Batavia perlahan menggeliat dari tidurnya ketika matahari mulai mengintip dari balik cakrawala. Cahaya keemasan membias di atas kanal-kanal yang berliku di antara bangunan-bangunan kolonial. Udara pagi masih segar, belum tercemar debu dan hiruk-pikuk pasar yang sebentar lagi akan memuntahkan riuhnya. Namun, di kediaman keluarga Kusumo, ketenangan itu tidak sejalan dengan pikiran yang bersemayam di kepala Satrio.
Ia berdiri di depan meja kayu di perpustakaan kecil milik ayahnya yang kini sudah tak lagi berpenghuni. Jari-jarinya dengan hati-hati menelusuri punggung buku-buku tua yang tersusun rapi di rak, mencari sesuatu yang mungkin bisa memberinya petunjuk. Ada sejarah yang sengaja dihapus, ada jejak yang ditutupi, dan ia tidak akan bisa tenang sebelum menemukan kebenarannya.
Sejak pertemuannya dengan pria berjubah gelap dan peringatan Nyai Rahayu, Satrio merasa seolah dunia yang selama ini ia kenal mulai runtuh sedikit demi sedikit. Jika Sekar Puspita memang bagian dari keluarga Wiranegara, lalu apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Apakah benar ada pengkhianatan yang dilakukan keluarganya? Dan yang lebih penting, apakah Sekar mendekatinya karena perasaan yang tulus ataukah semua ini adalah bagian dari dendam yang telah lama disusun?
Jemarinya berhenti pada sebuah buku dengan sampul yang telah pudar oleh waktu. Buku itu lebih tebal dari yang lain, dan ketika ia menariknya keluar, selembar kertas tua terjatuh dari sela-selanya. Satrio menunduk, mengambilnya, dan matanya membelalak saat ia membaca tulisan yang tertera di sana.
"Pengkhianatan terhadap Wiranegara akan ditebus dengan darah."
Satrio menelan ludah. Hanya satu kalimat, tetapi cukup untuk membuat bulu kuduknya meremang.
Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara ketukan terdengar dari luar ruangan. Ia buru-buru menyelipkan kertas itu ke dalam saku bajunya sebelum membuka pintu.
"Satrio!" Rangga Adibrata berdiri di ambang pintu dengan senyum lebar khasnya. Ia mengenakan baju lurik dengan selendang batik tersampir di bahunya, tampak seperti seorang saudagar muda yang baru saja kembali dari perjalanan panjang.
"Rangga," Satrio menghela napas, sedikit lega melihat sahabat lamanya. "Kau datang pagi sekali."
Rangga melangkah masuk tanpa diundang, matanya dengan cepat menyapu ruangan, lalu berhenti di wajah Satrio yang tampak lebih tegang dari biasanya. Ia melipat tangannya di dada dan menyandarkan tubuhnya ke rak buku.
"Kau tampak seperti seseorang yang baru saja menggali kuburan leluhurnya," Rangga berkata dengan nada bercanda, tetapi ada ketajaman dalam tatapannya.
Satrio tersenyum tipis, tetapi tidak ada keceriaan di sana. "Mungkin memang begitu."
Rangga menaikkan satu alisnya, tertarik. "Dan kuburan siapa yang kau gali, jika aku boleh tahu?"
Satrio menimbang sejenak. Rangga adalah sahabatnya sejak kecil, seseorang yang selalu ada dalam hidupnya, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang mencegahnya untuk menceritakan segalanya.
"Aku sedang mencoba mencari tahu tentang Sekar Puspita," jawab Satrio akhirnya, matanya mengamati ekspresi sahabatnya.
Alih-alih terkejut atau curiga, Rangga justru tertawa kecil. "Ah, jadi kau benar-benar tertarik padanya. Tak heran ibumu tampak begitu gelisah."
Satrio mengernyit. "Kau sudah mendengar sesuatu?"
Rangga mengangkat bahu. "Batavia penuh dengan telinga yang suka berbisik. Aku hanya mendengar bahwa keluarganya tidak begitu disukai oleh orang-orang lama di kota ini. Tapi jujur saja, Satrio, apakah itu penting?"
Satrio menatap Rangga dengan mata yang tajam. "Jika yang dikatakan orang-orang benar, maka ini bukan sekadar tentang reputasi buruk. Ini tentang sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang mungkin bisa mengubah segalanya."
Rangga menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya tertawa lagi. "Aku mengerti, kau ingin bermain sebagai pencari kebenaran. Baiklah, kalau begitu, aku akan membantumu. Aku punya beberapa kenalan yang mungkin tahu lebih banyak tentang keluarga Puspita."
Satrio mengangguk, tetapi dalam hatinya ia bertanya-tanya. Rangga tampak terlalu cepat menawarkan bantuan, terlalu mudah menerima semua ini. Apakah itu hanya karena ia sahabat yang baik, ataukah ada sesuatu yang tidak dikatakan?
