Share

2. Tawaran

Author: A. D. Liris
last update Last Updated: 2025-05-07 12:47:21

Naira duduk di tepi ranjang, memandangi layar ponselnya dengan sorot mata kosong. Ia membuka riwayat transaksi, dan di sana, tercatat jelas,transfer lima puluh juta dari nama yang tak dikenalnya semalam. Uang itu sudah sebagian terpakai, untuk rumah sakit, obat, dan cicilan yang tertunda. Tapi tetap saja, melihat angka itu kembali membuat dadanya sesak. Bukan karena jumlahnya, tapi karena cara uang itu datang. Dan janji samar yang mengikutinya.

Suara detik jam dinding menggema dalam kesunyian kamar kos sempitnya. Hanya ada satu ranjang kecil, lemari reyot, dan tumpukan map di pojok ruangan. Di atas meja, termos tua dan satu bungkus mie instan jadi saksi bisu perjuangannya selama ini.

Ia menunduk. Wajah ibunya terbayang. Terbaring lemah di ranjang rumah sakit, dengan selang infus dan suara mesin monitor detak jantung. Biaya operasi, obat, rawat inap—semuanya seperti jurang tak berujung.

Naira menghela napas panjang. Ia menggenggam ponselnya erat, lalu membuka pesan terakhir dari kontak tak dikenal itu:

> Datang ke kantor jam 9. Tepat waktu. – Arvin

Ia tak tahu siapa Arvin sebenarnya. Tapi jelas pria itu bukan orang biasa. Cara bicaranya, caranya memandang, bahkan cara ia menawarkan uang, semua mengisyaratkan satu hal: kekuasaan.

Naira bangkit perlahan. Lututnya masih nyeri bekas benturan kemarin. Ia meraih tas selempang yang mulai kusam, lalu membuka lemari kecil dan memilih pakaian terbaik yang ia punya. Kemeja putih yang sudah sering dipakai melamar kerja, dan celana hitam polos.

Hujan semalam sudah berhenti. Pagi ini langit mendung, tapi jalanan ibu kota mulai ramai. Naira melangkah keluar dengan langkah cepat, meski dalam hatinya ia masih dihantui tanya: tawaran macam apa yang akan ia terima?

Sesampainya di depan gedung itu, Naira berdiri mematung. Bangunan menjulang tinggi yang kemarin terasa begitu menakutkan, kini tampak berbeda. Masih sama megah, masih sama dingin, tapi pandangannya terhadapnya telah berubah. Bukan lagi sebagai pelamar kerja yang diabaikan, melainkan sebagai tamu dari seseorang yang memiliki kuasa.

Tangannya menggenggam tali tas dengan erat, seolah benda itu satu-satunya yang bisa ia andalkan saat ini. Langkahnya perlahan menapaki anak tangga menuju pintu masuk. Jantungnya berdetak cepat, tapi kali ini bukan karena takut ditolak, melainkan karena ia tidak tahu apa yang akan terjadi.

Satpam yang kemarin mengusirnya berdiri di tempat yang sama. Namun wajah curiga itu kini berganti menjadi ekspresi formal. Pria itu segera membungkuk singkat saat melihat nama Naira di ID visitor yang dikirimkan Arvin semalam lewat email.

"Silakan, lantai delapan belas," katanya, suaranya sopan dan datar.

Naira mengangguk pelan. Langkahnya sedikit goyah saat berjalan menuju lift. Begitu pintu logam itu tertutup, ia menarik napas dalam-dalam.

Lantai demi lantai terlewati. Angka digital di atas pintu lift berubah cepat, tapi waktu seolah melambat. Telapak tangannya dingin, berkeringat. Ia menggenggam tali tas lebih erat, mencoba menenangkan diri.

Ding.

Pintu terbuka. Lantai 18.

Dengan jantung yang berdegup kencang, Naira melangkah keluar dari lift lantai 18. Lorong kantor tampak lengang, hanya cahaya putih dari lampu-lampu plafon yang memantul di lantai mengilap. Ia menoleh ke kanan dan kiri, berusaha menemukan penanda ruangan tempat pria itu berada. Namun belum sempat melangkah lebih jauh, seorang wanita berpenampilan rapi dengan blazer krem dan tablet di tangan melangkah cepat ke arahnya.

