Aku memberengut. Suasana hatiku masih kacau sejak Dito berpamitan agar aku tidak perlu menunggunya datang, aku benar-benar khawatir dia tidak kembali untuk menemuiku lagi.
Aku termenung sambil mengingat masa-masa indah dan pahit bersamanya dengan sedikit penyesalan. Apalagi setelah membayangkan perbedaan antara aku dan dia, dan semua stigma kurang ajar yang aku lakukan, aku yakin Bu Susanti sedang memarahi Dito sekarang. Menjelek-jelekkan aku dan meminta Dito meninggalkan ku.
Kini, melihat nasibku yang akan terjadi di kemudian hari, semua terasa jauh lebih buruk.
"Cemberut aja, Ann! Kenapa, lo?" Cary, teman dari kampung menatapku sambil terheran-heran.
Aku mencebik. "Aku sudah bilang sama ibunya Dito kalau anaknya sudah kawin sama aku, Car!"
Cary mengumpat seraya menyilangkan jari telunjuknya di kening. Menganggap ku sinting.
"Setan yang nyamber lo kayaknya setan gila, Ann! Punya keberanian dari mana lo sampe bilang begitu sama ibunya Dito! Kalau dia jantungan gimana, lo juga yang nyesel." ungkap Cary sambil tersenyum miris.
Aku membungkuk untuk membetulkan letak bantal dan guling sebelum duduk di tepi kasur display.
"Aku sudah capek begini, Car! Mau sampai kapan. Nikah belum tapi udah jadi calon janda. Capek aku." keluhku seraya merebahkan diri.
Cary menendang kakiku dengan kasar sampai aku berjingkat kaget.
"Sialan, sakit tau!" sungutku kesal.
"Jangan asal ngomong! Jadi janda beneran kapok, lo!" balas Cary galak, ia menarik tanganku dengan refleks. "Lo bisa dimarahin bos kalau tidur-tiduran di sini, gila!" cibirnya.
"Sialan, Cary. Stop ngomong aku gila!" Aku sedikit berteriak.
Cary menjentikkan jarinya di keningku. "Makanya kalau ngomong di jaga!" ucapnya memperingati.
Aku mengeretakkan kakiku dilantai dengan kesal. Sungguh, dunia hari ibu begitu tak peduli dengan kondisiku.
"Aku bakal ralat doaku, aku mau nikah sama Dito! Tapi nikah tanpa restu itu enak-enak gak plong, you know-lah!" kataku sambil menyengir.
Cary terbahak, ia bersimpati kepadaku dengan membisikkan kata-kata yang membuatku tercengang.
"Restu ditolak dukun bertindak!"
***
Aku terus mengingat bisikan gaib yang sedari memenuhi otakku. Iming-iming restu yang di janjikan seorang dukun pasti menggiurkan. Bu Susanti pasti bertekuk lutut padaku, tapi aku... Butuh cinta banget atau kelihatan emang sudah gila hanya karena ditolak oleh calon mertua dukun bertindak. Hmm...
"Masa iya harus ke dukun! Gak level banget." batinku.
Aku berjalan menuju halte busway sepulang dari tempat kerja. Sepanjang bus berjalan, aku hanya memikirkan Dito dan ibunya.
Kira-kira apa yang terjadi di rumahnya? Perang dunia lokal? Aku menggeleng kuat-kuat. Pasti lebih dari itu. Rumahnya di penuhi teriakan, pecahan jambangan kristal dan seruan tidak suka.
Bus berhenti di halte yang tak jauh dari indekost yang Dito sewakan untukku. Aku mempercepat langkahku, namun ketika aku membuka pintu gerbang, aku ternganga begitu melihat barang-barangku berserakan di halaman indekost.
Aku celingukan dengan keadaan bingung sekaligus panik. Apa mungkin Bu Susanti? Aku berlari kecil menuju pos satpam. Pak Anton, sekuriti itu pasti tahu.
"Pak! Pak!" Aku berteriak, melongok keluar-masuk ke dalam ruangan sempit ini. Tidak ada siapapun, tapi ada monitor yang menampilkan rekaman cctv dari segala penjuru indokost ini.
Aku mencoba mengotak-atik rekaman hari ini. Dengan mulut ternganga aku beringsut mundur dengan lutut yang gemetar.
"Mbak Anna!"
Aku menoleh secepat. Wajahku merah padam menahan amarah. Aku sungguh tak percaya jika Bu Susanti yang melakukan ini, mengobrak-abrik isi kamarku dan membuatnya hancur lebur. Apa segitu buruknya aku di matanya, dan beliau sangat membenciku?
