Fiani melangkah dengan sisa-sisa tenaga. Wajah pucat pasi membikin dia diizinkan pulang cepat. Sejatinya dia tidak mau hal buruk terjadi, tetapi naluri sebagai perempuan beranak satu menyimpan rasa sakit amat dalam.Hatinya tidak seberapa, dia lebih pikirkan nasib bocah yang butuh sosok orang tua. Alangkah buruk jadinya ketika Reni diasuh oleh salah satu orang tuanya saja? Bagi Fiani dalam diri anak perlu ditanamkan sosok feminin dan maskulin. Agar anak memiliki sifat lembut, tetapi juga berani.Melihat taman sepi dari orang-orang kasmaran, dia memilih berbelok. Mencari tempat pas untuknya bisa menelepon Verry. Dia keluarkan laptop dari tas, membuka, dan menghidupkannya. Fiani kabari Verry agar mau melakukan Skype karena ada hal darurat ingin dibicarakan. Memakan sepotong roti lebih baik, daripada menunggu dengan diam saja.Roti selai Strawberry penuh, kesukaan Fiani – rasanya berubah pahit. Entah bagaimana ceritanya mulut Fiani tidak enak sejak semalam.Cepat-cepat Fiani letakkan si
Ceklek!“Mas, kamu harus bertanggungjawab, ini semua gara-gara ide konyolmu itu. Arsa batalin pernikahan kami! Dia tau semuanya, semua ... Mas! Bahkan dia membongkar rahasia ini di depan keluargaku dan keluarganya. Aku di usir oleh ayahku. Aku hancur, Mas. Semua rencana gagal karena kamu! Hu-hu-hu. Hancur semua ... .” Jeni memukuli dada Verry.Pada pukulan terakhir, tangan Jeni ditangkap oleh Verry, dia menatapnya garang.Plak!“Kamu menikmati drama ini, tapi menyalahkan aku. Uang sudah masuk perutmu, begitu juga aku yang sudah bikin kamu nggak kesepian lagi. Menurutmu cuma aku yang salah? Dasar wanita jalang! Mana mungkin bocah tengil itu mau dengan barang bekas. Anggap saja semua selesai, kita nggak perlu lagi bahas apa pun, dan anggap nggak saling kenal.”Verry memutar tubuhnya, lalu mendorong pintu hendak menutup. “Gila aja harus menanggung hidupnya,” gerutu Verry.Jeni mematung seolah terhipnotis, dan tersadar ketika mendengar kalimat terakhir dari mulut Verry. Dia mulai memikirk
Lima bulan lebih berlalu. Fiani mengubah gaya hidupnya dari pemikir jadi cuek bebek. Masalahnya dengan Verry tidak ubahnya seperti lingkaran. Cuma berputar-putar saja dengan topik sama. Fiani mulai mendengarkan nasihat-nasihat temannya, kalau tidak ... mungkin badannya habis tersisa kulit menempel pada tulang.Tidak! Tentu Fiani berpikir bagaimana caranya dia bisa bangkit. Sore itu, dia pilih menikmati pemandangan indah di taman bunga. Fiani mulai membiasakan diri membaca novel, buku yang dikirim Arsa lewat jasa kirim. Dia beruntung punya sahabat seloyal dan seroyal Arsa. Tidak pernah hitungan kalau memberi sesuatu. Jika mau membandingkan, Arsa jelas lebih segalanya dari Verry.Sedikit demi sedikit, Fiani juga mengetahui masa lalu Verry. Sebenarnya dia tidak pernah mempermasalahkan apa pun dunia hitam yang pernah Verry lalui. Namun, bukan berubah, Verry justru membohongi secara berkala. Tidak ada gunanya menyesali sesuatu yang sudah terjadi.“Seru juga bac
Banyak istri bertahan dalam ikatan pernikahan karena lebih mementingkan imbasnya pada anak. Opini tersebut tidak seratus persen salah. Selain sifat ibu yang perasa, seorang ibu memiliki kedekatan intim dengan anak, maka dari itu banyak istri rela mengorbankan seluruh jiwa raga demi tumbuh kembangnya anak. Ibu tidak ingin anak hidup tanpa dampingan kedua orang tuanya.Mereka para istri sering mengesampingkan mentalnya sendiri. Padahal secara tidak langsung, mental anak bisa terganggu jika dididik dalam keluarga tidak maupun kurang harmonis. Kebersamaan orang tua bukan jaminan anak berkembang baik, kalau setiap harinya disuguhi pertengkaran, ataupun pengkhianatan sang ayah pada ibunya.Semua itu sudah Fiani pikirkan matang. Ketika pulang ke tanah air nanti, dia akan segera mengurus perceraian beserta hak asuh. Namun, dia merasakan ketar-ketir andai nanti Reni menolak ikut dengannya. Pergi selama tiga tahun, cukup membikin bocah seusia Reni melupakan memori emasnya.Saat ditelepon Fiani
Bruk! “Aduh! Sialan kamu, Al! Bisa nyetir nggak, sih?” Arsa spontan mengumpat, bibirnya tambah nyeri setelah es batu di tangannya nyusruk akibat Ali mendadak mengerem kendaraan. Tatapan mata Ali tetap fokus ke jalanan, lalu dia kembali melajukan mobil. “Kamu normal?” tanyanya tanpa melirik ke samping. Arsa melotot, dia langsung membuka jendela kaca, melempar sisa es batu ke tepi jalan, dan menyimpan plastiknya ke kotak sampah di bawah dashboard. “Maksud kamu apa nanya gitu?” Ali mengangkat bahunya sebagai jawaban. Kelakuan Ali masih saja seperti itu, selalu memantik kekesalan Arsa. Makanya Arsa enggan pergi dengan sepupunya itu kalau tidak ada hal penting di luar kendalinya. Arsa mengelap bibir pakai tisu. Ternyata cukup sakit rasanya ditinju oleh Verry. Untung saja saat menelepon Fiani tadi lebamnya belum terlihat jelas. Arsa menggaruk pelipisnya, dia ingat zaman sekolah dulu. Sering sekali dapat tonjokan akibat menghalangi teman lelakinya mendekati Fiani.
