Malam baru saja datang. Hawa dingin sungguh terasa masuk ke dalam pori-pori insan yang hendak meninggalkan rumahnya. Dengan berbekal jaket tebal dan kerudung pashmina, Zalfa bersikukuh ingin ikut Zilal pergi. Entahlah apa yang terjadi. Lelaki itu masih bingung. Biasanya, gadis itu akan cuek dan tidak peduli apa yang dilakukannya. “Ning, tapi kali ini kita naik motor. Soalnya, jalan utama ke toko sedang masa perbaikan. Apa kamu nggak apa-apa, ini hawanya lagi dingin banget…” “Enggak apa-apa, Mas. Kan aku udah pake jaket,” ucap Zalfa percaya diri. “Hemm… oke. Tapi, kalau nanti kedinginan jangan protes ya,” Zalfa mengangguk mantap. Keduannya menyusuri jalan kecil menuju toko. Memang, perjalanan kali ini sebenarnya tidak cukup jauh. Tapi, biasanya orang pendatang akan tidak tahan dengan hawa dingin di malam hari. Berbeda jika orang asli lokal. “Mas, memangnya mau ke toko siapa sih?” tanya Zalfa. Zilal masih fokus mengendarai motor. Suara angin dan karena memakai helm, pria itu tidak
Konon cinta bisa datang karena terbiasa. Seseorang juga pernah berpendapat, jika cinta juga bisa dipelajari. Namun, sebenarnya mungkin saja waktu yang berbicara. Waktu yang memupuk jiwa-jiwa kasih itu tumbuh. Waktu yang menyuburkan dahaga romantisme itu tumbuh subur. Tapi, apa benar bisa begitu, jika di dalam ruang yang sama masih ada jiwa yang lain?“Mas, mau berangkat sekarang?” tanya Nindi.“Iya ini, Dik. Besok sudah mulai ngajar. Kontrak ngajarnya juga sudah turun. Kamu baik-baik ya di rumah. Kalau ada apa-apa bisa minta tolong Bude Ida,” jawab Zain yang telah selesai berkemas.Pemuda itu sukses diterima sebagai dosen di Universitas swasta. Entah takdir atau memang kebetulan, dia diterima di kota yang sama dengan masa lalunya tinggal. Wonosobo. Tempat yang justru tidak ingin Ia hampiri. Namun, takdir berkata lain, dulu Ia sempat menaruh lamaran di sana. Biaya untuk menghidupi adiknya masih menjadi tanggungannya. Mau tidak mau dia harus mengambil pekerjaan ini.“Sudah dulu ya, Mas
“Sudah jalan-jalannya, Ning?” tanya Zilal yang melihat Zalfa sudah kembali.“Sudah, Mas. Nih aku bawain sarapan,”“Lha iya, kan aku jadi enak ini. Tiap hari dimasakin, kalau nggak masak dibeliin sarapan. Kamu emangnya nggak bosen jalan-jalan setiap pagi?”Begitu mewahnya pemandangan Kejajar yang menyuguhkan pegunungan dan hamparan perkebunan itu tidak pernah lekang dari manik Zalfa. Waktu cepat sekali berlalu. Sudah dua minggu mereka tinggal di tempat ini. Setiap pagi, Zalfa akan meminta Kinan menemaninya berjalan-jalan mengitari perkebunan Carica. Terkadang Zilal yang inisiatif menemani gadis itu, tapi terkadang pemuda itu sudah sibuk dengan pekerjannya.“Enggak, Mas. Aku seneng banget, perkebunan yang di sebelah barat juga belum tak jelajahi semua.”“Ya jangan semua to, Ning. Kecapekan nanti kamu,”Zalfa menuju ke dapur, mengambil satu nampan Carica yang sudah dingin.“Aku seneng banget, di sini bisa setiap hari makan ini!” pekik Zalfa kegirangan. Persis seperti anak kecil.Pemuda i
“Bu… bukan ini yang Zalfa mau, Bah!” sergah Zalfa.“Menikah itu ibadah Zalfa, sama seperti belajar. Kamu ini sudah waktunya menikah, Nak!” tegas Kiai Yahya tidak ingin kalah.“Abah kan tau mimpi Zalfa, Bah. Zalfa belum siap menikah, Zalfa mau belajar sastra dulu. Bahkan Abah sendiri yang sudah janji mau mengizinkannya. Menikah akan membatasi gerak Zalfa nanti, Bah. Apa Abah lupa dengan janji Abah sendiri?” tangis Zalfa pecah.“Belajar sastra bisa setelah menikah, Nak. Yang dilakukan Abah ini demi kamu. Menikah itu akan menjaga kehormatan dan harga diri kamu, bukannya membatasi. Apa kamu tidak ingin menyempurnakan agama kamu, Zal?!”“Tapi tidak sekarang, Bah. Dan juga Zalfa tidak mau dijodohkan. Zalfa mau memilih suami yang Zalfa cinta. Bukan yang juga dipaksa menikah dengan Zalfa. Bahkan Zalfa juga tidak tau dia!” suara Zalfa semakin parau karena tangisnya.“Abah sudah menyiapkan calon yang baik untuk kamu. Siapkan diri kamu, Zal. Waktunya satu minggu lagi. Semuanya sudah siap!”“Abah