"Apa Dito tadi juga ke sini, Pak?" tanyaku dengan hati yang di remas-remas. Aku sakit hati.
Pak Anton menggeleng perlahan. Sekilas ada penyesalan terlihat dari air wajahnya. Aku mengusap wajahku, jelas, Pak Anton, pria tua ini tidak bisa membuat perlawanan. Apalagi dengan jelas, ia menerima uang suap sebelum Bu Susanti menyuruh orang suruhannya mengeluarkan barang-barangku.
"Mbak Anna di usir dari indekost ini karena pemiliknya sudah tahu Mbak sering membawa laki-laki tidur disini." akunya.
"Tapi aku sudah bayar lunas, Pak!---lebih tepatnya Dito yang bayar. Lagian kos ini bebas. Bukan aku saja yang bawa laki-laki nginap disini!" ujarku dengan geram. Aku menghirup napas dalam-dalam sebelum membuangnya dengan kentara.
Pak Anton menunduk, tidak punya kuasa. Ia menyingkir saat aku menendang pintu sebelum keluar dari pos satpam. Ku dekati barang-barang yang bisa aku bawa pergi.
Aku memandang indekost ini untuk terakhir kali. Dugaan ku benar marabahaya itu datang.
Tapi kadang-kadang caraku bereaksi terhadap sesuatu yang tidak terduga sepenuhnya bergantung pada hari yang baru aku jalani. Aku termenung di pinggir jalan, di dekat halte busway. Aku tidak punya tujuan sore ini, karena hari ini bukan hari yang baik. Aku masih linglung dan tak habis pikir kenapa Dito tidak melakukan percegahan saat Bu Susanti ingin menghancurkan kamar kost ku. Bahkan untuk menghubungiku hari ini saja dia tidak bisa. Dito seolah hilang dan lupa, bahwa aku butuh beberapa alasan kecil untuk tetap kuat dan menunggunya. Atau Dito juga tidak tahu dengan tindakan ibunya hari ini?
Aku menggeram frustasi. "Dit, kamu dimana?"
Beberapa menit yang terjadi dalam hidup saya, dalam keadaan terengah-engah Anna mencengkram rambut belakang saya dengan keras. "Kayaknya aku mau melahirkan sekarang mas, kayaknya aku..." Wajahnya mulai mengeras, kakinya mulai terbuka dan saya mendadak pontang-panting dalam hati ingin sekali memintanya lebih lama bertahan lama dalam perjalanan. "Bagaimana pak?" sahut Johan."Usahakan lebih cepat, Han! Jika di tilang polisi tidak masalah. Saya lebih takut jika anak saya lahir di dalam mobil dan di jalan raya, dia akan menjadi pembalap!"Johan tidak menjawab sebab ia langsung menghidupkan lampu hazard di tengah jalan dan membunyikan klakson mobil berulang kali. Di belakang, mobil yang membuntuti kami ikut menghidupkan lampu hazard—lampu darurat—, tak ayal kejadian itu membuat beberapa pengguna jalan lain melihat ke arah mobil kami di tengah kemacetan."Istri saya mau melahirkan, tolong beri jalan!" teriak saya dari jendela mobil. "Tolong bapak, ibu, kakak... Anna sudah bukaan lima–aaaw
"Honeymoon, are you sure?" omel Anna sembari berkacak pinggang. Saya mengangguk sambil merapatkan jaket, lama-lama dingin ternyata."Han, tutup semua pintu dan pergilah bersama kuncinya!""Whyyyyy...." teriak Anna dengan panik, "Mas, kamu makin lama malah makin mirip penjahat ya. Han, Han. Jangan..." Anna mendekap tubuh Johan dengan spontan. "Han, delapan tahun kita berusaha menjadi partner kerja dan keluarga yang baik. Tolong dong kali ini aja kamu membantah bos kita! Gak bisa apa sedikit aja membangkang." rengek Anna dengan lucu.Johan menatap saya dengan takut-takut. "Maaf bapak, ini bukan salah saya." katanya sambil berusaha melepas tangan Anna yang tetap kekeh menahannya di dapur.Saya beranjak sembari mengulum senyum. "Lepaskan Johan, Anna. Ada saya yang bisa kamu peluk seperti itu. Jangan dia, dia tidak akan tergoda dengan omelanmu apalagi rayuanmu!" kata saya mengingatkan.Saya hendak meraih rambutnya yang panjang dan pirang keemasan, namun secepat yang saya duga, Anna mengh
