Share

Bab. 06. Ketertarikan Felix

Makin dilihat makin menarik. Begitulah kesan yang dirasakan oleh Felix saat dirinya memperhatikan Lusi secara terus-menerus. Ada perasaan sedikit iri tak kala menyaksikan Lusi memperlakukan Mark dengan begitu baik.

Felix meraih pergelangan tangan Lusi, menggeret wanita manis itu ke salah satu ruangan yang ada di dalam mansion.

“Ada apa?” tanya Lusi bingung.

Kelopak mata Lusi berkedip cepat saat Felix mengukung tubuhnya. Jantungnya juga sempat berdebar saat hidungnya mencium parfum maskulin yang dikenakan oleh Felix.

“Apaan sih! Lepasin aku! Aku gak suka kayak begini,” kata Lusi berusaha mendorong dada bidang Felix agar menjauhinya.

Bukannya melepaskan Lusi, Felix justru menggenggam erat kedua pergelangan tangan Lusi. Hal itu sukses membuat Lusi panik. Ditambah Felix yang mencondongkan kepalanya ke bawah untuk melihat wajah lesu Lusi.

“Gimana kalau kamu tinggalin suamimu dan menjadi milikku?” goda Felix tersenyum tipis.

Lusi yang awalnya tidak berani menatap Felix, kini menatap pria tampan itu dengan ekspresi kesal.

“Bisa-bisanya kamu ngomong begitu ke istri sahabatmu sendiri! Aku gak mau!” pekik Lusi berusaha sekuat tenaga melepas genggaman Felix.

Akhirnya genggaman itu terlepas.

Felix yang tidak terima telah ditolak malah memeluk Lusi dengan erat. Seolah tak rela jika Lusi pergi. Lusi yang tidak mau dipeluk berusaha melepaskan diri dengan mendorong pundak Felix.

Alangkah terkejutnya Felix saat dirinya terdorong hingga jatuh di atas lantai marmer. Tak menyangka gadis kecil di hadapannya memiliki tenaga sebesar ini.

Felix bangkit berdiri sembari tertawa keras. Menertawakan dirinya sendiri.

Lusi yang takut memundurkan langkahnya, sebelah tangannya meraih vas bunga di sebelahnya untuk dijadikan senjata.

“Kamu mau membunuhku menggunakan vas bunga?” ledek Felix menyeringai. “Beri aku alasan kenapa kamu mau repot-repot mengurus Mark?” tanya Felix penasaran.

“Alasannya, karena aku menyukai Tuan Mark,” tegas Lusi. Tidak ada keraguan di mata maupun di nada biacaranya.

"Alasanmu tidak bisa kuterima, beri aku alasan lain yang lebih masuk akal,” pinta Felix.

“Alasan lain apa? Apakah harus ada alasan untuk menyukai seseorang? Lagi pula kami sudah menikah. Itu artinya, kami sudah ditakdirkan untuk bersama selamanya. Sampai ajal menjemput,” terang Lusi menatap nyalang Felix.

Felix dibuat bingung dengan jawaban Lusi yang terkesan sangat naif. Pikirnya tidak mungkin ada orang sesuci itu.

“Pasti karena Mark seorang miliarder. Mangkanya kamu mau merawatnya. Semua jawabanmu itu bisa dengan mudah aku tepis. Ujungnya tetap sama, yaitu uang, tandas Felix mengklaim secara sepihak.

“Kalau ujungnya memang uang. Berarti aku nolak kamu karena kamu miskin dong. Maaf ya, aku tidak suka laki-laki miskin sepertimu,” sindir Lusi merasa jengah dengan sikap arogan Felix.

“Lusi, kamu masih muda sedangakan Mark sudah berusia empat puluh tahun. Kamu pikir aku bisa percaya denganmu? Aku sudah mengenal banyak wanita di dunia ini. Jangan pura-pura lugu,” cemooh Felix meremehkan ketulusan Lusi.

Bukannya fokus kepada Felix, mata Lusi malah sibuk mencari keberadaan jam di dalam ruangan.

“Ah! Sudah jam sembilan malam! Waktunya Tuan Mark tidur,” pekik Lusi begitu melihat jam dinding.

Lusi berlalu meninggalkan Felix begitu saja, seolah Felix tidak ada di sana.

“Hey, kita belum selesai bicara,” ujar Felix hanya bisa menatap kepergian Lusi.

Lusi segera masuk ke dalam kamarnya. Memeluk erat suaminya yang bermain bersama Gembul.

