Satrio Kusumo kembali ke Batavia, disambut aroma laut dan riuhnya kota tua. Di rumah keluarga, ia bertemu kembali dengan Nyai Rahayu dan Sekar Puspita—wanita misterius yang memikat sekaligus menggetarkan hatinya. Namun di balik senyum Sekar, tersimpan tanda-tanda bahaya. Sosok pria berjubah gelap mulai muncul di bayang-bayang malam, membawa pesan bahwa permainan lama yang penuh dendam telah dimulai.
Kabut tipis menyelimuti Pelabuhan Sunda Kelapa saat kapal Oranje merapat di dermaga. Aroma asin laut berpadu dengan bau rempah-rempah yang menguar dari gudang-gudang dagang, mengingatkan Satrio Kusumo bahwa ia benar-benar telah pulang. Setelah bertahun-tahun menempuh pendidikan di Belanda, Batavia kini berdiri di hadapannya seperti wanita tua yang menyimpan ribuan rahasia dalam lipatan jalanya.
Satrio menyesap udara yang mengandung kelembaban tropis, jauh dari aroma tanah Eropa yang dingin dan rapi. Batavia masih sama—jalanan berbatu, rumah-rumah kayu berdiri berdampingan dengan bangunan megah bergaya kolonial, dan pasar yang riuh dengan pedagang pribumi serta orang-orang asing yang lalu lalang. Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda, seperti tangan tak kasat mata yang tengah mengatur nasibnya di kota ini.
Saat kereta kuda membawanya menuju kediaman keluarganya di daerah Weltevreden, pikirannya melayang pada ibunya, Nyai Rahayu. Wanita itu telah menjadi satu-satunya penghubungnya dengan tanah kelahirannya selama ia berada di negeri orang. Surat-suratnya selalu penuh dengan nasihat dan doa, tetapi tak pernah menyebut soal politik atau intrik keluarga yang mungkin mengancam mereka. Sekarang, Satrio harus mencari tahu sendiri.
Ketika ia tiba di kediaman Kusumo, pintu besar itu segera terbuka, memperlihatkan sosok Nyai Rahayu yang masih anggun di usia senjanya. Wajahnya tak menunjukkan banyak emosi, tetapi mata itu menyimpan sesuatu yang hanya bisa dibaca oleh anaknya.
“Kau akhirnya pulang, Satrio,” katanya pelan, sebelum tangannya yang kurus menggenggam erat lengan pemuda itu. Ada kebanggaan di matanya, tetapi juga kegelisahan yang samar.
Malam pertama di rumah, sebuah jamuan kecil diadakan. Para tamu datang silih berganti untuk menyambut kepulangan Satrio—seorang pemuda yang telah berangkat sebagai anak dan kini kembali sebagai pria terpelajar. Beberapa pejabat VOC, saudagar, dan bangsawan pribumi hadir, tetapi hanya satu yang benar-benar menarik perhatiannya: Sekar Puspita.
Ketika ia pertama kali melihat wanita itu, seolah waktu berhenti. Sekar mengenakan kebaya sutra merah dengan bordiran emas yang halus, rambutnya disanggul sempurna, dengan seuntai melati terselip di sela-sela rambut hitamnya yang berkilau. Matanya—gelap dan penuh teka-teki—menatap lurus ke arahnya. Senyum yang terukir di bibirnya bukan sekadar keramahan, melainkan sesuatu yang lebih dalam. Sebuah tantangan.
"Selamat datang kembali ke Batavia, Raden Satrio," suara Sekar terdengar lembut tetapi berbahaya. "Saya telah mendengar banyak cerita tentang Anda."
Satrio menunduk sedikit, sebagai bentuk penghormatan. "Semoga yang Anda dengar adalah hal baik, Nyai Sekar."
Sekar tersenyum kecil. "Tentu saja. Namun, cerita terbaik adalah yang akan saya dengar langsung dari Anda."
