Share

Bab 9

Novel Desire ternyata menimbulkan rasa penasaran dari tim JaffFilm yang ikut meeting hari ini. Apalagi pak Ardi yang sudah membacanya menjadi brainstorming untuk seluruh anggota tim JaffFilm. 

Beliau dengan senang membagikan novel yang sudah di cetak beberapa eksemplar dari penerbit kepercayaannya untuk dibagikan kepada sejumlah anggota tim JaffFilm, khususnya sutradara dan asisten projects leader. 

Asisten projects leader itu adalah orang yang akan menemaniku nanti selama proses adaptasi. Namanya Coki, bertubuh jangkung, kumis tipis, dan hidung tak mancung. Rambutnya ikal dan tak beraturan itu menarik bagiku, terlihat rock n roll dengan jaket kulit dan celana jeans jadul sobek-sobek. Terlihat tidak berkelas untuk berada di ruang mahal seperti ini, tapi itulah seni. Menjadi berbeda dari kebanyakan orang bukan suatu masalah besar, asal percaya diri. 

Kami berkenalan sebelum meeting dimulai, aku seperti menemukan teman baru disini.

Pak Ardi, bos dari menara Jaff Corporations ini bahkan dengan gamblang memuji novel ini akan menjadi booming karena konflik yang terjadi dalam cerita ini relate dengan kehidupan sehari-hari. 

Sejenak aku bingung mencari kata yang pas untuk dijadikan alasan kenapa cerita ini aku buat. 

Aku menatap Pak Ardi, beliau tersenyum hangat. "Untuk mendapatkan impresi memang perlu membiasakan diri dengan kami, agar mengenal kebiasaan-kebiasaan dalam bisnis ini, tentunya untuk bisnis perfilman. Bukan soal bisnis saja, tapi untuk mengakrabkan diri."

Aku mengangguk-angguk. Aku mengerti, karena sejarah mengatakan tak kenal maka tak sayang.

Aku merindukan Dito, Ya! Dua tahun menjalani percintaan dengannya membuatku paham ada masanya rasa jengah itu hadir, namun ada saatnya rasa itu meletup-letup bagai kembang api dalam malam pergantian tahun baru. Terlihat meriah dan dipenuhi suka cita, dan slalu ada harapan di tahun baru. Itulah yang aku harapkan setiap bulan bersama Dito dulu, harapan indah dari sang Pencipta agar Bu Susanti melunakkan hati untuk menerimaku.

Aku tersenyum lebar. "Ini hanya fiksi, maklum imajinasi saya terlalu tinggi." dustaku sambil menghembuskan nafas dengan cepat. 

"Mau reading sekarang? Kok jadi penasaran gue!" selorohnya sambil membuka novel yang tergeletak di atas meja. 

"Lebih baik dibaca saat sendiri, kamu pasti tidak akan nyaman, Cok! Ini terlalu naif buat kamu." sela Pak Ardi yang membuatku nyengir. 

'sepertinya itu pengalaman pribadi pak ardi, gila sih, habis baca langsung minta ditiduri istrinya atau justru menjadi pancingan nafsu birahinya. ckckck.'

Aku menundukkan kepala, jangan sampai mereka mengimajinasikan apa yang mereka baca dengan membayangkan wajahku. Bahaya. 

"Saya harap hubungan personal antara kamu dan Anne bisa dekat, Cok! Biar chemistry dalam cerita ini dapat. Perbaiki apa yang kurang dan selanjutnya kamu paham apa yang saya maksud!" sahut pak Ardi menyela pembicaraan mereka kaum seniman yang sedang membicarakan projects adaptasi ini.

Coki berdehem, aku mengangguk pelan. Aku butuh kopi agar mataku betah terbuka dan Coki dengan peka mengajakku ke pantry.

"Meeting berakhir, Pak?" tanyanya diambang pintu sebelum keluar dari ruang meeting. 

Pak Ardi menggeleng. "Hanya sepuluh menit untuk bikin kopi, setelahnya kembali lagi ke sini!" 

Namanya juga pimpinan, nada bicaranya slalu memerintah.

"Okelah, ayo... Ann!" 

Aku mengangguk ramah kepada Pak Ardi sebelum membuntuti Coki. Aku mengatur nafas sambil ku lihat-lihat interior dalam menara Jaff Corporations ini. Mewah sekali, bahkan tidak ada yang cacat fisik dari semua ornamen yang di pajang di dinding atau koridornya. 

"Cok..." panggilku. 

