar. Ia berusaha berdiri tegak meski kakinya sudah hampir kram.

 

Beberapa jam kemudian, mereka sudah selesai melakukan operasi. Mereka keluar dari ruangan tersebut dan melepaskan pakaian (khusus operasi) masing-masing. Namun, Intan yang terakhir keluar dari ruangan itu, tiba-tiba kehilangan kesadaran saat hendak mencuci tangan.

 

"Intan!" pekik dokter anastesi yang berdiri lima meter dari Intan. Zein yang sedang mencuci tangan di dekat Intan pun langsung menoleh ke arahnya dan segera menangkapnya sebelum Intan terjatuh.

 

"Intan, bangun!" ucap Zein sambil berusaha menepuk pipi Intan. Tidak mendapat reaksi dari gadis itu. Zein pun segera menggendongnya dan membawa Intan ke sebuah ruangan.

 

"Tolong ambil peralatan saya!" pinta Zein. Ia ingin segera memeriksa calon istrinya itu.

 

Meski belum memiliki perasaan terhadap Intan. Namun Zein khawatir jika terjadi sesuatu terhadapnya. Bagaimana pun dia adalah konsulen yang harus bertanggung jawab jika terjadi kecelakaan kerja pada Intan.

 

Tak lama kemudian perawat memberikan peralatan pada Zein. Lalu ia langsung memeriksa kondisi Intan. Mulai dari detak jantung, kornea mata, hingga tekanan darahnya.

 

"Kenapa aku baru sadar wajahnya pucat sekali," gumam Zein. Ia yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya itu baru menyadari bahwa Intan terlihat begitu pucat.

 

"Tolong ambil glukometer (alat untuk mengecek kadar gula darah)!" pinta Zein pada suster yang masih berdiri di dekatnya.

 

Beberapa saat kemudian, hasil test darah Intan sudah terlihat. Ternyata dia kekurangan gula darah hingga pingsan seperti itu.

 

'Apa aku keterlaluan?' batin Zein. Ia merasa bersalah karena telah memforsir Intan.

 

Seminggu terakhir Zein memberikan beban kerja yang cukup berat pada Intan. Setiap hari Intan pergi pagi pulang malam. Bahkan tak jarang ia baru bisa pulang dini hari.

 

Zein sengaja ingin menggembleng gadis itu agar bisa menjadi dokter yang kuat dan mampu menghadapi berbagai situasi. Namun sayangnya ia tak tahu bahwa Intan 'berbeda' dari calon dokter pada umumnya.

 

Calon dokter lain kebanyakan berasal dari kalangan menengah atas. Sehingga mereka tidak perlu memikirkan hal apa pun selain tugasnya untuk menjadi dokter.

 

"Biar saya antar dia pulang! Saya konsulennya, jadi harus bertanggung jawab terhadapnya," ucap Zein pada suster. Secara tidak langsung ia ingin suster itu mengurus izin Intan. Ia pun ingin menjelaskan bahwa dirinya tidak ada hubungan apa-apa selain pekerjaan.

 

"Baik, Dok. Nanti akan saya sampaikan ke bagian kepegawaian," jawab suster. Bagi Zein mungkin tidak masalah pergi atau datang kapan saja ke rumah sakit itu. Namun Intan yang hanya sebagai koas harus memperhatikan absennya.

 

Zein pun kembali mengangkat Intan dan membawanya ke mobil yang terparkir di depan lobby. Sebagai pemilik rumah sakit, Zein memiliki fasilitas parkir VIP.

 

Saat ini Zein dan Intan masih mengenakan pakaian operasi. Ia tidak sempat mengganti pakaian karena kejadiannya begitu cepat.

 

"Kenapa kamu bisa sampai kekuarangan gula darah seperti itu? Apa kamu memang lemah?" gumam Zein. Ia masih tidak habis pikir gadis seusia Intan bisa kekuarangan gula darah hanya karena beban pekerjaan yang padat.

 

Beberapa saat kemudian, mereka sudah tiba di rumah Intan. Saat ini Intan hanya butuh istirahat dan asupan gizi yang cukup. Sehingga Zein memilih untuk membawanya pulang.

