Pertemuan dengan pria misterius membuka kotak pandora masa lalu: nama Adipati Wiranegara, dendam yang diwariskan, dan rahasia kelam keluarga Kusumo. Satrio terjebak dalam pusaran tanda tanya—apakah Sekar hanyalah bidak dari permainan dendam yang lebih besar? Di saat yang sama, Nyai Rahayu, sang ibu, menyimpan kotak rahasia yang tak ingin ia buka. Sementara Sekar, dengan tatapan tajam dan senyuman tipis, mulai menulis surat-surat yang akan menjadi awal dari kehancuran.
“Ada banyak hal yang perlu Anda ketahui sebelum Anda terlalu dalam melibatkan diri dalam permainan ini, Raden Satrio,” suara pria itu pelan, tetapi ada sesuatu dalam intonasinya yang membuat udara terasa lebih berat.
Satrio mengangkat alis. “Permainan?”
Pria itu mengangguk, jemarinya mengetuk-ngetuk meja kayu di hadapannya. “Sekar Puspita bukan seperti yang Anda bayangkan. Dan jika Anda tidak berhati-hati, langkah Anda akan menjadi bagian dari permainan yang sudah lama berlangsung di Batavia.”
Satrio menyandarkan tangannya ke sandaran kursi di hadapannya, menatap pria itu dengan penuh selidik. “Jika Anda ingin mengatakan sesuatu, katakanlah dengan jelas. Apa yang Anda tahu tentang Sekar?”
Pria itu tersenyum kecil, tetapi bukan senyum ramah. “Bukan hanya tentang Sekar, tetapi tentang keluarganya. Kau masih terlalu muda untuk mengingatnya, tetapi ada sebuah nama yang seharusnya membuat darahmu mendidih—nama yang terikat erat dengan keluargamu.”
Ia menyelipkan tangannya ke dalam saku jubahnya dan mengeluarkan sebuah gulungan kertas kecil, meletakkannya di meja.
“Jika kau benar-benar ingin tahu apa yang telah menuntun keluargamu ke dalam bayangan ini, bacalah ini. Tapi ingat, Raden, beberapa kebenaran bukan untuk mereka yang lemah.”
Satrio menatap gulungan kertas itu, hatinya berdebar tanpa alasan yang jelas. Saat ia hendak meraihnya, pria itu berdiri. Dengan gerakan yang hampir tak terdengar, ia melangkah mundur ke dalam bayangan.
“Berhati-hatilah, Raden,” katanya sebelum menghilang di balik kegelapan.
Satrio memandang ke arah pria itu menghilang, kemudian kembali menatap gulungan kertas di tangannya. Ia tahu bahwa apa pun yang tertulis di dalamnya bisa mengubah segala yang ia percayai tentang keluarganya... dan tentang Sekar.
Tetapi satu hal yang pasti: ia tidak akan mundur. Ia akan membaca isi kertas itu, apa pun konsekuensinya.
Dan tanpa ia sadari, di sudut lain Batavia, Sekar Puspita berdiri di jendela kamarnya yang menghadap ke kota. Matanya menatap jauh ke dalam malam, bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang sulit diartikan. Seolah ia telah mengetahui bahwa malam ini adalah awal dari sesuatu yang tak terhindarkan.
“Permainan ini baru saja dimulai,” bisiknya lirih.
Satrio memandangi gulungan kertas itu dalam keheningan, jemarinya menelusuri tekstur kasarnya yang usang. Udara malam Batavia menyelinap melalui celah-celah jendela, membawa aroma tanah basah setelah hujan senja tadi. Ia masih bisa merasakan kehadiran pria berjubah gelap itu—bayangannya masih menggantung di sudut ruangan, meski sosoknya telah lama menghilang ke dalam gelapnya malam.
Dengan hati-hati, Satrio membuka gulungan tersebut. Cahaya lampu minyak yang redup menerangi tulisan tangan yang rapi, namun penuh ketegangan. Beberapa baris pertama membuat dadanya berdegup lebih kencang.
"Sejarah bukan hanya tentang para pemenang, tetapi juga tentang mereka yang tersingkir. Leluhurmu pernah berhutang darah kepada keluarga yang sekarang kau dekati. Jika kau percaya bahwa Sekar Puspita datang kepadamu sebagai takdir, maka kau telah jatuh dalam perangkap yang telah disiapkan sejak lama."
