"Ayah, apakah aku harus benar-benar menikah dengan paksaan seperti ini?” Xue Ningyan menunduk dengan tangan mengepal.
Suasana suram dengan suara deras air hujan di luar mewarnai ketegangan di dalam Kediaman Xue yang sedang membahas pernikahan politik yang direncanakan sang Ayah untuk Ningyan. Menteri Xue meletakkan cangkirnya dengan sedikit tenaga, "Kau tidak boleh menolaknya, Ningyan. Ayah butuh kekuasaan Menteri Keuangan untuk memperkuat posisi Ayah di rapat Istana, serta mempercepat proses Ayah dipromosikan ke tingkat pejabat yang lebih tinggi." Memangnya benar, hanya karena itu? Semua pejabat di Ibu Kota Kekaisaran sudah tahu kalau Menteri Pekerjaan Umum terancam diturunkan jabatannya menjadi pejabat rendahan yang tidak punya tingkat. Semua itu berawal dari ketidakseimbangan yang terjadi di faksi Pangeran Kedua setelah Baginda Kaisar mengganti menteri di Kementerian Perang yang sangat berpengaruh di faksi Pangeran Pertama. Kementerian Pekerjaan Umum dikeluarkan dari faksinya setelah Menteri Perang berganti, dan mulai mencari cara agar jabatannya tetap aman dengan mencoba berpihak pada faksi lawan. Cara seperti ini jarang terjadi dan hanya ada satu kesempatan. Kalau gagal, selain dianggap mengkhianati faksi sendiri, jika Baginda Kaisar tidak puas dengan kinerjanya setelah dicabut haknya dari faksi Pangeran Kedua, jabatan yang dipegang Xue Yuan bisa hancur kapan saja. Menteri Keuangan bersedia menolongnya dengan syarat menikahkan salah satu dari kedua putri Xue Yuan dengan putra keempatnya. Ningyan memang tak pernah keluar rumah karena kondisi tubuh yang kurang bagus, tapi bukan berarti dia tidak mengerti apa pun tentang pekerjaan ayahnya. Kalau begitu, bukankah sama saja dengan ‘menjual’ Ningyan kepada seseorang demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar? Meski tahu kehidupannya menyedihkan sepeninggal ibu kandungnya yang bahkan seorang istri sah, Ningyan tidak pernah menyangka sang Ayah bisa sampai hati memperlakukannya seburuk itu. "Karena pernikahan ini penting, kenapa Ayah tidak meminta Adik Kedua saja? Dia lebih memahami tata krama dan etika di kediaman bangsawan, dan terkenal dengan reputasi yang baik." Xue Ningyan tertunduk dalam, sesekali, tidak ada salahnya melawan. "Aku tidak terbiasa dan malah takut mempermalukan martabat Ayah. Keluarga Shen sangat ketat dan mendahulukan wanita beretika dan memiliki pendidikan yang baik." Menteri Xue memukul meja, membuat Xue Ningyan dan Xue Fengzhi yang berada di ruangan itu terperanjat. Menteri Xue menyorot Xue Ningyan dengan tajam. "Maksudmu, kau meragukan pilihanku? Aku bilang kau akan menikah dengan Tuan Muda Keempat Shen, maka kau harus berangkat menikah ke sana bagaimana pun caranya." "Lagipula, kau tahu Kediaman Shen sangat ketat urusan wanita. Jadi, kenapa aku harus mengirim putri kesayanganku ke sana dan membahayakan dirinya? Bodoh, sebagai kakak, kau harus mengalah padanya dan melindunginya dengan nyawamu!" Xue Ningyan menunduk, "Ayah, aku sudah menyukai seseorang." Bahkan meski tidak menyukai siapa pun, Ningyan jelas tidak mau menikah dengan orang yang bahkan tak dikenalnya itu. "Ah, apakah seseorang yang Kakak maksud adalah Tuan Muda Gu? Maaf, tapi aku baru saja menyuruh Ayah mengirimkan surat lamaran ke kediamannya secara khusus agar Tuan Muda Gu mau menikahiku." Xue Fengzhi tersenyum dengan mata menyipit. "Kakak, Keluarga Gu tidak memiliki kekuatan yang sebanding dengan Tuan Ke-empat Shen karena mereka hanya pengusaha, bukan pejabat Ibukota. Kau pasti lebih aman jika menikah dengannya." Xue Ningyan tertegun. 