Share

4. Besok?

Author: A. D. Liris
last update Huling Na-update: 2025-05-07 12:48:19

Naira berdiri membeku di balik pintu kamar, napasnya tercekat setelah mengucapkan pertanyaan yang selama ini dipendam. "Tunggu … A-apakah kau juga akan menuntut hakmu di ranjang, sebagai suami?" Suaranya bergetar dan hampir pecah.

Di luar sana, Arvin diam sesaat, seperti menimbang-nimbang. Lalu suaranya terdengar pelan tapi tajam, memecah kesunyian malam. "Kalau aku ingin menyentuhmu … kau pasti sudah tahu dari awal. Kau aman, Naira. Tapi jangan main api."

Kata-katanya dingin, tanpa jejak belas kasihan. Naira menggigit bibir, merasakan dadanya sesak seperti ditekan batu besar. Apa artinya itu? Aman, tapi … main api? Hatinya tidak pernah secepat ini berdebar. Tapi dia tahu, ini baru permulaan.

---

Suasana penthouse masih diselimuti senyap saat pagi menyapa. Naira belum sepenuhnya bisa melupakan percakapan semalam. Kalimat Arvin masih terpatri kuat di benaknya, dingin, tegas, dan penuh ancaman tersirat. Tapi pagi ini bukan waktunya tenggelam dalam ketakutan. Karena saat fitting baju tadi pagi, Arvin menerima telepon dari Oma Ratna. Dan malam ini, mereka harus menghadiri jamuan makan di rumah keluarga besar Arvin.

"Jangan membuatku malu di depan Oma," kata Arvin, saat mereka bersiap di lobi gedung. "Mainkan peranmu sebaik mungkin, dan jaga bahasa tubuhmu. Oma sangat peka."

Naira hanya mengangguk. Gaun sederhana berwarna champagne membungkus tubuhnya dengan anggun. Riasan tipis menambah kesan dewasa yang tidak biasa ia tampilkan. Tapi di balik semua itu, dadanya berdegup kencang. Setiap langkah menuju mobil terasa seperti memasuki wilayah yang tidak dikenal, penuh jebakan tak terlihat.

Mobil mereka meluncur mulus menuju kawasan elit di selatan kota. Rumah Oma Ratna berdiri megah dengan gaya klasik-modern, dikelilingi taman yang rapi. Lampu-lampu taman menyala temaram, menciptakan nuansa hangat sekaligus menekan.

"Tenang saja," bisik Arvin sebelum mereka masuk.

Naira mengangguk pelan. Kakinya terasa berat melangkah ke dalam rumah yang begitu asing tapi akan menjadi bagian dari kehidupannya selama setahun ke depan. Aroma bunga segar dan lantai marmer yang berkilau menambah kesan elegan dan dingin sekaligus.

Oma Ratna menyambut mereka dengan senyum hangat dan pelukan lembut untuk Arvin. Wanita itu tampak anggun, berambut perak disanggul rapi, auranya memancarkan wibawa yang tak bisa ditolak.

"Naira," katanya sambil menggenggam tangan Naira dengan lembut. "Akhirnya, aku bisa bertemu denganmu juga. Arvin sangat tertutup, tapi kali ini, dia terlihat cukup bangga memperkenalkanmu."

Naira tersenyum sopan. "Terima kasih sudah menerima saya, Oma." Suaranya hampir tercekat, tapi ia berusaha tegar. Genggaman tangan Oma terasa dingin namun tegas, seakan menyelami setiap lapisan niat yang ia sembunyikan.

Mereka dipersilakan duduk di ruang makan. Meja panjang dengan lilin-lilin ramping, piring porselen, dan hidangan berkelas. Namun, kemewahan itu tidak cukup mengusir kecanggungan yang menguar dari dada Naira. Ia duduk tegak, berusaha memerankan peran istri ideal dengan segala yang ia punya.

Percakapan ringan berlangsung. Oma bertanya tentang hobi, keseharian, hingga pandangan Naira soal keluarga. Naira menjawab dengan hati-hati, menyesuaikan nada suara, mengatur senyum. Tapi setiap pertanyaan Oma terasa seperti ujian.

