Share

5 - MATA YANG TERNODAI

Banyu memandang Lila yang terus saja menatap kertas dengan latar hitam dan seorang bayi kecil dengan lekuk tubuh yang jelas. Melihat muka bayi itu, Banyu yakin anak Lila memiliki paras yang sama dengan Lila. Ia jadi tak sabar melihat Lila versi mini.

Setelah berkendara kurang lebih lima menit, Banyu sudah sampai di bengkel cabang miliknya. Lila yang semula memandangi foto USG anaknya, kini beralih melihat sebuah bangunan luas dengan banyak kendaraan terparkir di sana.

Ada beberapa drum juga alat-alat yang tak Lila ketahui namanya. Bengkel itu nampak ramai. Jadi wajar saja jika suaminya tak mau menemaninya hari ini. Lila jadi berpikir, apakah keterlaluan jika menginginkan suaminya memberi waktu untuk dirinya dan bayinya bersama. Rasanya sudah cukup lama Dimas tak mengajaknya berjalan-jalan. Apalagi beberapa bulan terakhir semenjak Lila dinyatakan hamil.

Melihat keadaan bengkel yang cukup ramai membuat Lila bisa memaklumi bahwa suaminya tak bisa menemaninya. Mungkin juga suaminya berbuat kasar karena memang pekerjaan di bengkel yang penuh itu sangat menyita tenaga Dimas. Hingga Dimas sudah terlalu lelah saat sampai di rumah.

“Kamu mau menemui suamimu, La?” tanya Banyu yang melihat Lila memandang bengkel seolah tengah mencari sesuatu.

Lila menggeleng. “Enggak, Mas.”

“Sudah pernah kesini kan?”

Lila lagi-lagi menggeleng.

Banyu mengerutkan dahinya. Lila belum pernah ke bengkel karena memang tidak ada urusan atau tidak pernah tahu tempat ini? Melihat Lila yang semenjak tadi merasa takjub sepanjang menyusuri jalan menuju ke rumah sakit tempat praktek ibu teman Banyu, pria itu meyakini bahwa wanita ini belum pernah ke kota. Apa mungkin Lila tidak pernah ke kota?

“Ya udah. Aku pergi dulu. Mbok Saimah, Pak Marno, sama Lila boleh jalan-jalan. Tapi jangan sampai lupa waktu ya. Jangan lupa kabarin suamimu La, kalau kamu pulang telat. Nanti ada perang lagi,” ledek Banyu sambil turun dari mobil.

“Makasih ya, Mas. Mbok jadi bisa represing! Ayo, No. Jalan!” ucap Mbok Saimah yang diiringi dengan berjalannya mobil. Mbok Saimah dengan entengnya melambai pada bosnya yang masih saja terkekeh geli dengan tingkah Mbok Saimah yang kocak.

Banyu hanya menggeleng-geleng melihat mobil vila itu melaju, sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam bengkel. Ia mengamati suasana bengkel yang begitu ramai dan beberapa montir yang sedang mengerjakan perbaikan dan melayani pelanggan.

Banyu menghentikan langkahnya melihat salah seorang montir tengah melakukan perbaikan. Melihat caranya memperbaiki, Banyu tahu bahwa montir itu pasti masih baru. Gerakannya yang lambat tak sama dengan montir-montir lama yang pernah ia bawa dari Jakarta untuk membantu pekerjaan bengkel cabang baru miliknya.

“Mas Banyu,” sapa seorang pria dengan badan tambun. Baju yang penuh dengan noda hitam, menandakan sudah berapa lama ia berkutat dengan oli.

“Pak Ahmad, apa kabar Pak?” sapa Banyu dengan senyum sumringah.

“Baik, Mas. Mas Banyu kemari kenapa tidak berkabar? Kan kami bisa siapkan tempat,” ucap Pak Ahmad dengan antusias.

“Sengaja, Pak. Supaya saya tahu gimana biasanya bengkel. Nanti kalau saya bengkel, malah gak kayak biasanya keadannya bengkel.”

“Mas Banyu sidak?” tanya Pak Ahmad terdengar polos.

Banyu tersenyum lebar. “Kurang lebih begitu, Pak. Gimana bengkel Pak. Sudah mau satu tahun kan?”

“Ya, gini Mas. Rame terus,” jawab Pak Ahmad seadanya.

“Selalu rame?”

“Iya, Gak pernah sepi, Mas. Alhamdulillah, rejeki Mas Banyu!” ucap pak AHmad dengan sumringah.

Banyu hanya manggut-manggut saja. Setahunya, data bengkel mengatakan bahwa bengkel tak seramai ini. Sebenarnya dimana letak laporan yang salah. Apakah datanya yang salah hitung, ataukah memang selalu ramai tapi karena pekerjaannya selesai tak tepat waktu karena montir-montir baru yang Banyu lihat sehingga data pelanggan bengkel terlihat tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Ramai, tapi sebenarnya ini pekerjaan yang menumpuk.

