Share

Prolog

Author: A. Rani
last update Last Updated: 2025-04-08 23:35:57

Malam di Batavia jatuh dengan perlahan, menyelimuti kota dengan kegelapan yang dihiasi oleh lampu-lampu minyak yang berkelip di sepanjang jalan berbatu. Angin laut berembus membawa aroma asin yang bercampur dengan wangi dupa dari rumah-rumah bangsawan yang berdiri megah di pusat kota. Di kejauhan, suara ombak yang memecah di pelabuhan terdengar samar, bersahutan dengan suara kereta kuda yang melintas di jalan utama.

Di balik hiruk-pikuk kota yang masih terjaga, ada dua nasib yang perlahan mulai terjalin, dua kehidupan yang terpisah tetapi perlahan saling mendekat, terjerat dalam takdir yang tak bisa mereka hindari.

Di sebuah rumah besar dengan pilar-pilar putih yang menjulang angkuh, seorang wanita muda berdiri di tepi jendela kamar yang terbuka. Matanya yang tajam menatap ke arah jalanan yang basah oleh sisa hujan, tetapi pikirannya melayang ke tempat yang lebih jauh—ke masa lalu yang penuh rahasia, ke luka-luka yang belum mengering, ke kehidupan yang selama ini ia jalani dengan penuh kehati-hatian.

Namanya Sekar Puspita, seorang perempuan yang dalam bayangan banyak orang adalah lambang keindahan dan kesempurnaan. Wajahnya memesona, suaranya lembut, tutur katanya penuh perhitungan. Tetapi di balik semua itu, ada sesuatu yang selalu ia sembunyikan—sebuah bayangan dari masa lalu yang terus menghantuinya, sebuah kebenaran yang jika terungkap bisa meruntuhkan segalanya.

Ia tahu bahwa dunia ini tidak pernah benar-benar memberi tempat bagi orang-orang seperti dirinya. Ia telah belajar untuk beradaptasi, untuk bertahan, untuk menggunakan kecantikannya sebagai senjata, tetapi ia juga tahu bahwa suatu hari nanti, semua itu akan menemui batasnya.

Dan malam ini, ketika ia menatap langit Batavia yang mendung, ia merasa bahwa waktunya semakin dekat.

Di tempat lain, seorang pria muda turun dari kapal besar yang baru berlabuh di pelabuhan. Ia melangkah dengan tenang, matanya menelusuri setiap sudut kota yang dulu pernah ia tinggalkan bertahun-tahun lalu. Satrio Kusumo telah kembali.

Bertahun-tahun di tanah seberang tidak membuatnya melupakan Batavia, tetapi ia juga tahu bahwa kota ini bukan lagi tempat yang sama seperti yang ia tinggalkan dulu. Banyak hal telah berubah, tetapi yang paling ia takutkan adalah jika ia sendiri telah berubah.

Ia kembali bukan hanya untuk menapaktilasi jejak yang tertinggal, tetapi juga untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini menghantuinya. Ia tahu bahwa masa lalu tidak pernah benar-benar mati, bahwa ada hal-hal yang tidak bisa begitu saja dihapus, dan bahwa ada kebenaran yang selama ini ia hindari tetapi kini harus ia hadapi.

Langkahnya membawa dirinya melewati jalanan yang basah, melewati gang-gang sempit yang penuh dengan bisikan dan rahasia. Matanya menangkap bayangan-bayangan yang bergerak di antara cahaya lampu minyak, mendengar suara-suara samar yang mengingatkannya pada kehidupan lama yang dulu ia kenal. Tetapi yang tidak ia ketahui, adalah bahwa seseorang telah menunggunya.

Seseorang yang namanya hanya ia dengar dalam bisikan-bisikan. Seseorang yang wajahnya telah muncul dalam mimpi-mimpinya. Sekar Puspita. Dan ketika mereka akhirnya bertemu, dunia di sekitar mereka akan mulai runtuh, karena ada rahasia yang lebih dalam dari yang pernah mereka bayangkan.

