“Kamu kenapa gak ngerti sih, La! Ini pelanggan berharga dan aku gak bisa tinggalin bengkel gini aja! Mana aku tahu kalau Sabtu dia bakalan ke bengkel!” teriak Dimas menggema ke seluruh penjuru ruangan.
“Tapi kamu udah janji, Mas! Kamu udah janji anterin aku kontrol ke Bidan! Satu hari ini aja, Mas. Tolong, Mas..” ucap Lila yang melemah di akhir kalimatnya. Air mata sudah tidak bisa ia bendung dari sudut mata lentiknya.
“Nangis, nangis, nangis aja bisamu!” ucap Dimas dengan lantang.
Lila makin menangis tergugu mendengar suara lantang Dimas yang tak mau memelan.
Sementara itu, di kamar yang bernuansa warna abu-abu. Banyu masih terlelap dalam tidurnya. Baru kali ini ia bisa tidur semalaman bahkan saat jam baru menunjukkan pukul tujuh malam, Banyu sudah jatuh terlelap. Ia sepertinya terlalu memforsir dirinya, hingga dirinya tidak sadar tertidur hampir dua belas jam.
Gorden yang tidak tertutup sempurna berhasil membuat Banyu terbangun. Sinar matahari yang menembus kamar, langsung menerpa wajah tampan dengan hidung sempurna miliknya. Banyu mengerjap-ngerjapkan matanya dan kemudian mencari asal suara yang begitu berisik di telinganya.
Ada ribut apa hingga pagi-pagi begini sudah sangat ramai di luar sana. Banyu terduduk dan meregangkan otot-ototnya yang kaku karena terlalu lama tidur. Baru saja ia akan beranjak dari tempat tidurnya saat suara pecahan kaca memekakkan telinganya.
Suasananya hening sesaat hingga akhirnya Banyu bergegas melihat ke luar kamarnya. Saat ia mendekati pembatas kaca lantai dua. Terlihat Lila yang menangis tertahan dan Dimas yang terengah. Pecahan kaca terlihat berserakan di bawah sana.
Jantung Banyu berdegup kencang melihat pemandangan yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Hal macam apa yang mereka ributkan hingga kekacauan seperti itu terjadi.
“Denger ya, La! Gak semua hal bisa sesuai sama kemauanmu. Jangan manja! Kamu kan mau jadi Ibu! Datang ke dokter sendiri juga kan gak masalah? Minta tolong sama Pak Marno buat antar. Gak usah semua-semuanya di bikin ribet! Ngerti!” ucap Dimas dengan mata yang seolah siap untuk keluar kapanpun.
Lila hanya tertunduk ketakutan. Untuk pertama kalinya, ia melihat Dimas, suami yang begitu ia cintai, berani melemparkan barang untuk menyalurkan kemarahannya. Nafas Lila memburu, juga keringat dingin mulai membasahi dahinya. Kakinya seolah lemas dan tak bertenaga.
“Ada apa ini?” tanya Banyu yang memasang muka datar seolah tidak mendengar dan melihat apapun.
Tatapa Dimas bertemu dengan manik mata Banyu yang dingin. Dimas terkejut karena tak tahu jika pemilik bengkel dan juga hunian mewahnya tinggal saat ini berada di hadapannya.
Kapan Banyu datang? Kenapa tidak ada yang memberitahunya? Sejak kapan pria ini ada di rumah ini?
Beribu pertanyaan hinggap dalam benak Dimas. Pria tinggi itu menatap istrinya yang sudah berpegang erat dengan kursi makan. Ingin rasanya ia meneriaki istrinya lagi karena kecerobohannya yang tak mengatakan ada Banyu di sini.
Dimas hanya menggeram kesal. Ia sudah tak bisa menyalurkan kemarahannya. Ia harus mengontrolnya.
“Kenapa? Ada apa ini?” tanya Banyu lagi.
“Maaf, Pak. Cuma salah paham,” ucap Dimas yang kemudian menunduk dan mencoba melihat apa saja kekacauan yang ia buat.
‘Cuma! Seperti ini kamu bilang cuma, Mas?!’ ucap Lila dalam hatinya. Ia menggenggam erat kursi makan di depannya. Ia juga meredam kekesalannya dengan memejamkan matanya dan mengatur nafasnya. Lila terlalu lelah untuk semuanya. Ia tak sadar bahwa kakinya yang melema membuat dirinya akan terjatuh.