Percakapan mereka terhenti sejenak saat seseorang datang menyela. Namun, bagi Satrio, pertemuan itu sudah cukup untuk menyalakan api yang aneh dalam dirinya. Ada sesuatu pada Sekar—auranya yang memikat, kecerdasannya yang tersirat dalam setiap kata, dan tatapan itu… seolah ia menyimpan rahasia yang hanya bisa ia bagikan pada orang yang cukup berani mendekatinya.
Namun, ketika pesta usai dan para tamu telah pergi, Nyai Rahayu mendekatinya di beranda. Malam terasa lebih dingin dibanding biasanya, dan suara jangkrik terdengar samar dari kejauhan.
“Kau terlalu terpesona oleh gadis itu,” suara ibunya datar, tetapi ada ketegangan di dalamnya.
Satrio menoleh, sedikit terkejut dengan pernyataan yang begitu langsung.
"Ia menarik, Ibu. Dan tampaknya cukup berpendidikan."
Nyai Rahayu menghela napas panjang, lalu menatap anaknya dengan sorot mata penuh peringatan. "Sekar Puspita bukan wanita sembarangan. Ia berasal dari keluarga yang... tidak boleh dipercaya."
Satrio mengernyit. "Maksud Ibu?"
Wanita itu menoleh ke arah langit, seolah mencari jawaban di antara bintang-bintang. "Jangan terlalu cepat menyerahkan hatimu, Satrio. Banyak hal yang tidak kau ketahui tentang Batavia. Dan lebih banyak lagi yang tidak kau ketahui tentang keluarga Puspita."
Kata-kata itu mengendap dalam pikirannya saat ia kembali ke kamar malam itu. Ada banyak pertanyaan yang belum terjawab. Siapakah Sekar sebenarnya? Apa yang membuat keluarganya begitu dicurigai oleh Nyai Rahayu?
Namun, jauh di dalam hatinya, Satrio tahu satu hal pasti—entah berbahaya atau tidak, ia sudah terlanjur terjerat dalam pesona Sekar Puspita.
Malam itu, di sudut kota tua Batavia, seorang pria berjubah gelap berdiri di balik bayangan rumah tua yang sudah hampir runtuh. Matanya mengikuti setiap gerakan Satrio sepanjang jamuan makan malam tadi.
"Satrio Kusumo telah kembali," gumamnya lirih.
Ia merogoh sakunya, mengeluarkan secarik kertas yang sudah kusut. Nama Sekar Puspita tertulis di sana, bersama beberapa baris catatan yang penuh dengan tinta merah.
“Permainan baru saja dimulai.”
Di antara rumah-rumah tua Batavia yang diam membisu dalam gelap, sosok berjubah gelap tetap berdiri di tempatnya. Cahaya remang dari lampu minyak di jalanan hanya menerangi sebagian wajahnya, tetapi sorot matanya memantulkan kegelisahan yang terbungkus dalam kesabaran panjang. Malam itu bukan sekadar malam bagi dirinya. Malam itu adalah awal dari sesuatu yang telah lama ia nantikan.
Di tangannya, secarik kertas yang sudah lusuh itu berkali-kali ia lipat dan buka kembali, seolah ingin memastikan bahwa nama yang tertera di sana benar adanya. Satrio Kusumo—seorang pemuda yang telah lama pergi dan kini kembali ke tanah kelahirannya dengan keangkuhan seorang yang merasa masih memiliki tempatnya. Namun, yang lebih menarik perhatiannya adalah nama lain yang tertulis di bawahnya, dengan tinta merah seolah sebuah peringatan. Sekar Puspita.
Sosok itu berbalik perlahan dan melangkah menyusuri gang sempit, menyelinap melewati rumah-rumah yang sepi. Batavia di malam hari bukan hanya milik para saudagar atau orang-orang Belanda yang bercanda di meja-meja makan dengan gelas anggur mereka. Batavia juga milik mereka yang hidup di dalam bayangan—orang-orang yang memahami bahwa di balik kemewahan dan tatanan yang tampak rapi, ada benang-benang gelap yang saling menjalin dan menjerat.
