Suasana semakin kacau di halaman belakang, Lian merasa amat terpukul dengan kejadian ini. Zein meminta untuk dihentikan penggalian ini karena semakin tak kondusif, tapi ada sebuah kendala yang tak wajar di sana. "Kenapa kalian masih di situ? Ayo, naik ke permukaan!" titah pria itu. "Tubuh kami tidak bisa digerakkan!" Semua orang yang ada di sini terkejut, segera mereka mencoba untuk menolong dua penggali. Sementara itu mereka yang kerasukan segera dibawa ke rumah cenayang, sisanya Zein akan menanganinya. Mata batinnya mengatakan roh-roh jahat itu seakan diperintah oleh sosok yang lebih kuat dari mereka. Salah satu roh merasuki raga seorang gadis, terus memberontak tak ingin disembuhkan. "AKU TAK INGIN KELUAR DARI SINI!"Suara bariton itu tak membuat Zein gentar, telapaknya menempel di dahi gadis itu seraya merapalkan mantera agar roh itu tenang. "Sekarang katakan, siapa yang menyuruhmu kemari?" Alih-alih menjawab, roh yang merasuki tubuh itu malah tertawa menggelegar di dalam r
Genggaman yang lembut itu membuat Keinara mengingat sesuatu, dirinya juga pernah seperti ini dahulu tapi entah dengan siapa. Sementara Kiyo mengajaknya berkeliling desa dan suasananya membuat gadis itu pangling, ia tak yakin jika dirinya berada di dunianya sendiri. "Lumayan beda," ucapnya. "Ya, Kei. Ini adalah suasana jaman dahulu desa tempat kita tinggal."Kiyo menunjuk ke arah sebuah pohon yang menjadi tempat pertama kali pemuda itu bertemu dengan Keinara saat masih kecil. Pohon itu adalah kenangan bagi Kiyo dan pemuda itu selalu menanti sang gadis pengasuh sampai dirinya tiada pun penantian itu masih dilakukannya. "Kamu ingat tempat itu? Kita dahulu pernah bertemu di sana."Keinara menatap ke arah pohon besar itu, diingatannya ia pernah bertemu seorang anak lelaki misterius. Seperti hologram yang menunjukkan memori, bayangan dua anak kecil yang terduduk saling bercengkrama. Di titik ini, Keinara mulai mengingatnya. Kembali Kiyo mengajaknya ke tempat-tempat penuh kenangan. Semu
Keinara tak mengerti apa yang terjadi, tapi saat sebuah cahaya menyilaukan matanya dan membawanya kembali ke di masa ia hidup, seluruh orang di rumah Lian mengelilingi raganya. "Kak Kei!" seru Vanya menghamburkan diri ke pelukan pengasuhnya. Gadis itu menatap sekeliling. Dalam ingatannya sebelum memasuki masa lalu, dirinya terduduk di dekat tangga dan diserang oleh gadis yang kerasukan. Ia mendapati dirinya berada di dalam kamar. "Kei, syukurlah kamu sadar. Sudah dua hari ini kamu tak sadarkan diri," ujar Yura membuat gadis itu terkejut. "Apa, Bu? D-dua hari?" Kepalanya begitu pusing, ia tak mengerti apa yang terjadi. Semua begitu cepat dan Keinara juga belum sempat melepas rindu. Suara tangis bayi mulai terdengar memilukan, seakan haus pelukan ibunya. Segera Keinara beranjak dari tempat tidurnya untuk menghampiri bayinya.Banyak hal yang terjadi selama dua hari itu. Teror dari penghuni rumah yang menuntut balas semakin menjadi semenjak gundukan tanah di bawah pohon besar itu di
"Permisi. Ada yang bisa kami bantu, Mas?" Pria muda itu tak sedikitpun membuka mulut, membuat hawa sekitar semakin suram. Sekali lagi mereka mencoba bertanya hingga akhirnya pria muda itu mulai menjawab. Dengan suara yang pelan dan lirih, pria itu mengatakan maksud kedatangannya. "Antarkan saya ke toko mebel."Tiga pria yang tengah berpatroli desa itu saling menatap dengan raut keheranan, pasalnya semenjak tragedi terbunuhnya Kiyo, toko mebel itu tutup sampai saat ini. Tak pernah ada yang membicarakan atau bertanya tentangnya karena ada suatu hal yang membuat mereka semua ketakutan. "M-maaf, Mas. Tapi di sini gak ada toko mebel sama sekali. Dulu pernah ada, tapi sekarang ditutup.""Oh, gitu ya~." Suaranya yang begitu lirih bersamaan dengan kepalanya yang menoleh perlahan ke arah tiga pria itu. Pria asing itu menunjukkan sebuah kejutan yang membuat ketiganya merasa ketakutan, bahkan tak mampu bergerak. Dengan wajah yang setengah hancur dan kedua bola matanya yang keluar menoleh ke
