Share

4 - PERHATIAN BANYU

Banyu sudah siap dengan baju santainya untuk mengecek kondisi bengkel. Hari Sabtu seperti ini bengkel pasti lebih sibuk dari biasanya. Kebanyakan dari orang-orang pasti memanfaatkan hari Sabtu sebagai alternatif untuk memperbaiki kendaraan atau hanya sekedar melakukan servis bulanan.

Banyu mengerti bahwa Dimas begitu mencemaskan hari Sabtu, apalagi kedatangan konsumen yang mungkin sangat penting. Tapi, meninggalkan hal itu dan mempercayakannya saja pada montir-montir handal yang dimiliki oleh bengkel juga tak akan masalah. Lagipula sepengelamannya dulu, mengantri dokter tak akan lama. Apalagi jika sudah mendaftar sebelumnya dan datang di waktu yang disarankan oleh bagian pendaftaran.

Baru beberapa langkah menuruni anak tangga, matanya sudah tertuju pada Lila dan Mbok Saimah yang duduk di kursi makan. Pikirannya yang tak henti memikirkan nasib Lila disambut dengan penampakan Mbok Saimah yang dengan sabar mengusap pelan bahu Lila. Perempuan kecil bagi Banyu itu terlihat masih menangis tergugu.

“Sudahlah, Nduk. Ora po-po. Mbok anter yo?” ucap Mbok Saimah yang sesekali mengusap pipi Lila. Lila hanya menggeleng.

Perempuan itu pasti masih sangat terkejut karena tindakan Dimas. Begitu pikir Banyu. langkahnya yang semula ingin pergi begitu saja, berbalik arah menuju tempat Lila duduk.

“Mas Dimas pasti gak akan pernah anter Lila, Mbok. Kenapa Mas Dimas jahat? Apa dia gak sayang Lila? Gak sayang anak Lila?” ucap Lila sambil sesekali terisak dan nampak kesusahan bernafas..

Husstt.. Lila. Ndak pareng nduk ngomong ngono. kalau malaikat lewat terus diamini, piye? Wes, toh. Mbok temani ya,” ucap Mbok Saimah dengan ekspresif sambil terus mengusap lembut punggung Lila.

Percakapan itu sedikit banyak dimengerti Banyu. Membuat Pria yang menginjak usia hampir tiga puluh tahun itu tersenyum tipis karena logat Mbok Saimah yang begitu kental dan juga penyampaiannya yang ekspresif.

“La?” panggil Banyu yang kini sudah berada tepat di belakang Mbok Saimah dan Lila.

Mbok Saimah segera berdiri dari tempatnya duduk. Begitu juga Lila yang akan berdiri sambil mengusap kedua matanya yang begitu merah.

“Duduk aja,” ucap Banyu sambil membantu Lila untuk duduk kembali. “Mbok, saya mau teh hangat. Boleh minta tolong dibikinkan?” pinta Banyu yang sengaja agar Mbok Saimah memberikan ruang untuk dirinya dan Lila berbicara.

“Boleh, Mas. Saya permisi,” ucap Mbok Saimah berlalu pergi dengan sopan.

“Maaf ya, Mas. Aku bikin keributan, bahkan sampai ngerusak barang Ibu. nanti aku ganti, Mas. Aku tahu tempat belinya,” ucap Lila sambil menunduk dalam hingga Banyu tidak bisa melihat wajah gadis kecil yang ia rindukan setelah bertahun-tahun hidup di luar negeri.

“Barang itu gak masalah, La. Yang penting kamu. Kamu gak apa-apa kan?”

Lila hanya mengangguk saja. Ia kembali terisak mengingat kejadian tadi pagi. Perasaan kecewa dan malu mendominasi dalam dirinya. Lila masih tak habis pikir kenapa suaminya begitu tega melakukan hal seperti tadi pagi. Ada atau tidak ada orang lain, harusnya suaminya tak perlu sekasar itu.

“Jadi hari ini jadwalmu kontrol kandungan?”

Lila mengangguk samar. Ia tak yakin harus menjawab apa, karena masalah itu terlalu pribadi, tapi seolah seisi dunia tahu permasalahan rumah tangganya. Lila malu.

“Aku anter ya? Hari ini Dimas sepertinya ada pekerjaan mendadak yang memang gak bisa ditinggal. Makanya dia gak bisa anter. Kalau ini jadwal kontrol, berarti harusnya gak boleh dilewatin kan? Ayo, aku temani.”

Lila lagi-lagi menggeleng, ia merasa tak nyaman dengan penawaran Banyu. Bukan tawaran Banyu yang ia harapkan, tapi kehadiran suaminya. Perasaannya sudah enggan, bahkan memikirkan bayi di dalam kandungannya saja Lila sudah tidak mau lagi.

Suaminya yang tiba-tiba berubah kasar saat hormon kehamilan begitu mempengaruhi Lila. Membuat Lila menanggung banyak beban pikiran. Apa sebenarnya yang terjadi hingga pria yang begitu dicintai dan keluarga satu-satunya yang ia miliki bisa berubah dalam sekejap mata. Mana sikap suaminya yang begitu peduli dan menyayanginya?