 

"Ini rumahnya?" gumam Zein. Ia tak menyangka seorang calon dokter seperti Intan hidup di rumah yang sangat sederhana. Bahkan terbilang kecil.

 

Saat pertemuan keluarga mereka semalam bertemu di sebuah restoran. Sehingga Zein belum mengetahui bagaimana kondisi keluarga Intan saat ini. Tadi ia menghubungi Ibu Intan untuk menanyakan alamat rumahnya yang memang sudah pindah sejak lama.

 

"Assalamu alaikum," ucap Zein saat berada di depan pintu rumah Intan.

 

"Waalaikum salam," sahut ibu Intan. Kemudian ia membukakan pintu untuk Zein.

 

"Lho, Nak Zein? Intan kenapa?" tanya ibunya. Ia yang memiliki kelainan jantung itu sangat terkejut melihat anaknya tidak sadar seperti itu.

 

"Ibu jangan khawatir! Intan hanya kelelahan," jawab Zein. Kemudian ia dipersilakan masuk dan membawa Intan ke kamar.

 

"Ya ampun, Intan. Dia ini memang susah dinasihati. Sudah berulang kali Ibu bilang jangan diforsir tenaganya, tapi dia tetap keras kepala," keluh Ibu.

 

Meski Ibu sedang sakit, tetapi ia masih bisa beraktifitas seperti orang normal. Hanya saja pergerakannya tidak begitu gesit dan tidak boleh kelelahan.

 

Zein bergeming. Ia merasa bersalah karena dirinya yang telah membebani Intan. Ia merebahkan Intan di tempat tidur. Kemudian Ibu Intan kembali bercerita.

 

"Terima kasih ya, Na,?" ucap Ibu.

 

"Sama-sama, Bu. Ini sudah kewajiban saya," sahut Zein.

 

Saat ini ia sedang berdiri di samping Intan. Sementara Ibu duduk di salah satu sisi tempat tidur.

 

"Sejujurnya Ibu merasa bersalah karena sebagai orang tua tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup kami. Sehingga Intan bekerja keras mencari uang dan belajar demi mendapat beasiswa," ujar Ibu.

 

Deg!

 

Zein terkesiap. "M-maksudnya bagaimana ya, Bu?" tanyanya.

 

"Mungkin Nak Zein tahu bagaimana sibuknya Intan di rumah sakit. Namun, meski begitu, ia tidak mengurangi aktifitasnya di rumah. Setiap hari sebelum berangkat kerja, Intan membersihkan rumah dan memasak untuk Ibu yang sakit ini," jelasnya. ia tidak tahu bahwa Intan sering dimarahi oleh Zein karena terlambat.

 

Ekspresi wajah Zein langsung berubah. Hatinya pun tidak karuan. Ia mendadak merasa jadi orang jahat.

 

"Bahkan, sepulang dari rumah sakit pun ia masih harus bergadang demi mendapatkan uang dengan menulis. Belum lagi dia belajar mati-matian agar beasiswanya tidak dicabut," ujar Ibu sambil menitikan air mata.

 

Zein merasa tertampar setelah mendengar penjelasan Ibu. Ia tidak menyangka ternyata beban hidup Intan cukup berat. Ia pikir selama ini Intan hanya seorang pemalas yang selalu kesiangan.

 

"Jadi selama ini Intan kurang istirahat, Bu?" tanya Zein. Entah mengapa hatinya terasa begitu perih membayangkan perjuangan Intan.

 

Ibu mengangguk. "Iya ... mungkin dalam sehari Intan hanya tidur selama 2 jam," jawab Ibu sambil menahan perih di hatinya.

 

Zein tercekat. Dirinya saja yang tidur selama kurang lebih 6 jam dalam sehari masih merasa kurang. Sedangkan Intan hanya tidur selama 2 jam. Ia pun menatap Intan dengan perasaan yang berkecambuk.