Di balik keindahan Batavia yang megah, ada sesuatu yang sedang bergerak. Ada bayangan yang menyusup di antara tembok-tembok tinggi rumah bangsawan. Ada dendam yang masih membara, ada cinta yang tak pernah mati, dan ada dosa yang belum tertebus.

Mereka mungkin berpikir bahwa mereka memiliki kendali atas hidup mereka, tetapi mereka tidak tahu bahwa takdir telah menuliskan sesuatu yang jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan. Dan malam ini, roda takdir itu mulai berputar.

Di bawah rembulan yang bersembunyi di balik awan kelabu, Batavia masih terjaga dalam kesunyian yang berbisik. Di sudut-sudut kota, di antara gang-gang sempit yang dipenuhi bayangan, ada sesuatu yang tak terlihat sedang bergerak—sesuatu yang lebih gelap dari malam itu sendiri.

Di rumah besar yang berdiri megah di pusat kota, Sekar Puspita masih berdiri di tepi jendela kamarnya, matanya yang tajam menerawang jauh ke dalam kegelapan. Ada kegelisahan yang tak bisa ia jelaskan, perasaan seolah sesuatu yang besar akan segera terjadi. Ia telah lama hidup dalam ketenangan yang penuh kehati-hatian, membangun dunianya sendiri dengan cermat, memastikan bahwa tidak ada yang bisa menyentuhnya. Tetapi malam ini, ia merasa bahwa tembok-tembok yang telah ia bangun selama ini mulai retak. Ia tidak tahu bahwa di tempat yang berbeda, seorang pria tengah melangkah menuju kehidupan yang tanpa sadar akan bersinggungan dengan miliknya.

Satrio Kusumo, dengan mantel panjangnya yang masih basah oleh embun laut, berdiri di depan rumah besar tempat ia dibesarkan. Udara Batavia membawa aroma tanah yang basah dan asap dupa dari kuil-kuil kecil di ujung jalan. Rasanya begitu familiar, tetapi juga begitu asing. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang berdetak lebih cepat dari yang seharusnya.

Rumah itu masih sama, tetapi juga terasa berbeda. Pilar-pilar besar yang menopang berandanya masih berdiri kokoh, tetapi ada sesuatu yang tak kasat mata telah berubah di dalamnya. Ia tahu bahwa di balik pintu besar itu, ada seseorang yang telah menunggunya. Ia mengetuk pintu perlahan, hanya satu kali, tetapi suaranya cukup untuk menggema di seluruh rumah.

Langkah kaki terdengar dari dalam, lalu pintu kayu besar itu terbuka, memperlihatkan wajah seseorang yang telah lama tidak ia lihat.

"Satrio..." suara lembut tetapi penuh emosi itu menyambutnya.

Di hadapannya, berdiri seorang wanita yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang tetapi juga menyimpan begitu banyak rahasia—Nyai Rahayu.

Sorot mata wanita itu dipenuhi kejutan, tetapi juga sesuatu yang lain. Ada ketakutan di sana, seperti seseorang yang telah menunggu sesuatu yang tak terhindarkan tetapi tetap berharap itu tidak akan pernah tiba.

Satrio menatapnya lama sebelum akhirnya berbicara, suaranya terdengar rendah tetapi penuh kepastian.

"Aku pulang, Ibu."

Tetapi pulang bukan berarti kembali ke kehidupan yang lama.

Di tempat lain, di dalam rumah yang berbeda, Rangga Adibrata duduk di dalam ruangannya yang remang, menyesap anggur dari cawan emas yang berkilauan di bawah cahaya lilin. Senyum tipis terbentuk di wajahnya, seolah ia telah mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh siapa pun. Kabar telah sampai ke telinganya lebih cepat dari yang seharusnya.

Satrio Kusumo telah kembali. Dan itu berarti roda takdir yang selama ini ia kendalikan perlahan mulai bergerak ke arah yang tak bisa ia cegah. Ia meletakkan cawannya dengan pelan, jemarinya mengetuk meja kayu dengan irama yang teratur, menandakan bahwa pikirannya tengah bekerja. Di dalam kepalanya, ia telah menyusun rencana baru.