"Saya suka membaca buku resep, Oma. Kadang mencoba masakan baru di rumah," jawab Naira saat ditanya soal hobinya.

"Bagus. Istri yang bisa memasak itu mahal," sahut Oma sambil tersenyum.

Tawa kecil terdengar dari sudut meja, tapi hati Naira tetap tegang. Ia merasa seperti sedang berjalan di atas tali yang rapuh.

Namun takdir seolah menunggu waktu untuk menguji ketegarannya.

"Oma sempat khawatir Arvin tidak akan pernah menikah," kata Oma pelan, suaranya diselimuti kenangan. "Setelah Nadine, semua menjadi ... terlalu sunyi."

Naira tersentak kecil. Nama itu. Dada Naira seperti diremas. Ia mencoba tersenyum, tapi bibirnya terasa kelu.

"Perempuan itu begitu cantik, cerdas, dan penuh pesona," lanjut Oma. "Tapi juga penuh tipu daya. Dia nyaris menghancurkan Arvin. Untung pernikahan itu batal sebelum semuanya terlambat."

Arvin menarik napas pelan. Wajahnya tetap tenang, tapi ada ketegangan di ujung rahangnya.

Naira menunduk sedikit, mencoba menyembunyikan reaksi wajahnya. Tapi pikirannya langsung kacau. Nama itu. Nadine. Kakak tirinya. Darahnya seolah berhenti mengalir sejenak. Apa yang akan terjadi kalau Oma tahu? Kalau Arvin tahu?

Kepalanya berdenyut.

"Kalau saja Nadine tidak mempermainkan kepercayaan keluarga kami, mungkin semuanya akan berbeda," tambah Oma, menatap Naira tajam. "Tapi aku percaya, kamu bukan seperti dia, kan?"

Naira nyaris kehilangan suara. Tangannya menggenggam kuat sisi kursi. "Tentu tidak, Oma," jawabnya lirih. "Saya hanya ingin menjadi istri yang baik ... sesuai harapan keluarga."

"Bagus," sahut Oma dengan senyum tipis. "Karena kami tidak butuh seseorang yang hanya datang untuk keuntungan pribadi."

Suasana mendadak terasa dingin. Nafas Naira tercekat. Kata-kata itu menghantam seperti palu. Seakan menguliti dirinya yang penuh kebohongan. Ia memejamkan mata sesaat, menenangkan napasnya. Ia tahu, kontrak ini dimulai dari kepura-puraan. Tapi mendengar ucapan Oma, rasa bersalah dan ketakutan berdesakan dalam dadanya.

Setelah makan malam berakhir, mereka pamit pulang. Dalam mobil, Arvin tidak banyak bicara. Hanya diam, menatap keluar jendela. Lampu kota berkelebat di balik kaca, membingkai keheningan yang menggantung.

Naira menatap tangannya yang terlipat di pangkuan. Sesekali ia melirik Arvin, mencoba membaca pikirannya yang nyaris tak bisa ditebak.

"Maaf kalau aku terlalu kaku," ujarnya pelan, hampir seperti bisikan yang takut ditolak.

Arvin menoleh sekilas. "Tidak," balasnya singkat. "Kau cukup meyakinkan."

Hanya itu. Tapi kata-kata itu membuat dada Naira berdesir pelan. Ia tahu ini bukan pujian tulus, hanya penilaian dari rekan kontrak. Tapi tetap saja… ada bagian dari dirinya yang ingin percaya lebih dari itu. Bahwa mungkin, ia bisa memiliki sesuatu yang nyata dari semua kepalsuan ini.

Beberapa menit berlalu dalam senyap, sebelum dering telepon memecah keheningan. Arvin melihat layar, lalu mengangkat.

"Ya."

Naira mencuri pandang. Wajah Arvin berubah tegang.

"Besok pagi?" Ulangnya, nada suaranya dalam, nyaris tak percaya. "Begitu mendesak?"

Jeda.

"Baik. Urus semuanya malam ini. Pastikan tidak bocor ke media."

Klik. Sambungan diputus.

