Share

3 - RUMIT

“Kamu kenapa gak ngerti sih, La! Ini pelanggan berharga dan aku gak bisa tinggalin bengkel gini aja! Mana aku tahu kalau Sabtu dia bakalan ke bengkel!” teriak Dimas menggema ke seluruh penjuru ruangan.

“Tapi kamu udah janji, Mas! Kamu udah janji anterin aku kontrol ke Bidan! Satu hari ini aja, Mas. Tolong, Mas..” ucap Lila yang melemah di akhir kalimatnya. Air mata sudah tidak bisa ia bendung dari sudut mata lentiknya.

“Nangis, nangis, nangis aja bisamu!” ucap Dimas dengan lantang.

Lila makin menangis tergugu mendengar suara lantang Dimas yang tak mau memelan.

Sementara itu, di kamar yang bernuansa warna abu-abu. Banyu masih terlelap dalam tidurnya. Baru kali ini ia bisa tidur semalaman bahkan saat jam baru menunjukkan pukul tujuh malam, Banyu sudah jatuh terlelap. Ia sepertinya terlalu memforsir dirinya, hingga dirinya tidak sadar tertidur hampir dua belas jam.

Gorden yang tidak tertutup sempurna berhasil membuat Banyu terbangun. Sinar matahari yang menembus kamar, langsung menerpa wajah tampan dengan hidung sempurna miliknya. Banyu mengerjap-ngerjapkan matanya dan kemudian mencari asal suara yang begitu berisik di telinganya.

Ada ribut apa hingga pagi-pagi begini sudah sangat ramai di luar sana. Banyu terduduk dan meregangkan otot-ototnya yang kaku karena terlalu lama tidur. Baru saja ia akan beranjak dari tempat tidurnya saat suara pecahan kaca memekakkan telinganya.

Suasananya hening sesaat hingga akhirnya Banyu bergegas melihat ke luar kamarnya. Saat ia mendekati pembatas kaca lantai dua. Terlihat Lila yang menangis tertahan dan Dimas yang terengah. Pecahan kaca terlihat berserakan di bawah sana.

Jantung Banyu berdegup kencang melihat pemandangan yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Hal macam apa yang mereka ributkan hingga kekacauan seperti itu terjadi.

“Denger ya, La! Gak semua hal bisa sesuai sama kemauanmu. Jangan manja! Kamu kan mau jadi Ibu! Datang ke dokter sendiri juga kan gak masalah? Minta tolong sama Pak Marno buat antar. Gak usah semua-semuanya di bikin ribet! Ngerti!” ucap Dimas dengan mata yang seolah siap untuk keluar kapanpun.

Lila hanya tertunduk ketakutan. Untuk pertama kalinya, ia melihat Dimas, suami yang begitu ia cintai, berani melemparkan barang untuk menyalurkan kemarahannya. Nafas Lila memburu, juga keringat dingin mulai membasahi dahinya. Kakinya seolah lemas dan tak bertenaga.

“Ada apa ini?” tanya Banyu yang memasang muka datar seolah tidak mendengar dan melihat apapun.

Tatapa Dimas bertemu dengan manik mata Banyu yang dingin. Dimas terkejut karena tak tahu jika pemilik bengkel dan juga hunian mewahnya tinggal saat ini berada di hadapannya.

Kapan Banyu datang? Kenapa tidak ada yang memberitahunya? Sejak kapan pria ini ada di rumah ini?

Beribu pertanyaan hinggap dalam benak Dimas. Pria tinggi itu menatap istrinya yang sudah berpegang erat dengan kursi makan. Ingin rasanya ia meneriaki istrinya lagi karena kecerobohannya yang tak mengatakan ada Banyu di sini.

Dimas hanya menggeram kesal. Ia sudah tak bisa menyalurkan kemarahannya. Ia harus mengontrolnya.

“Kenapa? Ada apa ini?” tanya Banyu lagi.

“Maaf, Pak. Cuma salah paham,” ucap Dimas yang kemudian menunduk dan mencoba melihat apa saja kekacauan yang ia buat.

‘Cuma! Seperti ini kamu bilang cuma, Mas?!’ ucap Lila dalam hatinya. Ia menggenggam erat kursi makan di depannya. Ia juga meredam kekesalannya dengan memejamkan matanya dan mengatur nafasnya. Lila terlalu lelah untuk semuanya. Ia tak sadar bahwa kakinya yang melema membuat dirinya akan terjatuh.

Banyu dengan cepat menopang pundak Lila dengan kedua tangannya.

“Mbok Saimah! Pak Marno!” teriak Banyu yang membuat Mbok Saimah dan Pak Marno berlari dengan cepat ke arah Lila dan Banyu berada.

“Bawa Lila ke kamar Mbok,” ucap Banyu dengan tatapan iba yang tak bisa lepas dari Lila.

Hingga Lila di papah Mbok Saimah, tatapan Banyu tak bisa lepas dari perempuan ayu khas jawa yang LIla miliki.

