Home / Romansa / Dosa dalam Cinta / Bab 2 Jejak Rahasia dan Surat Berdarah

Share

Bab 2 Jejak Rahasia dan Surat Berdarah

Author: A. Rani
last update Last Updated: 2025-04-08 23:57:53

Pertemuan dengan pria misterius membuka kotak pandora masa lalu: nama Adipati Wiranegara, dendam yang diwariskan, dan rahasia kelam keluarga Kusumo. Satrio terjebak dalam pusaran tanda tanya—apakah Sekar hanyalah bidak dari permainan dendam yang lebih besar? Di saat yang sama, Nyai Rahayu, sang ibu, menyimpan kotak rahasia yang tak ingin ia buka. Sementara Sekar, dengan tatapan tajam dan senyuman tipis, mulai menulis surat-surat yang akan menjadi awal dari kehancuran.

“Ada banyak hal yang perlu Anda ketahui sebelum Anda terlalu dalam melibatkan diri dalam permainan ini, Raden Satrio,” suara pria itu pelan, tetapi ada sesuatu dalam intonasinya yang membuat udara terasa lebih berat.

Satrio mengangkat alis. “Permainan?”

Pria itu mengangguk, jemarinya mengetuk-ngetuk meja kayu di hadapannya. “Sekar Puspita bukan seperti yang Anda bayangkan. Dan jika Anda tidak berhati-hati, langkah Anda akan menjadi bagian dari permainan yang sudah lama berlangsung di Batavia.”

Satrio menyandarkan tangannya ke sandaran kursi di hadapannya, menatap pria itu dengan penuh selidik. “Jika Anda ingin mengatakan sesuatu, katakanlah dengan jelas. Apa yang Anda tahu tentang Sekar?”

Pria itu tersenyum kecil, tetapi bukan senyum ramah. “Bukan hanya tentang Sekar, tetapi tentang keluarganya. Kau masih terlalu muda untuk mengingatnya, tetapi ada sebuah nama yang seharusnya membuat darahmu mendidih—nama yang terikat erat dengan keluargamu.”

Ia menyelipkan tangannya ke dalam saku jubahnya dan mengeluarkan sebuah gulungan kertas kecil, meletakkannya di meja.

“Jika kau benar-benar ingin tahu apa yang telah menuntun keluargamu ke dalam bayangan ini, bacalah ini. Tapi ingat, Raden, beberapa kebenaran bukan untuk mereka yang lemah.”

Satrio menatap gulungan kertas itu, hatinya berdebar tanpa alasan yang jelas. Saat ia hendak meraihnya, pria itu berdiri. Dengan gerakan yang hampir tak terdengar, ia melangkah mundur ke dalam bayangan.

“Berhati-hatilah, Raden,” katanya sebelum menghilang di balik kegelapan.

Satrio memandang ke arah pria itu menghilang, kemudian kembali menatap gulungan kertas di tangannya. Ia tahu bahwa apa pun yang tertulis di dalamnya bisa mengubah segala yang ia percayai tentang keluarganya... dan tentang Sekar.

Tetapi satu hal yang pasti: ia tidak akan mundur. Ia akan membaca isi kertas itu, apa pun konsekuensinya.

Dan tanpa ia sadari, di sudut lain Batavia, Sekar Puspita berdiri di jendela kamarnya yang menghadap ke kota. Matanya menatap jauh ke dalam malam, bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang sulit diartikan. Seolah ia telah mengetahui bahwa malam ini adalah awal dari sesuatu yang tak terhindarkan.

“Permainan ini baru saja dimulai,” bisiknya lirih.

Satrio memandangi gulungan kertas itu dalam keheningan, jemarinya menelusuri tekstur kasarnya yang usang. Udara malam Batavia menyelinap melalui celah-celah jendela, membawa aroma tanah basah setelah hujan senja tadi. Ia masih bisa merasakan kehadiran pria berjubah gelap itu—bayangannya masih menggantung di sudut ruangan, meski sosoknya telah lama menghilang ke dalam gelapnya malam.

Dengan hati-hati, Satrio membuka gulungan tersebut. Cahaya lampu minyak yang redup menerangi tulisan tangan yang rapi, namun penuh ketegangan. Beberapa baris pertama membuat dadanya berdegup lebih kencang.

"Sejarah bukan hanya tentang para pemenang, tetapi juga tentang mereka yang tersingkir. Leluhurmu pernah berhutang darah kepada keluarga yang sekarang kau dekati. Jika kau percaya bahwa Sekar Puspita datang kepadamu sebagai takdir, maka kau telah jatuh dalam perangkap yang telah disiapkan sejak lama."