"Nona Naira?" Suaranya lembut tapi tegas.

Naira mengangguk, ragu. Wanita itu tersenyum tipis lalu mengisyaratkan agar ia mengikutinya.

Ruangan yang dituju sangat luas, didominasi dinding kaca yang menampilkan pemandangan kota dari ketinggian. Interiornya minimalis—kursi kulit hitam, meja kayu gelap mengilat, dan aroma samar kopi premium yang menyatu dengan kesunyian yang nyaris mencekam.

Sekretaris itu mempersilakan Naira duduk sebelum meninggalkannya sendiri. Naira menuruti, meletakkan tas di pangkuan sambil menyandarkan punggung pada kursi kulit hitam. Telapak tangannya basah oleh keringat, meskipun suhu ruangan terasa dingin.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan, sampai suara pintu kaca di ujung ruangan terdengar terbuka. Arvin melangkah masuk. Ia mengenakan setelan jas abu-abu yang pas di tubuh, rambut disisir rapi, wajah tanpa ekspresi. Sama seperti kemarin—dingin, tajam, dan sulit ditebak.

Tanpa basa-basi, ia berjalan ke arah meja dan meletakkan sebuah map di hadapan Naira.

"Ini kontraknya," katanya, datar.

Naira mengernyit. "Kontrak?"

"Pernikahan. Satu tahun. Setelah itu, selesai."

Sejenak, dunia terasa berhenti. Naira menatapnya, seolah mencoba memastikan bahwa ia tidak salah dengar.

"Maaf … apa maksudmu?"

"Kau akan menikah denganku secara hukum. Kita akan tinggal bersama, menghadiri acara-acara tertentu, dan bersikap sebagai pasangan suami istri di depan publik. Tapi hanya sebatas itu."

Naira menunduk menatap map yang terbuka. Di dalamnya, lembaran-lembaran resmi bertanda tangan, lengkap dengan kop firma hukum. Namanya tertera di sana. Begitu juga nama Arvin.

"Kenapa aku?" tanyanya pelan.

"Karena kau tidak punya apa-apa," jawab Arvin tenang. "Kau butuh uang. Aku butuh istri. Kita sama-sama mendapat apa yang kita mau."

Naira mengepal jemari di pangkuannya. "Untuk apa kau butuh istri… palsu?"

Arvin mengalihkan pandangan ke jendela besar di belakangnya. Suaranya turun satu oktaf saat menjawab, "Agar aku bisa mengambil alih kendali perusahaan sebelum ulang tahunku yang ke-30. Itu syarat dari oma."

Naira mematung. Gila. Semua ini terasa terlalu cepat, terlalu besar untuk dicerna dalam satu tarikan napas. Tapi semuanya terasa nyata.

"Selama satu tahun, kau akan tinggal di rumahku. Perjanjian ini tidak boleh diketahui siapa pun. Bukan sahabatmu, bukan ibumu, bahkan bukan orang yang paling kau percaya. Gajimu seratus juta per bulan. Dan akan ada bonus jika semuanya berjalan mulus."

Jumlah itu, lebih dari cukup. Bisa melunasi utang rumah sakit. Bisa membawa ibunya ke tempat yang lebih layak. Bahkan bisa memberi mereka awal yang baru.

"Tapi … Ibu? Aku harus tetap bisa mengurusnya," ucapnya nyaris memohon.

Tanpa berkata-kata, Arvin menarik map kedua dan menyodorkan selembar dokumen. "Ibumu akan ku pindahkan ke rumah sakit swasta terbaik. Semua biaya pengobatan akan ku tanggung. Mulai hari ini."

Naira membekap mulutnya dengan tangan. Matanya mulai berkaca-kaca, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Entah karena lega, syok, atau bingung.

"Aku … Tapi aku hanya ingin menyelamatkan Ibu. Bukan ... menjual diriku."

"Ini bukan soal harga diri," kata Arvin tegas. "Ini kesepakatan. Sama seperti semalam—kau menerima uang lima puluh juta yang ku transfer. Sekarang kau bisa menolak. Tapi uang itu harus dikembalikan. Hari ini juga."

Perlahan, Naira menunduk. Dunia telah membuatnya bertekuk lutut berkali-kali. Dan hari ini, dia harus memilih, menyerah atau bertahan dengan cara yang tak pernah ia bayangkan.