“Waktunya tidur, Tuan. Maaf ya aku ninggalin kamu lama.” Lusi membantu Mark berbaring dalam posisi ternyaman.

Seperti biasa, Lusi juga ikut berbaring di samping Mark. Memeluk erat lengan kekar suaminya.

“Ada aroma parfum Felix di tubuhmu. Apakah kamu telah bermain gila di belakangku? Sungguh? Kamu setega ini denganku?” tandas Mark menahan amarahnya.

Seketika Lusi bangkit dari rebahannya. Air matanya telah meluncur bebas.

“Maafin aku, Tuan... Tadi Tuan Felix meluk aku waktu aku antar keranjang pakaian kotor ke pelayan. Aku bersumpah! Aku gak pernah main gila di belakang kamu. Aku tidak tertarik dengan laki-laki lain.” Lusi menangis pilu. Takut jika suaminya tak mempercayainya.

Melihat suaminya diam saja, Lusi langsung keluar dari dalam kamar. Dia menemui Felix yang sedang santai di kamarnya.

“Lihat, siapa yang datang? Kamu berubah pikiran?” goda Felix menyambut kedatangan Lusi.

Tanpa menjawab omongan Felix, Lusi menggenggam pergelangan tangan Felix. Menyeret pria itu menuju ke dalam kamarnya. Felix yang kebingungan hanya bisa menurut saja seperti kerbau.

Sampainya di dalam kamar, Lusi berlari menghampiri sang suami. Gadis manis itu mencium kaki suaminya sembari terus memohon ampun.

Felix terkejut sekaligus tercengang melihat pemandangan di hadapannya.

“Felix?” panggil Mark menyadari keberadaan Felix.

Aroma parfum Felix memang menyengat. Dari dulu tidak pernah ganti, jadi Mark bisa mengenalinya.

“Aku benci mengatakannya. Istrimu baru saja menolakku,” pungkas Felix duduk di samping Mark yang berbaring. “Tidak perlu semarah itu, istrimu sangat jago menjaga dirinya. Dia bisa mendorong jatuh pria yang jauh lebih besar darinya,” tambahnya mencoba menenangkan Mark yang dilanda api cemburu.

Sementara itu Lusi sama sekali tak berhenti menangis dan menciumi kaki suaminya.

“Lusi kamu berlebihan sekali,” ejek Felix melihat tingkah Lusi.

“Engga! Tuan Mark sudah tidak mempercayaiku. Aku beneran gak ada hubungan apa pun dengan Tuan Felix. Aku hanya menyukai suamiku saja. Tidak ada pria lain,” terang Lusi terisak.

“Tidak perlu diperjelas, dasar cewek satu ini, nyebelin banget,” sulut Felix sedikit kesal dengan kejujuran Lusi.

Sementara itu Mark tersenyum tipis. Tiba-tiba hatinya sejuk seperti tersiram air yang menyegarkan. Istrinya tak pernah mengecewakannya.

“Lusi, aku percaya kepadamu. Berhentilah menangis dan peluk aku,” pinta Mark bersuara lembut.

Tanpa pikir panjang Lusi langsung menerjang tubuh suaminya. Memeluknya erat.

“Aku beneran benci kalian berdua,” keluh Felix menepuk pundak Lusi pelan.

“Tuan Felix jahatin aku tadi, bilang kalau aku hanya ingin uangmu saja, Tuan.” Setelah puas menangis, barulah Lusi mengadukan sikap Felix terhadapnya. “Aku gak suka Tuan Felix jahat!” seru Lusi tetap menenggelamkan kepalanya di dada bidang sang suami.

“Hebat sekali, Ayo ceritakan semua! Biar aku kelihatan buruk di mata kakakku,” cerocos Felix kesal.

“Memang buruk kok, menuduh seorang istri seperti itu,” sahut Lusi.

“Aku bicara realitas yang pernah kuketahui, kapan aku menuduhmu?” sulut Felix tidak mau kalah.

Keduanya pun saling beradu argumen. Bahkan Felix yang merasa kalah malah melempari Lusi dengan boneka di sekitarnya. Begitu pun dengan Lusi yang membalas perbuatan Felix. Jadilah mereka berdua bertengkar seperti anak kecil.

Mark hanya bisa tertawa kecil merasakan kehebohan di sekitarnya.

“Sudah malam, lebih baik kalian tidur,” ucap Mark membuat keduanya berhenti berperang.

Lusi kembali memeluk suaminya. “Tuan Mark hanya milikku,” tegas Lusi melirik sinis ke arah Felix.

“Baru kali ini aku merasa kalah,” tutur Felix menertawakan dirinya sendiri.