Di sudut lain Batavia, seorang gadis berdiri di depan jendela rumahnya yang sederhana. Citra Anindita menatap ke luar, matanya memandangi jalan yang perlahan mulai dipenuhi pedagang yang menata dagangan mereka. Ia menghela napas, tangannya menggenggam erat sebuah kain kecil yang telah lama ia simpan—sebuah sapu tangan yang pernah diberikan Satrio bertahun-tahun lalu.
Hatinya terasa berat, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa melakukan apa-apa. Citra adalah seorang gadis sederhana, anak dari seorang pedagang beras yang tidak memiliki nama besar di Batavia. Tidak seperti Sekar Puspita, yang kecantikannya diakui oleh banyak orang, atau Nyai Rahayu yang berasal dari keluarga terpandang, Citra hanyalah seseorang yang selalu berada di latar belakang.
Sejak Satrio kembali, ia tahu bahwa perasaannya terhadapnya tidak akan pernah mendapatkan tempat. Ia hanya bisa diam, menyimpan perasaannya dalam hati, seperti seseorang yang menunggu badai datang tetapi tahu bahwa ia tidak akan bisa bertahan saat badai itu tiba.
"Citra?"
Suara ibunya memanggil dari dapur. Ia buru-buru menyeka air mata yang hampir jatuh sebelum berbalik. "Ya, Ibu?"
"Ada yang mencarimu di depan."
Citra mengerutkan kening. Siapa yang akan mencarinya pagi-pagi begini? Dengan langkah ringan, ia berjalan menuju pintu depan, dan saat ia membukanya, matanya membelalak kaget.
Sekar Puspita berdiri di sana dengan senyum tipis di wajahnya.
"Nyai Sekar?" Citra hampir tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Sekar menatapnya dengan sorot mata yang sulit dibaca. "Kita perlu bicara."
Peristiwa Lanjutan: Permainan yang Lebih Besar
Di suatu tempat, di sebuah ruangan gelap yang hanya diterangi lampu minyak yang berkedip, seorang pria duduk di atas kursi kayu dengan mata tajam yang menatap peta Batavia di hadapannya. Tangannya bergerak perlahan, menyusuri titik-titik tertentu yang telah ia tandai sebelumnya.
Pintu terbuka dan seorang lelaki berpakaian hitam masuk, membungkuk sedikit sebelum berbicara. "Rangga Adibrata sudah mulai bergerak. Satrio mulai menggali kebenaran, dan Sekar telah menemui Citra."
Pria di kursi itu mengangguk pelan. "Bagus. Semuanya berjalan sesuai rencana."
Orang yang berdiri di hadapannya menundukkan kepala. "Apa langkah selanjutnya?"
Pria itu tersenyum tipis, kemudian menyentuh satu titik di peta dengan jarinya. "Pastikan mereka semakin terjerat. Saat mereka menyadari kebenaran, semuanya akan sudah terlambat."
Lampu minyak berkelap-kelip, bayangannya menari-nari di dinding, seolah menggambarkan kisah lama yang akan segera terulang kembali.
Citra berdiri di ambang pintu dengan jantung berdegup lebih cepat dari biasanya. Mata Sekar Puspita menatapnya lekat-lekat, seakan menelanjangi segala isi pikirannya. Senyum tipis yang menghiasi wajah wanita itu bukan senyum keramahan, melainkan sebuah undangan ke dalam percakapan yang lebih dari sekadar basa-basi.
“Bolehkah aku masuk?” Sekar bertanya dengan nada lembut, tetapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuat udara di sekitar mereka terasa lebih berat.
Citra menelan ludahnya, mencoba menjaga ekspresinya tetap tenang. Ia melirik ke dalam rumah, memastikan ibunya tidak mendengar percakapan ini. Setelah memastikan keadaan aman, ia mengangguk dan membuka pintu lebih lebar. “Silakan masuk, Nyai Sekar.”
Sekar melangkah masuk dengan anggun. Setiap gerakannya terukur, seakan ia terbiasa berada di tempat-tempat yang bukan miliknya tetapi tetap mampu menguasai suasana. Ia mengambil tempat di bangku kayu dekat jendela, lalu menatap Citra yang masih berdiri di dekat pintu, ragu apakah harus duduk atau tetap berdiri.
"Kau tidak perlu takut, Citra," Sekar memulai, nada suaranya bagai seorang kakak yang hendak menasihati adiknya. "Aku tidak datang untuk mencelakakanmu."
Citra akhirnya mengambil tempat di seberang Sekar, meski tubuhnya masih terasa tegang. Ia tak bisa mengabaikan fakta bahwa Sekar adalah wanita yang kini paling sering disebut-sebut dalam kehidupan Satrio. Ia tak tahu pasti apa maksud kedatangannya, tetapi ia bisa menebak bahwa ini pasti ada hubungannya dengan Satrio.
"Apa yang ingin Nyai bicarakan?" tanya Citra akhirnya, mencoba menjaga suaranya tetap stabil.