'Jadi, inikah alasan sebenarnya Ayah menjodohkanku dengan Tuan Muda Keempat Shen? Karena Fengzhi menyukai Gu Shiyi?' Xue Fengzhi menuangkan teh ke dalam cangkir Ningyan, lalu menyodorkannya dengan lembut ke hadapan Ningyan. "Kakak, sebagai seorang Kakak, tidak ada salahnya kau sesekali mengalah kepada adikmu." 'Aku tidak masalah jika berkali-kali mengalah, Fengzhi. Tapi yang kau rebut kali ini, adalah kekasihku.' Ningyan menunduk, dia tidak seberani itu untuk mengatakannya secara terang-terangan. Di tengah hujan deras malam ini, Ningyan berdiam diri di kuil leluhur. Mengeluh kepada ibunya tentang ayahnya yang tidak pernah peduli padanya. Dia sudah menjalin hubungan dekat dan saling berbalas perasaan dengan Gu Shiyi sejak satu tahun lalu. Dia sama sekali tidak menyadari bahwa Xue Fengzhi akan bertindak sejauh ini untuk merebut Gu Shiyi darinya. Pernikahan Xue Ningyan dengan Tuan Muda Ke-empat Shen bukan sekadar urusan politik antara Tuan Besar Shen dan ayahnya saja, tapi juga konspirasi dari Xue Fengzhi yang selalu saja ingin merebut apapun dan siapa pun yang dekat dengan Ningyan. "Ibu …, haruskah aku melepaskannya dan menikah dengan tidak rela?" Ningyan bergumam dengan suasana hati kacau. "Ningyan …," suara berat seorang pria membuat lamunannya terpecah. Ningyan menoleh ke belakang, pintu Aula Leluhur terbuka. Menampilkan sosok pemuda bertubuh tinggi yang sangat dikenalnya. Ningyan berdiri dan menghampirinya. "Gu Shiyi …," gumamnya. Gu Shiyi tersenyum, "Kudengar kau akan segera menikah dengan Shen Qi, aku datang untuk memastikannya sendiri." Ningyan menunduk. "Sebelum itu, Gu Shiyi …, apakah kau benar-benar menerima surat lamaran dari ayahku untuk Xue Fengzhi?" Gu Shiyi terdiam, "Bagaimana kau tahu soal itu?" "Bagaimana lagi selain Xue Fengzhi sendiri yang memberitahuku." Ningyan tersenyum getir. "Lalu, apakah kau sudah menerima surat lamaran itu dan memutuskan untuk menikahinya?" "Bagaimana denganmu?" "Eh?" Ningyan tertegun, menatap Gu Shiyi yang menampilkan senyum polos ke arahnya. "Apakah kau juga akan menikah dengan Shen Qi?" Ningyan terdiam kala pikirannya berkecamuk sendiri. 'Apakah aku harus berbohong padanya? Atau kukatakan yang sebenarnya? Dia mungkin tidak menyukai Fengzhi, tapi Fengzhi tampaknya sangat menyukainya. Jika begitu, bukankah aku semakin harus yakin?' "Ningyan, apakah pertanyaanku begitu sulit untukmu?" Gu Shiyi mendekatkan wajahnya dengan menunjukkan denting khawatir. Ningyan menatapnya dengan serius, "Aku akan segera menikah, Gu Shiyi. Dengan Tuan Muda Ke-empat Shen yang sudah lama aku kagumi." Gu Shiyi menyeringai tipis, matanya menatap dengan sorot penuh iba. “Benarkah?” Jantung Ningyan berdegup kencang. ‘Apa ini? Kenapa ekspresinya tiba-tiba berubah jadi mengerikan begitu?’ “Gu …, Shiyi?” Ningyan bergumam pelan. Gu Shiyi menyeringai lebar, “Kalau begitu, aku tidak perlu merasa bersalah, kan?” “Apa?” Manik Ningyan membulat, tidak percaya dengan perkataan Gu Shiyi yang tak terduga itu. “Yah …, aku pikir aku harus melihatmu menangis terisak saat menerima nasibmu yang sangat kasihan itu.” “Gu Shiyi, apa maksudmu?” Ningyan mencengkeram lengan Gu Shiyi, meminta penjelasan. “Ah, tadi kau bertanya apa aku menerima lamaran Xue Fengzhi atau tidak, kan? Jawabannya, tentu saja aku menerimanya.” “Gu Shiyi?” Ningyan menatap intens, sungguh berharap telinganya bermasalah dan salah mendengar perkataan Gu Shiyi. “Aku turut senang jika kau menerima Shen Qi dengan lapang dada, Ningyan. Jadi aku tidak merasa bersalah ketika aku menikah dengan Fengzhi nanti. Aku pergi sekarang, semoga pernikahanmu sukses, ya.” Gu Shiyi tersenyum tipis, melepas paksa cengkeraman tangan Ningyan di lengannya. Tubuh Ningyan luruh ke bawah. ‘Apa itu? Aku tidak mengerti. Tapi Gu Shiyi terlihat sangat menantikan hari ini. Dia sudah merencanakannya?’ Ningyan meremas rambut di kepalanya, matanya terpejam kuat, air mata terus memasahi wajahnya, “Kenapa aku harus mengalami semua ini …?” Dia menghela napas panjang, berusaha untuk melupakan Gu Shiyi dan kalimatnya yang menyakitkan itu. Sementara pernikahannya dengan Shen Qi jelas akan dilakukan dalam waktu dekat. Dia harus memikirkan cara untuk keluar dari situasi ini jika tidak ingin masa depannya hancur. Pernikahan seperti ini, Ningyan tidak bisa menghindarinya meski dia berusaha sekali pun. Dari yang orang lain lihat, Ningyan seperti menerimanya dengan terpaksa. Tapi, apakah dia sungguh berpikir seperti itu? Ningyan memejamkan mata dan bergumam dalam hati, ‘Tuan Muda Keempat, Shen Qi, ya?’Beberapa hari sebelum perayaan tahun baru, langit istana terbungkus kabut tipis. Udara pagi itu dingin, menusuk sampai ke tulang, membuat embun membeku di ujung genting berlapis emas. Di dalam ruang audiensi dalam, lilin-lilin panjang berwarna merah darah menyala pelan, memantulkan kilau di permukaan lantai giok.Baginda Kaisar duduk di atas singgasana naga, tubuhnya tegak, tatapannya dingin seperti mata pedang yang belum dihunus. Di hadapannya, Kanselir berlutut dengan kedua tangan terangkat, memegang sebuah gulungan yang terbungkus kain sutra biru.Beberapa hari lalu, dialah yang pertama kali meminta Baginda untuk mengambil kembali surat wasiat Permaisuri Terdahulu dari tangan Pangeran Pertama, surat yang dicuri dengan cara yang bahkan tak pantas disebut licik, karena melanggar batas kehormatan istana. Namun, bagian itu tak lagi perlu dibicarakan. Yang penting sekarang, gulungan itu telah kembali.Kaisar meraih gulungan tersebut, lalu menatapnya lama. Jemarinya menyusuri tepi seg
Langit istana hari ini cerah, seperti sengaja dibersihkan oleh para dewa agar tak satu pun awan menghalangi kilau emas dari atap-atap bergaya Han yang menjulang angkuh. Butiran salju menyisakan genangan-genangan air yang sepauh keruh separuh jernih, namun masih bisa memantulkan bayangan seseorang yang berdiri di atasnya. Dari kejauhan, bendera-bendera berwarna merah dan kuning berkibar pelan tertiup angin musim dingin yang kering. Suara tambur dan seruling bambu bersahutan, menciptakan irama khas tahun baru yang sakral namun meriah. Pelataran utama telah dibersihkan sejak dini hari, bebatuan putih yang mengilap, barisan lentera merah yang tergantung berjejer, dan pagar kayu bercat emas yang membingkai seluruh area perjamuan seperti bingkai lukisan surgawi.Meja-meja persembahan dipenuhi buah-buahan, aneka kue beras, daging asap, dan minuman hangat beraroma jahe. Di tengah aula utama, para penari istana mulai mengambil posisi, mengenakan pakaian tipis bertabur manik-manik, mereka me
