Share

3. Aturan

Author: A. D. Liris
last update Huling Na-update: 2025-05-07 12:47:51

Lorong rumah sakit yang pucat masih berbau disinfektan ketika ponsel di tangan Naira kembali bergetar. Getaran kecil itu terasa seperti ledakan di dadanya—sebab nama "Arvin" kini berarti satu-satunya jalan keluar, sekaligus jalan buntu. Ia menunduk, membaca pesan singkat yang tertera di layar bercahaya.

- Datang ke Pent-house Aurora Tower. Sekarang.

Akses lift VIP atas namamu sudah dibuat. - A.

Jantung Naira berdetak lebih cepat—bukan karena ia rindu pulang, melainkan oleh bayangan pertemuan berikutnya. Ia menoleh ke pintu kaca tempat sang ibu terbaring. Dada terasa sesak, seolah suatu garis halus tengah ditarik antara dirinya dan segala yang pernah aman.

Hanya sepuluh menit kemudian, ia telah keluar dari gedung, memanggil mobil daring dengan jari gemetar. Hujan gerimis sisa-sisa siang menempel di kaca jendela kendaraan, memburamkan lampu jalan. Setiap tetesnya seakan menabuh ketakutan yang belum sempat padam.

Aurora Tower berdiri seperti obelisk kaca di tengah distrik elit. Dua puluh enam lantai yang memantulkan kilau lampu kota. Sopir pun menurunkannya persis di depan kanopi marmer dan sepasang petugas membungkuk begitu ia menyebut "Mr. Arvin." Badge tamu tercetak otomatis dari konter digital, sementara lift pribadi meluncur terbuka tanpa suara. Naira menarik napas panjang. Langkahnya setengah ragu, setengah pasrah.

Di dalam kabin lift metalik, hanya derit halus kabel yang menemani. Panel angka seketika meloncat ke "PH", penthouse. Cermin dinding memantulkan wajahnya. Pucat, mata berkantung, bibir kering, kontras dengan kemeja putih terbaiknya yang kini terlihat murahan di bawah sinar LED. Ia menunduk, menggenggam erat tali tas lusuh, merasa kehadirannya di kotak berlapis krom ini adalah sebuah kekeliruan.

Ding

Pintu terbuka pada ketinggian yang bahkan tidak tercantum di tombol publik. Koridor gelap-emas menyambut: karpet tebal, lampu dinding temaram, dan keheningan mahal yang menelan suara jantungnya.

Di ujung, pintu otomatis dari panel kayu walnut bergeser, sensor mengenali kartu tamu di tangannya. Satu langkah ke depan dan ia seakan memasuki dunia lain.

Pent-house itu lapang, nyaris sunyi. Dinding kaca setinggi langit-langit memamerkan lautan lampu kota malam. Furnitur minimalis, sofa abu gelap, perapian elektrik tersembunyi, terletak rapi seakan menolak disentuh. Di dekat jendela, siluet Arvin berdiri dengan tangan bersedekap, hanya garis bahunya yang terkena samar cahaya neon dari jalan raya.

Tanpa berpaling ia berkata datar, "Tepat waktu. Duduklah."

Naira menelan ludah, lalu mendekat ke meja bar yang terbuat dari batu travertine. Di sana tergeletak sebuah map hitam berembos logo firma hukum.

"Anggap ini lampiran kontrak yang belum sempat kubahas," ujar Arvin, akhirnya menoleh. Mata kelamnya memantul kilau kota, dingin dan tajam. "Delapan pasal. Baca sekarang."

Tangan Naira terasa licin saat membuka halaman pertama.

---

Pasal-pasal Inti

1. Durasi – Satu tahun kalender penuh, dimulai pada tanggal pernikahan sipil.

2. Kerahasiaan – Identitas perjanjian haram bocor pada pihak mana pun. Pelanggaran: penalti lima miliar rupiah dibayar kontan.

3. Kohabitasi – Pihak Kedua (Naira) wajib tinggal di alamat yang ditentukan Pihak Pertama (Arvin) kecuali untuk urusan kerja sosial terjadwal.

4. Representasi Publik – Hadir sebagai pasangan di semua acara keluarga, korporat, dan sosial minimal dua kali per bulan.

5. Peran Domestik – Bila tidak ada staf rumah tangga bertugas, Pihak Kedua merawat kebutuhan dasar hunian (mencuci pakaian, menyiapkan makanan ringan, merapikan area umum).

6. Kompensasi – Honor tetap: 100 juta rupiah per bulan, ditransfer setiap tanggal 1. Uang hangus bila kontrak diakhiri sepihak oleh Pihak Kedua.

