Share

Bab 4

Aku memberengut. Suasana hatiku masih kacau sejak Dito berpamitan agar aku tidak perlu menunggunya datang, aku benar-benar khawatir dia tidak kembali untuk menemuiku lagi. 

Aku termenung sambil mengingat masa-masa indah dan pahit bersamanya dengan sedikit penyesalan. Apalagi setelah membayangkan perbedaan antara aku dan dia, dan semua stigma kurang ajar yang aku lakukan, aku yakin Bu Susanti sedang memarahi Dito sekarang. Menjelek-jelekkan aku dan meminta Dito meninggalkan ku. 

Kini, melihat nasibku yang akan terjadi di kemudian hari, semua terasa jauh lebih buruk.

"Cemberut aja, Ann! Kenapa, lo?" Cary, teman dari kampung menatapku sambil terheran-heran.

Aku mencebik. "Aku sudah bilang sama ibunya Dito kalau anaknya sudah kawin sama aku, Car!"

Cary mengumpat seraya menyilangkan jari telunjuknya di kening. Menganggap ku sinting.

"Setan yang nyamber lo kayaknya setan gila, Ann! Punya keberanian dari mana lo sampe bilang begitu sama ibunya Dito! Kalau dia jantungan gimana, lo juga yang nyesel." ungkap Cary sambil tersenyum miris. 

Aku membungkuk untuk membetulkan letak bantal dan guling sebelum duduk di tepi kasur display.

"Aku sudah capek begini, Car! Mau sampai kapan. Nikah belum tapi udah jadi calon janda. Capek aku." keluhku seraya merebahkan diri.

Cary menendang kakiku dengan kasar sampai aku berjingkat kaget.

"Sialan, sakit tau!" sungutku kesal.

"Jangan asal ngomong! Jadi janda beneran kapok, lo!" balas Cary galak, ia menarik tanganku dengan refleks. "Lo bisa dimarahin bos kalau tidur-tiduran di sini, gila!" cibirnya. 

"Sialan, Cary. Stop ngomong aku gila!" Aku sedikit berteriak. 

Cary menjentikkan jarinya di keningku. "Makanya kalau ngomong di jaga!" ucapnya memperingati.

Aku mengeretakkan kakiku dilantai dengan kesal. Sungguh, dunia hari ibu begitu tak peduli dengan kondisiku.

"Aku bakal ralat doaku, aku mau nikah sama Dito! Tapi nikah tanpa restu itu enak-enak gak plong, you know-lah!" kataku sambil menyengir.

Cary terbahak, ia bersimpati kepadaku dengan membisikkan kata-kata yang membuatku tercengang. 

"Restu ditolak dukun bertindak!" 

***

Aku terus mengingat bisikan gaib yang sedari memenuhi otakku. Iming-iming restu yang di janjikan seorang dukun pasti menggiurkan. Bu Susanti pasti bertekuk lutut padaku, tapi aku... Butuh cinta banget atau kelihatan emang sudah gila hanya karena ditolak oleh calon mertua dukun bertindak. Hmm...

"Masa iya harus ke dukun! Gak level banget." batinku.

Aku berjalan menuju halte busway sepulang dari tempat kerja. Sepanjang bus berjalan, aku hanya memikirkan Dito dan ibunya. 

Kira-kira apa yang terjadi di rumahnya? Perang dunia lokal? Aku menggeleng kuat-kuat. Pasti lebih dari itu. Rumahnya di penuhi teriakan, pecahan jambangan kristal dan seruan tidak suka.

Bus berhenti di halte yang tak jauh dari indekost yang Dito sewakan untukku. Aku mempercepat langkahku, namun ketika aku membuka pintu gerbang, aku ternganga begitu melihat barang-barangku berserakan di halaman indekost.

Aku celingukan dengan keadaan bingung sekaligus panik. Apa mungkin Bu Susanti? Aku berlari kecil menuju pos satpam. Pak Anton, sekuriti itu pasti tahu.

"Pak! Pak!" Aku berteriak, melongok keluar-masuk ke dalam ruangan sempit ini. Tidak ada siapapun, tapi ada monitor yang menampilkan rekaman cctv dari segala penjuru indokost ini.

Aku mencoba mengotak-atik rekaman hari ini. Dengan mulut ternganga aku beringsut mundur dengan lutut yang gemetar. 

"Mbak Anna!" 

Aku menoleh secepat. Wajahku merah padam menahan amarah. Aku sungguh tak percaya jika Bu Susanti yang melakukan ini, mengobrak-abrik isi kamarku dan membuatnya hancur lebur. Apa segitu buruknya aku di matanya, dan beliau sangat membenciku?

"Apa Dito tadi juga ke sini, Pak?" tanyaku dengan hati yang di remas-remas. Aku sakit hati. 

Pak Anton menggeleng perlahan. Sekilas ada penyesalan terlihat dari air wajahnya. Aku mengusap wajahku, jelas, Pak Anton, pria tua ini tidak bisa membuat perlawanan. Apalagi dengan jelas, ia menerima uang suap sebelum Bu Susanti menyuruh orang suruhannya mengeluarkan barang-barangku.  

"Mbak Anna di usir dari indekost ini karena pemiliknya sudah tahu Mbak sering membawa laki-laki tidur disini." akunya.

"Tapi aku sudah bayar lunas, Pak!---lebih tepatnya Dito yang bayar. Lagian kos ini bebas. Bukan aku saja yang bawa laki-laki nginap disini!" ujarku dengan geram. Aku menghirup napas dalam-dalam sebelum membuangnya dengan kentara. 

Pak Anton menunduk, tidak punya kuasa. Ia menyingkir saat aku menendang pintu sebelum keluar dari pos satpam. Ku dekati barang-barang yang bisa aku bawa pergi.

Aku memandang indekost ini untuk terakhir kali. Dugaan ku benar marabahaya itu datang. 

Tapi kadang-kadang caraku bereaksi terhadap sesuatu yang tidak terduga sepenuhnya bergantung pada hari yang baru aku jalani. Aku termenung di pinggir jalan, di dekat halte busway. Aku tidak punya tujuan sore ini, karena hari ini bukan hari yang baik. Aku masih linglung dan tak habis pikir kenapa Dito tidak melakukan percegahan saat Bu Susanti ingin menghancurkan kamar kost ku. Bahkan untuk menghubungiku hari ini saja dia tidak bisa. Dito seolah hilang dan lupa, bahwa aku butuh beberapa alasan kecil untuk tetap kuat dan menunggunya. Atau Dito juga tidak tahu dengan tindakan ibunya hari ini? 

Aku menggeram frustasi. "Dit, kamu dimana?"

Comments (6)
goodnovel comment avatar
Yuni Riana
Dito gak bisa melawan Ibunya.
goodnovel comment avatar
Herlina Maharani
habis manis sepah di buang,, hukum alam wes,, perempuan yg ahirnya jd korban.. miris banget
goodnovel comment avatar
Nia Kurniawati
uhhhh jahat nya mama ditto
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status