Share

Surat Jaman Purba

Penulis: Deshika Widya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-10 22:17:14

Sudah beberapa kali kucoba putar ingatan ini ke belakang. Namun, tak satu pun ingatanku tentang Bas keluar. Desi bilang, Bas adalah orang yang pernah mengirim surat padaku. Tapi surat yang mana?

Seperti yang pernah Bas bilang jika dulu aku cukup populer di kampus. Karena itu tak heran lagi jika banyak laki-laki yang memberi surat untukku. Ada yang sekedar iseng, ada juga yang sampai mencurahkan isi hatinya. Tapi, saat itu hatiku tetap diisi oleh nama Mas Bagus.

Bagus Dewantoro, pria yang paling kucintai. Namun, kini hampir menjadi pria yang kubenci.

Tring!

Bak memiliki firasat kuat, pria itu tiba-tiba mengirim sebuah pesan. Gegas kuperiksa pesan tersebut dengan malas.

[Cepat kirim alamatmu! Kamu sengaja mengabaikanku?!]

Kuhembuskan napas kasar setelah membaca pesan itu. Dengan malas jari ini bergerak di atas layar untuk mengetik balasan.

[Jalan mawar, gang pelangi. Kos Desi.]

Dia hanya butuh alamat, kan? Kurasa itu sudah cukup.

Tak mau menghabiskan waktu hanya dengan menunggu balasan dari Mas Bagus, segera kumatikan daya ponsel yang ada di genggaman. Selanjutnya, kurebahkan tubuh lelah ini di samping Aiza yang sudah lebih dulu pergi ke alam mimpi.

Kutatap lamat-lamat wajah cantik nan polos putri kecilku ini. Hatiku kembali sakit mengingat nasibnya yang tak beruntung sejak bayi. Harusnya Aiza mendapat kasih sayang penuh dari Mas Bagus. Harusnya Aiza mendapat perhatian Mas Bagus setiap harinya, dan masih banyak harus-harus yang lain. Namun, itu semua hanya inginku, karena pada dasarnya Mas Bagus memang tak peduli pada Aiza bahkan sejak dilahirkan ke dunia.

Tuhan ... sungguh malang nasib putriku tercinta.

Kulabuhkan sebuah kecupan sayang pada kening Aiza. Putriku itu terlihat mulai gelisah dalam tidurnya. Tubuh Aiza juga mengeluarkan keringat yang cukup banyak. Aku mengerti, mungkin dia belum terbiasa tidur di kamar sempit ini tanpa ada pendingin ruangan sama sekali.

"Huhu ... panas, Mama ...." Aiza bergumam dengan mata yang masih tertutup sepenuhnya.

Otakku berpikir cepat, mengingat di mana kusimpan kipas. Hingga setelah beberapa saat, aku teringat jika kipas itu masih tersimpan di dalam tas besar.

Benar saja. Setelah kubuka tas besar itu, bisa kutemukan sebuah kipas di sana. Segera kugunakan untuk mengipasi Aiza.

Beberapa lama tanganku terus bergerak mengipasi tubuh Aiza agar dia nyaman. Setelah dia kembali terlelap, baru kurebahkan tubuh ini di sampingnya.

5 menit, 10 menit, hingga 30 menit, mataku masih belum juga terpejam. Semua hal tiba-tiba masuk ke dalam pikiran seolah tak mengizinkanku untuk tenang.

Merasa pengap berada di kamar, kulangkahkan kaki ini menuju pintu. Mungkin aku harus mencari angin lebih dulu agar mata ini diserang kantuk.

"Belum tidur, Mbak?"

Aku terlonjak saat tiba-tiba mendengar sebuah suara. Kutolehkan kepala ke arah kanan, ternyata ada Bas di sana.

"Bas, kamu buat saya kaget! Kirain bukan manusia!" omelku yang kemudian menjatuhkan bokong pada kursi kayu.

Bas terkekeh di atas kursi depan kamarnya. Pemuda itu tampak sedang merokok ditemani secangkir kopi yang sisa setengah.

"Terus Mbak kira apa? Mana mungkin ada setan seganteng saja."