Darah Satrio berdesir. Ia membaca lebih lanjut, matanya menangkap sebuah nama yang bahkan dalam keheningan tetap bergaung nyaring di pikirannya: Adipati Wiranegara.
Nama itu seharusnya terkubur bersama sejarah, nama yang dalam keluarga Kusumo jarang disebut, seolah jika diucapkan, bisa membangkitkan kutukan lama. Adipati Wiranegara adalah seorang bangsawan yang pada masanya memiliki pengaruh besar di Batavia, namun ia dihancurkan dalam permainan politik yang kotor. Sebagian orang percaya ia dikhianati oleh orang-orang terdekatnya, termasuk seseorang yang memiliki hubungan dekat dengan keluarga Kusumo.
Satrio menghela napas, pikirannya berkecamuk. Jika Sekar Puspita benar-benar bagian dari keluarga Wiranegara, maka kehadirannya dalam hidupnya bukanlah kebetulan. Ia menatap keluar jendela, ke arah malam yang semakin pekat. Apakah semua yang ia rasakan tentang Sekar hanya bagian dari permainan yang lebih besar? Apakah ia hanya seorang bidak dalam balas dendam yang telah dipersiapkan selama bertahun-tahun?
Langkah-langkah pelan terdengar dari luar kamarnya, membuatnya buru-buru menyembunyikan gulungan itu di balik laci meja. Pintu diketuk perlahan.
“Satrio?” Suara lembut Nyai Rahayu terdengar dari balik pintu.
Satrio membuka pintu dan menemukan ibunya berdiri di sana, mengenakan kain batik berwarna coklat tua yang disampirkan di bahunya. Wajahnya teduh, tetapi matanya penuh kehati-hatian.
“Masih terjaga?” tanyanya lirih, suaranya mengandung nada yang lebih dalam dari sekadar kekhawatiran seorang ibu.
Satrio mengangguk dan mengundangnya masuk. Nyai Rahayu duduk di tepi ranjang, mengamati anaknya sejenak sebelum akhirnya berbicara. “Aku tahu apa yang ada di kepalamu. Kau terpesona oleh Sekar Puspita.”
Nada suara ibunya bukan sekadar menegur, tetapi menyiratkan peringatan yang lebih dalam.
“Ibu mengenalnya?” Satrio bertanya, meski di dalam hatinya, ia tahu jawabannya sudah jelas.
Nyai Rahayu menghela napas panjang, tangannya mengelus kain batiknya, seolah tengah menimbang apa yang harus dikatakannya. “Bukan mengenal secara pribadi, tetapi aku tahu siapa keluarganya. Aku tahu dari mana dia berasal, dan aku tahu bahwa kehadirannya di hidupmu bukanlah kebetulan.”
“Ibu,” Satrio menatap ibunya tajam, “apakah ini ada hubungannya dengan Adipati Wiranegara?”
Nyai Rahayu menegang, jemarinya mengepal di atas pangkuannya. Matanya bertemu dengan mata anaknya, dan dalam sekejap, Satrio melihat sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya—ketakutan.
“Dari mana kau tahu nama itu?”
“Ada seseorang yang datang malam ini, membawa surat ini.” Satrio bangkit dan mengambil gulungan kertas yang tadi ia sembunyikan. Dengan hati-hati, ia menyerahkannya kepada ibunya.
Nyai Rahayu menerima kertas itu dengan tangan sedikit gemetar. Saat matanya menyusuri tulisan-tulisan di sana, raut wajahnya berubah. Ia menutup gulungan itu dengan cepat, seolah ingin menolak kenyataan yang baru saja dihadapinya.
“Kau harus menjauhi Sekar, Satrio,” katanya akhirnya, suaranya dingin, penuh ketegasan. “Ini bukan sekadar peringatan biasa. Ini adalah urusan darah dan kehormatan. Leluhur kita telah melakukan sesuatu yang tak bisa dimaafkan, dan sekarang, masa lalu itu datang kembali dalam wujud yang lebih berbahaya.”
Satrio mengernyit. “Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang dilakukan leluhur kita terhadap keluarga Sekar?”
Nyai Rahayu menatap anaknya dalam-dalam sebelum menggeleng perlahan. “Belum saatnya kau tahu semuanya. Yang perlu kau ketahui sekarang hanyalah ini: ada dendam yang belum selesai. Dan jika kau terus mendekati Sekar, kau akan menjadi bagian dari balas dendam itu.”