Darah Satrio berdesir. Ia membaca lebih lanjut, matanya menangkap sebuah nama yang bahkan dalam keheningan tetap bergaung nyaring di pikirannya: Adipati Wiranegara.

Nama itu seharusnya terkubur bersama sejarah, nama yang dalam keluarga Kusumo jarang disebut, seolah jika diucapkan, bisa membangkitkan kutukan lama. Adipati Wiranegara adalah seorang bangsawan yang pada masanya memiliki pengaruh besar di Batavia, namun ia dihancurkan dalam permainan politik yang kotor. Sebagian orang percaya ia dikhianati oleh orang-orang terdekatnya, termasuk seseorang yang memiliki hubungan dekat dengan keluarga Kusumo.

Satrio menghela napas, pikirannya berkecamuk. Jika Sekar Puspita benar-benar bagian dari keluarga Wiranegara, maka kehadirannya dalam hidupnya bukanlah kebetulan. Ia menatap keluar jendela, ke arah malam yang semakin pekat. Apakah semua yang ia rasakan tentang Sekar hanya bagian dari permainan yang lebih besar? Apakah ia hanya seorang bidak dalam balas dendam yang telah dipersiapkan selama bertahun-tahun?

Langkah-langkah pelan terdengar dari luar kamarnya, membuatnya buru-buru menyembunyikan gulungan itu di balik laci meja. Pintu diketuk perlahan.

“Satrio?” Suara lembut Nyai Rahayu terdengar dari balik pintu.

Satrio membuka pintu dan menemukan ibunya berdiri di sana, mengenakan kain batik berwarna coklat tua yang disampirkan di bahunya. Wajahnya teduh, tetapi matanya penuh kehati-hatian.

“Masih terjaga?” tanyanya lirih, suaranya mengandung nada yang lebih dalam dari sekadar kekhawatiran seorang ibu.

Satrio mengangguk dan mengundangnya masuk. Nyai Rahayu duduk di tepi ranjang, mengamati anaknya sejenak sebelum akhirnya berbicara. “Aku tahu apa yang ada di kepalamu. Kau terpesona oleh Sekar Puspita.”

Nada suara ibunya bukan sekadar menegur, tetapi menyiratkan peringatan yang lebih dalam.

“Ibu mengenalnya?” Satrio bertanya, meski di dalam hatinya, ia tahu jawabannya sudah jelas.

Nyai Rahayu menghela napas panjang, tangannya mengelus kain batiknya, seolah tengah menimbang apa yang harus dikatakannya. “Bukan mengenal secara pribadi, tetapi aku tahu siapa keluarganya. Aku tahu dari mana dia berasal, dan aku tahu bahwa kehadirannya di hidupmu bukanlah kebetulan.”

“Ibu,” Satrio menatap ibunya tajam, “apakah ini ada hubungannya dengan Adipati Wiranegara?”

Nyai Rahayu menegang, jemarinya mengepal di atas pangkuannya. Matanya bertemu dengan mata anaknya, dan dalam sekejap, Satrio melihat sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya—ketakutan.

“Dari mana kau tahu nama itu?”

“Ada seseorang yang datang malam ini, membawa surat ini.” Satrio bangkit dan mengambil gulungan kertas yang tadi ia sembunyikan. Dengan hati-hati, ia menyerahkannya kepada ibunya.

Nyai Rahayu menerima kertas itu dengan tangan sedikit gemetar. Saat matanya menyusuri tulisan-tulisan di sana, raut wajahnya berubah. Ia menutup gulungan itu dengan cepat, seolah ingin menolak kenyataan yang baru saja dihadapinya.

“Kau harus menjauhi Sekar, Satrio,” katanya akhirnya, suaranya dingin, penuh ketegasan. “Ini bukan sekadar peringatan biasa. Ini adalah urusan darah dan kehormatan. Leluhur kita telah melakukan sesuatu yang tak bisa dimaafkan, dan sekarang, masa lalu itu datang kembali dalam wujud yang lebih berbahaya.”

Satrio mengernyit. “Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang dilakukan leluhur kita terhadap keluarga Sekar?”

Nyai Rahayu menatap anaknya dalam-dalam sebelum menggeleng perlahan. “Belum saatnya kau tahu semuanya. Yang perlu kau ketahui sekarang hanyalah ini: ada dendam yang belum selesai. Dan jika kau terus mendekati Sekar, kau akan menjadi bagian dari balas dendam itu.”