Sementara itu, di rumah keluarga Kusumo, Satrio masih terjaga. Lampu minyak di kamarnya berpendar lembut, memantulkan bayangan dirinya pada dinding kayu jati yang kokoh. Pikirannya masih sibuk mencerna kata-kata ibunya. Nyai Rahayu bukan wanita yang berbicara tanpa alasan. Jika ia memperingatkan tentang seseorang, pastilah ada sesuatu yang lebih dari sekadar prasangka.
Namun, Sekar... Sekar berbeda dari wanita mana pun yang pernah ia temui di Eropa. Ada keanggunan yang tak dipaksakan dalam cara Sekar berbicara, sebuah ketenangan yang menutupi sesuatu yang jauh lebih dalam. Ia bukan sekadar wanita cantik yang tahu bagaimana menawan perhatian. Ada sesuatu yang bersembunyi di balik matanya yang tajam dan senyumnya yang lembut. Sesuatu yang berbahaya... atau justru sesuatu yang lebih ia inginkan.
Langkah-langkah lembut terdengar mendekat dari luar pintu. Satrio menoleh. “Siapa di sana?”
Pintu berderit pelan, dan seorang pelayan tua muncul dari baliknya. “Maaf, Raden. Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda. Ia menunggu di beranda belakang.”
Satrio mengerutkan kening. “Siapa?”
“Ia tidak menyebut nama, hanya mengatakan bahwa ia memiliki pesan yang penting untuk Anda.”
Dengan rasa ingin tahu bercampur sedikit kewaspadaan, Satrio meraih sarung kerisnya yang tergantung di dinding, menyelipkan senjata itu di pinggangnya sebelum melangkah keluar. Malam masih dilingkupi keheningan ketika ia mencapai beranda belakang. Cahaya temaram dari lentera hanya cukup untuk menampakkan sosok seorang pria yang duduk di kursi kayu tua, topinya sedikit tertunduk menutupi sebagian wajahnya.
Satrio melangkah mendekat. “Saya diberitahu bahwa Anda ingin bertemu dengan saya.”
Pria itu mengangkat wajahnya perlahan. Usianya tak bisa ditebak, tetapi garis-garis samar di sekitar matanya menunjukkan bahwa ia telah melihat lebih banyak hal daripada yang bisa dihitung oleh waktu. Matanya, kelam seperti malam tanpa bulan, menatap Satrio tanpa sedikit pun ragu.
Langit di atas Batavia yang telah runtuh tidak lagi menunjukkan arah. Matahari tenggelam di balik reruntuhan kabut, dan laut, yang dahulu menjadi cermin bagi cahaya surga, kini hanya genangan gelap yang menelan semua bayangan. Sebuah desa kecil berdiri di ambang kehancuran dan kebangkitan, sunyi namun tak pernah sepenuhnya tidur. Di bawah pohon beringin yang tak lagi rimbun, di tengah tanah yang pernah terbelah oleh kutukan dan darah, seorang lelaki duduk bersila dalam diam.Satrio.Tubuhnya tua, tidak hanya oleh waktu tetapi oleh semua beban yang tak pernah benar-benar bisa dilepaskan. Di dadanya, bekas luka lama—luka dari perang, dari cinta, dari pengkhianatan—masih terasa berdenyut. Namun tidak lagi panas. Tidak lagi memohon untuk diperhatikan. Luka itu kini hanya menjadi tanda, bahwa ia pernah bertarung, dan meski kalah dalam banyak hal, ia tidak pernah sepenuhnya menyer
Langit di atas Batavia pagi itu memerah seperti luka yang baru menganga. Matahari menggeliat di balik kabut yang berat, memancarkan sinar samar yang terpecah di antara retakan awan, menciptakan semburat jingga yang pucat. Angin membawa aroma asin laut bercampur tanah hangus, bisikan masa lalu yang masih melekat di udara, seolah dunia ini belum sepenuhnya sembuh dari luka-lukanya.Satrio berdiri sendiri di tepi pantai, kakinya terbenam dalam pasir basah yang dingin. Tubuhnya tampak renta, punggungnya sedikit membungkuk, matanya kosong menatap cakrawala, tapi di sorotannya ada cahaya redup yang tak sepenuhnya padam—cahaya seseorang yang telah kehilangan banyak, namun tetap memilih bertahan. Di dadanya, liontin lama yang tergantung pada seutas benang lusuh bergoyang pelan, memantulkan cahaya samar dari matahari yang enggan.Di pikirannya, wajah-wajah