Satrio terdiam, membiarkan kata-kata ibunya meresap dalam pikirannya. Namun, semakin ia memikirkan peringatan itu, semakin hatinya menolak untuk percaya bahwa Sekar hanyalah seorang bidak dalam permainan ini. Sekar adalah sesuatu yang lebih dari sekadar sejarah kelam atau intrik lama.
Di suatu tempat di dalam kota Batavia, Sekar Puspita berdiri di jendela kamarnya, menatap ke arah bulan yang bersembunyi di balik awan. Rambutnya terurai, kebayanya masih beraroma mawar dan kayu manis dari jamuan malam tadi.
Seorang pelayan tua berdiri di belakangnya, suaranya hampir berbisik. “Dia mulai mengetahui sesuatu, Nyai.”
Sekar tersenyum tipis, tetapi tidak ada kegembiraan di sana. Matanya hanya menyimpan sesuatu yang gelap—sebuah kenangan yang belum terlupakan, dan sebuah niat yang telah lama ditanamkan dalam dirinya.
“Bagus,” gumamnya. “Itu artinya langkah selanjutnya bisa segera dimulai.”
Angin malam menyelinap masuk, meniup lilin di sudut ruangan hingga nyalanya berkedip lemah. Permainan ini memang baru saja dimulai. Namun, bagi Sekar, ini bukan permainan. Ini adalah takdir. Takdir yang harus ditebus dengan darah.
Malam semakin menua, tetapi bagi Satrio, gelapnya langit Batavia belum mampu menidurkan pikirannya yang bergejolak. Kata-kata ibunya berputar dalam benaknya seperti mantra yang tak mau hilang. Sekar Puspita bukan wanita sembarangan. Kedatangannya dalam hidup Satrio bukanlah kebetulan. Ada sejarah kelam yang melibatkan keluarga mereka, sebuah sejarah yang kini mulai mengintai dari balik bayang-bayang masa lalu.
Ia melangkah pelan menuju meja di sudut kamar, menatap gulungan kertas yang tadi diserahkan oleh pria misterius itu. Tangannya terulur, membuka kembali lembaran yang mencatat nama yang seharusnya telah lama terkubur: Adipati Wiranegara. Ia belum sempat bertanya lebih jauh kepada Nyai Rahayu tentang hubungan antara nama itu dengan keluarganya, tetapi ekspresi ketakutan di wajah ibunya sudah cukup menjadi petunjuk bahwa ini bukan hanya sekadar kisah lama yang tak berarti.
Di luar, udara malam berembus perlahan, membawa suara debur ombak dari kejauhan. Batavia, dengan segala kilau emas dan kekuasaan yang melekat padanya, menyimpan sisi gelap yang jarang tersentuh cahaya. Kota ini dibangun di atas darah, pengkhianatan, dan dendam yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Tiba-tiba, suara langkah kaki yang pelan tetapi mantap terdengar di halaman belakang rumah. Satrio, yang masih berdiri di dekat jendela, menajamkan pendengarannya. Ia tak asing dengan ritme langkah seseorang yang berusaha untuk tidak menimbulkan kecurigaan. Ini bukan pelayan, bukan pula ibunya. Ini seseorang yang datang dengan tujuan tertentu.
Dengan gerakan cepat, ia meraih keris yang tergantung di dinding dan menyelipkannya di balik kainnya. Ia mematikan lampu minyak, membiarkan kamar tenggelam dalam gelap, lalu melangkah perlahan ke arah jendela. Dari sela-sela tirai, ia melihat sosok berpakaian gelap berdiri di dekat pohon mangga yang tumbuh di halaman belakang. Orang itu menoleh ke kanan dan kiri, seolah memastikan bahwa dirinya tidak terlihat.
Satrio menarik napas dalam-dalam. Dengan gerakan hati-hati, ia membuka pintu belakang dan melangkah keluar, membiarkan dinginnya malam menyentuh kulitnya yang mulai dipenuhi keringat. Di hadapannya, pria itu tetap diam, tidak bergeming, seolah mengetahui bahwa ia telah dipergoki.
"Aku tahu kau mengawasiku," suara Satrio terdengar tenang tetapi penuh ketegangan.
Pria itu sedikit mengangkat kepalanya. Wajahnya tertutup bayangan, tetapi dari sorot matanya yang samar, Satrio bisa melihat bahwa orang ini bukan orang biasa. Ia tidak gentar, bahkan seolah telah menunggu momen ini.