Karena jika ada satu hal yang ia pelajari selama bertahun-tahun, itu adalah kenyataan bahwa setiap kepulangan membawa konsekuensi. Dan kali ini, ia akan memastikan bahwa kepulangan Satrio bukanlah awal dari kebangkitan, tetapi awal dari kehancurannya. Di dalam kamar beraroma kayu cendana, Sekar Puspita menutup jendelanya perlahan. Di balik kaca yang berembun, bayangannya sendiri tampak samar, tetapi bukan itu yang membuatnya merasa resah.

Ia tahu bahwa di suatu tempat di kota ini, seseorang yang tak pernah ia temui sebelumnya kini telah kembali. Dan entah bagaimana, ia merasa bahwa hidupnya yang selama ini tertata sempurna akan berubah selamanya. Tanpa ia sadari, di luar rumahnya, sepasang mata mengamati dari kegelapan. Seseorang telah memperhatikannya. Seseorang yang tidak pernah ingin ia temui. Dan malam itu, Batavia tidak hanya menyimpan rahasia, tetapi juga menyembunyikan rencana yang akan mengguncang segalanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dosa dalam Cinta    Bab 23 – Janji yang Terucap

    Hujan mengguyur Batavia seperti cambuk, memukul atap-atap rumah, membasahi jalanan berbatu yang penuh genangan darah dan abu. Bau hangus dan logam bercampur dalam udara yang berat, menusuk hidung Satrio hingga membuat napasnya terasa seperti menelan besi panas. Di antara reruntuhan pasar yang hancur, api kecil masih menyala, membisikkan nyanyian kematian yang berbaur dengan tangisan, erangan, dan bisikan yang menggema entah dari mana. Satrio berdiri, tubuhnya lelah, bajunya robek dan basah kuyup, namun matanya menatap tajam ke depan—mata seorang lelaki yang telah kehilangan banyak, namun masih menggenggam janji yang belum ditepati.Di bawah cahaya kilat yang menyambar langit, anak kecil itu berdiri di dekatnya, tubuhnya gemetar, matanya lebar penuh ketakutan. Tangan kecilnya menggenggam ujung baju Satrio, seolah mencari perlindungan di tengah kekacauan yang melanda dunia mereka. Wajah anak

  • Dosa dalam Cinta    Bab 22 – Benteng yang Akan Runtuh

    Angin malam berembus liar di atas atap-atap Batavia, mengantarkan bau anyir darah yang belum sempat mengering, dan bau asap dari api yang membakar kota beberapa malam terakhir. Di dalam sebuah ruangan gelap di gang belakang, suara bisik-bisik berpadu dengan bunyi gesekan kertas peta di atas meja kayu. Lentera kecil menggantung, cahayanya bergoyang diterpa hembusan angin, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari di dinding, seakan mengintai dari setiap sudut.Sekar berdiri di ujung meja, tangannya mengepal di pinggir peta, wajahnya setengah terbenam dalam cahaya kuning. Matanya tajam, memindai setiap titik yang telah ditandai dengan tinta merah: gerbang barat benteng, menara jaga, gudang mesiu, dan ruang bawah tanah yang tersembunyi. Suaranya rendah, namun penuh bara, “Kita serang sebelum fajar. Saat mereka lengah. Tidak ada kompromi.” Napasnya terputus-putus, bukan hanya kar

