Share

Bab 9

Author: Skavivi
last update Last Updated: 2021-12-09 18:47:55

Novel Desire ternyata menimbulkan rasa penasaran dari tim JaffFilm yang ikut meeting hari ini. Apalagi pak Ardi yang sudah membacanya menjadi brainstorming untuk seluruh anggota tim JaffFilm. 

Beliau dengan senang membagikan novel yang sudah di cetak beberapa eksemplar dari penerbit kepercayaannya untuk dibagikan kepada sejumlah anggota tim JaffFilm, khususnya sutradara dan asisten projects leader. 

Asisten projects leader itu adalah orang yang akan menemaniku nanti selama proses adaptasi. Namanya Coki, bertubuh jangkung, kumis tipis, dan hidung tak mancung. Rambutnya ikal dan tak beraturan itu menarik bagiku, terlihat rock n roll dengan jaket kulit dan celana jeans jadul sobek-sobek. Terlihat tidak berkelas untuk berada di ruang mahal seperti ini, tapi itulah seni. Menjadi berbeda dari kebanyakan orang bukan suatu masalah besar, asal percaya diri. 

Kami berkenalan sebelum meeting dimulai, aku seperti menemukan teman baru disini.

Pak Ardi, bos dari menara Jaff Corporations ini bahkan dengan gamblang memuji novel ini akan menjadi booming karena konflik yang terjadi dalam cerita ini relate dengan kehidupan sehari-hari. 

Sejenak aku bingung mencari kata yang pas untuk dijadikan alasan kenapa cerita ini aku buat. 

Aku menatap Pak Ardi, beliau tersenyum hangat. "Untuk mendapatkan impresi memang perlu membiasakan diri dengan kami, agar mengenal kebiasaan-kebiasaan dalam bisnis ini, tentunya untuk bisnis perfilman. Bukan soal bisnis saja, tapi untuk mengakrabkan diri."

Aku mengangguk-angguk. Aku mengerti, karena sejarah mengatakan tak kenal maka tak sayang.

Aku merindukan Dito, Ya! Dua tahun menjalani percintaan dengannya membuatku paham ada masanya rasa jengah itu hadir, namun ada saatnya rasa itu meletup-letup bagai kembang api dalam malam pergantian tahun baru. Terlihat meriah dan dipenuhi suka cita, dan slalu ada harapan di tahun baru. Itulah yang aku harapkan setiap bulan bersama Dito dulu, harapan indah dari sang Pencipta agar Bu Susanti melunakkan hati untuk menerimaku.

Aku tersenyum lebar. "Ini hanya fiksi, maklum imajinasi saya terlalu tinggi." dustaku sambil menghembuskan nafas dengan cepat. 

"Mau reading sekarang? Kok jadi penasaran gue!" selorohnya sambil membuka novel yang tergeletak di atas meja. 

"Lebih baik dibaca saat sendiri, kamu pasti tidak akan nyaman, Cok! Ini terlalu naif buat kamu." sela Pak Ardi yang membuatku nyengir. 

'sepertinya itu pengalaman pribadi pak ardi, gila sih, habis baca langsung minta ditiduri istrinya atau justru menjadi pancingan nafsu birahinya. ckckck.'

Aku menundukkan kepala, jangan sampai mereka mengimajinasikan apa yang mereka baca dengan membayangkan wajahku. Bahaya. 

"Saya harap hubungan personal antara kamu dan Anne bisa dekat, Cok! Biar chemistry dalam cerita ini dapat. Perbaiki apa yang kurang dan selanjutnya kamu paham apa yang saya maksud!" sahut pak Ardi menyela pembicaraan mereka kaum seniman yang sedang membicarakan projects adaptasi ini.

Coki berdehem, aku mengangguk pelan. Aku butuh kopi agar mataku betah terbuka dan Coki dengan peka mengajakku ke pantry.

"Meeting berakhir, Pak?" tanyanya diambang pintu sebelum keluar dari ruang meeting. 

Pak Ardi menggeleng. "Hanya sepuluh menit untuk bikin kopi, setelahnya kembali lagi ke sini!" 

