Fiani masih menatap laptop di depannya, dia mulai khawatir dengan sang mertua yang kerap mengganggu rumah tangganya. Dia juga kasihan pada Verry, harus menggantikan perannya mengurus Reni. Di saat seperti itu, ingin sekali dia punya kantong ajaib, dan pulang ke Indonesia dalam kedipan mata.Air matanya menetes lagi ketika bayangan Reni begitu lahap makan mi instan. Bocah itu tampak seperti anak kurang makan.“Ya Allah, amit-amit. Jangan sampe Reni kekurangan, apalagi kurang makan,” gumam Fiani. Dia langsung menyambar ponsel, lalu mengirim uang melalui SMS ke rekening Verry. Alhamdulillah, sudah dari seminggu lalu Fiani memutasi uangnya ke tabungan Indonesia.Ketika hendak menutup laptop, Fiani malah ingat Arsa. Walaupun mengantuk, dia tetap berkutat di sana. Dia membuka tautan Yahoo untuk berkirim surat elektronik ke Arsa. Tidak ada lagi cara lain, harapannya Arsa sedang bekerja, dan bisa cepat membalas emailnya. Bak pelangi setelah hujan, Fiani masih punya harapan, email ke Arsa terk
Sejak dituding sebagai pelaku kecurangan, Arsa mulai mawas diri. Sibuk membikin dia banyak kehilangan informasi. Semua dilakukan demi meraup rupiah agar bisa menikahi Tina. Namun, dari pertemuannya seminggu lalu, Arsa agak ragu.Dia sudah berjanji pada Fiani akan mengumpulkan bukti-bukti dalam kasus itu. Arsa akan kesampingkan persiapan pernikahannya dulu. Sasaran utama adalah Verry, suami dari Fiani. Bisa-bisanya Arsa yang tidak tahu apa-apa menjadi kambing hitam.Hari itu, Arsa sengaja bekerja setengah hari, lalu dia bertukar mobil dengan Bob Ali sepupunya. Arsa menceritakan detail masalah penggelapan itu. Aura tampan di wajahnya berubah suram, rasa tidak terima difitnah melukai hatinya. Padahal Arsa tengah berusaha berpikir positif pada suami Fiani. Kenyataannya, Verry tetap menjadi Verry. Arsa tahu bagaimana orang-orang menjuluki Verry dengan versi mereka masing-masing.“Wah, ini sudah masuk kasus penggelapan, Ar. Kita harus melaporkan ke polisi. Aku bisa bantu kamu untuk urus sem
Di luar dugaan, Arsa melihat fakta yang jauh dari praduganya. Matanya memerah menahan gelombang panas. Darahnya seakan mendidih mendapati dua manusia bertopeng. Perut Arsa tiba-tiba mual melihat wajah perempuan itu.Entah sudah berapa kali dia meninju setir mobil, sampai ingat kalau dia bukan pemilik kendaraan tersebut.“Et ... et ... eh, untung aja nggak copot ini setirnya. Kalo rusak bisa berabe. Rugi banyak Akang, Dek.” Arsa mengelus dada. Rupanya dia lebih takut kalau mobil Ali sampai lecet, daripada kehilangan perempuan murahan itu.Arsa menekan tombol telepon, tetapi cepat dia matikan lagi. Dia menahan dulu keinginan memberi kabar Fiani. Gegabah akan membikin dirinya rendah.Menuduh tanpa bukti tentu cuma akan menjadi omong kosong saja. Arsa menghindari hal seperti itu. Dia ingin kepercayaan Fiani kembali untuknya. Jadi, sebisa mungkin dia harus memiliki bukti-bukti akurat.Arsa memutar otak lagi, apakah saksi akan cukup menyelamatkan dia dari fitnah? Akhirnya dia menelepon Ali
Dua Minggu berlalu lengang, Arsa tidak menelepon lagi, atau sekadar mengirim seutas pesan. Komunikasi dengan Verry juga terhambat, kadang tidak diangkat, kadang juga nomor tidak aktif. Fiani menahan gejolak beraneka bentuk di rongga dadanya, dia berusaha kuat.Tiga hari lalu, Fiani berkunjung ke fasilitas kesehatan di sana, dia konsultasi pada dokter. Alhamdulillah, usai meminum obat tidur, dia jadi lebih segar saat bangun pagi.Inginnya bersikap cuek, masa bodo, atau pura-pura tuli dengan keadaan, seperti petuah teman-temannya. Namun, dia belum bisa. Ah, entahlah mungkin memang tidak bisa. Segala jurus sudah dicoba, tetapi tetap kalah dengan naluri keibuannya.Akhir pekan ini, dia pergi berkumpul dengan Ida dan lainnya. Pulang sekitar pukul tiga sore. Ternyata dia bisa tersenyum kala itu, beban di sudut hatinya juga sedikit memudar. Kadang dia ingin bebas di akhir pekan, lagi-lagi masih memikirkan keluarga. Dia takut niatnya mencari pemulihan ekonomi jadi gagal cuma gara-gara dia hur