Coki menelengkan kepalanya, ia mengangkat dagunya. "Apa? Mau sok akrab?" selorohnya sambil tersenyum miring.

"Aku masih baru dalam hal-hal ini." kataku beberapa saat kemudian, setelah kami masuk ke dalam pantry. 

"Terus?" Coki mengambil gelas kertas kopi seraya menuangkan bubuk kopi hitam kedalamnya tanpa tambahan gula. Aku mengernyit, betapa pahit rasanya pasti. 

"Aku pakai creamer kalau ada, Cok!" pintaku saat ia juga menuangkan bubuk kopi ke gelas satunya. Coki berdehem.

Mungkin karena baru kenal satu jam lalu, kecanggungan masih menguat di antara kami. 

"Nih, suka gak suka diminum untuk menghargai ku!" 

Aku mengambil gelas kopi yang ia angsurkan untukku. "Shit!" umpatku sambil buru-buru menaruh gelas kertas tadi ke atas meja. "Panas banget, Cok! Kamu mau bikin lidahku melepuh." Aku mengibas-ibaskan tanganku.

"Lagian kenapa gak pakai cangkir aja sih!" 

Coki terbahak-bahak mendengarku menggerutu kesal. "Lagian, kopi mah harus diseduh pakai air panas, biar nikmat!" ucapnya santai.

Aku tetap mendesis jengkel dan menarik gelas kopinya sebelum ia minum. "Lidahmu bukan lidah besi kan? So, hati-hati, kalau mau perlu diberi asuransi dulu." selorohku yang membuatnya tersenyum. 

Coki bersandar di dinding, tangannya bersedekap sambil memandangku. 

"Apa sih? Jangan menelitiku seperti itu, Cok! Gak banget." cibirku sambil membetulkan gaun, aku tidak nyaman dipandangi lawan jenis setelah Dito pergi, mereka seolah menelanjangiku dari sorot matanya dan tiga tahun terakhir, aku memang menutup diriku sendiri.

Coki mengumpat lirih. "Gue sedang mencoba memikirkan siapa lu sebenarnya!" 

Aku meraba wajahku. "Apa aku terlihat menggunakan topeng?" tanyaku sambil meraba-raba wajahku sendiri. 

Coki berdecak kemudian, ia mengambil kopinya dan menyesapnya pelan tanpa mengalihkan pandangannya padaku. 

"Ntar gue antar pulang, biar enak kalau mau reading bareng atau revisi naskah."

Kepalaku refleks menggeleng. "Aku masih ada janji dengan pak Ardi untuk lihat-lihat apartemen di sekitar sini.

Coki mendekatiku dengan perlahan, aku mulai sigap saat ia membungkukkan badannya. "Hati-hati..." Aku mendelikkan mata, Coki tersenyum lebar seraya berjalan keluar dari pantry sambil bersiul memanggilku. 

Hati-hati? Untuk apa? Aku menyaut gelas kopi yang Coki buat. Seketika mataku melebar, kopi buatannya enak banget. 

Di dalam ruang meeting, pak Ardi dan tim JaffFilm ternyata masih disini, penampakan makanan yang tertata rapi diatas meja membuat liur membasahi tenggorokanku. 

"Kemarilah, Anne. Makan siang dulu sebelum kerja lagi! Jangan sampai kerja, kerja, kerja lalu tipes. Tidak lucu kan!" gurau pak Ardi, ia bahkan menepuk kursi kosong disampingnya. 

Aku menatap Coki sekilas sebelum mendudukkan diriku di kursi itu. Pernyataannya tadi membuatku penasaran dengan sosok pak Ardi yang sebenarnya. Apakah pak Ardi juga memakai topeng untuk menutupi jati dirinya? 

Aku tambah kikuk duduk disamping pak Ardi yang tetap tenang menyantap makan siangnya.

"Jangan malu-malu, Anne! Makanlah yang banyak."

Huft... Coki, Coki.... Lagian kenapa tadi harus ke pantry sih, kalau hanya sekali perintah semua makanan akan tersaji disini.

Komen (9)
goodnovel comment avatar
Dian Susantie
pak Ardi.. pak Ardi... bikin ketar ketir ini hati.. jgn2 yg ketemu di lift ama Anna itu istri pak Ardi...
goodnovel comment avatar
Lina Maryani
Anna jgn terlalu lemah...
goodnovel comment avatar
Yuni Riana
Pak Ardi ini sosok yang mateng dan berkharishma
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status