Satrio terdiam, membiarkan kata-kata ibunya meresap dalam pikirannya. Namun, semakin ia memikirkan peringatan itu, semakin hatinya menolak untuk percaya bahwa Sekar hanyalah seorang bidak dalam permainan ini. Sekar adalah sesuatu yang lebih dari sekadar sejarah kelam atau intrik lama.

Di suatu tempat di dalam kota Batavia, Sekar Puspita berdiri di jendela kamarnya, menatap ke arah bulan yang bersembunyi di balik awan. Rambutnya terurai, kebayanya masih beraroma mawar dan kayu manis dari jamuan malam tadi.

Seorang pelayan tua berdiri di belakangnya, suaranya hampir berbisik. “Dia mulai mengetahui sesuatu, Nyai.”

Sekar tersenyum tipis, tetapi tidak ada kegembiraan di sana. Matanya hanya menyimpan sesuatu yang gelap—sebuah kenangan yang belum terlupakan, dan sebuah niat yang telah lama ditanamkan dalam dirinya.

“Bagus,” gumamnya. “Itu artinya langkah selanjutnya bisa segera dimulai.”

Angin malam menyelinap masuk, meniup lilin di sudut ruangan hingga nyalanya berkedip lemah. Permainan ini memang baru saja dimulai. Namun, bagi Sekar, ini bukan permainan. Ini adalah takdir. Takdir yang harus ditebus dengan darah.

Malam semakin menua, tetapi bagi Satrio, gelapnya langit Batavia belum mampu menidurkan pikirannya yang bergejolak. Kata-kata ibunya berputar dalam benaknya seperti mantra yang tak mau hilang. Sekar Puspita bukan wanita sembarangan. Kedatangannya dalam hidup Satrio bukanlah kebetulan. Ada sejarah kelam yang melibatkan keluarga mereka, sebuah sejarah yang kini mulai mengintai dari balik bayang-bayang masa lalu.

Ia melangkah pelan menuju meja di sudut kamar, menatap gulungan kertas yang tadi diserahkan oleh pria misterius itu. Tangannya terulur, membuka kembali lembaran yang mencatat nama yang seharusnya telah lama terkubur: Adipati Wiranegara. Ia belum sempat bertanya lebih jauh kepada Nyai Rahayu tentang hubungan antara nama itu dengan keluarganya, tetapi ekspresi ketakutan di wajah ibunya sudah cukup menjadi petunjuk bahwa ini bukan hanya sekadar kisah lama yang tak berarti.

Di luar, udara malam berembus perlahan, membawa suara debur ombak dari kejauhan. Batavia, dengan segala kilau emas dan kekuasaan yang melekat padanya, menyimpan sisi gelap yang jarang tersentuh cahaya. Kota ini dibangun di atas darah, pengkhianatan, dan dendam yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Tiba-tiba, suara langkah kaki yang pelan tetapi mantap terdengar di halaman belakang rumah. Satrio, yang masih berdiri di dekat jendela, menajamkan pendengarannya. Ia tak asing dengan ritme langkah seseorang yang berusaha untuk tidak menimbulkan kecurigaan. Ini bukan pelayan, bukan pula ibunya. Ini seseorang yang datang dengan tujuan tertentu.

Dengan gerakan cepat, ia meraih keris yang tergantung di dinding dan menyelipkannya di balik kainnya. Ia mematikan lampu minyak, membiarkan kamar tenggelam dalam gelap, lalu melangkah perlahan ke arah jendela. Dari sela-sela tirai, ia melihat sosok berpakaian gelap berdiri di dekat pohon mangga yang tumbuh di halaman belakang. Orang itu menoleh ke kanan dan kiri, seolah memastikan bahwa dirinya tidak terlihat.

Satrio menarik napas dalam-dalam. Dengan gerakan hati-hati, ia membuka pintu belakang dan melangkah keluar, membiarkan dinginnya malam menyentuh kulitnya yang mulai dipenuhi keringat. Di hadapannya, pria itu tetap diam, tidak bergeming, seolah mengetahui bahwa ia telah dipergoki.

"Aku tahu kau mengawasiku," suara Satrio terdengar tenang tetapi penuh ketegangan.

Pria itu sedikit mengangkat kepalanya. Wajahnya tertutup bayangan, tetapi dari sorot matanya yang samar, Satrio bisa melihat bahwa orang ini bukan orang biasa. Ia tidak gentar, bahkan seolah telah menunggu momen ini.