Aku tak meladeni ucapan Bas. Kufokuskan tatapan ini ke depan dengan pikiran yang jauh menerawang. Besok aku harus benar-benar memulai usaha kembali untuk menyambung hidup. Memang, Aiza masih tanggung jawab Mas Bagus, begitu pun denganku karena masih istri sahnya secara hukum. Namun, aku tak yakin Mas Bagus akan membiayai kami.

"Lagi mikirin apa sih, Mbak?"

Lamunanku terputus karena suara Bas. Pemuda itu tampak serius menatapku. "Nggak ada," jawabku, tak ingin Bas tahu. Bagaimanapun pemuda itu adalah orang asing bagiku.

"Nggak mungkin ngelamun kalau nggak memikirkan sesuatu. Saya udah dewasa lho, Mbak."

"Saya tahu," sahutku sekenanya. Lagipula siapa yang bertanya dia sudah dewasa apa belum?

"Maksudnya saya tahu kalau Mbak Yuni lagi berpikir berat. Pasti lagi mikirin suaminya, kan? Nggak usah dipikirkan laki-laki kayak gitu, Mbak. Masih ada saya."

Kali ini mataku menatap tajam pada Bas. Mulut pemuda itu kadang-kadang membuatku kesal meski selalu berdalih candaan.

"Jangan melotot gitu, Mbak. Nih, daripada Mbak Yuni ngelamun, mending baca ini," ucapnya seraya menyerahkan sebuah kertas padaku.

Aku tak lantas menerima. Kutatap sejenak kertas yang terlihat sudah lusuh itu. "Kamu koleksi kertas jaman purba?"

Dia malah terkekeh menanggapi pertanyaanku. "Ternyata Mbak Yuni bisa bercanda juga."

"Sudah, ambil aja. Lumayan buat hiburan," tukasnya dengan tangan yang meletakkan kertas itu di atas mejaku. Setelah itu, dia memutar gagang pintu.

"Saya masuk dulu, Mbak. Jangan lupa dibaca biar bisa tidur nyenyak."

Aku hanya geleng-geleng kepala menanggapi sikap Bas. Baru kuambil kertas itu setelah dia benar-benar masuk ke dalam kamarnya.

"Surat?" gumamku saat membuka lipatan kertas itu.

Dear, Mbak Ayu.

Jangan marah kupanggil seperti itu, ya? Mbak, entah kenapa sejak pertama kali melihatmu aku merasa ada yang aneh dengan hatiku. Mungkin aku terlalu dini untuk mengartikan bahwa ini perasaan cinta. Pun aku juga terkesan lancang. Tapi, aku yakin sepuluh ribu persen jika kamu adalah jodohku, Mbak. Aku dengar jika kamu sudah memiliki kekasih, tapi aku tak peduli. Jika kita tidak berjodoh sekarang, mungkin nanti. Yang pasti nama indah Ayunina Maharani sudah kupatenkan sebagai pemilik hati.

Dari Baskara Jaya Putra.

"Itu salinan surat yang pernah saya kasih sama Mbak Ayu dulu."

Degh!

Aku terperanjat kaget karena dua hal. Pertama, karena ini surat ini. Kedua, karena suara Bas yang tiba-tiba muncul kembali.

"Apa maksudnya ini, Bas?" Aku menatap pemuda itu penuh tanya.

Bas terlihat serius menatapku. Dia menghela napas dan duduk pada kursi di samping mejaku. "Saya yakin Mbak Ayu paham meski nggak saya jelaskan."

Sikap Bas kali ini benar-benar membuatku tertegun. Pemuda itu terlihat sangat dewasa, berbeda dengan siang tadi yang selalu cengengesan.

"Dan surat itu masih berlaku sampai sekarang, Mbak."

Aku masih diam menunggu pemuda itu melanjutkan ucapan.

"Saya tahu Mbak Ayu punya masalah sama suami. Mbak diusir dari rumah, kan?"

Degh!

Kenapa Bas bisa tahu? Apa Desi yang bercerita pada pemuda itu?

"Demi Tuhan, saya nggak rela Mbak Ayu diperlakukan seperti itu. Dari dulu saya diam, cuma mantau Mbak Ayu dari jauh. Saya relakan laki-laki itu menikahi Mbak Ayu hingga lahir Aiza. Tapi, ternyata dia nggak bisa dipercaya. Dia terlalu pengecut untuk seorang Mbak Ayu!"

