Masuk"Om Bas nakal! Om Bas bohong! Katanya mau ada badut, tapi nggak ada! Aiz nggak suka sama Om Bas!"
Entah berapa kali putriku menyerukan kekesalannya pada Bas. Aku sampai bosan mendengarnya. Namun, sengaja tak kularang atau kuminta untuk diam. Jujur saja, melihat Aiza yang seperti ini merupakan pemandangan yang langka sekali. Di rumah, jika dia merasa kesal pada Mas Bagus pun paling hanya diam. Tak pernah kulihat Aiza berseru dengan lantang menyuarakan kekesalan. Putri kecilku itu nyaris tanpa ekspresi jika sedang berhadapan dengan ayah kandungnya sendiri. Tapi, ajaibnya Aiza benar-benar berani bersuara di depan Bas. Meskipun terlihat belum akur, tapi aku cukup senang karena Aiza sudah mengalami perubahan. "Iya, iya. Om Bas minta maaf. Nanti janji deh, nggak bohong lagi," sesal Bas yang sejak tadi berjalan sambil merayu Aiza. Namun, putriku itu tetap kesal dan tak mau memaafkannya. "Bohong! Om Bas kan, tukang bohong! Aiz nggak percaya sama Om Bas!" Setelah tiba di dekat kosan, Aiza langsung melepas gandengan tanganku dan berlari lebih dulu. Kini aku beralih menatap Bas yang tampak frustasi karena dimusuhi Aiza. "Lain kali jangan bohong lagi, Bas. Aiz memang masih kecil, tapi dia anak yang kritis. Nggak bisa dibohongi." Ya, salah Bas sendiri yang malah berbohong segala. Aku sampai rela menunggu cukup lama untuk menemani Aiza yang katanya ingin melihat badut lewat. Tapi, ternyata tak ada juga hingga kami menunggu 30 menit lamanya. "Maaf, Mbak. Aku kira anak seusia Aiz masih bisa dibohongi," kekehnya yang terlihat tanpa dosa. Beda sekali saat tadi sedang membujuk Aiza. Hah, aku jadi penasaran Bas ini makhluk macam apa! Aku hanya menggelengkan kepala, tak bisa berkata-kata. Selanjutnya, kubawa kaki ini meneruskan langkah hingga sampai di depan kamar. Sudah ada Aiza di sana. "Makasih sudah traktir makan, Bas. Lain kali nggak usah seperti itu lagi," ucapku setelah memutar kunci pada lubang pintu. Entahlah maksudnya apa, tadi Bas tiba-tiba membayar makananku juga Aiza. Sekuat tenaga kutolak pun tetap memaksa. "Cuma bayar makan, Mbak, bukan mahar. Nggak masalah," sahutnya yang membuat keningku seketika dipenuhi kerutan. Mata ini menatapnya sedikit tajam. Entah kenapa, setiap kali Bas melontarkan candaan demikian, aku merasa seperti sedang diintai. Ditatap seperti itu, Bas langsung berubah pada mode serius. Terbukti dia sudah tak cengengesan lagi. "Bercanda, Mbak. Ya sudah, selamat istirahat Mbak Ayu." Mulutku seketika menganga mendengar Bas memanggilku seenak jidat. Aku hendak protes, tapi Bas sudah lebih dulu masuk ke dalam kamarnya. Dasar, bocah aneh! "Mama ... Aiz mau masuk. Mama lama banget," keluh Aiza yang membuatku langsung tersadar. Segera kudorong pintu kamar hingga terbuka agar Aiza bisa masuk ke dalam. "Yun!" Sebuah suara membuat kakiku tak jadi melangkah masuk. Terlihat Desi yang berjalan menghampiri. "Des," sapaku dengan mata yang berkaca-kaca. Meskipun seolah bersikap kuat, tetap saja ada sisi rapuh yang kusembunyikan. Desi langsung memeluk tubuhku dengan erat. "Aku ikut sedih dengar ceritamu, Yun. Aku pun nggak nyangka Mas Bagus bisa punya pikiran seperti itu," katanya setelah melerai pelukan. Kutarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri dulu. Setelah dirasa tenang, kuajak Desi untuk duduk pada kursi kayu yang ada di depan kamar. "Aku ambil minuman dulu ya, Des," pamitku sembari beranjak. Namun, wanita itu malah menahan lenganku untuk tetap di sana. "Nggak usah, Yun. Kayak sama siapa aja. Duduklah, aku mau dengar cerita banyak dari kamu." Baiklah, aku kembali duduk pada kursi di samping Desi. Kuceritakan semua tentang perubahan sikap Mas Bagus pada sahabatku ini. "Yun, apa jangan-jangan ... Mas Bagus ada hubungan sama perempuan lain?" terka Desi dengan suara pelan. Aku menggeleng sebagai jawaban. "Nggak ada, atau emang kamubnggak tahu?" Dia meminta penjelasan. Kuhembuskan napas ini secara kasar. Setelahnya baru menjawab, "Aku nggak tahu, Des. Kalaupun ada, aku udah nggak peduli. Toh, sejak Aiza kecil pun aku udah biasa mandiri." "Emang kamu nggak cemburu kalau ternyata Mas Bagus ada wanita lain?" tanyanya yang membuatku terdiam. Cemburu? Pasti! Bagaimanapun aku adalah seorang istri yang mencintai suami. Aku berbakti sebisaku dan menjaga diri hanya untuk Mas Bagus. Bagaimana aku tidak cemburu? Namun, di tengah kondisi seperti ini, aku tak lagi memikirkan urusan hati. Fokusku hanya untuk Aiza, bagaimana aku bisa membesarkannya sebagai ibu sekaligus ayah. "Ya sudah, Yun. Aku ngerti perasaanmu," ujar Desi seolah mengerti meski tak kujawab pertanyaannya tadi. "Sekarang kamu tenangkan pikiran dulu. Sampai kapan pun kamu bisa tinggal di sini. Nanti aku bantu daftarkan Aiz ke sekolah yang sama dengan Devin," lanjutnya. Aku mengangguk mengerti sembari mengucapkan terima kasih. Beruntung di saat seperti ini, Tuhan masih mau memberi pertolongan lewat orang yang benar-benar tulus seperti sahabatku ini. "Nanti malam ke rumah, ya. Ajak Aiz sekalian. Aku mau ajak kalian makan malam buat penyambutan." Sontak saja aku terkekeh mendengarnya. "Nggak usah dirayakan segala. Memangnya aku lagi ulang tahun?" Desi pun ikut terkekeh juga. Setelahnya, kami berbincang tentang banyak hal. Biasa, ciri khas wanita jika baru bertemu setelah sekian lama. Malam harinya, aku pun memenuhi undangan Desi siang tadi. Kini aku sudah memasuki rumah sahabatku itu. Bersama Aiza tentunya. "Mama suruh langsung ke meja makan, Tante." Devin memberitahu sambil berjalan di sampingku. Tadi pemuda kecil itu juga yang membukakan pintu. Devin merupakan anak angkat Desi dan suami yang seumuran dengan Aiza. Mereka mengadopsi Devin dari salah satu panti asuhan sejak masih bayi. Alasannya karena Desi divonis tak akan bisa memiliki keturunan. Sungguh beruntungnya dia. Di balik kekurangan itu, sang suami masih menerima penuh kasih sayang. Bahkan dengan berlapang dada mau mengadopsi seorang putra. Sedangkan nasibku? Sudah memiliki putri sepintar Aiza pun, mata Mas Bagus seolah tertutup. Langkahku terhenti saat tiba di ruang makan. Namun, ada satu hal yang membuat fokusku buyar. Bas. Kenapa pemuda itu ada di sini juga? "Hai, Mbak," sapa Bas dengan senyuman yang menjadi ciri khas. Aku hanya menarik kedua sudut bibir seadanya. Kemudian, menghampiri Desi yang sudah melambaikan tangan memintaku untuk mendekat. "Selamat datang, Yun. Jangan sungkan, anggap saja rumah sendiri." Mas Bakri, suami Desi menyambut dengan ramah. "Terima kasih, Mas. Terima kasih juga sudah diizinkan