Sore ini aku berdandan nggak seperti biasanya. Ada hal yang harus aku lakukan untuk merayakan dua tahun pernikahanku.
“Ahh, Mas hmm enak Mas ahh terus Mas … disitu enak banget, Mas!” Suara desahan dari seorang wanita, dia sedang menikmati luapan emosi saat seorang laki-laki membuka kakinya lebar dan kepalanya sedang mengaduk-aduk belahan bibir bawahnya yang sudah merekah, basah, ber len dir juga licin. “Ah Rania, kenapa ini begitu enak, kamu benar-benar yang paling hot dan terbaik,” puja puji laki-laki itu diberikan agar gelora mereka semakin tinggi dan membara. “Umm Ah Mas juga sangat pintar memanjakan aku, ah Mas … aku udah nggak tahan, masukin sekarang aja Mas,” suara wanita itu semakin manja— benar-benar membuat buluk kuduk meremang, siapapun yang mendengarnya. “Dasar wanita penggoda suami orang, kamu benar-benar nakal,” si laki-laki juga sepertinya sudah terlena dan sudah nggak akan mundur lagi dengan tindakannya. “Emm ahh ahh siapa suruh pedang kamu begitu enak Mas, aku sekali coba malah ketagihan pengen berkali-kali, ahh umm, Mbak Amel pasti sangat seneng banget setiap hari mendapatkan ini dari kamu ya Mas, ah umm, Mas lebih kencang Mas ahh aku pengen lebih kencang dan dalam lagi, Mas …,” suara wanita itu makin serak dengan semua gelora berbahaya, dia benar-benar menikmati pedang pusaka milik suami orang. “Itu kamu juga enak banget Rania aagh si Amel mana bisa kasih service seperti kamu, dia mah lewat nggak ada apa-apa nya. Pokoknya, aku lebih berselera bersama dengan kamu ketimbang dia. Apalagi setelah aku tahu kenyataan itu, huh ahh sia-sia saja selama ini aku usaha, ternyata dia wanita yang nggak ada isinya,” keluh laki-laki itu sambil dia membalikkan tubuh wanita itu lalu memompanya makin kencang dari belakang. “Ah ah Mas bisa aja ngerayu aku ump Maaas Ah terus Mas ahh aku mau keluar Mas UMM ahhh!” wanita tadi makin menggeliat saat pedang pusaka laki-laki itu dipercepat dan sama–sama ingin mengeluarkan cairan mereka. “Ahh Rania kamu memang sangat hebat ah umm kamu benar benar bisa memuaskan aku aah aku juga mau keluar, Ran,” laki-laki itu makin memompa lebih dalam hingga mereka benar benar sudah berada pada titik langit ke tujuh. Surga dunia yang nggak mungkin ditolak siapapun. Titik kenikmatan yang nggak mungkin mereka ragukan dan hindari. Mereka benar benar mengeluarkan suara-suara yang bergelora. Kamar itu seolah menjadi saksi kenikmatan gairah mereka. Tanpa mereka sadari, sepasang mata membeku menatap adegan panas tersebut. Bukan hanya wajahnya yang panas, hatinya pun ikutan terbakar. Aku baru saja pulang dari membeli kue. Aku ingat, hari ini adalah hari perayaan pernikahan kami yang kedua. Mas Yuda memintaku keluar rumah dan jangan pulang ke rumah sebelum jam 9 malam. Aku nggak tahu apa yang Mas Yuda rencanakan, tapi pastinya aku memang mengharapkan sesuatu yang bahagia juga spesial untuk perayaan pernikahan kami. Di Luar cuaca sedang tak bersahabat. Bahkan sejak sore tadi langit sudah mulai gelap dan rintikan air hujan mulai membasahi bumi. Aku tetap keluar rumah sejak sore karena Mas Yuda yang meminta dan berpesan seperti itu. Aku yakin, Mas Yuda sedang mempersiapkan kejutan untukku. Kejutan yang benar-benar