Aku terperangah mendegar kata demi kata yang keluar dari mulut Bas. Kenapa dia sangat tahu tentang kehidupanku?

"Apa selama ini kamu memata-matai saya, Bas?" Kutatap pemuda itu dengan tajam dan penuh tuntutan. Namun, dia malah melengkungkan senyuman lebar.

"Saya akan lakuin apa pun untuk wanita yang saya cintai, Mbak."

Degh!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Diusir Suami, Dikejar Berondong Tajir   Pemberian Bas

    "Aku serius, Bas!" Kutatap Bas dengan tajam. Namun, pemuda itu malah tertawa renyah tanpa beban."Bas!" geramku."Iya, iya. Mereka sudah kuusir dari sini, kamu tenang saja."Akhirnya aku bisa bernapas lega. Semoga dua orang itu tak akan kembali lagi ke sini. Biarlah Aiza aku yang urus sendiri. Bukankah sejak dulu juga begitu?"Ya sudah, kita temui Aiz sekarang," ajak Bas. Tangannya dengan tak sopan menggenggam tanganku. Namun, segera kutepis dan berjalan lebih dulu. Begitu masuk ke dalam ruangan, kulihat Aiza yang tengah bercerita seru dengan Devin. Ternyata bocah itu sudah kembali bersama Mas Bakri."Maaf, Mas, tadi saya harus usir Mas Bakri dari sini," ucapku merasa tak enak."Nggak apa-apa, Yun. Tapi, kami nggak bisa lama-lama, ada acara keluarga," sahut Mas Bakri sekaligus memberitahu."Iya, Yun. Kamu nggak apa-apa jaga Aiz sendiri? Apa mau aku temani saja di sini?" Desi bertanya sembari bangkit dari duduknya dan mendekat padaku."Ih, nggak apa-apa, Des. Kamu pulang saja, aku bis

  • Diusir Suami, Dikejar Berondong Tajir   Pembuat Onar

    Aku langsung berdiri tegak ketika melihat ibu mertua tiba-tiba datang yang tak lama disusul oleh Mas Bagus. Wanita tua itu tampak menatapku dengan nyalang bak musuh bebuyutan."Kamu apakan cucuku, hah?!" sentaknya yang membuatku menggeleng pelan.Cucu katanya? Baru kali ini aku mendengar dia mengakui Aiza sebagai cucunya. Padahal dulu ibu mertua sama sekali tak pernah menganggap kehadiran aku dan putriku."Maaf, Bu. Tolong jangan buat keributan. Ini rumah sakit, banyak pasien yang perlu istirahat." Desi bersuara dengan tatapan yang tak kalah nyalang. Sontak saja ucapannya itu langsung dibalas oleh mertuaku tak kalah tajam."Diam! Siapa kamu, hah? Kamu cuma orang asing! Aku ini sedang memperhatikan cucuku!"Kutarik napas dalam-dalam saat wanita tua itu semakin bertingkah. Devin dan Aiza yang sejak tadi anteng pun kini menatap takut dari atas ranjang."Maaf, Des. Sebaiknya kalian keluar dulu. Kasihan Devin kalau lihat ini," usirku. Aku tak mau menghancurkan mental Devin karena harus mel

  • Diusir Suami, Dikejar Berondong Tajir   Merona

    Hari ini benar-benar terasa berat. Setelah tadi meyakinkan hati untuk memberi kabar pada Mas Bagus, kini aku harus menguatkan diri untuk menunggu kedatangan suamiku itu.Ya, aku menghubungi Mas Bagus atas usulan Bas. Dia bilang, biar bagaimanapun Mas Bagus adalah ayah kandungnya Aiza. Memang benar, tapi ada perasaan sedikit tak rela saat aku harus menghubungi pria itu lagi. Bukannya ingin memantik bara api, aku hanya masih mengingat jelas bagaimana Mas Bagus tak pernah peduli pada Aiza."Om Bas ke mana, Mama?" Pertanyaan dari Aiza membuat lamunanku seketika buyar. Kufokuskan pandangan pada gadis kecil yang masih terbaring di atas bangsal. Meski begitu, aku bersyukur karena keadaannya berangsur membaik sekarang."Om Bas lagi pergi ke luar," jawabku sambil menarik kedua sudut bibir membentuk senyuman."Ke mana? Om Bas nggak mau tunggu Aiz, ya?""Bukan gitu, Sayang ...."Ah, Aiza memang belum tahu jika Bas semalaman berjaga demi dia. Lelaki itu tak tidur sama sekali hingga pagi. Lalu, p