Sekar menghela napas pelan sebelum akhirnya menatap langsung ke mata Citra. "Aku ingin tahu seberapa jauh perasaanmu terhadap Satrio."
Pernyataan itu membuat Citra terpaku. Ia bisa merasakan tubuhnya menegang, tetapi ia berusaha keras untuk tidak menunjukkan reaksi berlebihan. "Aku tidak mengerti maksud Nyai," jawabnya, meski jelas itu bukan jawaban yang jujur.
Sekar tersenyum tipis, senyum yang membuat Citra merasa semakin tidak nyaman. "Citra, jangan bermain sandiwara denganku. Aku tahu lebih banyak daripada yang kau kira."
Hati Citra berdebar semakin kencang. Ada sesuatu dalam nada bicara Sekar yang membuatnya merasa kecil, seakan dirinya hanyalah bidak kecil dalam permainan besar yang sedang dimainkan oleh wanita di hadapannya ini.
"Aku tidak tahu apakah Satrio menyadari perasaanmu," Sekar melanjutkan, suaranya kini terdengar lebih lembut, nyaris seperti sebuah bisikan yang penuh dengan ketidakpastian. "Tapi aku ingin kau tahu sesuatu, Citra. Kedekatanku dengannya bukan sesuatu yang bisa kau ganggu. Jika kau peduli padanya, kau sebaiknya menjauh."
Citra merasa tenggorokannya tercekat. Ia bukanlah seseorang yang biasa berbicara dengan nada menantang, tetapi mendengar kata-kata itu, ada sesuatu dalam dirinya yang memberontak. Sekar mungkin memiliki kecantikan dan status sosial yang lebih tinggi, tetapi ia tidak berhak untuk datang dan mengusirnya begitu saja dari kehidupan Satrio.
Dengan segala keberanian yang tersisa, ia mengangkat wajahnya dan menatap Sekar. "Aku tidak pernah berniat untuk mengganggu hubungan kalian," katanya dengan nada yang sedikit lebih tegas. "Tapi aku juga tidak akan mengingkari perasaanku sendiri."
Sekar mengangkat alisnya, tampak sedikit terkejut dengan respons itu. Namun, alih-alih marah atau tersinggung, senyum di wajahnya justru semakin lebar. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, seakan ingin memastikan bahwa Citra benar-benar memahami apa yang akan ia katakan selanjutnya.
"Kau gadis yang baik, Citra," katanya pelan, hampir seperti bisikan. "Tapi dalam permainan ini, orang baik sering kali berakhir sebagai korban."
Citra merasa darahnya berdesir dingin. Ada sesuatu dalam cara Sekar berbicara yang membuatnya merinding, seakan wanita itu bukan sekadar memperingatkan, tetapi juga mengancam.
Sebelum ia sempat merespons, Sekar sudah bangkit dari tempat duduknya. Dengan gerakan anggun, ia merapikan selendang yang melingkari bahunya, lalu menatap Citra sekali lagi. "Aku hanya ingin memastikan bahwa kau tahu batasmu," katanya dengan nada halus. "Jangan terlibat lebih dalam dari yang seharusnya."
Tanpa menunggu jawaban, Sekar melangkah pergi, meninggalkan Citra yang masih terpaku di tempatnya. Pintu depan tertutup pelan, tetapi suara itu terdengar begitu nyaring di telinga Citra. Ia menatap lantai, merasakan gumpalan emosi yang sulit ia jelaskan.
Ia tahu sejak awal bahwa dirinya bukanlah seseorang yang bisa bersaing dengan Sekar Puspita, tetapi kali ini, ia merasa bahwa yang ia hadapi bukan sekadar perempuan cantik dengan kecerdasan tinggi. Ada sesuatu yang lebih gelap di balik tatapan Sekar—sesuatu yang berbahaya.
Citra sadar bahwa ia harus berhati-hati.
Di tempat lain, di dalam sebuah ruangan yang diterangi oleh lampu minyak yang redup, Rangga Adibrata duduk dengan tubuh santai tetapi matanya penuh perhitungan. Di hadapannya, seorang pria dengan wajah keras dan penuh luka berdiri dengan ekspresi serius.
“Bagaimana perkembangannya?” tanya Rangga sambil menuangkan teh ke dalam cangkir porselen.
“Sejauh ini berjalan sesuai rencana,” jawab pria itu dengan suara berat. “Satrio mulai menggali masa lalu, Sekar telah menemui Citra, dan semua orang mulai memainkan perannya.”
Rangga tersenyum tipis, mengangkat cangkirnya sebelum menyesap isinya dengan santai. "Bagus," gumamnya. "Semuanya harus bergerak perlahan, jangan terlalu cepat. Aku tidak ingin Satrio menyadari terlalu awal bahwa ia hanya sebuah bidak."
Pria itu mengangguk. “Apa langkah selanjutnya?”