Tangannya gemetar saat meraih pena di meja. Ia menarik napas panjang, lalu menandatangani lembar pertama.

"Baik," bisiknya nyaris tak terdengar. "Aku setuju."

Arvin mengangguk pelan. "Pernikahan akan dilangsungkan minggu depan. Timku akan mengatur semuanya. Sampai saat itu, tetap berada di bawah radar. Dan mulai hari ini…" Matanya menatap tajam, menusuk. "Kau bukan lagi Naira yang kemarin."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ditolak Bekerja, Dilamar CEO Tampan   8. Rahasia Diantara Kita.

    “Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?”Naira tidak langsung menjawab. Tenggorokannya tercekat, dan ia masih bisa merasakan degup jantungnya menabrak tulang rusuk, seakan ingin melarikan diri lebih dulu darinya sendiri.“Aku hanya lelah,” ucapnya pelan, tanpa menatap Arvin.Arvin tak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri di ambang pintu kamar mandi, memperhatikan Naira yang masih membelakangi cermin. Sorot matanya menusuk, namun suaranya tetap tenang saat ia berkata, “Kalau kau menyembunyikan sesuatu, lebih baik kau pikirkan baik-baik. Aku tak suka kejutan.”Kemudian ia berbalik dan pergi, membiarkan pintu kamar mandi terbuka.Naira menunggu hingga suara langkah kaki itu menjauh, lalu buru-buru mengambil ponsel yang tadi disembunyikan. Ia membuka kembali pesan dari nomor asing itu. Kata-katanya masih sama. Singkat. Penuh ancaman terselubung.“Ini baru permulaan. Kita lihat sampai kapan kau mampu bertahan. Naira.”Tangannya bergetar. Ia tidak tahu harus percaya pada siapa. Dan yang paling

  • Ditolak Bekerja, Dilamar CEO Tampan   7. Ini baru Permulaan.

    Langit Zurich cerah, tapi tidak lebih tenang dari pikiran Naira. Ia duduk terpaku di dalam mobil hitam yang membawa mereka dari bandara menuju sebuah hotel mewah, tempat yang telah disiapkan untuk kunjungan bisnis dan juga pengukuhan hukum pernikahan mereka.Arvin duduk di sampingnya. Diam. Tatapannya tertuju ke luar jendela, ke deretan bangunan klasik yang berdiri rapi seperti barisan penjaga rahasia.“Aku tidak menyangka tempat ini akan terasa… dingin,” gumam Naira, mencoba mencairkan suasana.Arvin menoleh, suaranya pelan tapi tegas. “Tempat ini sangat tepat untuk hal yang penting, Naira. Pengukuhan pernikahan kita secara hukum internasional akan dilakukan di sini. Setelah itu, kau resmi menjadi bagian dari hidupku. Bukan hanya secara sosial, tapi legal dan global.”Kata-kata itu seharusnya membuat Naira lega. Tapi yang ia rasakan justru sebaliknya. Jantungnya justru berdetak lebih cepat.“Apa karena ... hal itu?” tanyanya pelan.Arvin menyandarkan tubuhnya, menatap lurus ke depan.

  • Ditolak Bekerja, Dilamar CEO Tampan   6. Kukuh Di Mata Dunia

    Daniel menatapnya sambil tetap tersenyum ke arah kamera, ekspresi yang seolah tak menyimpan apa pun—kecuali rahasia gelap yang baru saja dia sematkan ke telinga Naira."Aku tahu siapa kau."Naira membeku.Senyumnya menegang. Ia bahkan lupa harus menatap ke arah fotografer. Jantungnya berdetak kencang, begitu keras hingga ia takut Arvin bisa menangkap suara itu. Tangan Arvin yang menggenggam pinggangnya terasa jauh, seperti bukan lagi milik seseorang yang memayungi, tapi seperti dinding es yang mendadak mengurung.Suara kamera terdengar lagi. Blitz menyala. Namun dunia Naira terasa teredam. Seakan semua kebisingan pesta berubah menjadi dengung samar. Ia tidak bisa berpikir jernih. Sekujur tubuhnya menegang, matanya tidak fokus, dan napasnya mulai dangkal.Ia berpikir cepat, tapi pikirannya berkabut. Siapa Daniel? Sejauh mana dia tahu? Apa dia mengenal Nadine secara langsung? Atau... lebih buruknya, apakah dia tahu Naira adalah adik tiri Nadine? Jika iya, dari mana? Sejak kapan dia tahu

  • Ditolak Bekerja, Dilamar CEO Tampan   5. Aku Tahu Siapa Kau.