tinggal di kos milik kalian," ucapku merasa sedikit tak enak. Sejak awal aku sudah memutuskan untuk membayar kos seperti yang lainnya. Namun, Desi malah menolak dan memberikan kamar itu untuk kutempati secara cuma-cuma. "Jangan berlebihan gitu, Yun. Kita lho, teman dari gadis," sela Desi. "Oh ya, si Bas ini adik tingkat kita di kampus dulu," lanjutnya yang membuatku mengangguk. "Ya, aku tahu. Meskipun nggak ingat, sih." "Itu lho, Yun. Yang dulu pernah kasih surat sama kamu. Ingat nggak?""Aku serius, Bas!" Kutatap Bas dengan tajam. Namun, pemuda itu malah tertawa renyah tanpa beban."Bas!" geramku."Iya, iya. Mereka sudah kuusir dari sini, kamu tenang saja."Akhirnya aku bisa bernapas lega. Semoga dua orang itu tak akan kembali lagi ke sini. Biarlah Aiza aku yang urus sendiri. Bukankah sejak dulu juga begitu?"Ya sudah, kita temui Aiz sekarang," ajak Bas. Tangannya dengan tak sopan menggenggam tanganku. Namun, segera kutepis dan berjalan lebih dulu. Begitu masuk ke dalam ruangan, kulihat Aiza yang tengah bercerita seru dengan Devin. Ternyata bocah itu sudah kembali bersama Mas Bakri."Maaf, Mas, tadi saya harus usir Mas Bakri dari sini," ucapku merasa tak enak."Nggak apa-apa, Yun. Tapi, kami nggak bisa lama-lama, ada acara keluarga," sahut Mas Bakri sekaligus memberitahu."Iya, Yun. Kamu nggak apa-apa jaga Aiz sendiri? Apa mau aku temani saja di sini?" Desi bertanya sembari bangkit dari duduknya dan mendekat padaku."Ih, nggak apa-apa, Des. Kamu pulang saja, aku bis
Aku langsung berdiri tegak ketika melihat ibu mertua tiba-tiba datang yang tak lama disusul oleh Mas Bagus. Wanita tua itu tampak menatapku dengan nyalang bak musuh bebuyutan."Kamu apakan cucuku, hah?!" sentaknya yang membuatku menggeleng pelan.Cucu katanya? Baru kali ini aku mendengar dia mengakui Aiza sebagai cucunya. Padahal dulu ibu mertua sama sekali tak pernah menganggap kehadiran aku dan putriku."Maaf, Bu. Tolong jangan buat keributan. Ini rumah sakit, banyak pasien yang perlu istirahat." Desi bersuara dengan tatapan yang tak kalah nyalang. Sontak saja ucapannya itu langsung dibalas oleh mertuaku tak kalah tajam."Diam! Siapa kamu, hah? Kamu cuma orang asing! Aku ini sedang memperhatikan cucuku!"Kutarik napas dalam-dalam saat wanita tua itu semakin bertingkah. Devin dan Aiza yang sejak tadi anteng pun kini menatap takut dari atas ranjang."Maaf, Des. Sebaiknya kalian keluar dulu. Kasihan Devin kalau lihat ini," usirku. Aku tak mau menghancurkan mental Devin karena harus mel
Hari ini benar-benar terasa berat. Setelah tadi meyakinkan hati untuk memberi kabar pada Mas Bagus, kini aku harus menguatkan diri untuk menunggu kedatangan suamiku itu.Ya, aku menghubungi Mas Bagus atas usulan Bas. Dia bilang, biar bagaimanapun Mas Bagus adalah ayah kandungnya Aiza. Memang benar, tapi ada perasaan sedikit tak rela saat aku harus menghubungi pria itu lagi. Bukannya ingin memantik bara api, aku hanya masih mengingat jelas bagaimana Mas Bagus tak pernah peduli pada Aiza."Om Bas ke mana, Mama?" Pertanyaan dari Aiza membuat lamunanku seketika buyar. Kufokuskan pandangan pada gadis kecil yang masih terbaring di atas bangsal. Meski begitu, aku bersyukur karena keadaannya berangsur membaik sekarang."Om Bas lagi pergi ke luar," jawabku sambil menarik kedua sudut bibir membentuk senyuman."Ke mana? Om Bas nggak mau tunggu Aiz, ya?""Bukan gitu, Sayang ...."Ah, Aiza memang belum tahu jika Bas semalaman berjaga demi dia. Lelaki itu tak tidur sama sekali hingga pagi. Lalu, p