Rangga meletakkan cangkirnya, lalu menatap pria itu dengan sorot mata dingin. "Pastikan Satrio semakin terjerat dalam keinginannya untuk menemukan kebenaran. Biarkan ia berpikir bahwa ia sedang mengendalikan permainan ini, padahal kita yang mengatur segalanya."
Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap peta Batavia yang terbuka di atas meja. Jari-jarinya bergerak menyusuri garis-garis jalanan dan bangunan-bangunan penting di kota itu, seolah sedang membaca masa depan yang belum terjadi.
“Dan satu lagi,” katanya, suaranya terdengar lebih pelan, tetapi sarat dengan makna. “Jika saatnya tiba, kita pastikan bahwa Satrio harus memilih: cintanya... atau keluarganya.”
Pria di hadapannya menundukkan kepala. "Akan segera kami atur."
Rangga tersenyum kecil, lalu menatap ke arah jendela. Di luar sana, Batavia masih hidup dengan segala hiruk-pikuknya, tetapi ia tahu bahwa tidak lama lagi, kota ini akan menjadi saksi dari permainan yang telah ia siapkan sejak lama.
Di tempat lain, Satrio masih berdiri di perpustakaan keluarganya, menatap gulungan kertas yang ada di tangannya. Ia belum tahu bahwa semakin ia mencari kebenaran, semakin ia akan kehilangan segalanya.
Dan di sudut kota Batavia, Sekar Puspita duduk di balik meja kayu, menulis sebuah surat dengan hati-hati. Di sudut bibirnya, sebuah senyum samar terbentuk.
“Permainan ini baru saja dimulai.”
Langit Batavia berwarna keemasan saat mentari mulai turun ke ufuk barat. Jalanan kota yang semula riuh dengan pedagang dan lalu lalang kusir delman kini mulai lengang, menyisakan sisa-sisa percakapan dari mereka yang masih bertahan. Di sebuah kedai kecil di sudut pasar, Satrio duduk diam dengan tangan terlipat di atas meja kayu tua, matanya menatap kosong ke arah cawan teh yang telah mendingin di hadapannya.
Hari ini ia menghabiskan waktu mencari informasi mengenai keluarga Puspita. Ia telah menemui beberapa orang yang masih mengingat kisah lama tentang mereka, tetapi semakin banyak yang ia dengar, semakin jelas bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Tidak ada yang mau berbicara terang-terangan. Setiap kali ia menyebut nama ayah Sekar, mereka selalu menghindar atau sekadar berbisik bahwa lebih baik ia tidak mencampuri urusan itu.
Pikirannya masih terjebak dalam kebingungan ketika suara langkah kaki yang familier terdengar mendekat. Satrio mengangkat wajahnya dan melihat Rangga Adibrata berdiri di depannya dengan senyum santai, tangan kirinya menggenggam sebotol arak yang masih tersegel.
"Kau tampak seperti seseorang yang baru saja melihat hantu," Rangga berujar sambil menarik kursi di seberang Satrio, duduk dengan nyaman seolah tak ada yang lebih menyenangkan selain mengamati kebingungan sahabatnya.
Satrio menghela napas panjang sebelum bersandar di kursinya. "Aku hanya merasa semakin jauh aku mencari, semakin sedikit jawaban yang kudapat."
Rangga menyandarkan siku di atas meja, menatap sahabatnya dengan mata yang menyelidik. "Kau mencari sesuatu yang orang-orang tak ingin kau temukan, Satrio. Di Batavia, ada rahasia yang lebih baik tetap terkubur."
"Aku tidak bisa hanya menerima itu, Rangga," Satrio berkata dengan nada yang lebih dalam. "Ada sesuatu yang harus aku ketahui tentang Sekar dan keluarganya. Aku merasa ada hal yang disembunyikan dariku."
Rangga menyesap araknya sebelum tersenyum tipis. "Mungkin kau terlalu dalam memikirkannya. Perempuan seindah Sekar? Tentu saja keluarganya memiliki masa lalu yang rumit. Tetapi apakah itu benar-benar penting? Jika kau menyukainya, mengapa kau harus membiarkan masa lalu menghentikanmu?"
Satrio mengernyit, memikirkan kata-kata sahabatnya. Ada benarnya. Ia telah jatuh dalam pesona Sekar sejak pertemuan pertama mereka, tetapi bayang-bayang sejarah keluarganya justru membuatnya semakin ragu. Ia ingin percaya bahwa Sekar bukan bagian dari permainan yang lebih besar, tetapi bisikan-bisikan di sekitarnya mengatakan hal sebaliknya.
"Jika kau ingin jawaban," Rangga melanjutkan, suaranya lebih lembut kali ini, "kau harus mencarinya di tempat yang tepat. Jangan hanya bertanya pada mereka yang takut. Ada orang-orang yang tahu lebih banyak, tetapi mereka tidak akan berbicara kecuali kau membuat mereka percaya bahwa kau memang ingin mengetahui kebenaran."
Satrio menatap Rangga dengan mata penuh selidik. "Dan kau tahu siapa yang bisa membantuku?"