aku harapkan, nggak lain dan bukan adalah hari dimana yang selalu aku tunggu ketika Mas Yuda lebih memanjakan diriku. Mas Yuda belakang ini sering sekali sibuk dan keluar rumah padahal itu hari liburnya bekerja. Aku nggak punya alasan menahan Mas Yuda karena setiap kali aku tanya dia selalu bilang ada urusan kantor yang mendesak. Tentu saja aku percaya, karena dia adalah suamiku yang nggak pernah berbohong. Meski dingin menyapu seluruh kulitku dan rintikan hujan sampai membuat bajuku basah, aku tetap nggak peduli karena aku membayangkan saat pulang nanti Mas Yuda akan memeluk tubuhku dengan erat. Harapan itu adalah pemicu agar aku bisa menghilangkan rasa dingin yang menjalar di seluruh tubuhku. Aku nggak percaya dengan apa yang aku lihat. Mas Yuda sepertinya baru saja selesai dengan adegan panas mereka dan tubuhnya masih terlihat penuh dengan keringat. Wajahnya bahkan biasa saja saat melihatku di hadapannya. Hingga kue yang ada di kedua tanganku, yang sudah dibuka dari boxnya begitu saja terjatuh di lantai. “Oh, rupanya kamu sudah pulang, Amel!” kata Mas Yuda, wajahnya bahkan nggak menunjukkan rasa bersalah padaku. Sepertinya, itu memang benar-benar sudah direncanakan. “Apa maksudnya ini, Mas? Ke-–Kenapa kamu dengan Rania ada di ranjang kita?” tentu saja aku mengenal siapa wanita yang sedang bertelanjang bulat di samping tubuh suamiku dan duduk di tepi ranjang sambil membenahi rambutnya yang masih basah karena keringat pertempuran nya tadi. Mungkin itu adalah pertanyaan bodoh, jelas sekali aku tahu kalau suamiku sedang ena ena dengan anak dari teman ibu mertuaku. Aku mengenal Rania, dia pernah datang pada arisan keluarga beberapa bulan lalu. Aku nggak pernah menyangka kalau hari seperti ini akan terjadi pada diriku. Layaknya seperti sinetron unggulan televisi yang tayang istri yang teraniaya oleh anak arisan teman ibu mertuaku. Mas Yuda tiba-tiba saja mendekat dan satu tamparan keras langsung menyapa pipiku. Aku nggak tahu kenapa Mas Yuda menamparku. “A–ada apa Mas? Apa salahku?” suaraku bergetar dan leherku tercekik saking kagetnya. Harusnya aku yang marah, kenapa ini malah Mas Yuda. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa ini kejutan yang mas Yuda rencanakan untukku? “Pikir saja pakai otakmu, Amel? Apa yang kamu lakukan? Hah! Kamu benar-benar menikmati waktu yang aku berikan dengan laki-laki itu kan?” tudung mas Yuda membuat tubuhku bergetar. Aku bingung dengan apa yang diucapkan Mas Yuda. Kenapa dia mengatakan hal seperti itu? “Aku? Aku kenapa, Mas? Memangnya aku kenapa?” Mas Yuda nggak menjawab, dia hanya berjalan ke dekat ranjang kami dan kembali dia melemparkan sesuatu ke wajahku. Aku semakin bingung? Aku merasa nggak melakukan satu kesalahan dan aku yakin pagi tadi kami masih baik baik saja. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku melihat beberapa lembar foto yang berserakan dekat kakiku. Aku berjongkok dan memungutnya. Melihat apa yang berada dalam foto tersebut. Mataku membulat nggak percaya dengan apa yang ada di dalam foto tersebut. Aku berada di dalam foto tersebut dalam kondisi nggak mengenakan pakaian dan dalam dekapan seorang laki-laki. Aku sendiri bahkan nggak sadar kalau pernah ada kejadian seperti itu. “Seharusnya kamu sudah tahu dong kenapa aku bersikap seperti ini. Ibarat kata, mata dibayar dengan mata dan kamu selingkuh dengan laki-laki lain, aku nggak salah dong kalau aku juga bersama dengan wanita lain. Toh, kamu itu juga nggak bisa memberikan yang aku mau,” suara Mas Yuda lantang penuh dengan kemarahan. Sepertinya, dia benar-benar serius dengan ucapannya.Zack tersenyum puas saat melihatku sudah blingsatan seperti itu, kemudian dia mengangkat kepalanya sambil menjilati asupan yang sudah dia hisap barusan.“Kamu mau ini kan?” jelas secara gamblang Zack mengeluarkan benda pusaka miliknya yang sudah benar-benar besar, tegang dan siap memasukiku, aku mengangguk dan, ‘Agh!” sudah gak diragukan lagi, benda besar itu sudah masuk kembali didalam milikku.“Bersiaplah, aku akan memberikanmu tidur yang nyenyak, Sayang!” siap dengan cepat Zack sudah memompa lagi milikku yang aku merasakan penuh di dalam milikku.“Ahh Amel, kamu benar-benar sempit banget ah aku suka milikmu ini emmmm!!” rancu Zack terus memompa ku semakin cepat hingga keringat kami sudah sangat deras.Kenikmatan sampai langit ke tujuh ini hanya bisa aku dapatkan dengan benda milik Zack. Selama ini aku menganggap kalau milik mas Yuda sudah yang terbaik, ternyata saat aku merasakan milik Zack, ini benar-benar gak ada tandingannya. Ini sangat memuaskan aku.“Ah mmm!” kami berbarengan
Aku hanya berdiri di ruangan sampai Zack akhirnya keluar dari ruangan tersebut. Dia menatapku dan berjalan perlahan. Handuk putih membalut pinggangnya. Otot-otot dadanya terlihat kuat dan basah.Aku hampir saja lupa diri menatapnya, air liurku tanpa sadar kutelan sendiri.“Kenapa tidak membuat dirimu nyaman, apa kau takut?” aku mengerjapkan mata saat dia menyentuh pipiku.“Aku mau bilang, aku bisa tidur di sofa dan kamu di ranjang,” sudut bibirnya langsung terangkat saat aku mengatakan hal itu.“Kau pikir, siapa dirimu? Bisa menyuruh-nyuruh aku?” leherku terasa tercekat, aku gak sangka dia akan membalikkan ucapanku dengan kasar.Aku tertunduk, ‘Ma—maafkan aku!”“Pergilah!” katanya.Aku kaget, rupanya dia menyuruhku pergi. Syukurlah, aku bisa keluar kamar ini, pikirku dan berbalik, tapi detik kemudian dia mencengkram tanganku, “Mau kemana?” aura sudah berubah kembali.“Ta–tadi, bukannya kamu bilang, pergi? Bukannya itu berarti aku bisa keluar dari kamar ini,” kataku.*Kau berani?” deca
Aku menarik napasku sebelum bercerita, aku juga gak menyadari kalau Zack sudah berdiri dibelakangku sejak tadi, tapi dia gak bersuara sama sekali, dia sedang mendengarkan aku cerita.“Hari itu sebenarnya, ulang tahun pernikahan kami yang kedua. Aku tiba-tiba dihubungi mas Yuda akan memberikanku kejutan, tapi dia meminta aku keluar rumah terlebih dahulu. Dia bilang jangan pulang sebelum jam 9 malam. Aku berpikir, itu memang hadiah spesial yang mas Yuda siapakah untukku, tapi ternyata saat aku pulang aku malah melihat mas Yuda bercengkrama dengan wanita lain di ranjang kami.”“Aku benar-benar gak menyangka akan ada hadiah seperti itu. Dan sepertinya mas Yuda gak menyesal sama sekali saat aku memergoki. Dia malah memberikan aku laporan kesehatan, disitu aku dinyatakan mandul,” Donna mengerutkan kening saat mendengar ceritaku.“Mandul?” Aku mengangguk, “padahal aku gak ingat kapan aku melakukan tes itu. Aku merasa gak pernah melakukannya. Kemudian yang membuat aku terkejut selain wanita y