"Aku tidak mengawasimu, Raden," jawab pria itu, suaranya berat dan terdengar berpengalaman. "Aku hanya memastikan bahwa kau memahami ke mana jalan ini akan membawamu."
Satrio mengerutkan kening, langkahnya tetap waspada. "Siapa kau? Dan apa sebenarnya yang kau inginkan dariku?"
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia merogoh sesuatu dari balik jubahnya, mengeluarkan sebuah benda kecil yang berkilauan di bawah sinar bulan. Sebuah cincin emas dengan ukiran yang sudah mulai pudar.
"Kau mengenali ini?" tanya pria itu, suaranya terdengar lebih dalam, seolah menantang Satrio untuk menggali ingatannya.
Satrio menyipitkan mata, mencoba mengenali lambang yang terukir di permukaan cincin itu. Butuh beberapa saat baginya untuk memahami apa yang ia lihat, tetapi ketika kesadaran itu datang, ia merasakan sesuatu yang aneh di dalam dadanya. Lambang itu adalah lambang yang sama dengan yang pernah ia lihat di perpustakaan keluarga—sebuah lambang yang pernah dihapus dari catatan sejarah, sebuah lambang yang tak boleh disebut.
"Lambang keluarga Wiranegara..." bisik Satrio hampir tak terdengar. Jantungnya berdegup lebih cepat.
Pria itu mengangguk perlahan. "Aku adalah orang terakhir yang masih hidup dari keluarga itu. Aku adalah saksi dari apa yang telah terjadi bertahun-tahun lalu."
Satrio mengepalkan tangannya. "Jika kau berasal dari keluarga Wiranegara, lalu mengapa kau datang kepadaku? Seharusnya kau membenci keluargaku."
Pria itu mendekat selangkah, dan Satrio bisa melihat dengan jelas guratan luka di pipi kirinya, bekas yang sudah lama tetapi masih terlihat jelas. "Dendam bukan sesuatu yang bisa diwariskan tanpa alasan yang jelas. Aku tidak ingin kau menjadi korban dari sesuatu yang tidak kau pahami. Sekar Puspita, gadis yang kau temui malam ini, adalah bagian dari keluarga kami. Ia memiliki tugas, dan tugasnya bukan sekadar untuk mencintaimu."
Kata-kata itu meluncur seperti belati, tajam dan mematikan. Satrio menatap pria itu dengan tatapan penuh ketegangan. "Apa maksudmu?"
Hujan mengguyur Batavia seperti cambuk, memukul atap-atap rumah, membasahi jalanan berbatu yang penuh genangan darah dan abu. Bau hangus dan logam bercampur dalam udara yang berat, menusuk hidung Satrio hingga membuat napasnya terasa seperti menelan besi panas. Di antara reruntuhan pasar yang hancur, api kecil masih menyala, membisikkan nyanyian kematian yang berbaur dengan tangisan, erangan, dan bisikan yang menggema entah dari mana. Satrio berdiri, tubuhnya lelah, bajunya robek dan basah kuyup, namun matanya menatap tajam ke depan—mata seorang lelaki yang telah kehilangan banyak, namun masih menggenggam janji yang belum ditepati.Di bawah cahaya kilat yang menyambar langit, anak kecil itu berdiri di dekatnya, tubuhnya gemetar, matanya lebar penuh ketakutan. Tangan kecilnya menggenggam ujung baju Satrio, seolah mencari perlindungan di tengah kekacauan yang melanda dunia mereka. Wajah anak
Angin malam berembus liar di atas atap-atap Batavia, mengantarkan bau anyir darah yang belum sempat mengering, dan bau asap dari api yang membakar kota beberapa malam terakhir. Di dalam sebuah ruangan gelap di gang belakang, suara bisik-bisik berpadu dengan bunyi gesekan kertas peta di atas meja kayu. Lentera kecil menggantung, cahayanya bergoyang diterpa hembusan angin, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari di dinding, seakan mengintai dari setiap sudut.Sekar berdiri di ujung meja, tangannya mengepal di pinggir peta, wajahnya setengah terbenam dalam cahaya kuning. Matanya tajam, memindai setiap titik yang telah ditandai dengan tinta merah: gerbang barat benteng, menara jaga, gudang mesiu, dan ruang bawah tanah yang tersembunyi. Suaranya rendah, namun penuh bara, “Kita serang sebelum fajar. Saat mereka lengah. Tidak ada kompromi.” Napasnya terputus-putus, bukan hanya kar