Matanya memandang menelisik sekitar hutan, termasuk mobil terbengkalai itu. Keadaan mobil itu sangat kontras dengan yang ia temui waktu itu, seperti sebuah kejadian naas baru saja terjadi. Perlahan kaki Keinara melangkah mendekati mobil yang kosong tanpa pemilik. Tak ada tanda-tanda kehidupan meski lampu dari mobil itu masih menyala. Semakin dalam ia mencari bahkan di belakang mobil ini, tak ada satupun tanda-tanda yang mencurigakan. Di titik ini, Keinara mulai merasa kebingungan. "Sepertinya tidak ada apa-apa di dalam sini. Lalu apa yang aku cari?" gumamnya seraya melangkah berbalik. Tepat dimana ia melangkah, sesuatu berupa benda yang berdaging tak sengaja tersenggol oleh kakinya. Ia menunduk mencoba memastikan benda apakah yang baru saja mengenai ujung sepatu pantofle-nya. Terlihat ada sebuah tangan yang menjulur dari kolong mobil, telapaknya menengadah seakan meminta tolong. Keinara yang sedikit ragu dengan apa yang dilihatnya kini mulai memberanikan diri. Ia berjongkok lalu
"Hah?" Keinara memekik tak percaya. Sungguh seperti bertemu musibah di hari bahagia, sekujur tubuhnya membeku dan ia seakan terpatri bersimpuh. Apa yang ia firasatkan itu benar-benar nyata, Kiyo pasti akan memgincar keluarga Vanya. "Beneran, Van?" Gadis kecil ini mengangguk mantap, ada sebuah ketakutan dari wajahnya yang lugu. Lirikan mata mungil itu seakan menunjuk ke arah tangga seperti memberi tahu bahwa di rumah ini bukan hanya mereka bertiga saja. Tepat saat itu juga angin dingin terasa di kedua bahunya. Dari ujung matanya nampak sosok berwajah hancur berdiri di sampingnya. Keinara tahu bahwa Kiyo ada di dekatnya, tapi kali ini wujud tubuhnya sungguh berbeda. Bersamaan dengan itu, bayi yang digendongnya menangis sangat kencang.Vanya bangkit lalu menarik tangan Keinara menjauh dari sosok itu, mengajaknya ke tempat yang lebih terang. Jendela di dapur itu tampak terbuka, membawa cahaya mentari yang masuk menembus kaca-kaca bening. Di sini, Keinara mulai mengatur napasnya."Van,
Pintu itu dibukanya perlahan, decitannya membuat bulu roma berdiri. Tampak lorong-lorong rumah sakit yang sepi dan sedikit gelap, menyisakan lampu yang menerangi koridor. Keinara merasa ragu, matanya menatapi suasana yang senada dengan rumah Lian. Langkahnya perlahan keluar sembari menimang-nimang bayinya. "Anakku, tenang ya, Sayang. Ibu ada di sini," bisiknya. Kakinya terus melangkah menembus remang cahaya, tapi sejauh apapun itu bayinya tetap menangis dan semakin kencang tangisannya. Keinara hanya mampu menenangkan putrinya, tapi tak bisa menenangkan hatinya yang dilanda ketakutan. Sampai ia melangkah melewati kamar mayat, terdengar suara troli ranjang yang berisi seperti ditabrak ke dinding ruangan. Lampu yang menyorot koridor berkedip, tapi tangis bayinya perlahan mereda. Lirikan matanya yang kecil melirik ke arah pintu kamar mayat, seakan penasaran ada apa di sana. Mata Keinara mulai menatap ke pintu itu, suara bising troli ranjang itu masih terdengar. Namun ia yakin pintu i
***Terminal begitu ramai, tapi tak membuat Yura dan Keinara kehabisan tiket. Mereka segera menaiki bus lalu duduk tepat di kursi sesuai dengan tiket. Sambil menggendong bayinya, gadis pengasuh itu memandang ke jendela bus seraya memikirkan bisikan Kiyo yang tampak lembut di telinganya. Keinara sudah ingat tentang semuanya dan ia juga ingat akan rasa cintanya pada Kiyo semasa pemuda itu hidup dahulu. Traumanya perlahan menghilang, tapi ia tidak bisa menerima jika Kiyo akan melakukan hal sejauh ini pada orang lain. "Keinara, maafkan saya." Yura dengan sesal mengatakan permohonan maaf terhadap semua yang terjadi. "Tidak, Bu. Anda tidak sama sekali salah."Wanita muda itu memandang ke arah Vanya yang terlelap dalam tidurnya. "Sayang ya dia harus berpisah dengan sahabatnya dan kamu pasti sudah mencintai makhluk itu, bukan?"Perempuan berwajah manis ini hanya terdiam saat Yura mengetahui bahwa Kiyo dan dia pernah saling mencintai. Ditatapnya bayi mungil yang terlelap dalam dekapannya,