Banyu dengan cepat menopang pundak Lila dengan kedua tangannya.
“Mbok Saimah! Pak Marno!” teriak Banyu yang membuat Mbok Saimah dan Pak Marno berlari dengan cepat ke arah Lila dan Banyu berada.
“Bawa Lila ke kamar Mbok,” ucap Banyu dengan tatapan iba yang tak bisa lepas dari Lila.
Hingga Lila di papah Mbok Saimah, tatapan Banyu tak bisa lepas dari perempuan ayu khas jawa yang LIla miliki.
Banyu tak menyadari bahwa ada tatapan geram dari pria yang katanya adalah suami Lila. Pria itu bahkan tak sedikitpun memperhatikan istrinya yang tidak lagi memiliki daya untuk berdiri. Walaupun tak peduli, nyatanya hati pria yang mengaku suami Lila itu panas melihat bagaimana Banyu memperlakukan Lila. Egonya sebagai laki-laki merasa tak terima di acuhkan sebagai suami Lila.
Setelah Lila hilang dari pandangan Banyu. Banyu menatap semua kekacauan di ruang keluarga tempatnya berdiri. Ia menghela nafas besar sebelum akhirnya memusatkan tatapannya pada Pak Marno.
“Tolong dibereskan, Pak Marno. Kamu Dimas, ikut saya ke ruang kerja!” pinta Banyu yang setelahnya melangkah terlebih dahulu menuju ke ruang kerja di vila itu.
Dimas hanya mengangguk dan menatap Pak Marno sengit. Pria itu menatap tak suka Pak Marno dan Bapak paruh baya itu hanya bisa menunduk seolah takut dengan Dimas.
Saat Dimas berlalu melewatinya, Pak Marno hanya menghela nafas berat sambil menggelengkan kepalanya. Pria tua itu bergegas membereskan kekacauan yang di buat oleh Dimas yang ia sebut sebagai majikan kedua yang kemlinthi, atau dalam bahasa jawa artinya banyak tingkah. Yaa, Dimas terlalu banyak tingkah.
***
Banyu sedang menatap pemandangan bukit berbaris dari ruang kerjanya. Semuanya terlihat hijau, tapi sangat menyilaukan. Ia yakin di luar sana panas matahari akan langsung masuk ke dalam kulitnya. Tapi, panasnya tidak akan terasa karena angin. Begitulah dunia, manipulatif. Atau kita yang memanipulasinya hingga tak terasa?
Dimas menutup pintu ruangan, membuat Banyu segera membalikkan tubuhnya. Banyu bingung bagaimana harus menanggapi masalah rumah tangga orang lain di dalam rumah milik keluarganya.
“Jangan terlalu keras dengan Lila, Dimas. Maaf kalau saya terkesan ikut campur dalam rumah tangga kalian. Ini rumah saya. Saya tidak mau barang saya habis untuk menuruti nafsu dan amarah yang sesaat. Termasuk juga kemungkinan adanya korban. Kamu bisa mengerti kan?” terang Banyu datar. Tidak ada intonasi marah, pun sedih dari suara Banyu. Banyu hanya ingin menyelamatkan rumahnya tanpa ikut campur dalam masalah rumah tangga Dimas.
“Iya, Mas.”
Hanya itu jawaban yang keluar dari mulut Dimas. Banyu menghela nafas berat mendengar Dimas yang sepertinya tak mau di campuri urusan rumah tangganya. Padahal suara menggelegar Dimas tadi jelas untuk membuat semua orang mendengar keluhannya tentang Lila yang di anggap sangat tak pengertiannya kepada dirinya.
“Maaf, kalau saya dengar percakapan kamu. Kalau memang kamu perlu antar Lila. Antar saja, nanti saya yang temui—“
“Ndak, Mas. Ada beberapa hal yang mau saya sampaikan sama pelanggannya. Nanti saya akan bilang ke Lila untuk cari jadwal lain,” ucap Dimas yang menolak dengan tegas, bahkan sebelum kalimat Banyu selesai.
Banyu lagi-lagi hanya bisa menghela nafas berat mendengar jawaban Dimas.
“Jadi, kamu mau tetap ke bengkel?”