Rangga tersenyum samar sebelum meneguk araknya kembali. "Mungkin. Tapi hati-hati, Satrio. Kadang jawaban yang kau cari justru akan membawamu lebih dekat ke dalam bahaya."
Di rumah sederhana Citra Anindita, gadis itu masih duduk termenung di ambang pintu, matanya menatap jalanan yang mulai gelap. Pertemuannya dengan Sekar Puspita tadi siang masih menghantui pikirannya. Kata-kata Sekar terngiang di telinganya, membentuk lingkaran ketakutan yang tak mudah diabaikan.
Ia tahu dirinya bukan siapa-siapa dibandingkan Sekar. Wanita itu memiliki segalanya—kecantikan, kecerdasan, dan pesona yang mampu memikat siapa saja, termasuk Satrio. Tetapi bukan itu yang membuatnya gelisah. Yang membuatnya takut adalah cara Sekar berbicara, seolah ia telah memastikan jalannya sendiri dan tidak akan membiarkan siapa pun menghalanginya.
Pikirannya terpecah ketika ibunya masuk ke dalam ruangan, membawa nampan berisi teh hangat. "Kau terlihat gelisah, Nak," kata ibunya dengan lembut. "Ada yang mengganggumu?"
Citra menggeleng pelan, berusaha menahan perasaannya. "Tidak, Ibu. Aku hanya lelah."
Ibunya duduk di sampingnya, menatap wajah anaknya yang masih tampak tenggelam dalam pikirannya. "Kau masih memikirkan Satrio?"
Citra terdiam, lalu mengangguk perlahan. Ia tidak bisa berbohong kepada ibunya. Ia telah menyukai Satrio sejak lama, tetapi ia juga tahu bahwa cinta mereka tak pernah memiliki tempat di dunia yang dipenuhi oleh nama-nama besar dan intrik yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya.
"Jika kau memang menyayanginya," suara ibunya lembut, "maka kau harus percaya bahwa takdir akan menuntunmu ke arah yang seharusnya."
Citra menggenggam cangkir tehnya erat-erat, hatinya masih dipenuhi oleh keraguan. Takdir? Apakah takdir benar-benar ada? Ataukah semua ini hanya permainan yang telah lama ditentukan tanpa ia sadari?
Peristiwa Lanjutan: Bayang-Bayang dalam Gelap
Di sebuah ruangan remang di pusat kota Batavia, seseorang duduk di balik meja, matanya menatap peta Batavia yang tergelar di hadapannya. Tangannya dengan hati-hati menyusun catatan-catatan yang berserakan, beberapa di antaranya berisi nama-nama yang telah lama terukir dalam sejarah kota ini.
Pintu ruangan terbuka perlahan, dan seorang pria berjubah hitam masuk tanpa suara. Ia membungkuk sedikit, lalu berbicara dengan nada pelan. "Satrio Kusumo mulai mencari tahu. Dia bertanya-tanya tentang masa lalu keluarga Puspita."
Orang di balik meja tidak langsung menjawab. Ia menelusuri peta dengan jarinya, lalu tersenyum tipis. "Bagus. Biarkan dia terus mencari. Semakin dalam dia menggali, semakin dia akan menemukan bahwa kebenaran tidak selalu seperti yang ia harapkan."
Pria berjubah hitam mengangguk. "Apakah kita harus menghentikannya?"
Orang itu mengangkat wajahnya, matanya menyala dalam cahaya lampu minyak. "Tidak. Kita biarkan dia berjalan ke arah yang kita inginkan. Jika dia berpikir bahwa dia menemukan kebenaran dengan caranya sendiri, itu akan lebih mudah bagi kita."
Pria berjubah hitam membungkuk sekali lagi, lalu menghilang ke dalam kegelapan.
Di atas meja, orang itu mengambil selembar kertas dan mulai menulis sebuah surat. Kata-kata yang tertulis di sana pendek, tetapi cukup untuk mengubah segalanya.
"Pastikan dia bertemu dengan orang yang tepat. Biarkan dia melihat apa yang ingin kita tunjukkan. Dan ketika waktunya tiba… pastikan dia tidak punya pilihan selain memilih."
Ia melipat surat itu, menyegelnya dengan lilin merah, lalu meletakkannya di atas meja.
Permainan ini belum berakhir. Bahkan, baru saja dimulai.
Malam telah menelan Batavia dalam pekatnya. Langit di atas kota tua itu berselimut awan kelabu, menutupi sinar bulan yang seharusnya menerangi jalanan berbatu yang kini sepi. Di sebuah sudut tersembunyi, di luar pasar yang telah lama tutup, seorang pria berkerudung berjalan menyusuri gang sempit. Setiap langkahnya terdengar samar, nyaris tanpa suara, menyatu dengan desir angin yang berembus di antara bangunan tua. Ia membawa sebuah kantong kulit kecil yang sesekali berbunyi pelan, seolah ada sesuatu di dalamnya yang mencoba melepaskan diri.
