Home / Romansa / Dosa dalam Cinta / Bab 1 Bayangan di Pelabuhan Sunda Kelapa

Share

Bab 1 Bayangan di Pelabuhan Sunda Kelapa

Author: A. Rani
last update Huling Na-update: 2025-04-08 23:57:21

Satrio Kusumo kembali ke Batavia, disambut aroma laut dan riuhnya kota tua. Di rumah keluarga, ia bertemu kembali dengan Nyai Rahayu dan Sekar Puspita—wanita misterius yang memikat sekaligus menggetarkan hatinya. Namun di balik senyum Sekar, tersimpan tanda-tanda bahaya. Sosok pria berjubah gelap mulai muncul di bayang-bayang malam, membawa pesan bahwa permainan lama yang penuh dendam telah dimulai.

Kabut tipis menyelimuti Pelabuhan Sunda Kelapa saat kapal Oranje merapat di dermaga. Aroma asin laut berpadu dengan bau rempah-rempah yang menguar dari gudang-gudang dagang, mengingatkan Satrio Kusumo bahwa ia benar-benar telah pulang. Setelah bertahun-tahun menempuh pendidikan di Belanda, Batavia kini berdiri di hadapannya seperti wanita tua yang menyimpan ribuan rahasia dalam lipatan jalanya.

Satrio menyesap udara yang mengandung kelembaban tropis, jauh dari aroma tanah Eropa yang dingin dan rapi. Batavia masih sama—jalanan berbatu, rumah-rumah kayu berdiri berdampingan dengan bangunan megah bergaya kolonial, dan pasar yang riuh dengan pedagang pribumi serta orang-orang asing yang lalu lalang. Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda, seperti tangan tak kasat mata yang tengah mengatur nasibnya di kota ini.

Saat kereta kuda membawanya menuju kediaman keluarganya di daerah Weltevreden, pikirannya melayang pada ibunya, Nyai Rahayu. Wanita itu telah menjadi satu-satunya penghubungnya dengan tanah kelahirannya selama ia berada di negeri orang. Surat-suratnya selalu penuh dengan nasihat dan doa, tetapi tak pernah menyebut soal politik atau intrik keluarga yang mungkin mengancam mereka. Sekarang, Satrio harus mencari tahu sendiri.

Ketika ia tiba di kediaman Kusumo, pintu besar itu segera terbuka, memperlihatkan sosok Nyai Rahayu yang masih anggun di usia senjanya. Wajahnya tak menunjukkan banyak emosi, tetapi mata itu menyimpan sesuatu yang hanya bisa dibaca oleh anaknya.

“Kau akhirnya pulang, Satrio,” katanya pelan, sebelum tangannya yang kurus menggenggam erat lengan pemuda itu. Ada kebanggaan di matanya, tetapi juga kegelisahan yang samar.

Malam pertama di rumah, sebuah jamuan kecil diadakan. Para tamu datang silih berganti untuk menyambut kepulangan Satrio—seorang pemuda yang telah berangkat sebagai anak dan kini kembali sebagai pria terpelajar. Beberapa pejabat VOC, saudagar, dan bangsawan pribumi hadir, tetapi hanya satu yang benar-benar menarik perhatiannya: Sekar Puspita.

Ketika ia pertama kali melihat wanita itu, seolah waktu berhenti. Sekar mengenakan kebaya sutra merah dengan bordiran emas yang halus, rambutnya disanggul sempurna, dengan seuntai melati terselip di sela-sela rambut hitamnya yang berkilau. Matanya—gelap dan penuh teka-teki—menatap lurus ke arahnya. Senyum yang terukir di bibirnya bukan sekadar keramahan, melainkan sesuatu yang lebih dalam. Sebuah tantangan.

"Selamat datang kembali ke Batavia, Raden Satrio," suara Sekar terdengar lembut tetapi berbahaya. "Saya telah mendengar banyak cerita tentang Anda."

Satrio menunduk sedikit, sebagai bentuk penghormatan. "Semoga yang Anda dengar adalah hal baik, Nyai Sekar."

Sekar tersenyum kecil. "Tentu saja. Namun, cerita terbaik adalah yang akan saya dengar langsung dari Anda."

Percakapan mereka terhenti sejenak saat seseorang datang menyela. Namun, bagi Satrio, pertemuan itu sudah cukup untuk menyalakan api yang aneh dalam dirinya. Ada sesuatu pada Sekar—auranya yang memikat, kecerdasannya yang tersirat dalam setiap kata, dan tatapan itu… seolah ia menyimpan rahasia yang hanya bisa ia bagikan pada orang yang cukup berani mendekatinya.