Fajar menyembul dari balik tirai tipis yang bergoyang pelan ditiup angin musim dingin. Pagi tahun baru. Hangat cahaya keemasan yang menerobos jendela menciptakan lukisan tak kasat mata di dinding kamar, menyinari ujung selimut dan rambut panjang Xue Ningyan yang terurai di bantal.Di sisi lain ranjang, suara tangisan kecil terdengar lirih—bukan keras, bukan rewel, melainkan rengekan khas bayi yang baru bangun dengan mata separuh terpejam.Xue Ningyan bangkit perlahan. Rambutnya masih sedikit kusut, matanya belum sepenuhnya terbuka, tapi tangan refleksnya sudah bergerak sigap mengangkat sosok mungil itu ke pelukannya."Bangun pagi sekali, hm?" bisiknya sambil mengecup dahi kecil itu. "Hari ini Ayah dan Ibu harus pergi sebentar. Xiao Yan tinggal di rumah dengan Nenek, ya?"Dari balik tirai dalam, terdengar suara lembut pemuda yang tengah mengenakan sabuk di pinggangnya. "Dia pasti lebih senang tinggal di rumah daripada ikut ke tempat penuh orang yang semua baunya sama—politik."Xue Ning
Hening panjang menindih udara. Debu di udara pun enggan bergerak saat kalimat itu keluar dari mulut Baginda Kaisar—tajam, gamblang, tanpa jalan pulang.“Atau …, apakah ajudanmu itu adalah orang yang mencuri surat wasiat Permaisuri Zhang Jingyi dari tangan Tuan Kanselir?”Pangeran Pertama tidak menjawab.Batu catur putih yang sejak tadi digenggamnya perlahan diletakkan ke papan. Suaranya nyaris tak terdengar, namun gaungnya seperti mengiris telinga. Gerakan kecil itu tak sekadar tanda bahwa ia masih hidup, tetapi bahwa pikirannya masih bekerja—berputar, menggiling setiap kemungkinan.Tatapannya tak bergerak dari batu catur itu. Bukan karena takut. Bukan pula karena malu. Tapi karena ia tahu—kata-kata yang sembarangan bisa membakar jalan keluar satu-satunya.Lidahnya seperti terikat. Tapi bukan karena tidak ada jawaban. Justru karena terlalu banyak.“Jika memang benar surat itu hilang,” ucapnya akhirnya, lambat, dingin, dan penuh perhitungan, “maka yang mengambilnya tentu bukan orang se
Esok paginya.Langit masih abu-abu ketika Pangeran Pertama melangkah menuju ruang pribadi Baginda Kaisar. Sepanjang lorong, suara derap langkahnya bergema, menandakan bahwa ia tak berniat menyembunyikan kedatangannya.Saat Pangeran Kedua mengunjunginya secara tiba-tiba tepat setelah kepulangannya, Pangeran Pertama menyadari dengan jelas bahwa dirinya telah diawasi sejak memasuki Ibukota.Dan kepergiannya ke Beizhou telah dibocorkan oleh seseorang bahkan jauh sebelum dirinya melintasi gerbang Ibukota.Setelah kehilangan Ying Shi yang terluka parah hingga tak mengenalinya lagi, Pangeran Pertama memutuskan untuk menghentikan segala macam aktivitas di luar perintah Baginda Kaisar yang jelas berkaitan dengan upayanya memenangkan kursi takhta.Tanpa Ying Shi, Pangeran Pertama tidak mampu menangani semuanya dengan baik. Sehingga lebih baik mundur sejenak untuk mengambil langkah yang lebih besar.Pangeran Pertama menghela napas pelan, mencoba menenangkan diri dari pikiran yang berkecamuk sepa
Yang Yunshui berjalan masuk ke dalam kediaman bersama Xiao Ci yang diperintahkan untuk mengantar tamu masuk. Xue Ningyan memilih menunggu di halaman belakang karena tidak ingin mengganggu obrolan penting mereka. Karena dia sudah menyampaikan apa yang bisa dia sampaikan pada suaminya. Setelah memasuki ruangan Yang Yunshui membungkuk takzim. “Salam hormat, Yang Mulia Pangeran.”Shen Qi menatapnya. “Aku bahkan belum secara resmi diakui sebagai pangeran, Tuan Kanselir. Jangan dulu berbasa-basi seperti itu.”Yang Yunshui mengangguk. “Baik, Tuan Muda.” Yang Yunshui duduk di kursi yang disediakan. Lalu mulai membicarakan pertemuannya dengan Baginda Kaisar semalam. “Baginda Kaisar …, memiliki niat untuk mencari Anda, Tuan Muda.” Yang Yunshui mulai bicara. “Saya membuat taruhan dengan beliau. Taruhan untuk tidak memilih Pangeran Pertama maupun Kedua. Baginda Kaisar …, saya meminta beliau untuk membantu saya merebut surat wasiat Mendiang Permaisuri Zhang Jingyi dari tangan Pangeran Pertama