Share

Bab 7

Penulis: anggraa_3
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-29 08:38:35

"Jangan membuatku semakin marah, Siska!"

Aku meringis menahan nyeri ketika jari-jari tangan mas Bima memegang tanganku begitu kuat. Aku yakin, pergelangan tanganku akan membekas kemerahan esok. Mungkin melihat ekspresi wajahku yang tengah kesakitan membuat mas Bima segera melepas cengkraman tangannya dariku.

"Ma-af sayang, aku gak sengaja. Apa tanganmu sakit? Maafkan aku.." Mas Bima berucap dengan ekspresi seakan merasa bersalah. Di pegangnya pergelangan tanganku mengelusnya berkali-kali seolah-olah benar-benar sudah menyesal melakukannya.

"Siska, maafkan aku.."

Ku lepas pegangan tangannya dariku dengan kasar. Tak lupa ku usap pula pergelanganku sama halnya. Ku buang muka tanpa melihatnya lagi. Rasa kecewaku sudah tak bisa ku bendung lagi. Selain menyakiti perasaanku, kini mas Bima juga mulai menyakiti fisikku.

"Pergilah mas! Aku tak ingin melihat wajah mas Bima lagi. Biarkan aku dan Bora hidup bahagia." Ucapku dengan suara parau karena menahan tangisanku yang ingin pecah saat itu juga. Namun, sekuat apapun ku coba untuk menahannya.

"Jangan sentuh aku mas! Kita ini sudah bukan suami istri menurut agama. Apa mas lupa sudah menalakku beberapa jam yang lalu?" Ucapku dengan menatapnya tajam. Tangan mas Bima yang berada di bahuku, ku lepas dengan kasar.

"Aku khilaf Siska. Kita bisa rujuk lagi, itu masih talak 1 kan? Ayolah, jangan merajuk begini."

"Bukankah kesalah pahaman dalam rumah tangga itu hal yang biasa dan lumrah?"

Aku menatapnya dengan sinis, entah dimana mas Bima menaruh akal sehatnya itu. Aku tau setiap rumah tangga tak ada yang tak ditimpa badai meski kecil sekalipun. Namun, badai yang ku hadapi kali ini jauh lebih besar dan aku tak lagi bisa mengatasinya selain harus menyingkir.

Lalu bagaimana bisa aku menerimanya lagi? Setelah apa yang dia katakan selama ini. Menyuruhku menukar bayiku, tidak memperbolehkanku menjaga bayiku yang tergeletak sakit tak berdaya, mengancamku serta bayiku kemudian mulai menyakiti fisikku. Lalu apa aku sudah gila untuk menerimanya lagi? Sedang dirinya sendiri tak menginginkan anak darah dagingnya sendiri. Jadi, kenapa kami harus bersama kembali jika pendapat kami sudah sangat jauh berbeda.

"Tidak mas! Aku tetap pada pendirianku. Lebih baik kamu tetap menalakku seperti waktu itu. Percuma saja kita kembali, aku sudah tak memiliki rasa ketika kamu tak menginginkan anak kita." Ucapku dengan mencoba menyembunyikan rasa sakit di hatiku.

Mas Bima menggeleng dengan keras berkali-kali. Tangannya menahan pergelangan tanganku, namun segera ku tepis.

"Jangan menyentuhku mas. Kita bukan siapa-siapa lagi mulai sekarang. Kalau kamu tidak mau mengurus berkas perceraian ke pengadilan. Biar aku saja, selepas pulang dari sini aku yang akan mengurusnya kesana." Ucapku lalu kembali duduk ke tempat semula karena rasa pusingku kembali melanda.

Ingin sekali ku pijit kepalaku yang terasa berat ini. Memejamkan kedua mataku dan menikmati kesunyian ini. Namun, kehadiran mas Bima disini membuatku tak bisa melakukan apa yang ku mau. Aku harus terlihat kuat dan sehat agar mas Bima tak menyalahkan Bora kembali. Entahlah, anakku bahkan masih begitu kecil tapi mas Bima seolah menyalahkannya terus menerus jika ada sesuatu yang tidak mas Bima harapkan. Entah dimana letak pikiran mas Bima?

"Kamu yakin menjawab seperti itu, Siska? Jangan bodoh, kamu masih mencintaiku. Tidak mungkin ingin berpisah dariku. Disini, kamu tidak punya siapa-siapa selain aku. Kamu lupa siapa yang menanggung kehidupanmu selama ini kalau bukan aku?!" Bentak mas Bima padaku.