7. Larangan Ekstra – Tidak boleh membawa tamu pribadi tanpa izin tertulis; tidak boleh mempublikasikan foto interior; tidak boleh memeriksa dokumen perusahaan.

8. Pengakhiran – Setelah 12 bulan, Pihak Kedua akan menandatangani perceraian damai, tanpa klaim harta gono-gini.

Di bawah daftar itu tertera penalti tambahan: setiap pelanggaran tugas domestik = denda 10 juta per kejadian.

Seolah ingin menegaskan, Arvin menunjuk bagian kelima dengan ujung pena. "Dan aku rasa kau paham tugasmu di rumah ini apa."

Suara Naira serak. "Mencuci. Menata. Memasak… saat staf libur?"

"Persis," jawabnya tenang. “Nenekku, Oma Ratna, menghargai menantu yang rajin. Itu akan menjadi nilai plus bagimu. Anggap saja investasi citra.”

Ia menutup map perlahan. “Bagaimana kalau aku tak sanggup?”

“Sanksinya jelas,” Arvin menepuk halaman penalti. “Tapi, melihat situasi ibumu, kupikir kau tidak berencana gagal.”

Hantaman kalimat itu hampir membuatnya terisak, namun ia menggigit bibir, menahan.

Arvin menggeser tablet di meja. Layar menyala menampilkan arsip berita: “Skandal Batal Nikah: Nadine Sasmita & Pewaris Winata Group” lengkap dengan foto seorang wanita bergaun pernikahan setengah mengenakan kerudung renda, wajahnya hampir mirip dengan Naira.

Tubuh Naira langsung menegang. Nadine. Kenangan pahit pun menerobos ingatan, hari ketika ia dan ibunya diusir diam-diam dari rumah besar keluarga Sasmita dan janji "akan pulang saat cuti kuliah" yang tak pernah ditepati.

"Ini mantan tunanganku," ujar Arvin tiba-tiba, ekspresinya tak berubah. "Dia kabur ke luar negeri tiga minggu sebelum resepsi, membawa beberapa insider-file. Perusahaan nyaris goyah."

Naira mengerjap cepat, memaksa napas tetap teratur. Bersyukur ia memakai nama "Naira Azzahra" pada dokumen resmi sejak lama. Ia tak berani menatap foto itu terlalu lama, khawatir kebohongan yang baru ia rajut akan koyak sebelum sempat dipakai.

Arvin menutup tablet. "Skandal ini belum padam. Maka butuh istri baru yang terlihat… bersih. Pastikan kau tak menambah luka publisitasku."

Ia hanya mengangguk, suaranya tercekat entah di mana.

"Besok kemas semua barangmu. Kurir pribadiku akan datang menjemput dan membawanya ke sini.

Untuk malam ini, tetaplah di sini dan gunakan kamar tamu."

Arvin mengayunkan langkah menuju lorong kanan, sedangkan Naira mengekor. Derap sepatu lelaki itu mantap, sedangkan bunyi sol kets murahan di kaki Naira teredam karpet mahal.

Di tengah koridor, Arvin berhenti di depan pintu putih gading, membukanya dengan sensor telapak. "Di sebelah dapur. Dekat pantry," jelasnya sambil menyalakan lampu dim otomatis.

Kamar itu tidak sebesar master bedroom, namun tetap memukau. Ranjang queen ber-headboard beludru biru gelap, lemari built-in, karpet tebal. Satu jendela persegi memamerkan gugusan lampu kota, cukup untuk membuat siapapun merasa berada di atas segalanya, sekaligus terisolasi dari bumi.

"Staf housekeeping hanya datang pagi. Jika perlu sesuatu, atur sendiri," ucap Arvin.

Naira menunduk. "Baik."

Lelaki itu menoleh sekali lagi, pupil hitamnya seperti membekukan udara. "Istirahat. Fitting gaun besok jam sembilan. Jangan terlambat." Kemudian ia berbalik, meninggalkan jejak aroma parfum woody yang segera lenyap bersama langkahnya.

Naira berdiri terpaku, tangan masih menggenggam tali tas lusuh. Kamar ini, lebih mewah dari segala yang pernah ia huni, seketika berubah menjadi panggung kosong tanpa penonton. Ia menurunkan tas di kursi, lalu duduk di tepi ranjang.

Di luar jendela, ribuan cahaya mobil bergerak seperti aliran sungai neon. Gedung-gedung pencakar langit berkedip, namun bagi Naira, kerlip itu terasa jauh, asing, seperti memamerkan dunia yang tidak pernah menerima dirinya.

Air mata pertama jatuh tanpa peringatan, membasahi pipi yang dingin. Kedua tangan membekap wajah, bahu berguncang perlahan. Ia mencoba menghirup napas dalam, namun yang masuk hanya rasa getir, kesadaran bahwa ia kini terjual pada kontrak dingin, sedangkan harga dirinya digadaikan untuk detak jantung ibu.