"Aku tidak mengawasimu, Raden," jawab pria itu, suaranya berat dan terdengar berpengalaman. "Aku hanya memastikan bahwa kau memahami ke mana jalan ini akan membawamu."

Satrio mengerutkan kening, langkahnya tetap waspada. "Siapa kau? Dan apa sebenarnya yang kau inginkan dariku?"

Pria itu tidak langsung menjawab. Ia merogoh sesuatu dari balik jubahnya, mengeluarkan sebuah benda kecil yang berkilauan di bawah sinar bulan. Sebuah cincin emas dengan ukiran yang sudah mulai pudar.

"Kau mengenali ini?" tanya pria itu, suaranya terdengar lebih dalam, seolah menantang Satrio untuk menggali ingatannya.

Satrio menyipitkan mata, mencoba mengenali lambang yang terukir di permukaan cincin itu. Butuh beberapa saat baginya untuk memahami apa yang ia lihat, tetapi ketika kesadaran itu datang, ia merasakan sesuatu yang aneh di dalam dadanya. Lambang itu adalah lambang yang sama dengan yang pernah ia lihat di perpustakaan keluarga—sebuah lambang yang pernah dihapus dari catatan sejarah, sebuah lambang yang tak boleh disebut.

"Lambang keluarga Wiranegara..." bisik Satrio hampir tak terdengar. Jantungnya berdegup lebih cepat.

Pria itu mengangguk perlahan. "Aku adalah orang terakhir yang masih hidup dari keluarga itu. Aku adalah saksi dari apa yang telah terjadi bertahun-tahun lalu."

Satrio mengepalkan tangannya. "Jika kau berasal dari keluarga Wiranegara, lalu mengapa kau datang kepadaku? Seharusnya kau membenci keluargaku."

Pria itu mendekat selangkah, dan Satrio bisa melihat dengan jelas guratan luka di pipi kirinya, bekas yang sudah lama tetapi masih terlihat jelas. "Dendam bukan sesuatu yang bisa diwariskan tanpa alasan yang jelas. Aku tidak ingin kau menjadi korban dari sesuatu yang tidak kau pahami. Sekar Puspita, gadis yang kau temui malam ini, adalah bagian dari keluarga kami. Ia memiliki tugas, dan tugasnya bukan sekadar untuk mencintaimu."

Kata-kata itu meluncur seperti belati, tajam dan mematikan. Satrio menatap pria itu dengan tatapan penuh ketegangan. "Apa maksudmu?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dosa dalam Cinta    Epilog | SEASON 3 | Dalam Bayang, Tumbuh Sebuah Cahaya

    Langit di atas Batavia yang telah runtuh tidak lagi menunjukkan arah. Matahari tenggelam di balik reruntuhan kabut, dan laut, yang dahulu menjadi cermin bagi cahaya surga, kini hanya genangan gelap yang menelan semua bayangan. Sebuah desa kecil berdiri di ambang kehancuran dan kebangkitan, sunyi namun tak pernah sepenuhnya tidur. Di bawah pohon beringin yang tak lagi rimbun, di tengah tanah yang pernah terbelah oleh kutukan dan darah, seorang lelaki duduk bersila dalam diam.Satrio.Tubuhnya tua, tidak hanya oleh waktu tetapi oleh semua beban yang tak pernah benar-benar bisa dilepaskan. Di dadanya, bekas luka lama—luka dari perang, dari cinta, dari pengkhianatan—masih terasa berdenyut. Namun tidak lagi panas. Tidak lagi memohon untuk diperhatikan. Luka itu kini hanya menjadi tanda, bahwa ia pernah bertarung, dan meski kalah dalam banyak hal, ia tidak pernah sepenuhnya menyer

  • Dosa dalam Cinta    Bab 60 Warisan Cinta

    Langit di atas Batavia pagi itu memerah seperti luka yang baru menganga. Matahari menggeliat di balik kabut yang berat, memancarkan sinar samar yang terpecah di antara retakan awan, menciptakan semburat jingga yang pucat. Angin membawa aroma asin laut bercampur tanah hangus, bisikan masa lalu yang masih melekat di udara, seolah dunia ini belum sepenuhnya sembuh dari luka-lukanya.Satrio berdiri sendiri di tepi pantai, kakinya terbenam dalam pasir basah yang dingin. Tubuhnya tampak renta, punggungnya sedikit membungkuk, matanya kosong menatap cakrawala, tapi di sorotannya ada cahaya redup yang tak sepenuhnya padam—cahaya seseorang yang telah kehilangan banyak, namun tetap memilih bertahan. Di dadanya, liontin lama yang tergantung pada seutas benang lusuh bergoyang pelan, memantulkan cahaya samar dari matahari yang enggan.Di pikirannya, wajah-wajah

