Aku sudah sampai dirumah dan Olivia menyambutku dan memberikan aku segelas cokelat panas karena hari ini sangat dingin. Hujan turun saat aku dalam perjanan pulang dan aku sedikit menggigil.
“Terima kasih,” ucapku seraya menerima cokelat panas itu.
“Dimana ponsel barumu?” tanya Olivia.
“Di tas,” jawabku seraya mengeluarkan 2 buah ponsel yang aku beli.
“Kenapa ada 2?”
“Yang ini memiliki kamera yang sangat luar biasa, yang satu lagi untuk memainkan game,” jawabku bangga.
“Kenapa kau sangat boros nona?” tanya Olivia seraya membuka salah satu box kemasan ponsel baruku.
“Ah, aku sudah lama tidak memiliki ponsel baru,” ucapku yang membuka box ponsel yang lainnya.
Aku lalu mengurus semua hal yang diperlukan sebuah ponsel baru. Akun, nomor telepon, dan lainnya. Setelah selesai, Olivia memintaku untuk mencoba kamera baruku dan ketika aku mencobanya, aku t
Aku menggandeng Carla dan melangkah masuk menuju pesawat pribadi ayahku. Hari yang kami tunggu sudah tiba. Aku duduk bersama Carla dan menunggu beberapa teman-temanku yang masih belum datang.“Hey,” sapa seseorang seraya menepuk pundakku.“Hey Luke,” ucapku ketika menyadari kalau ternyata yang menepuk pundakku adalah pria bertubuh gempal itu.“Dimana Harry? Biasanya kalian selalu bersama?” tanyaku.“Dia di toilet, padahal dia baru saja sampai pesawat dan dia sudah mengeluh sakit perut,” jawab Luke. Luke dan Harry memang sangat dekat, keduanya bertetangga dan sama-sama bergabung dalam akademi klub sepak bola di kota ini.“Hahaha, lalu dimana yang lainnya? Atau semuanya sudah datang?” tanyaku.“Aku rasa sudah, aku tadi menyapa semuanya dan sepetinya semuanya sudah datang,” jawab Luke.Aku lalu mengabsen dan ternyata teman-temanku semuanya sudah datang. Aku lalu meng
Pesawat kami sudah mendarat di Canberra Airport. Kami tidak bisa mendaratkan pesawat kami di pulau itu langsung karena memang tidak ada tempat untuk mendaratkan pesawat. Aku menggandeng Carla dan turun dari pesawat menuju ke mobil travel yang sudah menunggu kami. Jarak pulau itu dari ibukota Australia memang tidak terlalu jauh. Setidaknya, itulah yang dikatakan ayahku.“Wah, sudah lama sekali aku tidak pergi ke Australia,” ujar Carla seraya membuka kaca mobil dan menikmati angin yang menerpa wajahnya.“Aku tidak pernah kesini, apakah Australia tempat yang bagus?” tanyaku.“Tempat ini sangat menyenangkan, Ava, setelah pernikahan ayahmu, ayo kita jalan-jalan di Australia, lagipula, kita akan berada disini selama seminggu,” ujar Carla.Aku hanya menganggukan kepala mengiyakan ajakan Carla. Dia memang orang yang menyenangkan, aku tidak mengerti kenapa dia tidak memiliki seorang pacar. Wajahnya cantik, dia juga oran
Aku membuka mata dan mendapati diriku masih berada di atas batu raksasa ini. Aku mencari Sam dan akhirnya menemukannya sedang duduk bersila dengan bertelanjang dada di sebuah batu yang terletak tidak jauh dari batu raksasa ini.“Sam, kau sedang apa?!” tanyaku setengah berteriak.“Aku sedang mengisi chakra!” teriaknya tanpa menoleh ke arahku. Aku tertawa mendengar jawabannya. Aku tidak tahu dia sekonyol ini.Aku menghampirinya dan dia masih memejamkan mata. Dia seperti sedang fokus melakukan sesuatu di dalam kepalanya. Aku mengguncang-guncang tubuhnya dan akhirnya dia membuka mata dan menatapku.“Apa yang sedang kau lakukan?” tanyaku keheranan seraya menahan tawa.“Aku sedang memainkan gitar,” jawabnya.“Mana gitarnya?”“Kau tidak melihatnya?”Aku melihat sekitar dan menggeleng. Memang tidak ada gitar di sekitar sini. Aku kebingungan, namun dia seperti menga
Aku membuka mata dan melihat ke sebelah kananku. Pria berambut pirang yang menumpang tidur di kamarku masih belum membuka mata. Aku meletakkan jari telunjukku di depan hidungnya untuk memeriksa apakah dia masih bernapas atau tidak. Syukurlah, dia ternyata belum mati. Tapi dia tidur seperti orang mati.“Sam, bangun, ini sudah pagi,” ucapku seraya mengguncang-guncangkan tubuhnya. Namun dia sama sekali tidak membuka matanya.Aku mendengus kesal dan meninggalkannya menuju restoran. Aku lalu bertemu dengan ayahku disana yang sedang sarapan bersama Olivia. Aku lalu bergabung dengan mereka di meja makan dan memesan makanan.“Christian, sepertinya liburan ini membuat Ava ‘sangat dewasa’ karena semalam dia tidur dengan seorang pria,” ujar Olivia seraya menahan tawa. Mata ayahku menyipit dan mengarah kepadaku. Aku tersipu dan menutup wajahku seraya menyumpah-nyumpah di dalam hati.“Apa kau menggunakan pengaman?” tanya