Namun, ketika pesta usai dan para tamu telah pergi, Nyai Rahayu mendekatinya di beranda. Malam terasa lebih dingin dibanding biasanya, dan suara jangkrik terdengar samar dari kejauhan.

“Kau terlalu terpesona oleh gadis itu,” suara ibunya datar, tetapi ada ketegangan di dalamnya.

Satrio menoleh, sedikit terkejut dengan pernyataan yang begitu langsung.

"Ia menarik, Ibu. Dan tampaknya cukup berpendidikan."

Nyai Rahayu menghela napas panjang, lalu menatap anaknya dengan sorot mata penuh peringatan. "Sekar Puspita bukan wanita sembarangan. Ia berasal dari keluarga yang... tidak boleh dipercaya."

Satrio mengernyit. "Maksud Ibu?"

Wanita itu menoleh ke arah langit, seolah mencari jawaban di antara bintang-bintang. "Jangan terlalu cepat menyerahkan hatimu, Satrio. Banyak hal yang tidak kau ketahui tentang Batavia. Dan lebih banyak lagi yang tidak kau ketahui tentang keluarga Puspita."

Kata-kata itu mengendap dalam pikirannya saat ia kembali ke kamar malam itu. Ada banyak pertanyaan yang belum terjawab. Siapakah Sekar sebenarnya? Apa yang membuat keluarganya begitu dicurigai oleh Nyai Rahayu?

Namun, jauh di dalam hatinya, Satrio tahu satu hal pasti—entah berbahaya atau tidak, ia sudah terlanjur terjerat dalam pesona Sekar Puspita.

Malam itu, di sudut kota tua Batavia, seorang pria berjubah gelap berdiri di balik bayangan rumah tua yang sudah hampir runtuh. Matanya mengikuti setiap gerakan Satrio sepanjang jamuan makan malam tadi.

"Satrio Kusumo telah kembali," gumamnya lirih.

Ia merogoh sakunya, mengeluarkan secarik kertas yang sudah kusut. Nama Sekar Puspita tertulis di sana, bersama beberapa baris catatan yang penuh dengan tinta merah.

“Permainan baru saja dimulai.”

Di antara rumah-rumah tua Batavia yang diam membisu dalam gelap, sosok berjubah gelap tetap berdiri di tempatnya. Cahaya remang dari lampu minyak di jalanan hanya menerangi sebagian wajahnya, tetapi sorot matanya memantulkan kegelisahan yang terbungkus dalam kesabaran panjang. Malam itu bukan sekadar malam bagi dirinya. Malam itu adalah awal dari sesuatu yang telah lama ia nantikan.

Di tangannya, secarik kertas yang sudah lusuh itu berkali-kali ia lipat dan buka kembali, seolah ingin memastikan bahwa nama yang tertera di sana benar adanya. Satrio Kusumo—seorang pemuda yang telah lama pergi dan kini kembali ke tanah kelahirannya dengan keangkuhan seorang yang merasa masih memiliki tempatnya. Namun, yang lebih menarik perhatiannya adalah nama lain yang tertulis di bawahnya, dengan tinta merah seolah sebuah peringatan. Sekar Puspita.

Sosok itu berbalik perlahan dan melangkah menyusuri gang sempit, menyelinap melewati rumah-rumah yang sepi. Batavia di malam hari bukan hanya milik para saudagar atau orang-orang Belanda yang bercanda di meja-meja makan dengan gelas anggur mereka. Batavia juga milik mereka yang hidup di dalam bayangan—orang-orang yang memahami bahwa di balik kemewahan dan tatanan yang tampak rapi, ada benang-benang gelap yang saling menjalin dan menjerat.

Sementara itu, di rumah keluarga Kusumo, Satrio masih terjaga. Lampu minyak di kamarnya berpendar lembut, memantulkan bayangan dirinya pada dinding kayu jati yang kokoh. Pikirannya masih sibuk mencerna kata-kata ibunya. Nyai Rahayu bukan wanita yang berbicara tanpa alasan. Jika ia memperingatkan tentang seseorang, pastilah ada sesuatu yang lebih dari sekadar prasangka.

Namun, Sekar... Sekar berbeda dari wanita mana pun yang pernah ia temui di Eropa. Ada keanggunan yang tak dipaksakan dalam cara Sekar berbicara, sebuah ketenangan yang menutupi sesuatu yang jauh lebih dalam. Ia bukan sekadar wanita cantik yang tahu bagaimana menawan perhatian. Ada sesuatu yang bersembunyi di balik matanya yang tajam dan senyumnya yang lembut. Sesuatu yang berbahaya... atau justru sesuatu yang lebih ia inginkan.