Namanya juga pimpinan, nada bicaranya slalu memerintah.

"Okelah, ayo... Ann!" 

Aku mengangguk ramah kepada Pak Ardi sebelum membuntuti Coki. Aku mengatur nafas sambil ku lihat-lihat interior dalam menara Jaff Corporations ini. Mewah sekali, bahkan tidak ada yang cacat fisik dari semua ornamen yang di pajang di dinding atau koridornya. 

"Cok..." panggilku. 

Coki menelengkan kepalanya, ia mengangkat dagunya. "Apa? Mau sok akrab?" selorohnya sambil tersenyum miring.

"Aku masih baru dalam hal-hal ini." kataku beberapa saat kemudian, setelah kami masuk ke dalam pantry. 

"Terus?" Coki mengambil gelas kertas kopi seraya menuangkan bubuk kopi hitam kedalamnya tanpa tambahan gula. Aku mengernyit, betapa pahit rasanya pasti. 

"Aku pakai creamer kalau ada, Cok!" pintaku saat ia juga menuangkan bubuk kopi ke gelas satunya. Coki berdehem.

Mungkin karena baru kenal satu jam lalu, kecanggungan masih menguat di antara kami. 

"Nih, suka gak suka diminum untuk menghargai ku!" 

Aku mengambil gelas kopi yang ia angsurkan untukku. "Shit!" umpatku sambil buru-buru menaruh gelas kertas tadi ke atas meja. "Panas banget, Cok! Kamu mau bikin lidahku melepuh." Aku mengibas-ibaskan tanganku.

"Lagian kenapa gak pakai cangkir aja sih!" 

Coki terbahak-bahak mendengarku menggerutu kesal. "Lagian, kopi mah harus diseduh pakai air panas, biar nikmat!" ucapnya santai.

Aku tetap mendesis jengkel dan menarik gelas kopinya sebelum ia minum. "Lidahmu bukan lidah besi kan? So, hati-hati, kalau mau perlu diberi asuransi dulu." selorohku yang membuatnya tersenyum. 

Coki bersandar di dinding, tangannya bersedekap sambil memandangku. 

"Apa sih? Jangan menelitiku seperti itu, Cok! Gak banget." cibirku sambil membetulkan gaun, aku tidak nyaman dipandangi lawan jenis setelah Dito pergi, mereka seolah menelanjangiku dari sorot matanya dan tiga tahun terakhir, aku memang menutup diriku sendiri.

Coki mengumpat lirih. "Gue sedang mencoba memikirkan siapa lu sebenarnya!" 

Aku meraba wajahku. "Apa aku terlihat menggunakan topeng?" tanyaku sambil meraba-raba wajahku sendiri. 

Coki berdecak kemudian, ia mengambil kopinya dan menyesapnya pelan tanpa mengalihkan pandangannya padaku. 

"Ntar gue antar pulang, biar enak kalau mau reading bareng atau revisi naskah."

Kepalaku refleks menggeleng. "Aku masih ada janji dengan pak Ardi untuk lihat-lihat apartemen di sekitar sini.

Coki mendekatiku dengan perlahan, aku mulai sigap saat ia membungkukkan badannya. "Hati-hati..." Aku mendelikkan mata, Coki tersenyum lebar seraya berjalan keluar dari pantry sambil bersiul memanggilku. 

Hati-hati? Untuk apa? Aku menyaut gelas kopi yang Coki buat. Seketika mataku melebar, kopi buatannya enak banget. 

Di dalam ruang meeting, pak Ardi dan tim JaffFilm ternyata masih disini, penampakan makanan yang tertata rapi diatas meja membuat liur membasahi tenggorokanku. 

"Kemarilah, Anne. Makan siang dulu sebelum kerja lagi! Jangan sampai kerja, kerja, kerja lalu tipes. Tidak lucu kan!" gurau pak Ardi, ia bahkan menepuk kursi kosong disampingnya. 

Aku menatap Coki sekilas sebelum mendudukkan diriku di kursi itu. Pernyataannya tadi membuatku penasaran dengan sosok pak Ardi yang sebenarnya. Apakah pak Ardi juga memakai topeng untuk menutupi jati dirinya? 