  • Dosa dalam Cinta    Bab 59 Harapan di Tepi Laut

    Langit sore menggantung rendah di atas pantai, sapuan jingga yang merambat perlahan ke kelabu,seolah dunia sedang bernafas pelan, menahan isak tangis yang tak pernah terucapkan. Ombak menggulung perlahan, menghantam pasir dengan irama yang dalam, membawa aroma asin laut bercampur dengan bau tanah basah dan samar-samar jejak darah yang telah lama mengering. Di tepi pantai, Satrio duduk dengan tubuh agak membungkuk, napasnya pendek-pendek, sementara di sampingnya, anak itu—Ananta—menatap cakrawala yang tak berujung, matanya kosong, dalam, seolah menatap sesuatu yang hanya bisa dilihat olehnya.Hening menggantung di antara mereka, bukan ketenangan yang utuh, melainkan semacam jeda di ambang ledakan, di mana setiap detik menjadi pengingat bahwa apa yang tampak damai hanyalah bayangan yang menyamarkan jurang di bawahnya.Satrio akhirnya memecah kesunyian, suaranya ser

  • Dosa dalam Cinta    Bab 58 Langkah Baru

    Waktu bergerak seperti bisikan yang menelusup di antara cabang-cabang beringin, mengalir melalui udara yang basah oleh embun, menggoreskan jejak-jejak yang tak kasatmata di kulit dan tulang. Matahari menggantung rendah di langit, memancarkan cahaya keemasan yang tampak palsu di balik bayang-bayang kelam yang menempel di tanah—bayang-bayang yang tak sepenuhnya hilang, meski dunia tampak berjalan maju.Anak itu berdiri di tengah lapangan kecil, tubuhnya tegak, mata menatap jauh ke depan, ke batas-batas yang tak terlihat. Di wajahnya terpahat bekas luka yang tidak kasatmata—luka yang bukan berasal dari benturan fisik, melainkan dari ingatan yang mencengkeram, bisikan yang mengendap dalam gelap, dan mimpi-mimpi yang mengiris kesadaran setiap malam.Tapi di sorot matanya, ada api yang tumbuh, bukan api dendam, melainkan cahaya tekad yang membara.

  • Dosa dalam Cinta    Bab 57 Dendam yang Usai

    Langit di atas Batavia pagi itu seperti kanvas kelabu yang menahan tangis. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan asap dupa, dan di antara bisikan daun-daun beringin yang bergoyang perlahan, ada rasa yang menggantung di udara—rasa yang samar antara kelegaan dan kesedihan, antara akhir dan awal.Satrio berdiri di bawah pohon beringin tua, tempat semua jejak darah, kutukan, dan pengkhianatan pernah bertaut. Tubuhnya tegak, tapi matanya basah, sorotnya bukan lagi mata seorang pejuang yang haus balas dendam, melainkan mata seorang pria yang telah lelah bertarung dengan dirinya sendiri. Di tangannya, ada seikat bunga kering yang ia kumpulkan dari makam-makam yang dulu ia kunjungi dalam keheningan penuh penyesalan. Di antara jari-jarinya, kain putih yang penuh bercak darah—sisa warisan yang kini ingin ia kubur bersama semua luka masa lalu.

  • Dosa dalam Cinta    Bab 56 Luka yang Sembuh Perlahan

    Kabut pagi masih menggantung rendah di atas pantai, membalut garis horizon dengan kelabu pucat yang samar-samar, seolah dunia sendiri menahan napas. Laut yang semalam mengamuk kini kembali tenang, namun ketenangan itu seperti wajah palsu yang menutupi luka dalam; ombak hanya berdesir pelan, membasahi pasir yang masih retak, sementara angin membawa bau asin bercampur bau hangus yang samar—sisa dari sesuatu yang hampir saja memecah batas antara dunia dan kegelapan.Satrio berdiri di tepi pantai, telapak kakinya terasa dingin di atas pasir basah. Matanya menatap ombak yang bergulung pelan, namun pikirannya melayang jauh, menembus ruang yang tidak bisa dilihat mata: ruang di mana suara Kalina masih bergema, di mana mata merah itu masih menyala di kelam, menunggu, menuntut, menagih janji darah yang belum lunas.Namun ada sesuatu yang berbeda di dada Sa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status