Felix mengelus kepala Lusi dengan lembut sebelum keluar dari dalam kamar mereka.

***

Hari demi hari berlalu begitu saja, tak terasa Felix sudah hampir satu minggu tinggal di kediaman Mark. Meskipun kerap kali bersiteru dengan Lusi. Tak menjadi alasan baginya untuk meninggalkan rumah.

“Katanya sebelum menikah dengan Mark, kamu sempat berkuliah ya? Ambil jurusan apa?” tanya Felix basa-basi.

“Sebenarnya aku gak terlalu paham aku ambil jurusan apa. Pokoknya berhubungan dengan seni gitu.”

Felix cengo mendengar jawaban Lusi. Sepertinya rumor tentang Lusi yang bodoh tidak lah salah.

“Kamu kuliah tapi, tidak tahu falkutas apa kamu ambil? Aku sedikit kagum kepadamu,” sindir Felix. “Coba bilang, bagaimana caramu bisa terdaftar sebagai mahasiswa? Apakah universitasmu jelek?” cibirnya kemudian.

“Aku kuliah di universitas terbaik di Jakarta kok. Alasanku kenapa bisa menjadi mahasiswa adalah karena aku ikut beasiswa tidak mampu dan lolos dalam mengikuti tes. Begitulah... Aku beneran gak paham dengan kelasku. Ya, aku senang saja, soalnya ‘kan dapat uang jajan dan bisa melukis setiap hari,” terang Lusi mengingat kehidupannya selama kuliah.

“Berarti kamu pintar?” tanya Felix bingung.

“Sudah ah jangan tanya terus, kepalaku jadi panas loh,” rengek Lusi memegang kepalanya sendiri. “Pokoknya aku kuliah gara-gara dapat beasiswa,” imbuhnya tidak ingin membahasnya lagi.

“Kamu suka melukis?” tanya Felix masih penasaran.

“Suka banget! Dari kecil suka menggambar, waktu sudah besar, lebih tertarik ke seni lukis. Kupikir pelukis adalah seseorang yang memiliki selira imajinasi tinggi. Keren sekali,” terang Lusi. Matanya berbinar-binar memuji para pelukis hebat di luaran sana.

“Kamu bisa melukis di dalam kamar ‘kan? daripada bosan gak ngapa-ngapain waktu nemenin Mark,” usul Felix.

Lusi menggelengkan kepalanya. “Engga mau ah, nanti aku bisa teledor waktu merawat suamiku,” jawab Lusi tersenyum.

“Emangnya kamu gak pengin berkarir? Kamu masih muda, banyak potensimu yang bisa kamu gali. Kamu yakin mau menghabiskan masa mudamu hanya untuk merawat Mark?” tukas Felix makin penasaran dengan jawaban apa yang akan dilontarkan oleh Lusi.

“Ini pilihanku. Ketika aku ikhlas menikah dengan Tuan Mark, itu artinya aku mendedikasikan seluruh hidupku hanya untuk berbakti dan melayaninya. Tuan Felix kenapa kok masih belum paham juga? Jangan tanya soal itu lagi,” tandas Lusi merasakan kepalanya berdenyut.

Felix memilih mengalah dan tidak melanjutkan obrolan mereka. Padahal dirinya masih sangat penasaran, ingin mengulik kehidupan Lusi sebelum menikah dengan Mark.

Lebih untuk memastikan, apakah Lusi tulus atau hanya berpura-pura.

***

Sekretaris pribadi Nyonya Maria memberi tahu tentang keberadaan Felix di rumah Mark. Nyonya Maria terkejut sekaligus panik. Sebagai orang yang selalu mengawasi Mark sejak remaja, tentu Nyonya Maria sedikit mengetahui tentang Felix.

“Gawat! Meskipun aku tidak pernah bertatap muka dengan Felix. Tapi aku tahu kalau Felix bukan orang biasa. Jika Felix mengetahui soal obat yang selama ini diminum oleh Mark. Kita bisa berakhir.”

“Memangnya obat apa yang ibu beri kepada Kak Mark?” tanya Aldo, nama anak kandung dari Nyonya Maria. Satu-satunya anak kesayangan Nyonya Maria.

“Obat? Itu bukan obat. Melainkan racun yang mampu melemahkan saraf di kaki.”

BERSAMBUNG

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Samsung Jduaprem
haduuuh nyonyah sihir ada rasa takut ya jg toh......
goodnovel comment avatar
Bripka Dedy Zazg
nyonya Maria yg jahat
goodnovel comment avatar
Yusmi
bagus ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status