Suara penanda pesan muncul samar dari ponsel yang tergeletak, tetapi ia tak sanggup meraih. Tangis tertahan berubah menjadi serak di tenggorokan. Nyeri di dada menumpuk dengan ketakutan akan rahasia Nadine yang bisa pecah sewaktu-waktu.

Di tengah isak terbelenggu itu, telinganya menangkap suara langkah mantap kembali mendekat di koridor, kemudian hentakan ringan di luar pintu. Naira sontak menyeka air mata, menegakkan punggung. Pintu tidak terbuka, namun suara Arvin terdengar dari seberang kayu:

"Ingat Pasal Tiga, Naira. Pernikahan ini hanya berlaku satu tahun. Jalankan peranmu dengan baik. Kalau aku sampai menyesal, kesepakatan putus, dan semua fasilitasmu, termasuk biaya rumah-sakit Ibumu, langsung dicabut."

Nada baritonnya rendah, penuh ancaman terukur. Arvin berbalik, berniat pergi.

Naira menelan ludah – pertanyaan yang menghantui sejak tadi akhirnya lolos dari bibirnya.

"Tunggu…," suaranya bergetar. "A-apakah … apakah kau juga akan menuntut hakmu di-diranjang, se-sebagai suami?"

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Ditolak Bekerja, Dilamar CEO Tampan   8. Rahasia Diantara Kita.

    “Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?”Naira tidak langsung menjawab. Tenggorokannya tercekat, dan ia masih bisa merasakan degup jantungnya menabrak tulang rusuk, seakan ingin melarikan diri lebih dulu darinya sendiri.“Aku hanya lelah,” ucapnya pelan, tanpa menatap Arvin.Arvin tak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri di ambang pintu kamar mandi, memperhatikan Naira yang masih membelakangi cermin. Sorot matanya menusuk, namun suaranya tetap tenang saat ia berkata, “Kalau kau menyembunyikan sesuatu, lebih baik kau pikirkan baik-baik. Aku tak suka kejutan.”Kemudian ia berbalik dan pergi, membiarkan pintu kamar mandi terbuka.Naira menunggu hingga suara langkah kaki itu menjauh, lalu buru-buru mengambil ponsel yang tadi disembunyikan. Ia membuka kembali pesan dari nomor asing itu. Kata-katanya masih sama. Singkat. Penuh ancaman terselubung.“Ini baru permulaan. Kita lihat sampai kapan kau mampu bertahan. Naira.”Tangannya bergetar. Ia tidak tahu harus percaya pada siapa. Dan yang paling

  • Ditolak Bekerja, Dilamar CEO Tampan   7. Ini baru Permulaan.

    Langit Zurich cerah, tapi tidak lebih tenang dari pikiran Naira. Ia duduk terpaku di dalam mobil hitam yang membawa mereka dari bandara menuju sebuah hotel mewah, tempat yang telah disiapkan untuk kunjungan bisnis dan juga pengukuhan hukum pernikahan mereka.Arvin duduk di sampingnya. Diam. Tatapannya tertuju ke luar jendela, ke deretan bangunan klasik yang berdiri rapi seperti barisan penjaga rahasia.“Aku tidak menyangka tempat ini akan terasa… dingin,” gumam Naira, mencoba mencairkan suasana.Arvin menoleh, suaranya pelan tapi tegas. “Tempat ini sangat tepat untuk hal yang penting, Naira. Pengukuhan pernikahan kita secara hukum internasional akan dilakukan di sini. Setelah itu, kau resmi menjadi bagian dari hidupku. Bukan hanya secara sosial, tapi legal dan global.”Kata-kata itu seharusnya membuat Naira lega. Tapi yang ia rasakan justru sebaliknya. Jantungnya justru berdetak lebih cepat.“Apa karena ... hal itu?” tanyanya pelan.Arvin menyandarkan tubuhnya, menatap lurus ke depan.