Langkah-langkah lembut terdengar mendekat dari luar pintu. Satrio menoleh. “Siapa di sana?”

Pintu berderit pelan, dan seorang pelayan tua muncul dari baliknya. “Maaf, Raden. Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda. Ia menunggu di beranda belakang.”

Satrio mengerutkan kening. “Siapa?”

“Ia tidak menyebut nama, hanya mengatakan bahwa ia memiliki pesan yang penting untuk Anda.”

Dengan rasa ingin tahu bercampur sedikit kewaspadaan, Satrio meraih sarung kerisnya yang tergantung di dinding, menyelipkan senjata itu di pinggangnya sebelum melangkah keluar. Malam masih dilingkupi keheningan ketika ia mencapai beranda belakang. Cahaya temaram dari lentera hanya cukup untuk menampakkan sosok seorang pria yang duduk di kursi kayu tua, topinya sedikit tertunduk menutupi sebagian wajahnya.

Satrio melangkah mendekat. “Saya diberitahu bahwa Anda ingin bertemu dengan saya.”

Pria itu mengangkat wajahnya perlahan. Usianya tak bisa ditebak, tetapi garis-garis samar di sekitar matanya menunjukkan bahwa ia telah melihat lebih banyak hal daripada yang bisa dihitung oleh waktu. Matanya, kelam seperti malam tanpa bulan, menatap Satrio tanpa sedikit pun ragu.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Dosa dalam Cinta    Bab 60 Kepergian Tanpa Kepastian, Luka yang Tertinggal

    Satrio meninggalkan Batavia dengan perasaan kosong, menumpang kapal yang menuju entah ke mana. Ia tak meninggalkan pesan, hanya jejak langkah yang memudar di dermaga. Di dalam biara, Citra tetap di kamarnya, memandang surat tanpa nama yang menyimpan pesan terakhir Satrio—tentang cinta yang tak bisa ditebus dan dosa yang tak bisa dihapus. Mereka berjalan di jalan masing-masing, terpisah oleh dinding, lautan, dan luka yang terlalu dalam untuk sembuh. Namun dalam keheningan, bayangan cinta itu tetap hidup, seperti hantu yang tak pernah benar-benar pergi.Angin malam membawa aroma laut yang samar, bercampur dengan tanah basah sisa hujan sore tadi. Satrio menarik napas dalam, membiarkan udara malam mengisi paru-parunya sebelum perlahan menghembuskannya kembali. Ia mencoba merasakan kekosongan itu, mencoba membiarkan semua perasaan itu larut dalam angin yang membawa dingin ke kulitnya. Tetapi semakin ia berusaha, semakin kuat kenangan itu menyesak di dalam dadanya.Di dalam biara, Citra ber

  • Dosa dalam Cinta    Bab 59 Pertemuan yang Tak Pernah Terjadi

    Di malam penuh kabut Batavia, Satrio berdiri di luar gereja, menatap jendela kecil yang menyala samar. Ia hampir mengetuk pintu, hampir memanggil nama Citra, tetapi keraguan dan rasa bersalah menahannya. Di dalam, Citra membuka pintu, merasakan kehadirannya yang hanya tersisa dalam bayangan. Langkah mereka hanya dipisahkan dinding batu dan jarak beberapa langkah, namun mereka seperti hidup di dunia yang berbeda, tak lagi bisa saling menjangkau.Citra membuka pintu dengan hati-hati, tetapi saat matanya menyapu halaman depan, yang tersisa hanyalah jejak kaki di atas tanah yang basah. Tidak ada siapa pun di sana, hanya bayangan malam yang bergerak mengikuti tiupan angin. Ia berdiri di ambang pintu, merasakan sesuatu di dadanya yang sulit dijelaskan. Ia tahu seseorang telah ada di sana. Ia tahu siapa yang datang, tetapi tidak menemuinya. Ia menundukkan kepalanya, menarik napas dalam-dalam, lalu perlahan menutup pintu.Satrio, yang telah berjalan menjauh dari gereja, berhenti sejenak sebel