Kupeluk tubuh Aiza selama perjalanan menuju rumah sakit. Putriku itu masih tetap menggigil, hanya sesekali berhenti. Aku benar-benar tak mengerti apa penyebabnya karena ini baru pertama kali terjadi pada Aiza."Tolong lebih cepat, Bas," pintaku dengan suara yang lirih. Dadaku sudah sesak sejak tadi. Hatiku hancur melihat Aiza seperti ini."Sabar, sebentar lagi kita sampai. Tenangkan dirimu dulu." Bas berucap sembari menggenggam sebelah tanganku. Hanya sebentar, karena dia kembali fokus pada jalanan. Kondisi hari yang sudah malam membuat jalanan sedikit lenggang hingga kami bisa sampai di rumah sakit dengan cepat. Bas segera turun lebih dulu dan mengambil tubuh Aiza dari pangkuanku. Selanjutnya, ia berlari menuju ruang UGD. Kakiku masih terasa lemas karena terlalu cemas. Sebab itulah aku hanya bisa menyusul Bas dengan langkah pelan. Tuhan ... hatiku benar-benar tak tenang. Berbagai asumsi pun mulai bermunculan. Namun, aku segera tersadar dan menggelengkan kepala untuk mengusir pikir
Senyumku terukir setelah kembali ke kosan. Aku benar-benar bahagia karena sudah bisa bekerjasama dengan pihak ekspedisi. Jadi, lain kali semua pesanan pelangganku akan dijemput oleh kurir. Hah, betapa senangnya aku."Terus tersenyum seperti itu. Aku suka."Bisikan Bas membuatku tersadar seketika. Kutolehkan kepala hingga bisa melihat pemuda itu yang tengah tersenyum lebar. Tatapanku menajam, tapi dia malah menanggapi dengan kekehan.Kubawa kaki ini melangkah menuju rumah Desi tanpa menoleh pada Bas lagi. Namun, teriakan pemuda itu selanjutnya membuat langkahku terhenti."Terima kasih sudah mengantarku, Mbak Ayu!"Huft!Kuputar tubuh ini dengan cepat. Lalu, kubalas teriakan Bas sedikit kesal. "Terima kasih, Bas!"Pemuda itu langsung melengkungkan senyumnya, lalu mengedipkan sebelah mata yang membuat bulu kudukku merinding seketika. Segera aku berbalik badan dan benar-benar memasuki rumah Desi kali ini."Eh, sudah beres, Yun?" Desi langsung bertanya begitu melihatku masuk.Aku hanya mer
Entah berapa kali aku dibuat panas oleh sikap Bas hari ini. Pemuda itu benar-benar berani menunjukkan sisi ketertarikannya padaku, bahkan di tempat umum sekalipun. Sialnya, aku malah terbuai hingga sempat menikmati hangat pelakunya tadi siang.Oh, Tuhan ... maafkan aku."Mama, Aiz mau main sama Devin, ya!"Kualihkan pandangan pada Aiza yang tengah meminta izin dari atas tempat tidur. "Boleh, tapi Aiz jangan nakal, ya. Jangan acak-acak mainan Devin." Putriku itu mengangguk senang, lalu segera keluar dari kamar dengan langkah yang penuh semangat. Jika kuperhatikan, Aiza memang lebih ceria ketika tinggal di sini. Berbeda sekali saat masih tinggal di rumah yang dulu. Hem, mungkin karena ada Devin yang bisa ia ajak bermain.Kulanjutkan kegiatan yang sempat tertunda karena lamunan. Tanganku memeriksa satu per satu daster yang sudah dipesan oleh pelanggan untuk selanjutnya kuantar pada kantor jasa pengiriman.Ya, membuka kembali usaha di tempat baru tentunya harus memulai dari awal. Jika d