Desember, Musim dingin yang sangat menyejukkan kulit, hati, jiwa tapi tidak dengan isi kepala.Kami sekeluarga bersama rekan seperjuangan meninggalkan musim hujan bulan Desember di tanah air demi menuruti Alinka pergi ke London untuk melihat salju turun dan bisa menjadi keluarga ‘dingin’ dengan kualitas sekian. Saya termenung di depan pemanas ruangan, mendengar obrolan anak muda di belakang saya yang sedang seru-serunya bermain kartu. Naufal membawa pacarnya yang berambut cokelat tua panjang, anak pejabat negara yang kapan hari bapaknya menemui saya untuk mengajak kolaborasi bisnis dan mencocokkan anak kami berdua. Saya tidak tahu jodoh Naufal nantinya siapa, jadi saya cuma bisa senyum-senyum sambil mengambil tawaran pertama saja. Kolaborasi bisnis biar enakan hidup saya, urusan itu kan bisa di atur, kalau jodoh anak saya tidak.Kenzo membawa sahabatnya, laki-laki, tukang nge-game. Saya heran, dulu saya tidak nge-game, tapi anak saya yang satu itu sangat menyukai permainan. Entah y
Tina memasang muka datarnya setelah bunyi bell berdentang berkali-kali. Parasnya yang semakin berusia dan jompo, dia menyebutkan begitu karena tidak bisa lagi memakai hak tinggi menatap saya dengan wajah jengkel."Masuk aja kali..." ucapnya dengan suara malas di mic rapat yang tertempel di meja kerja, suara itu akan terdengar di louds speaker di depan ruangan saya. Seseorang di luar saya yang pasti adalah keluargaku—bel itu bel khusus private family—mendorong pintu. Seorang wanita dengan anggun melangkah sembari menggandeng tangan anak laki-lakinya yang berekspresi cemberut. Saya menaruh pulpen di meja seraya beranjak. Menyambut keduanya dengan pelukan. "Sebelum kita makan siang, ada yang perlu kamu urus, mas."Apa?Anna merogoh tas kerjanya yang besar, mobil derek mainan Alinskie rusak, dereknya copot dan gigi Sir Tow Mater nama karakter di film kartun itu rompel. Saya menerima mainan yang nyaris pasti akan menjadi rosokan ini dengan wajah ternganga. "Harus aku apakan ini sayang?
"London, papa. London, aku ingin ke sana. Aku ingin menikmati musim dingin di sana, aku ingin main salju seperti Elsa dan Anna, papa." seru Alinka sembari menarik-narik ujung jas kerja saya di depan lemari kacanya berisi mainannya dan Alinskie. Dua bayi saya yang kami bertiga perjuangkan dan tumbuhkan dengan suka duka cita atas harapan yang besar di rumah ini sudah tumbuh menjadi anak sekolah dasar berusia delapan tahun."Ayolah papa jawab, aku maksa ini." desak Alinka keras kepala. Saya mendesah, batal berangkat ke kantor dengan tertib dan memilih berlutut untuk melihat wajah manis, pipi putih dan tidak suka memakai rok atau dress, dia benci katanya tidak keren seperti kakak-kakaknya juga ampuh memberi contoh baju keren cowok ganteng ibu kota."Anna dan Elsa bukan di London sayang, tapi di Norwegia dan Irlandia. Kita tidak bisa ke sana, kamu belum libur sekolah." kata saya menasihati, tapi tepat seperti yang saya duga ini bukan jawaban yang tepat. Mawar berduriku menjerit, memanggi
Saya merenung, meyakini diri sekuat mungkin dengan apa terjadi di dalam sana bahwa Anna memang berbicara dari hati ke hati kepada Farah, mengungkap segalanya yang terpendam dan meyakinkan Farah jika ia mampu menjadi yang terakhir, mengalah dan menjadi ibu sambung yang mumpuni. Saya yakin itu, saya yakin karena kerap kali Anna berkata bahwa ia tidak ingin mengambil lebih dari haknya. Walau sejujurnya dengan amat sangat, banyak ragu yang menyapa silih berganti di dalam dada saya. Saya kalut. Bagaimana jika Farah tiada? Tapi logika berkata, jangan Tuhan, jangan dulu. Jangan sekarang, jangan Tuhan. Dia harus kembali padaku, harus kembali bagaimanapun kondisinya. Saya harus memperbaiki kesalahan ini, saya harus memperbaikinya dulu dan akan saya serahkan perhatian lebih.Saya membenturkan kepala belakang di tembok berkali-kali dengan frustrasi seraya mengusap wajah dan tertunduk.•••Derap langkah sepatu yang tergesa-gesa dari ujung koridor yang senyap membuat saya beranjak dan tertegun me