“Kalau Gus Zilal, bagaimana?”“Hah, Gus Zilal?!”“Iya, Gus Zilal. Teman satu sekolah kamu dulu waktu Aliyah, masing ingat kan?” “Zalfa tidak kenal dia, Bah. Mengapa harus Zalfa yang menikah dengan Gus Zilal, Bah?! Zalfa tidak cinta dengan dia!” seru Zalfa. Lagi-lagi air matanya mengalir deras dari manik legam itu.Nampak sekali bahu gadis itu bergetar hebat. Hatinya begitu sesak mendengar perjodohan ini kembali dibicarakan.Kiai Yahya menghela nafas pelan. Kali ini seolah lebih menjaga nada bicaranya. Melirik Faiz yang duduk serta menunduk di seberang Zalfa.“Adikmu akan melamar gadis, Zalfa. Abah tidak tega kalau kamu harus dilangkahi Faiz,” tutur Kiai Yahya lembut.Sontak Zalfa sedikit mengangkat kepalanya dan sedikit melirik Faiz.“Zalfa tidak apa-apa, Bah. Zalfa tidak keberatan jika Faiz harus menikah lebih dulu, mengapa Abah berpikir begitu?” timpal Zalfa dengan suara parau.“Nduk, umur kamu ini sudah cukup. Sudah lulus magister, mondoknya juga sudah lama, kamu ini sudah siap ka
Bukan Zilal namanya jika tidak mampu mengendalikan emosi Umi Karimah. Meskipun sudah berapa kali perempuan itu protes dengan pilihan anak sulungnya, namun semua berakhir baik. Iya, semua perselisihan ini gara-gara stok emas yang berada di toko langganan rekomendasi budenya hanya tersedia stok lama. Tentu Umi Karimah ingin memberikan yang terbaik untuk sang menantu, tetapi entah bagaimana pemikiran Zilal, Ia juga heran. Laki-laki muda itu malah mengambil salah satu model kalung stok lama dari toko tersebut.“Le, kok malah ambil kalung yang itu to? Kata mbaknya lho itu stok lama,” ucap Umi Karimah untuk kesekian kali.“Stok lama kalau memang modelnya bagus kan nggak apa-apa, Mik?”“Lah kamu ini bagaimana sih, mau ngasih ke calon istrimu kok begitu. Ya harus diusahakan yang terbaik dong. Kan kita bisa cari lagi ke toko yang lain?!” tegas Umi Karimah bersungut-sungut.Mendengar omelan sang Ibunda, Zilal menghentikan mobilnya sebentar. Ia mampir ke salah satu toko swalayan dan membeli bebe
“Sudah, Ning? Mau ditemani ke mana lagi?” tanya Lina sembari menyerahkan satu botol minuman.“Ehm, nggak sih. Nggak mau ke mana-mana lagi, kita langsung pulang saja, Mbak.”“Gimana kalau kita sarapan dulu, Ning. Dari tadi kan Ning Zalfa juga belum makan apa-apa, malah sudah olahrga naik tangga banyak banget,” usul Lina.“Boleh juga, aku juga kayanya laper, Mbak. Cape nangis dari kemarin,” timpal Zalfa.“Oke. Yuk aku ajak ke tempat makan favoritku kalau habis ziarah!”Keduanya masuk ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan menuju rumah makan. Hanya butuh waktu sebentar. Area tempat itu masih dalam kawasan Muntilan.“Mau pesan apa, Ning? Di sini semua enak, yang aku suka sih Mangutnya, Ning. Dijamin lezat!”“Mbak sering ke sini ya?”Perempuan itu mengangguk mantap. Di sini, di warung makan bernama Iwak Kali Idaman, Zalfa dan Lina menghabiskan waktunya. Tempat dengan segala kenyamanan dan makanan desa yang memang dikenal sangat lezat. Gubug makanan idaman ini terlihat sangat sederhana,
“Abah…,” ucap Zalfa lirih.Berkali-kali tangan yang tergolek lemah itu dicium dengan penuh takdzim.“Maafkan Zalfa, Bah. Maafkan semua keegoisan Zalfa, tidak seharusnya kemarin Zalfa bersikap begitu ke Abah,” suara parau Zalfa mengisi ruangan.Lagi-lagi tangisnya pecah.“Nggak apa-apa, Nduk. Abah paham, jangan nangis ya. Abah nggak apa-apa kok,” jawab Kiai Yahya.“Abah ini juga kok sukanya bikin orang rumah cemas, tiba-tiba drop. Umi juga panik loh, Bah.” omel Umi Ulfah setelah melihat suaminya siuman.“Didoain saja, Nduk. Jangan kamu tangisi terus, lama-lama air matamu kering nanti kalau nangis terus,” cicit Umi Ulfah menatap Zalfa.“Zalfa mau menurut sama abah, Zalfa mau menikah dengan Gus Zilal. Abah cepat sehat ya, Zalfa nggak bisa melihat abah begini,”Kiai Yahya hanya tersenyum melihat putri sulungnya. Bola matanya seperti mengalirkan ketenangan.“Maafkan abah juga, Nduk. Sebenarnya, abah tidak bermaksud untuk memaksa kamu. Tapi, memang sudah waktunya kamu menikah. Firasat abah