“Huhuhu, iya kan mas, aku juga gak tau kenapa jadi bodoh banget. Huhuhu, aku ditipu temanku 400 juta, sekarang aku lebih baik mati saja kalau begini, huhuhu!” Rania masih menangis kencang. Rania berpura-pura berdiri dan siap untuk mencari sesuatu untuk membenturkan kepalanya.“Hey, kamu mau apa, Rania? Jangan gegabah! Aku akan bantu, tenanglah, aku pasti bantu. Itu urusan kecil,” kata mas Yuda, berbicara seperti tidak keberatan, tapi napasnya berhembus dengan kasar.“Masalah mama tadi tanya aku, Mas, dia kayaknya sudah mulai curiga kalau uangnya aku yang pakai. Aku bingung, Mas, gak berani pulang,” kata Rania lagi berbicara pelan, tapi nadanya terkesan mendesak.“Sudahlah, sudahlah, aku akan segera transfer sekarang, sudah jangan menangis lagi,” mas Yuda mengeluarkan ponsel dan, “sudah aku transfer, kamu bisa cek sekarang!” ucapnya, Rania tersenyum, dia benar-benar berhasil meminta uangnya.“Mas Yuda makasih banyak ya, Mas, kalau bukan kamu sama Mama Erlita yang nolongin aku, aku gak
“Diam! Tutup mulutmu, Felix. Jangan banyak bicara lagi. Aku akan usahakan uang itu, tapi 3 hari itu gak mungkin. Aku belum bisa memberikan uangnya karena aku tetap harus terlihat seperti bukan wanita mata duitan dihadapan mas Yuda. Kalau dia tahu, aku aslinya suka menghamburkan uang, mana mungkin dia membandingkan aku dengan istri bodohnya itu,” decak Rania.“Kalau gak bisa manfaatkan laki-lakinya kenapa kau gak manfaatkan keluarganya? Bukannya kau bilang, ibunya sangat perhatian dan menurutku ucapanmu? Hah … atau ini alasan saja, apa ini yang dibilang perhatian? Ini maksud dari perkataanmu itu? Perhatian itu yang terpenting nilainya uang, Rania. Orang bodoh juga tahu, tanpa uang mana bisa kita hidup!” ejek Felix lagi.“Diam, jangan bicara lagi. Anggap saja aku gak mendengar semua ucapanmu itu. Aktingku itu harus maksimal agar bisa mendapatkan seluruh kekayaannya. Kalau hanya sebentar saja gak bisa bertahan, bagaimana bisa mendapat kepercayaan dari mereka,” elak Rania, dia merasa seka
Ancamannya jelas terdengar gak main—main. Zack sedang menegaskan wilayah kekuasaannya padaku. Dia hanya ingin aku pindah dari tempat yang dikategorikan biang masalah.“Zack, kamu benar—benar ya, aku kan udah bilang gak mau. Aku bisa mengatasi semua,” kataku sebenarnya hanya untuk melakukan negosiasi saja dengan Zack.“Bagaimana dengan pilihanmu?” Zack mengabaikan ucapanku berarti kode keras penuh tekanan untuk Donna.“Ish, jangan mengancam temanku!” aku gak terima kalau Donna diperlakukan seperti itu. Dia satu—satunya teman yang menerima saat aku berada dalam kondisi tersulit ya meskipun itu hanya dari sudut pandangku. Aku nggak mungkin melupakannya begitu saja. Semua kebaikan Donna datang disaat aku benar—benar membutuhkan tempat bersandar.“Diamlah, aku tidak bertanya padamu!” Zack menangkap tanganku saat aku akan mengarahkan tangan protes pada ucapannya, matanya hanya melirik Donna tajam.“A—aku …,” Donna masih melirik ku untuk mengambil keputusan. Dia benar—benar bingung meskipun