Di sinilah Zanna terdampar, di sebuah salon mewah yang bahkan ia tidak berani menginjak lantai licin berkilau itu kalau saja Marcelia tidak menarik tangan dan memaksanya masuk ke dalam. Zanna merasa risih dengan sendal jepitnya yang kotor.
Marcelia menyerahkan Zanna kepada seorang capster sambil memberitahukan banyak hal. "Beri dia model rambut yang kekinian tapi cocok dengan wajahnya, jangan lupa abis potong dimasker, lalu medi pedi," tutur Marcel. "Sip, siip ...." Salah seorang dari mereka menarik Zanna untuk dibawa ke tempat cuci rambut. Zanna begitu kikuk dan merana, tangan orang asing merambah rambutnya dan ia merasa malu hati karenanya. Sementara Zanna dipermak, Marcel menyelinap keluar dari salon dan berkeliling mencari sandal, sepatu serta baju untuk Zanna kuliah. Baju yang dipilih Marcel hanya beberapa helai celana jeans dengan warna berbeda serta atasan yang terdiri dari beberapa T-shirt serta blouse kain. Ia memilihkan pakaBMW 4 series memasuki area kampus dan berhenti tepat di samping pintu gerbang asrama yang baru saja dibuka. Seorang gadis mengenakan kaus turtle neck tanpa lengan dengan jaket diikat pada pinggang rampingnya, memakai rok pendek lebar berpadu celana leging bersepatu kets, ia melangkah memasuki gerbang asrama.Hari masih sangat pagi untuk ukuran anak-anak mahasiswa yang masih suka bermalas-malasan, tapi mereka diwajibkan bangun pagi karena setiap kegiatan dilakukan paling lambat pukul 7.30.Gadis itu mengetuk pintu kamar Zanna, seseorang yang melihatnya menegur, "hai ... cari Zanna ya? Dia lagi mandi tuh.""Oh, makasih," sahut Marcel seraya menghampiri satu set kursi kayu tua dan duduk di atasnya.Suasana pagi cukup ramai di asrama, lalu lalang mahasiswi membawa handuk dan peralatan mandi, sebagian sudah siap-siap berangkat dan menunggu temannya dengan duduk di ruang tunggu tak terkecuali Marcelia.Sosok gadis cantik berkulit
Kedua gadis jalan beriringan, yang satu tampak keren, satu lagi cantik mempesona. Mereka cocok jika menjalin persahabatan. Keduanya menjadi pusat perhatian, apalagi penampilan mereka yang mencolok bagaikan artis ibu kota.Jumat siang saat keduanya tengah menikmati semangkuk bakso di kantin kampus, Marcelia mengajak Zanna keluar kota untuk sekedar membuang waktu akhir minggu."Jalan, yuk. Menikmati week end," ajak Marcel kepada Zanna."Kemana?" tanya Zanna."Ke puncak, di sana tempatnya dingin, kita nginep di Villa abis tuh jalan-jalan ke kebun teh trus makan jagung bakar, kita seru-seruan aja," tukas Marcel."Emang boleh pergi dari asrama?" tanya Zanna merasa ragu."Boleh, eh gak tahu juga, nah elo yang tingal sana gimana aturannya?" tanya Marcel dengan mimik serius."Yang pasti sih boleh keluar menginap kalau orang tua atau saudara yang jemput, itupun dengan bukti-bukt
Dentuman musik terdengar riuh dalam sebuah mobil yang sedang membelah jalanan. Marcelia ikut bernyanyi sambil menggoyangkan tubuhnya dengan kedua tangan memegangi setir.Zanna yang awalnya tidak bisa menikmati musik yang bertempo cepat itu, lama-lama hatinya tergelitik dan ikut bersenandung walaupun di dalam hati.Mereka sedang berada di jalan tol menuju vila keluarga yang berlokasi di daerah dingin, Puncak. Mereka hanya mampir satu kali di minimarket yang tersedia pada rest area, memborong makanan kecil dan minuman.Setibanya di vila, mereka disambut oleh pasangan suami istri yang menjaga vila dan merawatnya. "Selamat datang, Non ... hanya berdua saja, Non?" tanya Bapak penjaga vila kepada Marcelia."Iya, Pak. Kamar di atas sudah rapi? Tolong bawa barangnya semua ya, Pak! Bik, siapin ikan bakar ya," ujar Marcel sekaligus bicara kepada keduanya."Baik, Non.""Baik, Non." Kedua orang itu menjawab bersamaan.