Meski dengan posisi duduk, tetap ku beranikan mendongak menatap mas Bima yang berdiri satu meter dariku.

"Aku bisa mengurus diriku sendiri mulai sekarang tanpa bergantung lagi padamu mas. Jadi, mulai sekarang aku bukan bebanmu lagi!"

"Sekarang pergi dari sini atau aku panggil satpam untuk mengusirmu mas!" Ucapku dengan tegas.

Mas Bima mengepalkan jari-jari kedua tangannya. Terlihat jelas urat-urat otot yang menonjol membuktikan bahwa mas Bima sedang menahan amarahnya.

"Aku sudah melakukan yang terbaik untukmu, Siska. Namun, kamu justru memperlakukanku seperti ini. Ingat kata-kataku ini, kamu dan anak itu tak akan kubiarkan hidup bahagia dimana pun kalian berada." Ucapnya sembari menunjukkan telunjuk jarinya di depan wajahku. Setelahnya laki-laki yang kini menjadi mantan suamiku itu pergi entah kemana.

Ku remat jariku sekuat tenaga agar tak terlalu terpancing emosi karena ancamannya. Meski begitu, aku tak sekuat kelihatannya. Kakiku rasanya gemetaran karena mendengar ucapan mas Bima barusan. Beruntung posisiku masih duduk, andai aku berdiri mungkin aku sudah limbung di lantai.

"Astaghfirullah.."

Berkali-kali aku mengucap istighfar agar ucapan mas Bima tidak menjadi kenyataan. Yang ku takutkan adalah mas Bima akan melakukan apa yang menjadi kehendaknya. Laki-laki itu pantang menyerah sebelum menyelesaikan ambisinya. Dan kini yang aku khawatirkan adalah keselamatan anakku. Aku tak akan membiarkan mas Bima melukai Bora.

Di dunia aku sudah tak memiliki siapapun kecuali Allah dan bayi perempuanku yang masih dirawat di ruangan belakangku. Jika anakku pergi dariku, maka tak ada lagi yang bisa ku lakukan. Aku bisa menggila karenanya.

"Bu Siska.."

"Bu.."

Aku melonjak kaget karena sebuah tangan menepuk bahuku dengan pelan. Ku lihat suster yang tadi kembali kesini.

"Maafkan saya Bu, tadi saya panggil-panggil tidak ada sahutan. Saat ini sudah waktunya jam minum susu formula untuk pasien Debora." Ucapnya dengan mimik wajah gelisah. Mungkin tak enak hati sudah membuatku terkejut.

"Tidak apa-apa sus. Silahkan, apa saya dibolehkan untuk masuk sus?" Tanyaku hati-hati.

"Boleh Bu, karena pasien keadaannya sudah kelihatan lebih membaik. Kemungkinan besok sudah diperbolehkan untuk pulang. Tapi, untuk kepastiannya Bu Siska menunggu kunjungan dari dokter dulu."

Aku mengangguk dengan wajah tak henti-hentinya tersenyum. Senyumanku lebih merekah kala melihat lagi anakku di depan mata. Kami sama-sama tersenyum seolah sedang menyalurkan rasa rindu masing-masing. Ingin sekali aku memeluk dan menciuminya. Baru beberapa jam berpisah dari anakku saja, rasanya perasaanku tidak karuan. Apalagi menukarnya dengan anak orang lain dari panti asuhan. Meski sama-sama bayi, tapi rasanya aku tak rela dan tak ingin mengikuti saran mas Bima yang kejam itu.

"Baik sus, terimakasih atas informasinya." Ucapku dengan tulus.

"Sama-sama Bu. Barangkali ibu mau menunggu pasien di dalam, silahkan."

"Apa susu formulanya saya yang memberikan atau Bu Siska sendiri?"

Suster itu bertanya sembari menyodorkan sebotol susu formula di hadapanku.

"Biar saya saja sus." Jawabku sembari menerima botolan tersebut.

Setelahnya suster itu berpamitan dari hadapanku. Kini hanya ada aku dan anakku seorang. Ku gendong Bora dengan hati-hati sembari menyodorkan sebotol dot susu di mulutnya. Tak lupa menyanyikan lagu agar bayi kecilku tidur dengan nyaman. Sesekali ku cium wajah mungilnya yang begitu lucu.

"Mas, anak kita begitu cantik dan menggemaskan. Kenapa kamu segitu membencinya? Kenapa harus ada gender anak kita yang menjadikan pemicu kerusakan rumah tangga kita. Aku harap kamu tidak menyesalinya di kemudian hari." Ucapku dengan suara parau menahan tangis.