Dimas hanya mengangguk saja, lalu mengangkat wajahnya yang semula tertunduk dengan tegap. “Ada lagi, Mas? Kalau gak ada, saya permisi mau ke bengkel.”
Banyu tak mengatakan apapun selain mengangguk.
Dimas ternyata cukup keras kepala. Seberapa penting sebenarnya urusannya dengan pelanggan hingga ia mengabaikan Lila dan buah hati mereka?
Dulu bahkan Banyu merelakan usaha dan sekolahnya hanya untuk bersama dengan pujaan hatinya dan anak dalam kandungannya. Walaupun itu hal bodoh yang pernah Banyu lakukan. Setidaknya Banyu tidak pernah menyesal karena memperlakukan mantan wanitanya dengan baik.
Banyu segera menggelengkan kepalanya dan memijatnya pelipisnya yang terasa berat.
“Buat apa mikirin rumah tangga orang sih, Bay! Ngurus hidupmu yang duda ini aja super ribet,” gumam Banyu sambil menatap langit-langit ruangan kerjanya yang di buat sangat estetik oleh Ibunya. Banyu jadi betah berlama-lama melihat ke langit-langit ruangan kerja itu. Sambil memikirkan betapa rumitnya kehidupan.
***
Sepuluh Tahun KemudianPerempuan berusia tiga puluh dua tahun itu tampak cantik dengan balutan gaun pesta berwarna merah yang menawan. Rambutnya yang panjang tergerai indah. Penampilannya jelas membuat mata pria manapun menatapnya dengan penuh minat. Muda dan Tua, semuanya menatap wanita bernama Shana Rose Adnan itu dengan tatapan kagum.“Nah ini, anak kami paling bungsu. nantinya Shana yang akan ikut mengembangkan bisnis di bidang ini. Dia lulusan Universitas Teknologi Rhein-Westfalen Aachen,” ucap Banyu bangga pada kolega bisnisnya.“Luar biasa, Jerman! Ich freue mich auf die Zusammenarbeit mit Ihnen,” ucap salah seorang kolega Banyu sambil mengulurkan tangannya.Shana pun tersenyum dan membalas jabat tangan itu. “Ja, ich bin auch gespannt darauf. Lasst uns zusammenarbeiten und Großartiges erreichen!”“Anakmu Luar biasa, Banyu,” puji pria yang lain.Dipuji terus menerus membuat Banyu selalu tersenyum. Ia sangat senang, meskipun seorang wanita, anak perempuannya bisa menunjukkan pad
Sheena lebih banyak diam setelah kedatangan Rain waktu itu. Ia bahkan lebih banyak mengurung dirinya di kamar. Seperti saat ini, ia lebih memilih untuk duduk dan menatap foto bersama kembarannya ketika kecil. Tak lama, ia memilih untuk menutup foto itu dan membenamkan wajahnya di lututnya yang sudah merapat.“Shen, Lo ngapain?” tanya Shana yang baru saja membuka pintu kamar Sheena tanpa permisi.Sheena tak menjawab. Wanita itu hanya diam, sama sekali tak bersuara.“Shen, Gue mau jalan sama Rain, ayo jalan bertiga. Lo udah lama pengen jalan-jalan ke Kota Tua kan?” ucap Shana yang berjalan mendekat dan kemudian memegang pundak saudara kembarnya. Tak lama gadis itu terkejut karena pundak itu seolah bergetar.“Shen, Lo nangis? Kenapa?” tanya Shana sambil mengguncangkan bahu kembarannya.Sheena dengan kasar menepis tangan Shana. “Lo sengaja kan?”“Sengaja?” tanya Shana bingung. “Sengaja ap–”“Lo– Lo kan saudara Gue Shan. Lo tega sama Gue? Lo tau Gue suka sama Rain. Gue masih berbaik hati s
Tujuh Tahun KemudianShana masuk ke dalam rumah dengan senyum ceria. Ia juga banyak berceloteh. Entah apa saja yang dia ceritakan, kepada teman lelaki yang mengekor di belakangnya. Lelaki nyatanya tidak memprotes apapun. Ia mendengar dengan seksama, sesekali ikut tertawa dengan cerita Shana.“Shan, sama Rain?” tanya Lila yang baru saja keluar dari kamarnya karena mendengar celoteh ceria salah satu anak gadisnya yang kini sudah masuk ke salah satu perguruan tinggi negeri bergengsi di kota metropolitan itu. Jurusannya juga tak main-main, anak gadisnya itu memilih untuk mengambil Teknik Mesin.“Iya, Ma.” Shana segera memeluk Mamanya dan mencium punggung tangannya.“Hai, Tante. Rain kesini lagi. Semoga Tante gak bosen ya,” ucap Rain yang kemudian mencium punggung tangan Lila dengan takzim.“Gak akan pernah bosen. Tante malah seneng. Kalian udah makan?” tanya Lila bersemangat.“Belum, Tante. Rain laper,” ucap Rain tapa berbasa-basi. Pria muda itu tampaknya sudah tak sungkan dengan Lila.“G