Aku tambah kikuk duduk disamping pak Ardi yang tetap tenang menyantap makan siangnya.

"Jangan malu-malu, Anne! Makanlah yang banyak."

Huft... Coki, Coki.... Lagian kenapa tadi harus ke pantry sih, kalau hanya sekali perintah semua makanan akan tersaji disini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (9)
goodnovel comment avatar
Dian Susantie
pak Ardi.. pak Ardi... bikin ketar ketir ini hati.. jgn2 yg ketemu di lift ama Anna itu istri pak Ardi...
goodnovel comment avatar
Lina Maryani
Anna jgn terlalu lemah...
goodnovel comment avatar
Yuni Riana
Pak Ardi ini sosok yang mateng dan berkharishma
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dosa Termanisku   Bab 161

    Beberapa menit yang terjadi dalam hidup saya, dalam keadaan terengah-engah Anna mencengkram rambut belakang saya dengan keras. "Kayaknya aku mau melahirkan sekarang mas, kayaknya aku..." Wajahnya mulai mengeras, kakinya mulai terbuka dan saya mendadak pontang-panting dalam hati ingin sekali memintanya lebih lama bertahan lama dalam perjalanan. "Bagaimana pak?" sahut Johan."Usahakan lebih cepat, Han! Jika di tilang polisi tidak masalah. Saya lebih takut jika anak saya lahir di dalam mobil dan di jalan raya, dia akan menjadi pembalap!"Johan tidak menjawab sebab ia langsung menghidupkan lampu hazard di tengah jalan dan membunyikan klakson mobil berulang kali. Di belakang, mobil yang membuntuti kami ikut menghidupkan lampu hazard—lampu darurat—, tak ayal kejadian itu membuat beberapa pengguna jalan lain melihat ke arah mobil kami di tengah kemacetan."Istri saya mau melahirkan, tolong beri jalan!" teriak saya dari jendela mobil. "Tolong bapak, ibu, kakak... Anna sudah bukaan lima–aaaw

  • Dosa Termanisku   Bab 160

    "Honeymoon, are you sure?" omel Anna sembari berkacak pinggang. Saya mengangguk sambil merapatkan jaket, lama-lama dingin ternyata."Han, tutup semua pintu dan pergilah bersama kuncinya!""Whyyyyy...." teriak Anna dengan panik, "Mas, kamu makin lama malah makin mirip penjahat ya. Han, Han. Jangan..." Anna mendekap tubuh Johan dengan spontan. "Han, delapan tahun kita berusaha menjadi partner kerja dan keluarga yang baik. Tolong dong kali ini aja kamu membantah bos kita! Gak bisa apa sedikit aja membangkang." rengek Anna dengan lucu.Johan menatap saya dengan takut-takut. "Maaf bapak, ini bukan salah saya." katanya sambil berusaha melepas tangan Anna yang tetap kekeh menahannya di dapur.Saya beranjak sembari mengulum senyum. "Lepaskan Johan, Anna. Ada saya yang bisa kamu peluk seperti itu. Jangan dia, dia tidak akan tergoda dengan omelanmu apalagi rayuanmu!" kata saya mengingatkan.Saya hendak meraih rambutnya yang panjang dan pirang keemasan, namun secepat yang saya duga, Anna mengh

  • Dosa Termanisku   Bab 159

    Desember, Musim dingin yang sangat menyejukkan kulit, hati, jiwa tapi tidak dengan isi kepala.Kami sekeluarga bersama rekan seperjuangan meninggalkan musim hujan bulan Desember di tanah air demi menuruti Alinka pergi ke London untuk melihat salju turun dan bisa menjadi keluarga ‘dingin’ dengan kualitas sekian. Saya termenung di depan pemanas ruangan, mendengar obrolan anak muda di belakang saya yang sedang seru-serunya bermain kartu. Naufal membawa pacarnya yang berambut cokelat tua panjang, anak pejabat negara yang kapan hari bapaknya menemui saya untuk mengajak kolaborasi bisnis dan mencocokkan anak kami berdua. Saya tidak tahu jodoh Naufal nantinya siapa, jadi saya cuma bisa senyum-senyum sambil mengambil tawaran pertama saja. Kolaborasi bisnis biar enakan hidup saya, urusan itu kan bisa di atur, kalau jodoh anak saya tidak.Kenzo membawa sahabatnya, laki-laki, tukang nge-game. Saya heran, dulu saya tidak nge-game, tapi anak saya yang satu itu sangat menyukai permainan. Entah y