Pantas saja Verry sulit dihubungi, ternyata alasannya adalah ini. Fiani mengirim pesan pada Verry, dia bertanya mengenai Reni, tetapi nihil. Sesuai kesepakatan, dia bungkam sampai esok hari. Demi rencana Arsa bisa berjalan mulus.Fiani habiskan malam itu dengan merenung dan membaca surat pernikahan siri suaminya. Tina Jenia, Fiani baru tahu nama panjang calon istri Arsa. Dia mendadak mengingat malam menyakitkan itu. Ketika dirinya dibandingkan dengan perempuan bernama Jeni. Rupanya Verry sudah bermain api sejak saat itu. Namun, rasa penasaran harus dia telan dalam-dalam.Paginya, di belahan negara lain, Jeni mematut diri di depan kaca. Kiranya pantas, dia segera pergi. Dia tidak ingin tampak rendah di mata keluarga Arsa. Senyum terus mewarnai wajah cantiknya, dia agak berdebar, juga tidak sabar menerima sebuah kejutan.“Kenapa membawa baju sebanyak itu.” Verry menyandarkan kepala pada telapak tangan kanan. Yang sebelah kiri dia pakai membersihkan kotoran mata. Lelah merongrong badanny
Jeni mematung, seluruh raga mulai bergetar, wajahnya memanas, hatinya sangat sakit. Dia berdiri, tak terima dengan keputusan sepihak.“Nak, kalian ada masalah apa? Coba jelaskan dulu.” Bu Retno menepuk punggung tangan Jeni. Gadis itu menggeleng, wajahnya sudah kelihatan pucat.Semua orang penasaran, menunggu alasan Arsa memutus sepihak. Satu per satu mencecar Arsa dengan pertanyaan sama. Sebelum cerita, Arsa kembali meminta maaf. Waktu dan tempat sudah diberikan padanya, dia menarik napas dalam, lalu mengeluarkan bukti-bukti yang sudah didapat.Sudah seperti artis jumpa penggemar, Arsa berdiri di tengah-tengah keluarga. Dia mengangkat kertas pernyataan nikah siri Tina Jenia dan Verry.Pak Rado merampas kertas tersebut, dia membaca ulang karena mata minusnya melihat remang-remang.“Siapa Verry, Tin? Lelaki mana yang menikahimu tanpa persetujuan Ayah. Ibu tau?” Pak Rado meradang, menarik tangan Jeni. Namun, Bu Retno merangkulnya dan mengusap dada Pak Rado menenangkan.“Sa, bicarakan dul
Fiani melangkah dengan sisa-sisa tenaga. Wajah pucat pasi membikin dia diizinkan pulang cepat. Sejatinya dia tidak mau hal buruk terjadi, tetapi naluri sebagai perempuan beranak satu menyimpan rasa sakit amat dalam.Hatinya tidak seberapa, dia lebih pikirkan nasib bocah yang butuh sosok orang tua. Alangkah buruk jadinya ketika Reni diasuh oleh salah satu orang tuanya saja? Bagi Fiani dalam diri anak perlu ditanamkan sosok feminin dan maskulin. Agar anak memiliki sifat lembut, tetapi juga berani.Melihat taman sepi dari orang-orang kasmaran, dia memilih berbelok. Mencari tempat pas untuknya bisa menelepon Verry. Dia keluarkan laptop dari tas, membuka, dan menghidupkannya. Fiani kabari Verry agar mau melakukan Skype karena ada hal darurat ingin dibicarakan. Memakan sepotong roti lebih baik, daripada menunggu dengan diam saja.Roti selai Strawberry penuh, kesukaan Fiani – rasanya berubah pahit. Entah bagaimana ceritanya mulut Fiani tidak enak sejak semalam.Cepat-cepat Fiani letakkan si
Ceklek!“Mas, kamu harus bertanggungjawab, ini semua gara-gara ide konyolmu itu. Arsa batalin pernikahan kami! Dia tau semuanya, semua ... Mas! Bahkan dia membongkar rahasia ini di depan keluargaku dan keluarganya. Aku di usir oleh ayahku. Aku hancur, Mas. Semua rencana gagal karena kamu! Hu-hu-hu. Hancur semua ... .” Jeni memukuli dada Verry.Pada pukulan terakhir, tangan Jeni ditangkap oleh Verry, dia menatapnya garang.Plak!“Kamu menikmati drama ini, tapi menyalahkan aku. Uang sudah masuk perutmu, begitu juga aku yang sudah bikin kamu nggak kesepian lagi. Menurutmu cuma aku yang salah? Dasar wanita jalang! Mana mungkin bocah tengil itu mau dengan barang bekas. Anggap saja semua selesai, kita nggak perlu lagi bahas apa pun, dan anggap nggak saling kenal.”Verry memutar tubuhnya, lalu mendorong pintu hendak menutup. “Gila aja harus menanggung hidupnya,” gerutu Verry.Jeni mematung seolah terhipnotis, dan tersadar ketika mendengar kalimat terakhir dari mulut Verry. Dia mulai memikirk