Sepanjang malam ku habiskan untuk menemani anakku. Meski ia sudah tidur terlelap di ranjangnya. Tak ada rasa kantuk untuk melihat wajahnya. Tak sabar rasanya aku menunggu hari esok agar bisa membawa anakku pulang.

Pulang?

Sekejap aku termenung mengulangi kata tersebut. Kemana aku akan pulang? Tak mungkin aku kembali ke rumah Reyden. Aku masih sadar diri untuk tidak merepotkan orang lain. Meski kita dulu saling mengenal, aku masih sadar diri dan harus bisa menempatkan diri agar tak menjadi beban orang lain.

Mungkin nanti aku akan mencari rumah yang di sewakan agar bisa ku tinggali dengan lebih nyaman bersama anakku. Karena, jika kupikir kembali untuk mencari kos-kosan pasti tempatnya akan ramai karena anak-anak kuliahan atau yang bekerja. Tentu, anakku akan tidak nyaman untuk tinggal di tempat seperti itu. Semoga saja, cincin yang akan ku jual besok cukup untuk membayar biaya rumah sakit dan menyewa rumah kontrakan dengan harga sewa yang murah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ditalak Usai Melahirkan    Bab 18

    3 bulan kemudianPernikahan antara Reyden dan Siska telah digelar dengan sangat mewah. Gedung yang sudah dihias dengan pernak-pernik pernikahan membuat siapapun mata yang memandang akan terpesona. Siska yang masih menunggu di dalam ruangan merasakan jantungnya berdebar sangat kencang. Meski sudah pernah melakukan acara sakral ini. Tetap saja, perasaan itu kembali hadir. Tangannya terus bergemetar membuat Helena, calon ibu mertuanya tersenyum simpul. "Tenang saja, sayang. Acaranya hanya berjalan beberapa jam saja kok. Apa mau mama ambilkan minum?" "Enggak usah, Ma. Terimakasih. Barangkali mama capek, biar Siska aja yang gendong Bora." "Gendong anak selucu ini, gimana bisa mama merasa capek? Sudah kamu duduk saja yang tenang. Biar mama yang urus Bora, cucu Oma." Senyuman tak pernah lepas dari bibir Siska. Bagaimana tidak? Di hidupnya yang berantakan. Ia justru dipertemukan kembali dengan sosok laki-laki di masalalunya dan dipersatukan kembali. Tak hanya itu, sosok calon ibu mertuan

  • Ditalak Usai Melahirkan    Bab 17

    Mendengar kalimat tak terduga yang keluar dari mulut Siska yang dianggap masih menantunya. Bu Sarah membelalakkan kedua matanya memandang Siska dengan terkejut. Ia pun bergantian memandang cucunya dengan rasa tak percaya. "Jangan ngeprank Mama, Siska. Bima sendiri yang bilang kalau kamu melahirkan bayi laki-laki." Siska tetap menyakinkan Bu Sarah bahwa apa yang dikatakan Bima adalah kebohongan karena tak ingin membuatnya kecewa. "Aku tidak mau membohongi mama. Karena, bangkai kalau terus disimpan, pasti akan ketahuan juga. Lebih baik, aku bilang sama Mama daripada mama tau sendiri dan kecewa nantinya." ucap Siska berterus terang tentang perasaannya. "Lagipula, aku dan mas Bima sudah bercerai Ma. Mas Bima tidak mau mengakui anak itu karena ia ingin anak laki-laki sebagai anak pertamanya. Tapi, aku bisa apa? bukan aku yang menentukan jenis kelamin seorang anak yang akan dilahirkan. Semua itu kehendak Tuhan. Tapi, mas Bima tidak mau mengerti hal itu. Mas Bima bahkan menyuruhku untuk