Naira menelan ludah. "Ada apa?"

Arvin tak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang, masih menatap lurus ke depan.

"Pernikahan harus dipercepat," katanya akhirnya.

"Kapan?"

"Besok."

Naira membelalak.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Ditolak Bekerja, Dilamar CEO Tampan   8. Rahasia Diantara Kita.

    “Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?”Naira tidak langsung menjawab. Tenggorokannya tercekat, dan ia masih bisa merasakan degup jantungnya menabrak tulang rusuk, seakan ingin melarikan diri lebih dulu darinya sendiri.“Aku hanya lelah,” ucapnya pelan, tanpa menatap Arvin.Arvin tak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri di ambang pintu kamar mandi, memperhatikan Naira yang masih membelakangi cermin. Sorot matanya menusuk, namun suaranya tetap tenang saat ia berkata, “Kalau kau menyembunyikan sesuatu, lebih baik kau pikirkan baik-baik. Aku tak suka kejutan.”Kemudian ia berbalik dan pergi, membiarkan pintu kamar mandi terbuka.Naira menunggu hingga suara langkah kaki itu menjauh, lalu buru-buru mengambil ponsel yang tadi disembunyikan. Ia membuka kembali pesan dari nomor asing itu. Kata-katanya masih sama. Singkat. Penuh ancaman terselubung.“Ini baru permulaan. Kita lihat sampai kapan kau mampu bertahan. Naira.”Tangannya bergetar. Ia tidak tahu harus percaya pada siapa. Dan yang paling

  • Ditolak Bekerja, Dilamar CEO Tampan   7. Ini baru Permulaan.

    Langit Zurich cerah, tapi tidak lebih tenang dari pikiran Naira. Ia duduk terpaku di dalam mobil hitam yang membawa mereka dari bandara menuju sebuah hotel mewah, tempat yang telah disiapkan untuk kunjungan bisnis dan juga pengukuhan hukum pernikahan mereka.Arvin duduk di sampingnya. Diam. Tatapannya tertuju ke luar jendela, ke deretan bangunan klasik yang berdiri rapi seperti barisan penjaga rahasia.“Aku tidak menyangka tempat ini akan terasa… dingin,” gumam Naira, mencoba mencairkan suasana.Arvin menoleh, suaranya pelan tapi tegas. “Tempat ini sangat tepat untuk hal yang penting, Naira. Pengukuhan pernikahan kita secara hukum internasional akan dilakukan di sini. Setelah itu, kau resmi menjadi bagian dari hidupku. Bukan hanya secara sosial, tapi legal dan global.”Kata-kata itu seharusnya membuat Naira lega. Tapi yang ia rasakan justru sebaliknya. Jantungnya justru berdetak lebih cepat.“Apa karena ... hal itu?” tanyanya pelan.Arvin menyandarkan tubuhnya, menatap lurus ke depan.

  • Ditolak Bekerja, Dilamar CEO Tampan   6. Kukuh Di Mata Dunia

    Daniel menatapnya sambil tetap tersenyum ke arah kamera, ekspresi yang seolah tak menyimpan apa pun—kecuali rahasia gelap yang baru saja dia sematkan ke telinga Naira."Aku tahu siapa kau."Naira membeku.Senyumnya menegang. Ia bahkan lupa harus menatap ke arah fotografer. Jantungnya berdetak kencang, begitu keras hingga ia takut Arvin bisa menangkap suara itu. Tangan Arvin yang menggenggam pinggangnya terasa jauh, seperti bukan lagi milik seseorang yang memayungi, tapi seperti dinding es yang mendadak mengurung.Suara kamera terdengar lagi. Blitz menyala. Namun dunia Naira terasa teredam. Seakan semua kebisingan pesta berubah menjadi dengung samar. Ia tidak bisa berpikir jernih. Sekujur tubuhnya menegang, matanya tidak fokus, dan napasnya mulai dangkal.Ia berpikir cepat, tapi pikirannya berkabut. Siapa Daniel? Sejauh mana dia tahu? Apa dia mengenal Nadine secara langsung? Atau... lebih buruknya, apakah dia tahu Naira adalah adik tiri Nadine? Jika iya, dari mana? Sejak kapan dia tahu

  • Ditolak Bekerja, Dilamar CEO Tampan   5. Aku Tahu Siapa Kau.