    Suara denting alat rias dan bisikan pelan memenuhi ruangan. Naira duduk di depan cermin besar dengan lampu-lampu bulat yang memantul di kulitnya. Wajahnya telah diberi alas, mata dihias lembut, dan rambutnya disanggul rapi oleh para perias profesional. Gaun putih gading menggantung di sisi ruangan, seperti menunggu giliran untuk menjadi saksi sebuah ikatan yang—bagi orang lain—terlihat suci.Bagi Naira, semuanya terasa seperti mimpi buruk yang dibungkus pita mewah.“Tinggal sedikit lagi. Dan ya, kau cantik sekali,” ujar salah satu perias muda sambil menyemprotkan setting spray.Cantik? Mungkin. Tapi tidak ada yang tahu apa yang ia rasakan di dalam dada.Pintu ruang rias terbuka. Seorang wanita berbisik pelan pada perias senior yang kemudian menghampiri Naira dan menunduk sedikit.“Sebentar lagi pengantin pria akan masuk ke aula. Tamu-tamu sudah mulai berdatangan. Kami akan bantu kamu berganti gaun sekarang.”Naira hanya mengangguk, menelan ludah pahit. Gaun itu berat, baik secara fisi

  • Ditolak Bekerja, Dilamar CEO Tampan   4. Besok?

    Naira berdiri membeku di balik pintu kamar, napasnya tercekat setelah mengucapkan pertanyaan yang selama ini dipendam. "Tunggu … A-apakah kau juga akan menuntut hakmu di ranjang, sebagai suami?" Suaranya bergetar dan hampir pecah.Di luar sana, Arvin diam sesaat, seperti menimbang-nimbang. Lalu suaranya terdengar pelan tapi tajam, memecah kesunyian malam. "Kalau aku ingin menyentuhmu … kau pasti sudah tahu dari awal. Kau aman, Naira. Tapi jangan main api."Kata-katanya dingin, tanpa jejak belas kasihan. Naira menggigit bibir, merasakan dadanya sesak seperti ditekan batu besar. Apa artinya itu? Aman, tapi … main api? Hatinya tidak pernah secepat ini berdebar. Tapi dia tahu, ini baru permulaan.---Suasana penthouse masih diselimuti senyap saat pagi menyapa. Naira belum sepenuhnya bisa melupakan percakapan semalam. Kalimat Arvin masih terpatri kuat di benaknya, dingin, tegas, dan penuh ancaman tersirat. Tapi pagi ini bukan waktunya tenggelam dalam ketakutan. Karena saat fitting baju tad

  • Ditolak Bekerja, Dilamar CEO Tampan   3. Aturan

    Lorong rumah sakit yang pucat masih berbau disinfektan ketika ponsel di tangan Naira kembali bergetar. Getaran kecil itu terasa seperti ledakan di dadanya—sebab nama "Arvin" kini berarti satu-satunya jalan keluar, sekaligus jalan buntu. Ia menunduk, membaca pesan singkat yang tertera di layar bercahaya.- Datang ke Pent-house Aurora Tower. Sekarang.Akses lift VIP atas namamu sudah dibuat. - A.Jantung Naira berdetak lebih cepat—bukan karena ia rindu pulang, melainkan oleh bayangan pertemuan berikutnya. Ia menoleh ke pintu kaca tempat sang ibu terbaring. Dada terasa sesak, seolah suatu garis halus tengah ditarik antara dirinya dan segala yang pernah aman.Hanya sepuluh menit kemudian, ia telah keluar dari gedung, memanggil mobil daring dengan jari gemetar. Hujan gerimis sisa-sisa siang menempel di kaca jendela kendaraan, memburamkan lampu jalan. Setiap tetesnya seakan menabuh ketakutan yang belum sempat padam.Aurora Tower berdiri seperti obelisk kaca di tengah distrik elit. Dua puluh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status