Akibat banyak pikiran, Fiani akhirnya jatuh sakit lagi. Tubuh seseorang bisa menjadi ringkih ketika pikiran dan emosinya cenderung tertekan. Perasaan kecewa dan takut terus-menerus menghantui, membikin energi dalam diri Fiani terkuras. Mau tidak dipikir tetap saja kepikiran. Pada kondisi sakit, Fiani masih memaksakan tubuhnya kuat, dan pergi bekerja. Ya, meskipun setiap pulang dari kerja dia akan menggigil hebat.Fiani tertatih-tatih berdiri, dia sedang menyiapkan air jahe untuk menghangatkan tubuhnya. Obat-obatan sudah diminum, tapi belum sembuh juga. Setelah tiga hari demam, dia coba membeli ramuan tradisional di sana. Dia pikir ramuan akan lebih bersahabat dengan tubuh karena terdiri dari bahan-bahan alami.Fiani menyeruput sedikit demi sedikit. Lumayan hangat untuk tubuhnya yang masih meriang. Dia ingat ponselnya, sudah seminggu lebih tidak digunakan sama sekali. Baterainya menipis, dan Fiani langsung mencolokkan pengisi daya. Dia membuka dua puluhan pesan masu
“Aku capek hidup dalam kebohongan terus-menerus, Mas! Kenapa sih, kamu harus bilang sama Mbak Fia kalo kita udah pisah? Udah betul dia tau dan nggak protes, kamu malah bikin ulah lagi! Mau sampe kapan aku diperlakukan seperti ini, Mas?” Jeni berteriak keras sekali, untung saja jarak rumah Verry ke tetangga agak jauh. Dia baru merasakan hidupnya dipermainkan oleh Verry.“Aku nggak pernah minta kamu seperti ini. Kamu sendiri datang menawarkan onderdil ORI milikmu, ya ... sebagai lelaki aku nggak tega menolaknya. Apalagi bocah tengil itu ogah menyentuhmu. Empatiku seolah meronta untuk menolongmu, dan ... memberikan servis terbaik supaya kamu nggak penasaran.”Jeni menarik kaos Verry, dia tidak terima karena Verry seolah tidak pernah menginginkan dirinya. Semua sudah gadis itu berikan pada Verry, bahkan dia sampai rela mahkotanya lecet-lecet demi menuruti kemauan Verry yang tergolong tidak biasa.Kebiasaan Verry meminum jamu kuat menambah keinginannya lebih ta
Bulan-bulan terakhir masa kontrak, Fiani manfaatkan untuk merawat diri. Dia tidak ingin ketika pulang nanti Verry lebih merendahkannya. Hubungannya dengan Verry kini membaik, bukan sekadar terpesona, Verry sepertinya ada maksud terselubung di balik sikap baiknya.“Fi, kalo pengen beli apa-apa, beli aja. Jangan ditahan-tahan, bikin kamu tertekan, sedangkan suamimu aja nggak peduli.”“Iya, Mbak ... aku pikir rugi sendiri memikirkan Mas Verry.”Fiani hanya dengan Ida, mereka berjalan-jalan menikmati akhir pekan yang sejuk. Mengobrol banyak hal, terutama masalah rumah tangga. Ida sempat bertanya, apakah Fiani akan pulang ke rumahnya ketika kembali ke tanah air nanti? Fiani cuma tersenyum tipis. Jika menuruti ego, tentu enggan pulang ke rumah – di mana kediamannya yang nyaman, telah berubah menjadi tempat kumpul kebo.Usai berkeliling, mereka pulang ke indekos milik Fiani, menghabiskan seharian berdua. Fiani senang memiliki teman sebaik Ida, dia sudah seperti kakak bagi Fiani.“Fi, kamu su