  • Dosa dalam Cinta    Bab 58 Di Balik Dinding Biara, Bayangan Tak Terhapus

    Citra mencoba menjalani hidup baru di balik dinding biara yang sunyi. Namun, doa-doa panjang dan langkah-langkah dalam lorong-lorong batu tidak pernah mampu menghapus bayangan Satrio dari pikirannya. Sementara itu, Satrio pun terjebak dalam kesepian, menyadari bahwa cinta mereka telah terkubur oleh pilihan-pilihan pahit. Meski terpisah jarak dan tembok, mereka masih terhubung oleh rasa yang tak terucapkan, masing-masing membawa luka yang menganga.Denting lonceng gereja tua bergema di atas langit Batavia yang mendung. Suaranya menggema di lorong-lorong sempit dan jalanan berbatu, menandakan waktu doa telah tiba. Di balik dinding tinggi biara, seorang perempuan berdiri dalam keheningan, mengenakan jubah putih sederhana yang kini menjadi satu-satunya identitasnya. Citra menatap ke arah jendela kecil di atas altar, tempat cahaya matahari menyusup melalui kaca berwarna, membentuk siluet samar di lantai batu. Ia telah menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada dunia yang berbeda, dunia yang tid

  • Dosa dalam Cinta    Bab 57 Kembali ke Batavia, Janji yang Harus Dituntaskan

    Satrio memutuskan untuk meninggalkan desa yang memberinya kedamaian sementara. Dengan hati berat, ia berjalan menuju Batavia, menyadari bahwa kota itu bukan sekadar tempat, tetapi panggung di mana takdirnya harus diselesaikan. Di sepanjang perjalanan, kenangan tentang Nyai Rahayu, Citra, dan Rangga menghantui pikirannya. Di gerbang kota, seorang perantara misterius menyerahkan pesan: “Jika kau ingin tahu kebenaran, temui aku di rumah yang dulu kau tinggali.”Satrio melangkah masuk ke Batavia, menatap dinding-dinding kota yang menyimpan luka lama. Kali ini, ia datang bukan untuk melarikan diri, tetapi untuk menghadapi siapa pun yang menantinya—dan menyelesaikan segalanya, meskipun itu berarti mengorbankan dirinya sendiri.Bagas tersenyum kecil, tetapi tidak menjawab langsung. Ia mengeluarkan sebuah gulungan kain kecil dari balik jubahnya, lalu melemparkannya ke arah Satrio. Satrio menangkapnya dengan cepat, lalu membukanya. Di dalamnya terdapat simbol yang sudah lama ia kenali, lambang

  • Dosa dalam Cinta    Bab 56 Masa Lalu yang Membayangi di Tengah Kedamaian

    Satrio mencoba menjalani hidup baru di desa kecil yang damai, jauh dari hiruk-pikuk Batavia. Setiap hari ia bekerja di ladang, bercengkerama dengan penduduk desa, dan menikmati ketenangan yang sudah lama hilang. Namun, bayangan masa lalunya tidak pernah benar-benar pergi. Pesan rahasia yang diterimanya, kedatangan pria asing dengan luka di wajahnya, dan ancaman samar tentang masa lalu yang akan mengejarnya, memaksa Satrio menghadapi kenyataan: tidak ada tempat yang cukup jauh untuk melarikan diri dari takdir. Ketika seorang utusan dari Batavia muncul di malam yang sunyi, Satrio tahu—pertempuran belum usai, dan masa lalunya telah menunggu di tikungan.Malam di Batavia terasa lebih sunyi daripada biasanya. Awan hitam menggantung di langit, menyelimuti kota dengan kegelapan yang terasa lebih pekat dari sebelumnya. Angin berembus perlahan, membawa hawa dingin yang merayap ke dalam kulit. Namun, di dalam hati Satrio, ada kekosongan yang jauh lebih dingin dari angin malam mana pun.Ia berdi

  • Dosa dalam Cinta    Bab 55 Ancaman Baru dari Bayangan Kota

    Satrio berusaha keluar dari hutan, tetapi bahaya belum selesai. Serangan mendadak dari orang-orang misterius, desingan panah, dan kejaran di lorong-lorong Batavia membuktikan bahwa kematian Rangga hanyalah awal dari pertarungan yang lebih besar. Ada kekuatan yang lebih gelap, lebih berbahaya, yang mengincarnya. Satrio harus menghadapi bayangan musuh yang lebih kuat, kelompok yang bersembunyi di balik kekuasaan kota. Dengan luka yang belum sembuh dan beban dendam yang belum terbalas, Satrio melangkah menuju pertempuran baru—satu langkah menuju nasib yang belum pasti, di bawah langit Batavia yang kelabu.Tiba-tiba, suara derap kuda yang mendekat dari kejauhan menarik perhatiannya. Ia segera bersembunyi di balik semak-semak di tepi jalan, mengintai ke arah sumber suara. Tidak lama kemudian, sekelompok penunggang kuda muncul di ujung jalan. Mereka mengenakan pakaian berwarna gelap dengan lambang kecil di lengan mereka, sebuah tanda yang pernah Satrio lihat sebelumnya.Matanya menyipit saa

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status