  • Ditalak Usai Melahirkan    Bab 16

    "Kenapa mas? Kenapa berhenti? lanjutkan saja kegiatan kalian. Aku kesini hanya ingin mengambil dokumen pribadiku." ucapku tanpa memedulikan suamiku yang tengah sibuk memakai celana pendeknya. Sedangkan, perempuan itu hanya menundukkan wajahnya dengan selimut yang masih menutupi seluruh tubuhnya. Entah takut atau malu karena terpergok orang lain. Aku tidak peduli! "LANCANG SEKALI KAMU, SISKA! BERANI KAMU MENGINJAKKAN KAKI DI RUMAH INI LAGI?!" bentakan mas Bima membuat Bora yang tengah tertidur pulas di dekapanku akhirnya menangis dengan kencang. "Berani juga membawa anak pembawa sial itu kemari. Apa kamu menginginkanku untuk mengakuinya dengan alibi mencari dokumen pribadimu. Iya kan? Haha.. jangan harap! Aku tidak akan sudi meski kamu memaksaku dan memohon berlutut di depan kakiku." "Bagaimana? Senang hidup di luaran sana tanpa aku? berjualan gorengan dengan untung tak seberapa itu? ingat Siska! selama ini kamu hidup enak karena siapa? kalau kamu mau rujuk kembali padaku, akan aku

  • Ditalak Usai Melahirkan    Bab 15

    Seperti yang dikatakan Reyden siang tadi. Benar saja, sore ini ada mobil yang sudah terparkir di depan rumah kontrakanku datang hanya untuk menjemput ku. Entahlah, rasanya aku begitu malu jika diperlakukan bak ratu seperti ini. Karena, mengingatkanku pada mas Bima. Laki-laki yang menjadi mantan suamiku itu, dulunya juga sama saja memperlakukanku seperti ini. Aku hanya berharap, bahwa hubunganku dengan Reyden nantinya akan kokoh selamanya. Debora sengaja aku ajak, karena aku tidak akan tenang jika menitipkannya pada orang lain meski aku mengenalnya. Naluri seorang ibu, pastilah tak ingin berjauhan dengan buah hatinya. Setelah mengunci pintu rumah, lalu masuk ke dalam mobil. Menikmati perjalanan menuju arah butik Angola. Butik terkenal di pusat kota, dimana semua pelanggannya adalah hampir semua rata-rata orang kaya, artis juga selebgram terkenal. Tak bisa aku bayangkan, berapa uang yang akan Reyden keluarkan hanya untuk sekedar gaun yang hanya dipakai selama satu hari saja. Puluhan ju

  • Ditalak Usai Melahirkan    Bab 14

    Sudah 2 bulan lamanya, Reyden kerap kali datang seminggu sekali untuk menemuiku dan bermain dengan Debora. Tak ayal, laki-laki itu membantuku membereskan semua daganganku. Meski aku sudah menolaknya karena tidak enak hati. Tapi, Reyden tetaplah Reyden, laki-laki itu tak akan mendengarkanku jika bukan kemauannya sendiri. Sudah berkali-kali pula, aku menyuruhnya untuk tak sering datang kesini karena statusku yang masih dalam tahap masa Iddah. Reyden yang awalnya hampir setiap hari kesini, kini berubah menjadi 1 Minggu sekali datang menjengukku.Tentunya, tak hanya dia seorang. Dirinya akan mengajak rekan kerjanya dua orang. Sella dan Ridho, dengan tujuan agar namaku tidak menjadi bahan gunjingan para tetangga. Jujur saja, mendengar maksud tujuannya membuatku hatiku terenyuh. Reyden benar-benar menjaga perasaanku. Ya, meski akan ada saja mulut-mulut jahat yang mengataiku di belakangku. Dan tentu saja, aku tidak bisa membungkam mereka semua. Ternyata benar, memiliki status janda terkada

  • Ditalak Usai Melahirkan    Bab 13

    "Reyden!" Aku terkesiap melihat sosok laki-laki yang tidak ingin ku temui, sudah berdiri di depanku. "Bisa bicara sebentar? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan kepadamu." "Ini penting." Meski aku merasa tak ingin berbicara dengannya. Tapi, laki-laki itu lah yang membantuku selama aku mengalami kesusahan. Tidak pantas rasanya, jika aku mengabaikannya. Apalagi, dirinya menurunkan gengsinya untuk membeli gorenganku. Makanan murah yang tentunya tak pernah ia sentuh sejak kecil. Setelah membereskan dagangan, ku hampiri Reyden yang sudah menungguku lumayan lama. Laki-laki itu duduk di teras rumah kontrakanku membuatku tak enak hati. "Maaf sudah menunggu lama." ucapku sembari duduk di sampingnya dengan jarak yang terpaut satu meter. Sebagai seorang perempuan tanpa suami, aku harus menjaga diri agar tidak menimbulkan gosip yang tidak-tidak. Terlebih, aku masih baru disini. "Gak apa-apa, Ska." "Ada hal penting apa yang mau kamu katakan padaku?" kataku melihat Reyden yang sedari tadi si

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status