“Usia kandunganmu sudah berapa minggu?”

“Memang Mas Banyu ngerti? Memang kenapa tanya-tanya itu,” celetuk Lila dengan berani.

Banyu tertawa kecil melihat Lila yang ternyata tak berubah jika sudah berhadapan dengan dirinya. Ia kira Lilanya sudah berubah.

“Tadi aku gak sengaja denger La, kamu belum pernah USG. Sudah berapa minggu sampai kamu belum pernah USG? Kamu gak mau lihat bagaimana bayimu? Mirip Kamu atau Dimas?”

“Mas gak ngerti!” hanya itu yang diucapkan Lila yang kemudian kembali menangis. Air matanya deras mengalir.

Banyu tahu itu menyakitkan untuk Lila. Tapi melihat bagaimana Lila merespon dirinya, mengingatkannya pada masa lalunya. Bagaimana mantan istrinya yang sangat mudah menangis dan sensitif jika diberi pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.

Banyu tersenyum tipis. Tanpa sadar tangannya sudah mengusap pelan air mata di pipi Lila. Banyu baru tersadar apa yang dilakukannya saat kulitnya menyentuh pipi Lila yang halus. Banyu cepat-cepat menarik tangannya sebelum Lila sadar dan menganggap dirinya kurang ajar.

‘Sadar Banyu! Dia sudah punya suami! Jangan jadi pebinor, gak elit!’ pikir Banyu.

Pria di akhir dua puluh itu menghela nafas berat sebelum akhirnya membuka kembali bibirnya.

“Usia kandunganmu sudah terlalu besar Lila. Kamu harus USG, gak cuma buat tahu apa dia laki-laki atau perempuan. Kamu harus tahu juga kalau dia sehat di dalam sana. Aku bikinin janji sama temenku. Ibunya punya rumah sakit bersalin di kota. Jadi kita bisa cek lengkap,” ucap Banyu yang kemudian beranjak sambil mengotak-atik ponsel di tangannya.

“Mas–” Lila mencekal tangan Banyu yang akan pergi dari hadapannya.

Banyu berhenti sambil memandang Lila dengan lembut.

“Gak perlu. Aku mau ke puskesmas aja, senin. Mas Banyu pasti juga sibuk kan? Mas juga mau ke bengkel kan?”

Banyu berlutut karena ingin menyamakan tingginya dengan Lila. Pria menggenggam tangan Lila sambil terus memandangi perempuan itu dengan lembut.

“Iya, aku perlu ke bengkel. Tapi gak harus sekarang. Nanti juga bisa.”

‘Tuhan, kenapa gak suamiku yang seperti ini? Kenapa harus majikanku yang peduli sama aku?’ ucap Lila dalam hati sambil menatap dalam Banyu. Matanya kembali berkaca-kaca. Lila tahu bahwa apa yang dikatakan suaminya benar, ia terlalu cengeng sekarang. Tapi, mau bagaimana lagi. Ia tidak bisa mengontrol hormon kehamilannya.

Lila menarik tangannya yang semenjak tadi terasa nyaman di genggam Banyu. Banyu memang terlihat datar, tapi hatinya sedikit kecewa ketika Lila tak lagi berada di genggamannya.

“Aku nanti minta tolong Pak Marno buat antar saja, Mas.”

“Gak perlu, nanti kita berangkat rame-rame. Mbok Saimah ikut juga. Nanti Setelah antar kamu ke dokter, aku turun di bengkel. Nanti kamu, Mbok Saimah, Pak Marno boleh jalan-jalan dulu di kota. Gimana?”

“Gak perlu Mas–”

Ojo kaku-kaku toh, Nduk. Jalan-jalan sekali-sekali kan yo ora opo-opo. Iya kan, Mas? Represing! Iyo toh, Mas?” ucap Mbok Saimah dengan jenaka sambil menaruh baki berisi teh ke hadapan Banyu.

“Iya, Mbok. Lila ini memang kaku,” seru Banyu sambil terkekeh.

“Iyo, memang Mas. Susah dikasih taunya. Lemesin toh, Nduk!” ucap Mbok Saimah yang semakin membuat Banyu tertawa lebar.

“Udah, Mbok sama Lila siap-siap dulu. Nanti biar saya yang bilang sama Pak Marno,” ucap Banyu yang kemudian meneguk teh hangat yang dibuat Mbok Saimah.

Seneng ngene iki si Marno. Jalan-jalan. Duh, nganggo klambi opo yo? Ayo La, ganti dulu!” ucap Mbok Saimah sambil berlalu begitu saja. Membuat Banyu kembali tersenyum mendengar celoteh Mbok Saimah. Beliau begitu ramah dan tidak canggung membuat Banyu banyak bersyukur karena Lila di temani oleh orang yang seumuran ibunya dan terlihat mendukung Lila.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status