  • Diusir Suami, Dikejar Berondong Tajir   Pelukan Bas

    Kupeluk tubuh Aiza selama perjalanan menuju rumah sakit. Putriku itu masih tetap menggigil, hanya sesekali berhenti. Aku benar-benar tak mengerti apa penyebabnya karena ini baru pertama kali terjadi pada Aiza."Tolong lebih cepat, Bas," pintaku dengan suara yang lirih. Dadaku sudah sesak sejak tadi. Hatiku hancur melihat Aiza seperti ini."Sabar, sebentar lagi kita sampai. Tenangkan dirimu dulu." Bas berucap sembari menggenggam sebelah tanganku. Hanya sebentar, karena dia kembali fokus pada jalanan. Kondisi hari yang sudah malam membuat jalanan sedikit lenggang hingga kami bisa sampai di rumah sakit dengan cepat. Bas segera turun lebih dulu dan mengambil tubuh Aiza dari pangkuanku. Selanjutnya, ia berlari menuju ruang UGD. Kakiku masih terasa lemas karena terlalu cemas. Sebab itulah aku hanya bisa menyusul Bas dengan langkah pelan. Tuhan ... hatiku benar-benar tak tenang. Berbagai asumsi pun mulai bermunculan. Namun, aku segera tersadar dan menggelengkan kepala untuk mengusir pikir

  • Diusir Suami, Dikejar Berondong Tajir   Candaan di Luar Batas

    Senyumku terukir setelah kembali ke kosan. Aku benar-benar bahagia karena sudah bisa bekerjasama dengan pihak ekspedisi. Jadi, lain kali semua pesanan pelangganku akan dijemput oleh kurir. Hah, betapa senangnya aku."Terus tersenyum seperti itu. Aku suka."Bisikan Bas membuatku tersadar seketika. Kutolehkan kepala hingga bisa melihat pemuda itu yang tengah tersenyum lebar. Tatapanku menajam, tapi dia malah menanggapi dengan kekehan.Kubawa kaki ini melangkah menuju rumah Desi tanpa menoleh pada Bas lagi. Namun, teriakan pemuda itu selanjutnya membuat langkahku terhenti."Terima kasih sudah mengantarku, Mbak Ayu!"Huft!Kuputar tubuh ini dengan cepat. Lalu, kubalas teriakan Bas sedikit kesal. "Terima kasih, Bas!"Pemuda itu langsung melengkungkan senyumnya, lalu mengedipkan sebelah mata yang membuat bulu kudukku merinding seketika. Segera aku berbalik badan dan benar-benar memasuki rumah Desi kali ini."Eh, sudah beres, Yun?" Desi langsung bertanya begitu melihatku masuk.Aku hanya mer

  • Diusir Suami, Dikejar Berondong Tajir   Lagi-Lagi Malah Bas

    Entah berapa kali aku dibuat panas oleh sikap Bas hari ini. Pemuda itu benar-benar berani menunjukkan sisi ketertarikannya padaku, bahkan di tempat umum sekalipun. Sialnya, aku malah terbuai hingga sempat menikmati hangat pelakunya tadi siang.Oh, Tuhan ... maafkan aku."Mama, Aiz mau main sama Devin, ya!"Kualihkan pandangan pada Aiza yang tengah meminta izin dari atas tempat tidur. "Boleh, tapi Aiz jangan nakal, ya. Jangan acak-acak mainan Devin." Putriku itu mengangguk senang, lalu segera keluar dari kamar dengan langkah yang penuh semangat. Jika kuperhatikan, Aiza memang lebih ceria ketika tinggal di sini. Berbeda sekali saat masih tinggal di rumah yang dulu. Hem, mungkin karena ada Devin yang bisa ia ajak bermain.Kulanjutkan kegiatan yang sempat tertunda karena lamunan. Tanganku memeriksa satu per satu daster yang sudah dipesan oleh pelanggan untuk selanjutnya kuantar pada kantor jasa pengiriman.Ya, membuka kembali usaha di tempat baru tentunya harus memulai dari awal. Jika d

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status