"Kalau lo gimana, Za?" tanya Marcel sambil menyeka wajahnya dengan tissue.Zanna menarik napas panjang, pikirannya menerawang ke masa lalu, masa kecil penuh ketakutan. Sepanjang penglihatannya, ia tidak pernah melihat ibunya, Leta tersenyum, karena wajahnya selalu basah oleh air mata.Mengenang hal-hal yang membuatnya selalu mengalami mimpi buruk adalah hal tidak ingin ia ingat. Tapi, justru kenangan itu betah bercokol bahkan telah melekat erat pada alam bawah sadarnya.Gadis itu bergidik ngeri, terlebih setelah tahu alasan dibalik penyiksaan Bagas kepada Leta. Bahkan dirinya pun terancam dan belum merdeka dari kejaran ayahnya."Za, kok melamun? Kalau lo belum siap cerita ya udah, gua gak apa-apa kok," tegur Marcel yang melihat beban begitu nyata menggelayuti wajah Zanna.Gadis itu menggelengkan kepalanya, ia berpikir, mungkin jika ia mau berbagi cerita kepada temannya itu, perasaannya bisa sedikit lega. "Bukan, Cel. A
"Dan? ... Danish?!" seru salah seorang pemuda tatkala melihat temannya berwajah murung dan melamun.Danish menoleh kepada kedua orang yang mengajaknya menghabiskan akhir pekan di puncak. Tak dinyana ia justru melihat Zanna, gadis pujaan hatinya yang menyimpan salah paham kepadanya.Mengingat ia yang kelabakan mencari gadis itu selama ini dan harus menderita karena kesalah pahaman, membuatnya merasa tidak sepadan jika tidak mencari Zanna dan menghampirinya.Lelaki tampan itu beranjak dari tempat duduknya. "Bentar ya, mau ke belakang." Danish segera berlalu dari hadapan kedua temannya itu. Matanya jelalatan mencari Zanna.Ia melihatnya, Gadis itu tengah tertawa lepas, seperti bukan Zanna yang ia kenal. Sejenak ia ragu, "haruskah menghampiri mereka atau berlalu saja?" batinnya bimbang. "Bagaimana kalau ternyata bukan Zanna?" Kebimbangan itu bicara. "Justru untuk tahu kebenarannya, seharusnya mendatangi mereka," ujar hatinya.
Gadis itu mengetuk pintu villa beberapa lama, tidak ada yang membukakan pintu. Ia berinisiatif untuk memutari vila menuju halaman belakang, mencari pintu masuk lain dan ia menemukan pintu yang setengah terbuka. Ia melongokkan kepalanya ke dalam sambil mengetuk pintu. Namun, tidak ada jawaban.Zanna memberanikan diri masuk ke dalam yang merupakan dapur kotor dari vila tersebut. Menoleh ke kiri dan kanan, masih tidak menemukan suami istri penjaga vila. Ia terus masuk ke dalam, melewati ruang makan dan ruang keluarga lalu menaiki tangga menuju kamar yang tadi ia tempati bersama Marcel.Untungnya, pintu tidak terkunci, tapi kamar itu telah bersih dan rapi. Zanna menatap ke sekeliling ruangan, mencari tas di mana ada dompet dan sedikit uang untuk dipakai sebagai ongkos kembali ke Jakarta. Namun, ia tidak menemukannya setelah mencari-cari di dalam lemari dan laci-laci.Merasa putus asa, ia terduduk di lantai dan menangis sambil memeluk kedua lututnya
Keesokan paginya, Zanna telah berpakaian siap untuk kembali ke Jakarta. Ia ingin segera pergi dari sana karena perasaannya tidak tenang, Tapi Marcel belum bangun. 'Tidur jam berapa sih, Dia?' batin Zanna tanpa keberanian untuk membangunkan gadis itu, sebab ia tidak tahu pasti jam tidurnya hingga takut kalau masa tidurnya belum tercukupi.Ia berinisiatif untuk ke dapur membantu Bibik menyiapkan sarapan pagi sekalian menurunkan tas travel yang berisi barang-barang pemberian Marcel untuknya."Pagi, Bik. Masak apa pagi ini?" Zanna melongokkan kepalanya ke dapur.Penjaga vila yang sedang menghadapi kompor panas itu menoleh. "Eh, Non. Nyenyak tidurnya semalam?" tanya Bibik dengan ramah."Lumayan, Bik. Makasih ... apa yang bisa kubantu, Bik?" tanya Zanna serius."Eh, jangan, Non. Gak boleh ada yang ke dapur, Nona tunggu di dalam saja, teh panas sudah ada di meja, Non." Bibik tampak ketakutan mèndengar tamu majikannya hendak
Di dalam mobil, menuju pulang ke Jakarta, Zanna dan Marcel terlihat ceria, mereka tertawa bersama saling melempar lelucon. Perasaan Zanna lebih baik dari sebelumnya, ada kelegaan dengan berpikir bahwa Danish pastinya tidak terlibat dengan Bagas. Dalam hati kecilnya ia berjanji tidak akan menghindari Danish jika mereka bertemu lagi, tapi ia akan meminta penjelasan dari lelaki itu, kenapa Bagas bisa bertandang ke rumahnya.Perasaan Marcel semakin lekat dan yakin bahwa ia telah jatuh hati kepada gadis cantik itu. Perlahan sikap protektifnya tumbuh dan kecemburuan dalam segala hal mulai timbul."Aku gak suka ya kamu dipelototin orang terus, rasanya ingin kujotos aja tuh mata mereka satu-satu," gerutu Marcel."Orang ya suka-suka merekalah. Lagian itu hak mereka mau dipake melototin apa tuh mata. Emangnya kamu terima jika ada orang yang mengkritik tatapan matamu?" tanya Zanna merasa heran terhadap Marcel."Masalahnya aku gak rela, Za. yang bol