  • Dosa dalam Cinta    Bab 21 – Rencana Mata-Mata

    Malam di Batavia menggantung berat di langit, kelam tanpa bintang, seakan seluruh kota bernafas dalam satu tarikan panjang yang menahan ledakan tak terhindarkan. Di dalam gudang tua yang menjadi markas sementara pemberontak, udara terasa tebal dan panas, meski angin malam meniup celah-celah papan dengan desisan lirih, seperti bisikan rahasia yang menyelinap di telinga-telinga yang cemas.Satrio berdiri di sudut ruangan, punggungnya menempel pada dinding yang dingin dan kasar. Matanya menyapu setiap wajah—pedagang tua dengan sorban lusuh yang terus mengusap keringat di dahinya, Rahman yang duduk gelisah sambil mengetukkan jari-jari di atas tongkat, dan dua pemuda baru yang saling berbisik dengan sorot mata curiga. Tatapan Satrio tajam, seperti elang yang mencium darah di udara. Ia tahu ada yang salah. Sejak pertemuan di Balai Kota, rencana-rencana mereka yang disusun rapi mendadak diketahui pihak kolonial. Seran

  • Dosa dalam Cinta    Bab 20 – Pertemuan di Balai Kota

    Langit Batavia menghitam, awan-awan gelap menggulung seperti tirai neraka yang siap merenggut dunia. Di dalam Balai Kota, udara terasa lebih berat dari baja, seolah ruangan itu menahan napasnya sendiri, menunggu percikan yang akan meledakkan segalanya. Cahaya lentera bergoyang di dinding, menciptakan bayangan-bayangan bergerigi yang menari di wajah-wajah tegang. Satrio berdiri di tengah ruangan, tubuhnya lelah, jiwanya koyak, namun matanya menyala dengan bara yang tak lagi bisa dipadamkan. Di hadapannya, Sekar duduk tegak di kursi tinggi, gaunnya lusuh namun anggun, rambutnya basah oleh keringat dan hujan yang menembus atap, wajahnya keras, dingin, namun retak di sudut-sudutnya—retak yang hanya bisa dilihat oleh seseorang yang pernah mencintainya.Suara langkah kaki terdengar berat di lantai kayu tua, gema dentumnya menggema seperti genderang perang yang menghantam dada. Di sekeliling, wajah-wajah lain menonton

  • Dosa dalam Cinta    Bab 19 – Bayangan Citra

    Malam itu terasa lebih gelap dari biasanya. Angin dingin menyelinap melalui celah-celah dinding pondok tua, membawa bisikan-bisikan halus yang seolah berasal dari dunia lain. Di dekat perapian kecil yang nyalanya mulai redup, Satrio duduk membatu, tubuhnya kaku, pandangannya kosong tertuju pada surat yang masih terlipat di tangannya. Api yang tinggal bara memantulkan kilatan samar di wajahnya yang pucat, mempertegas garis-garis lelah dan guratan luka batin yang semakin dalam. Tangannya gemetar, bukan hanya karena dingin, tetapi karena beban yang menggantung di dadanya semakin berat, menghimpit napasnya seperti rantai besi yang tak kasatmata.Pikiran Satrio berputar liar. Bayangan Citra begitu nyata di matanya—gaun putihnya yang berkibar, senyum kecil yang dulu menenangkan, dan tatapan yang kini seperti menuntut, menagih janji yang belum ditepati. Dalam kabut pikirannya, suara itu kembali t

  • Dosa dalam Cinta    Bab 18 – Surat Wasiat Nyai Rahayu

    Di dalam keheningan rumah tua yang seakan menahan napas bersama Satrio, bunyi hujan di atap terdengar seperti detak jam yang memaksa waktu berjalan lambat. Dinding kayu yang lembap memantulkan bayangan tubuhnya yang gemetar, seolah menjadi saksi bisu dari badai yang bergemuruh dalam dadanya. Tetesan minyak dari lampu lentera menguap di udara, menciptakan aroma gosong samar yang bercampur dengan debu tua dan serpihan masa lalu. Satrio duduk membungkuk, tangan-tangannya mengepal di atas meja, mencengkeram surat itu seolah kertas itu adalah jangkar terakhir yang menahannya dari jatuh ke jurang gila. Setiap kata dalam surat itu menggerogoti pikirannya seperti bisikan setan: “Sekar adalah warisan dari darah kita... dia membawa luka dan kutukan... dia harus memilih: membakar dunia atau menyelamatkannya.”Kata-kata itu berputar di kepalanya, membentuk pusa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status