Malam di Batavia menggantung berat di langit, kelam tanpa bintang, seakan seluruh kota bernafas dalam satu tarikan panjang yang menahan ledakan tak terhindarkan. Di dalam gudang tua yang menjadi markas sementara pemberontak, udara terasa tebal dan panas, meski angin malam meniup celah-celah papan dengan desisan lirih, seperti bisikan rahasia yang menyelinap di telinga-telinga yang cemas.Satrio berdiri di sudut ruangan, punggungnya menempel pada dinding yang dingin dan kasar. Matanya menyapu setiap wajah—pedagang tua dengan sorban lusuh yang terus mengusap keringat di dahinya, Rahman yang duduk gelisah sambil mengetukkan jari-jari di atas tongkat, dan dua pemuda baru yang saling berbisik dengan sorot mata curiga. Tatapan Satrio tajam, seperti elang yang mencium darah di udara. Ia tahu ada yang salah. Sejak pertemuan di Balai Kota, rencana-rencana mereka yang disusun rapi mendadak diketahui pihak kolonial. Seran
Langit Batavia menghitam, awan-awan gelap menggulung seperti tirai neraka yang siap merenggut dunia. Di dalam Balai Kota, udara terasa lebih berat dari baja, seolah ruangan itu menahan napasnya sendiri, menunggu percikan yang akan meledakkan segalanya. Cahaya lentera bergoyang di dinding, menciptakan bayangan-bayangan bergerigi yang menari di wajah-wajah tegang. Satrio berdiri di tengah ruangan, tubuhnya lelah, jiwanya koyak, namun matanya menyala dengan bara yang tak lagi bisa dipadamkan. Di hadapannya, Sekar duduk tegak di kursi tinggi, gaunnya lusuh namun anggun, rambutnya basah oleh keringat dan hujan yang menembus atap, wajahnya keras, dingin, namun retak di sudut-sudutnya—retak yang hanya bisa dilihat oleh seseorang yang pernah mencintainya.Suara langkah kaki terdengar berat di lantai kayu tua, gema dentumnya menggema seperti genderang perang yang menghantam dada. Di sekeliling, wajah-wajah lain menonton
Malam itu terasa lebih gelap dari biasanya. Angin dingin menyelinap melalui celah-celah dinding pondok tua, membawa bisikan-bisikan halus yang seolah berasal dari dunia lain. Di dekat perapian kecil yang nyalanya mulai redup, Satrio duduk membatu, tubuhnya kaku, pandangannya kosong tertuju pada surat yang masih terlipat di tangannya. Api yang tinggal bara memantulkan kilatan samar di wajahnya yang pucat, mempertegas garis-garis lelah dan guratan luka batin yang semakin dalam. Tangannya gemetar, bukan hanya karena dingin, tetapi karena beban yang menggantung di dadanya semakin berat, menghimpit napasnya seperti rantai besi yang tak kasatmata.Pikiran Satrio berputar liar. Bayangan Citra begitu nyata di matanya—gaun putihnya yang berkibar, senyum kecil yang dulu menenangkan, dan tatapan yang kini seperti menuntut, menagih janji yang belum ditepati. Dalam kabut pikirannya, suara itu kembali t
Di dalam keheningan rumah tua yang seakan menahan napas bersama Satrio, bunyi hujan di atap terdengar seperti detak jam yang memaksa waktu berjalan lambat. Dinding kayu yang lembap memantulkan bayangan tubuhnya yang gemetar, seolah menjadi saksi bisu dari badai yang bergemuruh dalam dadanya. Tetesan minyak dari lampu lentera menguap di udara, menciptakan aroma gosong samar yang bercampur dengan debu tua dan serpihan masa lalu. Satrio duduk membungkuk, tangan-tangannya mengepal di atas meja, mencengkeram surat itu seolah kertas itu adalah jangkar terakhir yang menahannya dari jatuh ke jurang gila. Setiap kata dalam surat itu menggerogoti pikirannya seperti bisikan setan: “Sekar adalah warisan dari darah kita... dia membawa luka dan kutukan... dia harus memilih: membakar dunia atau menyelamatkannya.”Kata-kata itu berputar di kepalanya, membentuk pusa