Jadi datanya yang betul, atau memang pendapatan yang selisih banyak?

“Mas, sudah lama?” tanya Dimas yang berjalan mendekat dengan senyum ramahnya.

Pak Ahmad yang melihat Dimas mendekat memilih mundur dan pamit hanya dengan gerakan sederhana. Banyu sendiri menjawab kode Pak Ahmad dengan mengangguk samar.

“Bengkel lumayan rame ya, Dim?” tanya Banyu sambil memperhatikan bengkel dari ujung ke ujung.

“Mm– ya, beberapa minggu ini cukup bagus, Mas. Laporan bulan ini sepertinya labanya meningkat,” ucap Dimas dengan gugup.

“Oh ya? Bagus juga. Kamu pakai promosi apa sampai pelanggan bertambah dengan jumlah yang lumayan?”

“I–itu.. Kita ngobrol di dalam aja, Mas. Disini terlalu berisik.”

Dimas mempersilahkan Banyu untuk berjalan lebih dahulu. Sedangkan Banyu yang bisa membaca gelagat gugup Dimas, yakin bahwa banyak hal terjadi dan tak disampaikan kepadanya. Pasti ada yang dilakukan oleh Dimas hingga ia tak mau menjawab pertanyaan Banyu saat ini.

Mereka berjalan menuju sebuah sofa panjang dan duduk sambil memperhatikan pelanggan yang keluar dan masuk. Banyu kira ia akan dibawa menuju ruangan miliknya. Seingatnya ia berpesan pada Attar untuk menyediakan satu ruangan khusus untuk dirinya dan Attar jika berkunjung ke bengkel cabang.

“Silahkan, Pak.”

Banyu duduk dan menatap ruangan yang hampir penuh itu dan mendapati seorang wanita yang sedang berada di balik meja resepsionis memandangi Dimas dengan penuh minat. Matanya berbinar menatap Dimas yang ada di sampingnya. Entah mengapa firasat Banyu tak enak soal ini.

“Jadi, apa promosi yang kamu gunakan supaya bisa menarik pelanggan dengan cepat?”

“Saya rasa ini karena promosi dari pelanggan ke orang-orang terdekat. Selama ini saya tidak ada promosi khusus. Mungkin mereka tahu dari cerita pelanggan-pelanggan sebelumnya. Servis yang bagus membuat orang-orang kembali kemari lagi, Mas.”

“Syukurlah kalau begitu. Kamu sudah pernah berikan survei kepuasaan pelanggan?”

“Ah– itu–”

“Permisi, Pak. Ini kopinya,” ucap wanita yang sedari tadi sudah memperhatikan Dimas. Wajah perempuan itu nampak bersemu merah saat Dimas mengucapkan terima kasih dan berlalu begitu saja setelah Dimas kembali mengarahkan pandangannya pada Banyu.

“Saya akan berada di bengkel ini sampai satu hingga dua bulan kedepan. Saya gak mau pembicaraan kita selalu diinterupsi dengan hal-hal yang kurang penting. Ada ruangan yang bisa saya pakai untuk bekerja? Saya gak mungkin ada di ruangan ini kan?” sindir Banyu sambil menatap ruangan ramai yang diisi dengan pelanggan-pelanggan yang sibuk.

“Oh, itu– ada Mas, Mas Banyu bisa pakai ruangan saya. Mari saya antar,” ucap Dimas yang kemudian beranjak dari tempat duduknya.

Dimas mengarahkan Banyu pada sebuah ruangan di ujung bengkel. Ruangan itu nampak sederhana dan rapi. Seperti tidak sering dipakai. Sebagai Manager bengkel cabang, ruangan ini terlalu bersih. Letaknya juga sangat tenang dan berada terlalu di ujung. Terlalu tidak strategis untuk mengamati bengkel yang ramai setiap saat.

“Mas Banyu bisa disini dulu, saya ada perlu sebentar.”

Banyu hanya mengangguk, ia tahu Dimas terlalu banyak menunda penjelasan semua pertanyaan yang ia lontarkan. Banyu pun menuju tempat duduk yang digunakan sambil menunggu Dimas yang keluar entah untuk apa.

Banyu mendapati kursi tempatnya duduk ini sangat nyaman. Sangat berbanding terbalik dengan kesan ruangan yang sederhana. Banyu duduk sambil mengamati setiap sudut ruangan itu. Tangannya pun tergelitik untuk membuka satu persatu laci yang ada di ruangan itu.

“Brengsek!” umpat Banyu saat menemukan sebuah celana dalam wanita berwarna merah. Wajahnya tak bisa menutupi rasa jijik saat menemukan benda bekas dengan bau khas itu disana.

‘Milik siapa ini?! Apa Dimas melakukan ini dengan Lila di kantor?! Sialan! Mataku!’

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status