Di tempat lain, Satrio Kusumo duduk di beranda rumahnya, dikelilingi oleh cahaya lampu minyak yang bergoyang tertiup angin. Ia masih memikirkan kata-kata Rangga, peringatan ibunya, dan semua petunjuk yang ia temukan tentang keluarga Puspita. Ia telah lama merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi malam ini, keyakinannya semakin menguat. Ada sebuah permainan yang sedang berlangsung, dan ia bukanlah pemain utama—ia hanya bidak yang sedang digiring ke arah yang tidak ia pahami.
Ia meraih gulungan kertas yang ia temukan di perpustakaan tadi siang. Kalimat yang tertulis di sana masih terpatri dalam pikirannya, sebuah pesan yang mengancam sekaligus penuh teka-teki. Pengkhianatan terhadap Wiranegara akan ditebus dengan darah. Ia mengepalkan jemarinya, berpikir keras tentang arti kalimat itu. Jika memang ada pengkhianatan yang terjadi di masa lalu, apakah itu berarti keluarganya adalah pihak yang bersalah? Apakah selama ini ia hidup dalam kebohongan yang dirancang untuk melindungi kehormatan keluarganya sendiri?
Langkah kaki terdengar dari halaman, mengalihkan perhatiannya. Ia menoleh dan mendapati sosok Rangga muncul dari kegelapan, wajahnya tetap tenang seperti biasa, tetapi ada sesuatu dalam cara ia berjalan yang membuat Satrio menyadari bahwa sahabatnya membawa kabar penting.
"Aku menemukan sesuatu," Rangga berkata pelan saat ia naik ke beranda dan duduk di seberang Satrio. Ia meletakkan sebuah kantong kulit kecil di atas meja, kemudian membuka talinya dengan perlahan.
Satrio menatap benda yang dikeluarkan Rangga. Sebuah liontin perak yang sudah tua, ukirannya telah memudar tetapi masih jelas berbentuk lambang yang sama dengan yang ia lihat di gulungan kertas tua di perpustakaan. Lambang keluarga Wiranegara.
"Di mana kau menemukannya?" tanya Satrio, suaranya hampir berbisik.
"Seorang pedagang tua di Pecinan memberikannya padaku," jawab Rangga sambil mengamati ekspresi sahabatnya. "Dia bilang ini milik seorang pria yang pernah menjadi bagian dari keluarga Puspita. Dan pria itu… adalah ayah Sekar."
Satrio merasakan gelombang emosi menerjangnya. Jika ini benar, maka ayah Sekar tidak hanya memiliki hubungan dengan keluarga Wiranegara, tetapi juga mungkin memiliki andil dalam pengkhianatan yang disebutkan dalam gulungan kertas itu. Tetapi jika itu masalahnya, mengapa Sekar ada di Batavia? Mengapa ia mendekatinya? Apakah ia benar-benar bagian dari keluarga yang ingin membalas dendam?
"Aku harus bertemu seseorang," ujar Satrio akhirnya, suaranya dipenuhi tekad. "Ada seseorang yang tahu lebih banyak daripada yang kita dapatkan sejauh ini."
"Siapa?" Rangga bertanya, matanya menyipit sedikit.
Satrio menatap sahabatnya, menyadari bahwa ia harus berhati-hati bahkan terhadap orang yang paling ia percaya. Ia tidak yakin sepenuhnya apakah Rangga benar-benar ada di pihaknya atau ada sesuatu yang sedang ia sembunyikan. "Seseorang yang tahu lebih banyak tentang keluarga Puspita dan hubungan mereka dengan keluargaku," jawabnya singkat. "Aku akan menemuinya malam ini."
Rangga terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Baiklah. Tapi aku harap kau sadar, Satrio… semakin dalam kau menggali, semakin besar risikonya."
"Aku sudah tahu," jawab Satrio. "Dan aku tidak akan berhenti sekarang."
Di sebuah rumah mewah di pusat Batavia, Sekar Puspita duduk di balik meja ukiran jati dengan cahaya lilin menerangi wajahnya. Ia baru saja selesai menulis sesuatu, sebuah surat yang harus dikirim kepada seseorang yang telah lama menunggu instruksi darinya. Tangannya bergerak anggun saat ia meneteskan lilin panas ke atas kertas, lalu menekan stempel kecil ke dalamnya.
Seorang pelayan datang menghampiri, membungkuk dengan hormat sebelum mengambil surat itu. "Kirimkan ini ke tempat yang telah kita sepakati," kata Sekar tanpa menoleh.
Pelayan itu mengangguk dan pergi, meninggalkan Sekar dalam kesendiriannya. Ia menatap keluar jendela, ke arah Batavia yang masih berdenyut di bawah gelapnya malam. Senyumnya samar, tetapi matanya menyala dengan sesuatu yang sulit diartikan.
"Satrio Kusumo," gumamnya, suaranya nyaris seperti bisikan. "Jika kau ingin menemukan kebenaran… maka aku akan memastikan bahwa kebenaran itu datang padamu. Tetapi apakah kau siap menerimanya?"