Hari pernikahan ayahku akhirnya tiba. Aku membangunkan Sam dengan bersusah payah dan akhirnya dia terbangun juga setelah aku menyiramkan sebotol air ke wajahnya. Aku menyuruhnya untuk bersiap-siap. Pernikahan ayahku akan dilangsungkan pukul 4 sore dan pestanya akan berakhir pukul 10 malam.Carla lalu masuk ke dalam kamarku bersama Luke dan membantuku merias wajahku. Aku memandang wajahku di cermin yang sedang di dandani oleh Carla. Hari ini adalah pernikahan ayahku. Aku harus terlihat sangat cantik.“Ada apa dengan wajahmu?” tana Carla tiba-tiba.“M-memangnya ada apa?” tanyaku seraya memperhatikan wajahku di cermin dengan cermat.“Kenapa kau memasang raut wajah seperti itu? Ini hari yang bahagia bukan? Apa yang mengganggumu?” tanya Carla.Aku terbelalak mendengarnya dan berusaha mencerna apa yang terjadi. Aku tidak merasa terganggu karena suatu hal, justru aku senang sekali karena hari ini aku akan memiliki seora
Melelahkan, semua ini terasa melelahkan. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya dan itu melelahkan. Sam sudah mulai masuk ke kepalaku, namun, keberadaan Liam dengan mudahnya mengusir Sam yang sudah berada di pintu masuk kepalaku. Melelahkan.Dansa sudah selesai dan para tamu undangan menikmati makan malam bersama. Ayah lalu memanggilku dan mengajakku untuk makan malam bersamanya. Aku lalu berjalan dengan sedikit terpaksa sekaligus memaksa senyuman di bibirku. Para tamu lain mulai menyantap makanan yang di hidangkan, begitu juga dengan aku yang mulai memotong steak"Ada apa sayang? Kau terlihat murung," ujar ayahku yang menyadari senyum palsuku yang semakin menghilang."Aku tidak tahu, ayah," jawabku. Aku mencoba untuk kembali tersenyum, namun, sepertinya itu sia-sia karena ayahku saat ini ikut menunjukkan wajah murungnya."Ava, kalau kau memang tidak bisa menceritakannya, mungkin kau hanya butuh waktu untuk sendiri, kau hanya butuh waktu
Aku kembali ke pesta bersama Sam. Gaun yang kupakai sudah sedikit lusuh karena apa yang terjadi hari ini. Tapi, tidak apa. Pesta sebentar lagi berakhir. Aku mengambil segelas wine dan memiumnya."Sepertinya tuan putri telah kembali," ujar ayahku seraya menghampiriku."Ah semuanya terasa luar biasa, ayah," ujarku seraya meminum lagi wine yang kupegang."Sebagian besar tamu undangan sudah pulang, apa kau mau mulai menggila?" tanya ayahku."Apa maksudmu, yah?"Ayah lalu menarikku yang tengah menggandeng lengan Sam. Sam yang melihat itu hanya tertawa dan melambaikan tangannya. Ayah membawaku ke atas panggung dan meminta mic dari pembawa acara."Kau tahu lagu Sucker yang dinyanyikan Jonas Brother?" tanya ayahku.Aku mengangguk."Mainkan!" teriak ayahku kepada pemain musik.Ayah memberikan aku mic dan memaksaku untuk bernanyi. Aku menolah namun semua teman-temanku mendesak dan bergemur
"Sekarang kita bersulang untuk kelulusan kita!" teriak Mason seraya mengangkat gelas. Kami bersulang dan meminum minuman kami. Aku tersenyum melihat kebersamaan kami. Aku sedikit tidak percaya hal seperti ini ternyata akan datang di dalam hidupku yang berawal sangat suram.Semua terjadi sangat tiba-tiba. Kematian seseorang yang tidak aku kenal, pertemuan dengan cinta pertamaku, berada dekat dengan keluargaku hingga kematian orang yang aku sayangi. Seperti di dalam mimpi saja.Pria berambut pirang di sebelahku meminum minumannya seraya mengobrol dengan teman-temannya. Membicarakan tentang sepak bola seperti obrolan pria pada umunya. Pria berambut pirang itu menyadari kalau aku memperhatikannya sejak dari tadi dan mencium bibirku. Pria yang sedang berusaha membuatku mencintainya dan aku rasa, dia berhasil melakukannya."Ada apa denganmu? Kenapa memperhatikan sku terus?" tanya Sam.Aku menggeleng. "Tidak apa-apa," ucapku. Aku tersenyu