 

'Kenapa kamu membuat aku jadi seperti orang jahat begini?' batin Zein dengan hati yang bergetar.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dinikahi Profesor Galak   86. Bahagia (S2)

    Hati Ira berdebar-debar kala diminta untuk tes kehamilan oleh ibunya. Ia tak menyangka akan secepat ini mendapatkan momongan. Meski hasilnya belum pasti, tetapi entah mengapa Ira yakin bahwa dirinya memang mengandung.“Kamu ada test pack, gak?” tanya Rani.Ira menggelengkan kepalanya. “Enggak, Mah,” jawabnya.“Ya udah nanti Mamah suruh Bibi beli dulu. Atau kamu mau langsung cek ke rumah sakit?” tanya Rani.“Test aja dulu deh, Mah. Kalau ke rumah sakit, takut hasilnya gak sesuai harapan,” jawab Ira.“Ya udah. Tapi kamu sarapan dulu, ya! Jangan sampai sakit karena telat makan!” nasihat Rani.“Iya, Mah. Terima kasih,” sahut Ira, sambil tersenyum.Setelah itu Rani meninggalkan kamar tersebut, kemudian ia meminta Bibi untuk membeli test pack. “Bi, tolong beliin test pack, dong!” ucap Rani pada ART-nya.“Lho, Mamah hamil?” tanya Muh, kanget.“Yang bener aja, masa Mamah hamil?” timpal Zein yang masih ada di sana.“Kalian ini! Bukan buat Mamah,” ucap Rani, gemas.“Terus buat siapa, dong?” tany

  • Dinikahi Profesor Galak   85. Telat (85)

    “Hehehe, ampun, Ndan!” ucap anak buah Bian sambil cengengesan.“Ya udah, kali ini aku beneran pergi. Assalamualaikum,” ucap Bian. Kemudian ia meninggalkan istrinya itu.“Waalaikumsalam. Hati-hati, Sayang,” sahut Ira.Ia menatap kepergian suaminya itu. “Semoga kamu cepat kembali, Bi. Aku gak sanggup kalau harus pisah terlalu lama lagi,’ batin Ira.“Duh, jadi pingin nikah,” ledek anak buah Bian.“Ya udah, tinggal mengajukan!” sahut Bian, santai.“Yah, saya kan bukan Komandan yang bisa sat set sat set. Mau nikah juga pengajuan dulu, belum lagi prosesnya yang lama,” keluh anak buah Bian.“Ya iya sih masalah utama mah belum ada calonnya! Hahaha,” ledek anak buah Bian yang lain.Mereka semua pun tergelak.Beberapa jam kemudian Ira sudah tiba di rumah Muh kembali. Saat ini ia sedang bersantai di kamarnya, sambil memainkan ponsel.“Kok dia belum ngabarin aku, ya?” gumam Ira.Ia gelisah menanti kabar dari suaminya itu. Padahal Bian tidak sempat untuk memberi kabar pada Ira. Sebab setibanya di

  • Dinikahi Profesor Galak   84. Berpamitan (S2)

    “Mas ... jangan maksa begitu, dong! Lagian kan demi kebaikan Aydin. Aku juga gak akan tenang ninggalinnya,” ucap Intan. Ia tidak enak hati pada mertuanya.“Hehehe, Papah bercanda, kok. Ya udah kalian pergi aja! Biar Aydin sama kami. Lagian Zein kan beberapa bulan terakhir sibuk persiapan alih jabatan, pasti butuh refreshing. Pergilah!” ucap Muh.“Alhamdulillah, gitu dong, Pah! Terima kasih, ya,” ucap Zein. Ia sangat senang karena diizinkan pergi oleh Muh.Zein pun menghampiri dan menggendong anaknya. “Sayang, maaf ya Ayah pergi dulu. Nanti kalau kamu sudah lebih besar, Ayah janji akan ajak kamu jalan-jalan. Oke,” ucap Zein, kemudian ia mencium pipi anaknya.Intan geleng-geleng kepala melihat kelakuan suaminya itu. “Kalau begitu aku mau pumping dulu ya, Mas,” ucapnya.“Iya, Sayang. Pumping yang banyak biar anak ayah gak kelaparan,” ucap Zein, sambil menggoda anaknya.Rani dan Muh tersenyum melihat keluarga kecil itu. Mereka bahagia karena kini anaknya begitu harmonis. Padahal dulu dua