  • Ditolak Bekerja, Dilamar CEO Tampan   6. Kukuh Di Mata Dunia

    Daniel menatapnya sambil tetap tersenyum ke arah kamera, ekspresi yang seolah tak menyimpan apa pun—kecuali rahasia gelap yang baru saja dia sematkan ke telinga Naira."Aku tahu siapa kau."Naira membeku.Senyumnya menegang. Ia bahkan lupa harus menatap ke arah fotografer. Jantungnya berdetak kencang, begitu keras hingga ia takut Arvin bisa menangkap suara itu. Tangan Arvin yang menggenggam pinggangnya terasa jauh, seperti bukan lagi milik seseorang yang memayungi, tapi seperti dinding es yang mendadak mengurung.Suara kamera terdengar lagi. Blitz menyala. Namun dunia Naira terasa teredam. Seakan semua kebisingan pesta berubah menjadi dengung samar. Ia tidak bisa berpikir jernih. Sekujur tubuhnya menegang, matanya tidak fokus, dan napasnya mulai dangkal.Ia berpikir cepat, tapi pikirannya berkabut. Siapa Daniel? Sejauh mana dia tahu? Apa dia mengenal Nadine secara langsung? Atau... lebih buruknya, apakah dia tahu Naira adalah adik tiri Nadine? Jika iya, dari mana? Sejak kapan dia tahu

  • Ditolak Bekerja, Dilamar CEO Tampan   5. Aku Tahu Siapa Kau.

    Suara denting alat rias dan bisikan pelan memenuhi ruangan. Naira duduk di depan cermin besar dengan lampu-lampu bulat yang memantul di kulitnya. Wajahnya telah diberi alas, mata dihias lembut, dan rambutnya disanggul rapi oleh para perias profesional. Gaun putih gading menggantung di sisi ruangan, seperti menunggu giliran untuk menjadi saksi sebuah ikatan yang—bagi orang lain—terlihat suci.Bagi Naira, semuanya terasa seperti mimpi buruk yang dibungkus pita mewah.“Tinggal sedikit lagi. Dan ya, kau cantik sekali,” ujar salah satu perias muda sambil menyemprotkan setting spray.Cantik? Mungkin. Tapi tidak ada yang tahu apa yang ia rasakan di dalam dada.Pintu ruang rias terbuka. Seorang wanita berbisik pelan pada perias senior yang kemudian menghampiri Naira dan menunduk sedikit.“Sebentar lagi pengantin pria akan masuk ke aula. Tamu-tamu sudah mulai berdatangan. Kami akan bantu kamu berganti gaun sekarang.”Naira hanya mengangguk, menelan ludah pahit. Gaun itu berat, baik secara fisi

  • Ditolak Bekerja, Dilamar CEO Tampan   4. Besok?

    Naira berdiri membeku di balik pintu kamar, napasnya tercekat setelah mengucapkan pertanyaan yang selama ini dipendam. "Tunggu … A-apakah kau juga akan menuntut hakmu di ranjang, sebagai suami?" Suaranya bergetar dan hampir pecah.Di luar sana, Arvin diam sesaat, seperti menimbang-nimbang. Lalu suaranya terdengar pelan tapi tajam, memecah kesunyian malam. "Kalau aku ingin menyentuhmu … kau pasti sudah tahu dari awal. Kau aman, Naira. Tapi jangan main api."Kata-katanya dingin, tanpa jejak belas kasihan. Naira menggigit bibir, merasakan dadanya sesak seperti ditekan batu besar. Apa artinya itu? Aman, tapi … main api? Hatinya tidak pernah secepat ini berdebar. Tapi dia tahu, ini baru permulaan.---Suasana penthouse masih diselimuti senyap saat pagi menyapa. Naira belum sepenuhnya bisa melupakan percakapan semalam. Kalimat Arvin masih terpatri kuat di benaknya, dingin, tegas, dan penuh ancaman tersirat. Tapi pagi ini bukan waktunya tenggelam dalam ketakutan. Karena saat fitting baju tad

  • Ditolak Bekerja, Dilamar CEO Tampan   3. Aturan

    Lorong rumah sakit yang pucat masih berbau disinfektan ketika ponsel di tangan Naira kembali bergetar. Getaran kecil itu terasa seperti ledakan di dadanya—sebab nama "Arvin" kini berarti satu-satunya jalan keluar, sekaligus jalan buntu. Ia menunduk, membaca pesan singkat yang tertera di layar bercahaya.- Datang ke Pent-house Aurora Tower. Sekarang.Akses lift VIP atas namamu sudah dibuat. - A.Jantung Naira berdetak lebih cepat—bukan karena ia rindu pulang, melainkan oleh bayangan pertemuan berikutnya. Ia menoleh ke pintu kaca tempat sang ibu terbaring. Dada terasa sesak, seolah suatu garis halus tengah ditarik antara dirinya dan segala yang pernah aman.Hanya sepuluh menit kemudian, ia telah keluar dari gedung, memanggil mobil daring dengan jari gemetar. Hujan gerimis sisa-sisa siang menempel di kaca jendela kendaraan, memburamkan lampu jalan. Setiap tetesnya seakan menabuh ketakutan yang belum sempat padam.Aurora Tower berdiri seperti obelisk kaca di tengah distrik elit. Dua puluh

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status