Peristiwa Lanjutan: Jejak di Balik Bayangan
Di sudut kota Batavia yang tersembunyi dari mata orang-orang biasa, seorang pria tua duduk di dalam sebuah kedai yang sudah hampir kosong. Wajahnya penuh kerutan, tetapi matanya masih tajam, seolah setiap peristiwa yang pernah ia lalui terpatri dalam sorotnya.
Pintu kedai terbuka, dan seseorang masuk, wajahnya tertutup oleh bayangan dari lampu minyak yang berkelap-kelip. Satrio melangkah mendekat, lalu menarik kursi di depan pria itu tanpa berbasa-basi.
"Anda tahu sesuatu tentang keluarga Puspita," kata Satrio tanpa membuang waktu. "Saya ingin mendengar kebenaran."
Pria tua itu menatapnya dalam-dalam, lalu tersenyum kecil. "Kebenaran, Raden Satrio? Kau yakin ingin mendengarnya?"
Satrio mengangguk tanpa ragu. "Aku harus tahu. Apa yang sebenarnya terjadi di antara keluargaku dan mereka?"
Pria itu menarik napas dalam, lalu mengelus janggut putihnya. "Dulu, ada seorang pria dari keluarga Kusumo yang berjanji setia kepada keluarga Wiranegara. Ia bersumpah untuk melindungi mereka, tetapi di saat-saat terakhir, ia berbalik arah dan mengkhianati orang yang seharusnya ia lindungi. Pengkhianatan itu berakhir dengan kematian… dan sejak saat itu, dendam itu diwariskan, menunggu waktu yang tepat untuk ditebus."
Satrio merasakan dadanya mengeras. "Siapa pria itu?"
Pria tua itu tersenyum miring, lalu menatapnya tajam. "Leluhurmu, Raden. Darah Kusumo yang kau banggakan… adalah darah pengkhianat."
Satrio terdiam. Kata-kata itu menghantamnya lebih keras daripada pukulan mana pun yang pernah ia terima. Ia telah mencurigai ada sesuatu yang disembunyikan, tetapi mendengar kebenaran itu langsung dari seseorang yang tahu sejarahnya adalah hal lain.
Pria tua itu melanjutkan dengan suara yang lebih dalam, seolah ingin memastikan bahwa setiap kata yang ia ucapkan tertanam dalam benak Satrio. "Dan kini, cicit dari orang yang dikhianati itu telah kembali. Sekar Puspita bukan hanya seorang wanita cantik, Raden. Ia adalah bayangan dari masa lalu yang datang untuk menagih janji yang telah diingkari keluargamu."
Di luar, angin berembus lebih dingin dari sebelumnya. Malam Batavia semakin pekat, tetapi bagi Satrio, kegelapan baru saja dimulai.
Satrio meninggalkan Batavia dengan perasaan kosong, menumpang kapal yang menuju entah ke mana. Ia tak meninggalkan pesan, hanya jejak langkah yang memudar di dermaga. Di dalam biara, Citra tetap di kamarnya, memandang surat tanpa nama yang menyimpan pesan terakhir Satrio—tentang cinta yang tak bisa ditebus dan dosa yang tak bisa dihapus. Mereka berjalan di jalan masing-masing, terpisah oleh dinding, lautan, dan luka yang terlalu dalam untuk sembuh. Namun dalam keheningan, bayangan cinta itu tetap hidup, seperti hantu yang tak pernah benar-benar pergi.Angin malam membawa aroma laut yang samar, bercampur dengan tanah basah sisa hujan sore tadi. Satrio menarik napas dalam, membiarkan udara malam mengisi paru-parunya sebelum perlahan menghembuskannya kembali. Ia mencoba merasakan kekosongan itu, mencoba membiarkan semua perasaan itu larut dalam angin yang membawa dingin ke kulitnya. Tetapi semakin ia berusaha, semakin kuat kenangan itu menyesak di dalam dadanya.Di dalam biara, Citra ber
Di malam penuh kabut Batavia, Satrio berdiri di luar gereja, menatap jendela kecil yang menyala samar. Ia hampir mengetuk pintu, hampir memanggil nama Citra, tetapi keraguan dan rasa bersalah menahannya. Di dalam, Citra membuka pintu, merasakan kehadirannya yang hanya tersisa dalam bayangan. Langkah mereka hanya dipisahkan dinding batu dan jarak beberapa langkah, namun mereka seperti hidup di dunia yang berbeda, tak lagi bisa saling menjangkau.Citra membuka pintu dengan hati-hati, tetapi saat matanya menyapu halaman depan, yang tersisa hanyalah jejak kaki di atas tanah yang basah. Tidak ada siapa pun di sana, hanya bayangan malam yang bergerak mengikuti tiupan angin. Ia berdiri di ambang pintu, merasakan sesuatu di dadanya yang sulit dijelaskan. Ia tahu seseorang telah ada di sana. Ia tahu siapa yang datang, tetapi tidak menemuinya. Ia menundukkan kepalanya, menarik napas dalam-dalam, lalu perlahan menutup pintu.Satrio, yang telah berjalan menjauh dari gereja, berhenti sejenak sebel