    Suara denting alat rias dan bisikan pelan memenuhi ruangan. Naira duduk di depan cermin besar dengan lampu-lampu bulat yang memantul di kulitnya. Wajahnya telah diberi alas, mata dihias lembut, dan rambutnya disanggul rapi oleh para perias profesional. Gaun putih gading menggantung di sisi ruangan, seperti menunggu giliran untuk menjadi saksi sebuah ikatan yang—bagi orang lain—terlihat suci.Bagi Naira, semuanya terasa seperti mimpi buruk yang dibungkus pita mewah.“Tinggal sedikit lagi. Dan ya, kau cantik sekali,” ujar salah satu perias muda sambil menyemprotkan setting spray.Cantik? Mungkin. Tapi tidak ada yang tahu apa yang ia rasakan di dalam dada.Pintu ruang rias terbuka. Seorang wanita berbisik pelan pada perias senior yang kemudian menghampiri Naira dan menunduk sedikit.“Sebentar lagi pengantin pria akan masuk ke aula. Tamu-tamu sudah mulai berdatangan. Kami akan bantu kamu berganti gaun sekarang.”Naira hanya mengangguk, menelan ludah pahit. Gaun itu berat, baik secara fisi

  • Ditolak Bekerja, Dilamar CEO Tampan   4. Besok?

    Naira berdiri membeku di balik pintu kamar, napasnya tercekat setelah mengucapkan pertanyaan yang selama ini dipendam. "Tunggu … A-apakah kau juga akan menuntut hakmu di ranjang, sebagai suami?" Suaranya bergetar dan hampir pecah.Di luar sana, Arvin diam sesaat, seperti menimbang-nimbang. Lalu suaranya terdengar pelan tapi tajam, memecah kesunyian malam. "Kalau aku ingin menyentuhmu … kau pasti sudah tahu dari awal. Kau aman, Naira. Tapi jangan main api."Kata-katanya dingin, tanpa jejak belas kasihan. Naira menggigit bibir, merasakan dadanya sesak seperti ditekan batu besar. Apa artinya itu? Aman, tapi … main api? Hatinya tidak pernah secepat ini berdebar. Tapi dia tahu, ini baru permulaan.---Suasana penthouse masih diselimuti senyap saat pagi menyapa. Naira belum sepenuhnya bisa melupakan percakapan semalam. Kalimat Arvin masih terpatri kuat di benaknya, dingin, tegas, dan penuh ancaman tersirat. Tapi pagi ini bukan waktunya tenggelam dalam ketakutan. Karena saat fitting baju tad

  • Ditolak Bekerja, Dilamar CEO Tampan   3. Aturan

    Lorong rumah sakit yang pucat masih berbau disinfektan ketika ponsel di tangan Naira kembali bergetar. Getaran kecil itu terasa seperti ledakan di dadanya—sebab nama "Arvin" kini berarti satu-satunya jalan keluar, sekaligus jalan buntu. Ia menunduk, membaca pesan singkat yang tertera di layar bercahaya.- Datang ke Pent-house Aurora Tower. Sekarang.Akses lift VIP atas namamu sudah dibuat. - A.Jantung Naira berdetak lebih cepat—bukan karena ia rindu pulang, melainkan oleh bayangan pertemuan berikutnya. Ia menoleh ke pintu kaca tempat sang ibu terbaring. Dada terasa sesak, seolah suatu garis halus tengah ditarik antara dirinya dan segala yang pernah aman.Hanya sepuluh menit kemudian, ia telah keluar dari gedung, memanggil mobil daring dengan jari gemetar. Hujan gerimis sisa-sisa siang menempel di kaca jendela kendaraan, memburamkan lampu jalan. Setiap tetesnya seakan menabuh ketakutan yang belum sempat padam.Aurora Tower berdiri seperti obelisk kaca di tengah distrik elit. Dua puluh

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status