Banyu tak menyadari bahwa ada tatapan geram dari pria yang katanya adalah suami Lila. Pria itu bahkan tak sedikitpun memperhatikan istrinya yang tidak lagi memiliki daya untuk berdiri. Walaupun tak peduli, nyatanya hati pria yang mengaku suami Lila itu panas melihat bagaimana Banyu memperlakukan Lila. Egonya sebagai laki-laki merasa tak terima di acuhkan sebagai suami Lila.

Setelah Lila hilang dari pandangan Banyu. Banyu menatap semua kekacauan di ruang keluarga tempatnya berdiri. Ia menghela nafas besar sebelum akhirnya memusatkan tatapannya pada Pak Marno.

“Tolong dibereskan, Pak Marno. Kamu Dimas, ikut saya ke ruang kerja!” pinta Banyu yang setelahnya melangkah terlebih dahulu menuju ke ruang kerja di vila itu.

Dimas hanya mengangguk dan menatap Pak Marno sengit. Pria itu menatap tak suka Pak Marno dan Bapak paruh baya itu hanya bisa menunduk seolah takut dengan Dimas.

Saat Dimas berlalu melewatinya, Pak Marno hanya menghela nafas berat sambil menggelengkan kepalanya. Pria tua itu bergegas membereskan kekacauan yang di buat oleh Dimas yang ia sebut sebagai majikan kedua yang kemlinthi, atau dalam bahasa jawa artinya banyak tingkah. Yaa, Dimas terlalu banyak tingkah.

***

Banyu sedang menatap pemandangan bukit berbaris dari ruang kerjanya. Semuanya terlihat hijau, tapi sangat menyilaukan. Ia yakin di luar sana panas matahari akan langsung masuk ke dalam kulitnya. Tapi, panasnya tidak akan terasa karena angin. Begitulah dunia, manipulatif. Atau kita yang memanipulasinya hingga tak terasa?

Dimas menutup pintu ruangan, membuat Banyu segera membalikkan tubuhnya. Banyu bingung bagaimana harus menanggapi masalah rumah tangga orang lain di dalam rumah milik keluarganya.

“Jangan terlalu keras dengan Lila, Dimas. Maaf kalau saya terkesan ikut campur dalam rumah tangga kalian. Ini rumah saya. Saya tidak mau barang saya habis untuk menuruti nafsu dan amarah yang sesaat. Termasuk juga kemungkinan adanya korban. Kamu bisa mengerti kan?” terang Banyu datar. Tidak ada intonasi marah, pun sedih dari suara Banyu. Banyu hanya ingin menyelamatkan rumahnya tanpa ikut campur dalam masalah rumah tangga Dimas.

“Iya, Mas.”

Hanya itu jawaban yang keluar dari mulut Dimas. Banyu menghela nafas berat mendengar Dimas yang sepertinya tak mau di campuri urusan rumah tangganya. Padahal suara menggelegar Dimas tadi jelas untuk membuat semua orang mendengar keluhannya tentang Lila yang di anggap sangat tak pengertiannya kepada dirinya.

“Maaf, kalau saya dengar percakapan kamu. Kalau memang kamu perlu antar Lila. Antar saja, nanti saya yang temui—“

“Ndak, Mas. Ada beberapa hal yang mau saya sampaikan sama pelanggannya. Nanti saya akan bilang ke Lila untuk cari jadwal lain,” ucap Dimas yang menolak dengan tegas, bahkan sebelum kalimat Banyu selesai.

Banyu lagi-lagi hanya bisa menghela nafas berat mendengar jawaban Dimas.

“Jadi, kamu mau tetap ke bengkel?”

Dimas hanya mengangguk saja, lalu mengangkat wajahnya yang semula tertunduk dengan tegap. “Ada lagi, Mas? Kalau gak ada, saya permisi mau ke bengkel.”

Banyu tak mengatakan apapun selain mengangguk.

Dimas ternyata cukup keras kepala. Seberapa penting sebenarnya urusannya dengan pelanggan hingga ia mengabaikan Lila dan buah hati mereka?

Dulu bahkan Banyu merelakan usaha dan sekolahnya hanya untuk bersama dengan pujaan hatinya dan anak dalam kandungannya. Walaupun itu hal bodoh yang pernah Banyu lakukan. Setidaknya Banyu tidak pernah menyesal karena memperlakukan mantan wanitanya dengan baik.

Banyu segera menggelengkan kepalanya dan memijatnya pelipisnya yang terasa berat.

“Buat apa mikirin rumah tangga orang sih, Bay! Ngurus hidupmu yang duda ini aja super ribet,” gumam Banyu sambil menatap langit-langit ruangan kerjanya yang di buat sangat estetik oleh Ibunya. Banyu jadi betah berlama-lama melihat ke langit-langit ruangan kerja itu. Sambil memikirkan betapa rumitnya kehidupan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status