Share

Dokter Tampan di Pavilliun
Dokter Tampan di Pavilliun
Author: Yuniartinoor

Tugas Pertama

Ini hari pertama aku bertugas sebagai Perawat di Rumah Sakit umum Daerah milik Pemerintah. Aku masuk shift malam, rencananya jam sembilan baru akan berangkat dari rumah. 

Ibu begitu exited menyiapkan air minum dan bekal untukku, jadi seperti anak TK dengan tas berisi berbagai bekal makanan. Dengan scooter matic putih hadiah ulang tahun dari Ayah aku membelah keheningan malam.

Alunan musik dari earphone menemani perjalanan malamku menuju tempat kerja. Hampir setengah jam waktu yang dihabiskan hingga sampai di parkiran Rumah Sakit. Suasana begitu hening dan sepi, aku sedikit berlari menuju loker. Kerja shift malam membuat was-was, takut jika nanti aku yang indigo melihat hal-hal aneh atau menakutkan. 

Di Pavilliun melati aku sudah mulai mendapati kejanggalan, seorang gadis kecil dari tadi mengikuti. Penasaran ingin menoleh tapi belum sempat berbalik, sebuah tangan kekar dengan sigap menarik tanganku.

"Bantu aku!" ucapnya dengan suara parau.

"Dokter kenapa tangannya berdarah begini? sebentar aku ambil perban tunggu aku kembali." Aku berlari secepat kilat ke Pavilliun anggrek tempat aku bertugas.

"Kamu benar-benar kembali Ageeza!" ujar Dokter tampan itu. Aku membalut tangan penuh darah itu dengan telaten.

"Dokter tau namaku?" tanyaku.

"Di name tag itu tertera namamu, kamu perawat baru?" Dia balik bertanya.

"Iya, Dok baru lulus, ini hari pertama kerja. Tangan Dokter dingin sekali, lebih baik Dokter izin pulang, istirahat!" saranku.

"Tidak usah, Ageeza ini hanya luka ringan," jawabnya.

"Panggil saja Geeza, Dok. Kenapa tangannya luka parah begini, Dok?" Aku penasaran.

"Tanganku kerjepit pintu."

"Pintu? Kalau kejepit pintu minimal jari yang luka, ini kok bersimbah darah. Dokter bercanda?" Dokter tampan itu hanya tersenyum menanggapi pertanyaanku. "Aku pamit, Dok. Hampir terlambat, aku harus mulai kerja," pamitku.

Sekali lagi, dia menjawab dengan senyum manisnya. Aku berbalik, berjalan berapa langkah, penasaran menoleh ke belakang tapi Dokter tadi sudah mengilang. Secepat itu? Bulu kudukku seketika merinding, aku berjalan secepat mungkin sampai menabrak rekan kerja yang berjalan berpapasan.

"Kamu dari mana? Perawat baru, kan?"

"Iya, Kak. Maaf tadi aku menolong Dokter dulu di pavilliun," terangku.

"Kamu bertugas di Pavilliun ini, tidak usah membantu Dokter di Pavilliun lain. Disana sudah ada perawat yang bertugas!" tegur seniorku.

"Maaf, Kak," ucapku.

" Ageeza kerja yang bener jangan tidur! stand by! Bekerja sama dengan yang lain!" titah Kak Meli.

"Siap, Kak!"

Kak Meli seorang perawat senior di Rumah sakit ini, bukan galak tapi Kak Meli sedikit tegas. Semua Dokter dan perawat di ruangan ini terjaga tak ada seorangpun yang tertidur. Sementara aku masih diajari oleh Susan teman satu shiftku, perawat lain mengecek kondisi pasien. 

Saat sedang memperhatikan Susan yang menjelaskan aku melihat Dokter tampan tadi lewat di depan Pavilliun, dia tersenyum kearahku.

"Kamu ngapain, Za ... senyum-senyum sendiri?" tanya Susan.

"Itu Dokter yang lewat barusan senyum, ya aku balas ... senyumnya manis banget, ganteng lagi," cerocosku.

"Ni bocah baru masuk kerja sudah ngecengin Dokter, aku saja belum berani."

"Hihihi ... maaf, San."

"Yuk! Sekarang kita cek pasien!" ajak Susan. Aku mengekor Susan mengecek kondisi pasien.

"Astagfirullahhalazim," ucapku.

"Kamu kenapa? bikin kaget tau!"

"Astagfirullah ya Allah," aku berdoa sebisaku, ayat kursi beserta doa-doa yang lain berulang-ulang kubaca.

"Kamu kenapa? Jangan penakut deh! Ini sudah konsekuensi profesi kita."

"Kamu memang gak lihat, San? anak kecil, cewek, nguntitin aku terus sejak dari loker tadi."

"Kamu halu," sahut Susan enteng.

"Ya Allah kok halu, San!" ucapku kesal.

Ketika berjalan di koridor kami berpapasan dengan beberapa perawat membawa blangkar dan seorang ibu yang terus menangis. Aku terkulai lemas, anak yang sedari tadi menguntit ternyata dia yang terbaring di belangkar itu.

"Ish ... kamu merepotkan sekali Geeza, ngapain malah lesehan di lantai?"

"Susan, aku lemes banget ... kamu tahu anak gadis yang terbaring di blangkar tadi? Gadis kecil itu sama persis dengan anak gadis yang menguntitku dari loker tadi."

"Istighfar, kamu orang baru disini, jangan ngelamun banyak berdoa!" titah Susan.

Aku berusaha berdiri berjalan menuju ruangan walau sedikit sempoyongan. Tak terasa sudah jam tiga pagi aku dan Susan beristirahat sekedar meregangkan badan dan makan bekal. 

"San kamu selama bekerja gak pernah lihat apa gitu?" tanyaku penasaran.

"Alhamdulillah ... enggak, Za. Aku sih positif saja ... niat kita kerja, ibadah, asal kita gak ganggu 'mereka' juga gak akan ganggu," jawab Susan.

"Kamu sih enak, aku indigo mereka menampakan wujudnya sendiri. Kalau mereka tiba-tiba muncul di hadapanku aku bisa apa?" cerocosku.

"Ishh!  Sudah jangan bahas gituan ah ngeri. Jadi takut mau ke toilet, anter yuk!" ajak Susan.

"Ayukk!" 

Aku menunggu Susan tepat di depan pintu tolilet. Fokus aku alihkan pada handphone di tangan. Namun, aku merasakan kehadiran Dokter tampan itu. Benar saja dia sedang berjalan ke arahku dari koridor. 

Bersiap menyapa Dokter tampan, aku akhiri permainan di benda pipih yang sedari tadi menemani tapi ... saat pandangan kembali Dokter tampan itu sudah tidak ada. 

"Woii! Nyari siapa?" tegur Susan. 

"Enggak," singkatku.

"Jangan bilang kamu lihat setan! Males deh punya temen baru kaya gini bikin jantungan," keluh Susan.

Apalagi aku, jantungku entah sudah jatuh di mana? 

Dokter tampan itu seperti hantu saja, datang begitu cepat dan sekejap menghilang lagi dari hadapan mata.

Jangan ... jangan ....

Apa memang dia Dokter hantu?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status