  • Dosa Termanisku   Bab 158

    Tina memasang muka datarnya setelah bunyi bell berdentang berkali-kali. Parasnya yang semakin berusia dan jompo, dia menyebutkan begitu karena tidak bisa lagi memakai hak tinggi menatap saya dengan wajah jengkel."Masuk aja kali..." ucapnya dengan suara malas di mic rapat yang tertempel di meja kerja, suara itu akan terdengar di louds speaker di depan ruangan saya. Seseorang di luar saya yang pasti adalah keluargaku—bel itu bel khusus private family—mendorong pintu. Seorang wanita dengan anggun melangkah sembari menggandeng tangan anak laki-lakinya yang berekspresi cemberut. Saya menaruh pulpen di meja seraya beranjak. Menyambut keduanya dengan pelukan. "Sebelum kita makan siang, ada yang perlu kamu urus, mas."Apa?Anna merogoh tas kerjanya yang besar, mobil derek mainan Alinskie rusak, dereknya copot dan gigi Sir Tow Mater nama karakter di film kartun itu rompel. Saya menerima mainan yang nyaris pasti akan menjadi rosokan ini dengan wajah ternganga. "Harus aku apakan ini sayang?

  • Dosa Termanisku   Bab 157

    "London, papa. London, aku ingin ke sana. Aku ingin menikmati musim dingin di sana, aku ingin main salju seperti Elsa dan Anna, papa." seru Alinka sembari menarik-narik ujung jas kerja saya di depan lemari kacanya berisi mainannya dan Alinskie. Dua bayi saya yang kami bertiga perjuangkan dan tumbuhkan dengan suka duka cita atas harapan yang besar di rumah ini sudah tumbuh menjadi anak sekolah dasar berusia delapan tahun."Ayolah papa jawab, aku maksa ini." desak Alinka keras kepala. Saya mendesah, batal berangkat ke kantor dengan tertib dan memilih berlutut untuk melihat wajah manis, pipi putih dan tidak suka memakai rok atau dress, dia benci katanya tidak keren seperti kakak-kakaknya juga ampuh memberi contoh baju keren cowok ganteng ibu kota."Anna dan Elsa bukan di London sayang, tapi di Norwegia dan Irlandia. Kita tidak bisa ke sana, kamu belum libur sekolah." kata saya menasihati, tapi tepat seperti yang saya duga ini bukan jawaban yang tepat. Mawar berduriku menjerit, memanggi

  • Dosa Termanisku   Bab 156

    Saya merenung, meyakini diri sekuat mungkin dengan apa terjadi di dalam sana bahwa Anna memang berbicara dari hati ke hati kepada Farah, mengungkap segalanya yang terpendam dan meyakinkan Farah jika ia mampu menjadi yang terakhir, mengalah dan menjadi ibu sambung yang mumpuni. Saya yakin itu, saya yakin karena kerap kali Anna berkata bahwa ia tidak ingin mengambil lebih dari haknya. Walau sejujurnya dengan amat sangat, banyak ragu yang menyapa silih berganti di dalam dada saya. Saya kalut. Bagaimana jika Farah tiada? Tapi logika berkata, jangan Tuhan, jangan dulu. Jangan sekarang, jangan Tuhan. Dia harus kembali padaku, harus kembali bagaimanapun kondisinya. Saya harus memperbaiki kesalahan ini, saya harus memperbaikinya dulu dan akan saya serahkan perhatian lebih.Saya membenturkan kepala belakang di tembok berkali-kali dengan frustrasi seraya mengusap wajah dan tertunduk.•••Derap langkah sepatu yang tergesa-gesa dari ujung koridor yang senyap membuat saya beranjak dan tertegun me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status