Langit sore menggantung rendah di atas pantai, sapuan jingga yang merambat perlahan ke kelabu,seolah dunia sedang bernafas pelan, menahan isak tangis yang tak pernah terucapkan. Ombak menggulung perlahan, menghantam pasir dengan irama yang dalam, membawa aroma asin laut bercampur dengan bau tanah basah dan samar-samar jejak darah yang telah lama mengering. Di tepi pantai, Satrio duduk dengan tubuh agak membungkuk, napasnya pendek-pendek, sementara di sampingnya, anak itu—Ananta—menatap cakrawala yang tak berujung, matanya kosong, dalam, seolah menatap sesuatu yang hanya bisa dilihat olehnya.Hening menggantung di antara mereka, bukan ketenangan yang utuh, melainkan semacam jeda di ambang ledakan, di mana setiap detik menjadi pengingat bahwa apa yang tampak damai hanyalah bayangan yang menyamarkan jurang di bawahnya.Satrio akhirnya memecah kesunyian, suaranya ser
Waktu bergerak seperti bisikan yang menelusup di antara cabang-cabang beringin, mengalir melalui udara yang basah oleh embun, menggoreskan jejak-jejak yang tak kasatmata di kulit dan tulang. Matahari menggantung rendah di langit, memancarkan cahaya keemasan yang tampak palsu di balik bayang-bayang kelam yang menempel di tanah—bayang-bayang yang tak sepenuhnya hilang, meski dunia tampak berjalan maju.Anak itu berdiri di tengah lapangan kecil, tubuhnya tegak, mata menatap jauh ke depan, ke batas-batas yang tak terlihat. Di wajahnya terpahat bekas luka yang tidak kasatmata—luka yang bukan berasal dari benturan fisik, melainkan dari ingatan yang mencengkeram, bisikan yang mengendap dalam gelap, dan mimpi-mimpi yang mengiris kesadaran setiap malam.Tapi di sorot matanya, ada api yang tumbuh, bukan api dendam, melainkan cahaya tekad yang membara.
Langit di atas Batavia pagi itu seperti kanvas kelabu yang menahan tangis. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan asap dupa, dan di antara bisikan daun-daun beringin yang bergoyang perlahan, ada rasa yang menggantung di udara—rasa yang samar antara kelegaan dan kesedihan, antara akhir dan awal.Satrio berdiri di bawah pohon beringin tua, tempat semua jejak darah, kutukan, dan pengkhianatan pernah bertaut. Tubuhnya tegak, tapi matanya basah, sorotnya bukan lagi mata seorang pejuang yang haus balas dendam, melainkan mata seorang pria yang telah lelah bertarung dengan dirinya sendiri. Di tangannya, ada seikat bunga kering yang ia kumpulkan dari makam-makam yang dulu ia kunjungi dalam keheningan penuh penyesalan. Di antara jari-jarinya, kain putih yang penuh bercak darah—sisa warisan yang kini ingin ia kubur bersama semua luka masa lalu.
Kabut pagi masih menggantung rendah di atas pantai, membalut garis horizon dengan kelabu pucat yang samar-samar, seolah dunia sendiri menahan napas. Laut yang semalam mengamuk kini kembali tenang, namun ketenangan itu seperti wajah palsu yang menutupi luka dalam; ombak hanya berdesir pelan, membasahi pasir yang masih retak, sementara angin membawa bau asin bercampur bau hangus yang samar—sisa dari sesuatu yang hampir saja memecah batas antara dunia dan kegelapan.Satrio berdiri di tepi pantai, telapak kakinya terasa dingin di atas pasir basah. Matanya menatap ombak yang bergulung pelan, namun pikirannya melayang jauh, menembus ruang yang tidak bisa dilihat mata: ruang di mana suara Kalina masih bergema, di mana mata merah itu masih menyala di kelam, menunggu, menuntut, menagih janji darah yang belum lunas.Namun ada sesuatu yang berbeda di dada Sa