Citra mencoba menjalani hidup baru di balik dinding biara yang sunyi. Namun, doa-doa panjang dan langkah-langkah dalam lorong-lorong batu tidak pernah mampu menghapus bayangan Satrio dari pikirannya. Sementara itu, Satrio pun terjebak dalam kesepian, menyadari bahwa cinta mereka telah terkubur oleh pilihan-pilihan pahit. Meski terpisah jarak dan tembok, mereka masih terhubung oleh rasa yang tak terucapkan, masing-masing membawa luka yang menganga.Denting lonceng gereja tua bergema di atas langit Batavia yang mendung. Suaranya menggema di lorong-lorong sempit dan jalanan berbatu, menandakan waktu doa telah tiba. Di balik dinding tinggi biara, seorang perempuan berdiri dalam keheningan, mengenakan jubah putih sederhana yang kini menjadi satu-satunya identitasnya. Citra menatap ke arah jendela kecil di atas altar, tempat cahaya matahari menyusup melalui kaca berwarna, membentuk siluet samar di lantai batu. Ia telah menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada dunia yang berbeda, dunia yang tid
Satrio memutuskan untuk meninggalkan desa yang memberinya kedamaian sementara. Dengan hati berat, ia berjalan menuju Batavia, menyadari bahwa kota itu bukan sekadar tempat, tetapi panggung di mana takdirnya harus diselesaikan. Di sepanjang perjalanan, kenangan tentang Nyai Rahayu, Citra, dan Rangga menghantui pikirannya. Di gerbang kota, seorang perantara misterius menyerahkan pesan: “Jika kau ingin tahu kebenaran, temui aku di rumah yang dulu kau tinggali.”Satrio melangkah masuk ke Batavia, menatap dinding-dinding kota yang menyimpan luka lama. Kali ini, ia datang bukan untuk melarikan diri, tetapi untuk menghadapi siapa pun yang menantinya—dan menyelesaikan segalanya, meskipun itu berarti mengorbankan dirinya sendiri.Bagas tersenyum kecil, tetapi tidak menjawab langsung. Ia mengeluarkan sebuah gulungan kain kecil dari balik jubahnya, lalu melemparkannya ke arah Satrio. Satrio menangkapnya dengan cepat, lalu membukanya. Di dalamnya terdapat simbol yang sudah lama ia kenali, lambang
Satrio mencoba menjalani hidup baru di desa kecil yang damai, jauh dari hiruk-pikuk Batavia. Setiap hari ia bekerja di ladang, bercengkerama dengan penduduk desa, dan menikmati ketenangan yang sudah lama hilang. Namun, bayangan masa lalunya tidak pernah benar-benar pergi. Pesan rahasia yang diterimanya, kedatangan pria asing dengan luka di wajahnya, dan ancaman samar tentang masa lalu yang akan mengejarnya, memaksa Satrio menghadapi kenyataan: tidak ada tempat yang cukup jauh untuk melarikan diri dari takdir. Ketika seorang utusan dari Batavia muncul di malam yang sunyi, Satrio tahu—pertempuran belum usai, dan masa lalunya telah menunggu di tikungan.Malam di Batavia terasa lebih sunyi daripada biasanya. Awan hitam menggantung di langit, menyelimuti kota dengan kegelapan yang terasa lebih pekat dari sebelumnya. Angin berembus perlahan, membawa hawa dingin yang merayap ke dalam kulit. Namun, di dalam hati Satrio, ada kekosongan yang jauh lebih dingin dari angin malam mana pun.Ia berdi
Satrio berusaha keluar dari hutan, tetapi bahaya belum selesai. Serangan mendadak dari orang-orang misterius, desingan panah, dan kejaran di lorong-lorong Batavia membuktikan bahwa kematian Rangga hanyalah awal dari pertarungan yang lebih besar. Ada kekuatan yang lebih gelap, lebih berbahaya, yang mengincarnya. Satrio harus menghadapi bayangan musuh yang lebih kuat, kelompok yang bersembunyi di balik kekuasaan kota. Dengan luka yang belum sembuh dan beban dendam yang belum terbalas, Satrio melangkah menuju pertempuran baru—satu langkah menuju nasib yang belum pasti, di bawah langit Batavia yang kelabu.Tiba-tiba, suara derap kuda yang mendekat dari kejauhan menarik perhatiannya. Ia segera bersembunyi di balik semak-semak di tepi jalan, mengintai ke arah sumber suara. Tidak lama kemudian, sekelompok penunggang kuda muncul di ujung jalan. Mereka mengenakan pakaian berwarna gelap dengan lambang kecil di lengan mereka, sebuah tanda yang pernah Satrio lihat sebelumnya.Matanya menyipit saa