  • Dinikahi Profesor Galak   83. Merengek (S2)

    “Enggaklah! Udah mendingan buruan packing biar kamu gak telat. Perjalanan dari sini ke Jakarta kan gak sebentar!” ucap Ira. Meski mengatakan tidak, tetapi ekspresi wajahnya terlihat sangat kecewa.“Iya, Sayang. Maaf, ya,” ucap Bian. Ia terus meminta maaf karena rasa bersalahnya. Apalagi jika melihat wajah Ira seperti itu. Sebab dirinya telah merusak momen penting.Setelah selesai packing, Bian dan Ira meninggalkan kamar mereka. Kemudian Bian check out di lobby."Kamu tunggu di sini, ya!" pinta Bian, saat Ira sudah berada di mobil."Iya," jawab Ira, singkat.Bian pun meninggalkan mobil, kemudian melakukan check out. Tak lupa Bian menjelaskan bahwa akan ada Zein yang menggantikannya. Ia pun meminta kamarnya dibersihkan dan dihias dengan bunga seperti untuk orang bulan madu."Jadi ini tidak ada biaya tambahan, kan?" tanya Bian."Tidak ada, Mas. untuk buangnya kami berikan free," sahut resepsionis. Mereka memberikan free karena Bian telah memesan hotel dengan kelas kamar paling tinggi sel

  • Dinikahi Profesor Galak   82. Terpaksa Pulang (S2)

    “Tau tuh, siapa tadi yang iseng basahin meja, ya?” canda Bian. Ia sengaja ingin membuat istrinya kesal.Namun kemudian Ira teringat. “Ya ampun, ini karena ulah kamu ya, Bi?” tuduh Ira, sambil ternganga. Ia ingat bagaimana tadi dirinya yang baru naik dari kolam itu langsung direbahkan di atas meja.“Gak salah? Kan kamu yang tadi rebahan di sini,” sahut Bian, santai. Ia sengaja menyudutkan istrinya.“Tapi kan kamu yang bawa aku ke sini!” Ira tidak mau kalah. Ia tak terima disalahkan seperti itu. Sebab memang Bian yang merebahkannya di atas meja.“Ya udah, mendingan makan aja jangan debat! Kan udah lapar,” ucap Bian. Ia pun membuka makanan tersebut dan menyendoknya.“Berarti orang itu lihat, dong?” tanya Ira sambil menyendok makanan. Ia masih tidak enak hati memikirkan meja yang basah tersebut.“Iyalah. Dia kan punya mata,” jawab Bian, tanpa dosa. Berbeda dengan Ira, Bian tak peduli. Baginya orang tadi pasti sudah biasa menghadapi hal seperti itu.“Hiiih, kamu ini!” Ira kesal.“Udah maka

  • Dinikahi Profesor Galak   81. Ini Bulan Madu (S2)

    “Mau ngapain, sih?” tanya Ira. Ia yakin suaminya pasti menginginkan sesuatu.Bian langsung menarik Ira. “Biasakan sama suami itu langsung nurut! Jangan suka ngebantah, nanti tuman!” ucap Bian, gemas.“Ya abisnya kamu suka aneh-aneh, sih,” ucap Ira, manja.“Apanya yang aneh? Namanya suami istri begini tuh wajar, Sayang,” ucap Bian, sambil merangkul pinggang Ira. Kemudian merapatkan tubuh mereka.Ira tersenyum. Ia sangat gemas melihat tingkah suaminya itu. “Tuh, kan. Kamu maaah. Emang wajar, sih. Tapi ini masih siang. Aku risih mesra-mesraan siang hari begini, ihh,” keluh Ira.“Dulu waktu masih pacaran, kamu gak risih. Kenapa sekarang malah menghindar,” bisik Bian, nakal. Kemudian ia menggigit telinga istrinya itu.“Bi!” tegur Ira. Ia malu disebut seperti itu oleh suaminya. Ketika sedang berpacaran mereka memang cukup sering bermesraan. Namun hanya sebatas bibir, tidak lebih. Mungkin karena belum halal, jadi mereka masih sangat menggebu-gebu.Sedangkan saat ini mereka sudah menikah dan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status