Sudah jatuh, tertimpa tangga. Ungkapan itu sangat cocok untuk Mirea yang terjerembab karena ternyata masih terlalu sakit untuk digunakan berjalan.Rasa sakitnya mungkin bisa dia tahan, tapi rasa malunya terlalu besar saat ini. Ia bahkan hanya bisa menunduk ketika tangan yang sedikit kekar itu kembali mengangkatnya.“Non Mirea,” ucap Satpam yang tergopoh membuka gerbang. Saat pria itu hendak mengambil Mirea, Noah tampak bergeming.“Biar saya yang antar ke dalam rumah. Tolong antar saya,” ucap Noah yang terlihat tenang menggendong Mirea.Satpam itupun mengangguk dan berjalan di depan Noah. Sementara itu Mirea masih setia menutup mukanya karena sangat malu. Kulitnya yang memang tidak terlalu putih itu, tetap saja memerah seperti kepiting rebus jika ia malu.Baru saja melewati pintu rumah, para pekerja di rumah itu sudah histeris melihat luka-luka di tubuh Mirea. Mereka bahkan melupakan siapa yang menggendong Mirea.“Non Mirea, ya ampun Non. Non Mirea kenapa?! Aduh Non–”Mirea sudah tak m
Semua orang termangu saat Noah dengan cepat membuka baju seragamnya secara paksa, hingga menyisakan undershirt berwarna putih untuk menutupi tubuhnya yang sudah sedikit membentuk.Noah dengan cepat menutup baju putih Mirea yang tersiram sehingga tidak terlihat orang lain. Juga supaya kuah bakso itu ikut menyerap ke bajunya dan sedikit mengurangi rasa terbakar di tubuh Mirea.“Rea, gak apa-apa? Panas ya?”ucap Noah panik.“Aargh, panas..” desis Mirea sambil menahan rasa terbakar di setengah tubuhnya.“Maaf, ya. Gue gak tau. Jalannya nikung,” ucap perempuan yang tadi membawa satu nampan berisi dua mangkok bakso dengan kuah yang masih sangat panas. Meski begitu wajahnya lebih tampak kesal daripada meminta maaf dengan tulus.Tanpa banyak kata, Noah segera mengangkat Mirea saat itu juga. Membuat semua orang yang ada di sana semakin terkejut. Bahkan Clarine yang disamping Mirea memekik tak percaya dengan kejadian itu.Sementara orang yang membawa nampan bakso yang ternyata bernama Reaza itu
Tiga Tahun KemudianNoah, remaja berumur enam belas tahun itu, adalah atlit basket yang sangat berbakat di sekolahnya. Dengan tinggi badan yang mencolok dan keahlian bermain basket yang luar biasa, Noah telah menjadi pusat perhatian di antara teman-teman sekelasnya. Hari itu, lapangan basket sekolah dipenuhi dengan suara tawa dan semangat.Noah sedang berlatih intensif bersama tim basketnya. Pukulan bola dan derap langkah kaki menggema di udara. Teman-temannya berusaha sekuat tenaga untuk memberikan yang terbaik dalam sesi latihan tersebut. Di antara kerumunan pemain basket yang bersemangat, Noah memimpin dengan keterampilan dan ketangkasannya yang luar biasa.Namun, ada sesuatu yang membuat suasana semakin hidup. Para wanita di antara penonton, terutama kelompok teman sekelas Noah, tidak bisa menyembunyikan kekaguman mereka. Mereka berdiri di pinggir lapangan, sorak sorai, dan berteriak memberikan semangat kepada Noah. Seiring dengan setiap tembakan dan aksi spektakuler yang diperlih