Malam di Batavia jatuh dengan perlahan, menyelimuti kota dengan kegelapan yang dihiasi oleh lampu-lampu minyak yang berkelip di sepanjang jalan berbatu. Angin laut berembus membawa aroma asin yang bercampur dengan wangi dupa dari rumah-rumah bangsawan yang berdiri megah di pusat kota. Di kejauhan, suara ombak yang memecah di pelabuhan terdengar samar, bersahutan dengan suara kereta kuda yang melintas di jalan utama.
Di balik hiruk-pikuk kota yang masih terjaga, ada dua nasib yang perlahan mulai terjalin, dua kehidupan yang terpisah tetapi perlahan saling mendekat, terjerat dalam takdir yang tak bisa mereka hindari.
Di sebuah rumah besar dengan pilar-pilar putih yang menjulang angkuh, seorang wanita muda berdiri di tepi jendela kamar yang terbuka. Matanya yang tajam menatap ke arah jalanan yang basah oleh sisa hujan, tetapi pikirannya melayang ke tempat yang lebih jauh—ke masa lalu yang penuh rahasia, ke luka-luka yang belum mengering, ke kehidupan yang selama ini ia jalani dengan penuh kehati-hatian.
Namanya Sekar Puspita, seorang perempuan yang dalam bayangan banyak orang adalah lambang keindahan dan kesempurnaan. Wajahnya memesona, suaranya lembut, tutur katanya penuh perhitungan. Tetapi di balik semua itu, ada sesuatu yang selalu ia sembunyikan—sebuah bayangan dari masa lalu yang terus menghantuinya, sebuah kebenaran yang jika terungkap bisa meruntuhkan segalanya.
Ia tahu bahwa dunia ini tidak pernah benar-benar memberi tempat bagi orang-orang seperti dirinya. Ia telah belajar untuk beradaptasi, untuk bertahan, untuk menggunakan kecantikannya sebagai senjata, tetapi ia juga tahu bahwa suatu hari nanti, semua itu akan menemui batasnya.
Dan malam ini, ketika ia menatap langit Batavia yang mendung, ia merasa bahwa waktunya semakin dekat.
Di tempat lain, seorang pria muda turun dari kapal besar yang baru berlabuh di pelabuhan. Ia melangkah dengan tenang, matanya menelusuri setiap sudut kota yang dulu pernah ia tinggalkan bertahun-tahun lalu. Satrio Kusumo telah kembali.
Bertahun-tahun di tanah seberang tidak membuatnya melupakan Batavia, tetapi ia juga tahu bahwa kota ini bukan lagi tempat yang sama seperti yang ia tinggalkan dulu. Banyak hal telah berubah, tetapi yang paling ia takutkan adalah jika ia sendiri telah berubah.
Ia kembali bukan hanya untuk menapaktilasi jejak yang tertinggal, tetapi juga untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini menghantuinya. Ia tahu bahwa masa lalu tidak pernah benar-benar mati, bahwa ada hal-hal yang tidak bisa begitu saja dihapus, dan bahwa ada kebenaran yang selama ini ia hindari tetapi kini harus ia hadapi.
Langkahnya membawa dirinya melewati jalanan yang basah, melewati gang-gang sempit yang penuh dengan bisikan dan rahasia. Matanya menangkap bayangan-bayangan yang bergerak di antara cahaya lampu minyak, mendengar suara-suara samar yang mengingatkannya pada kehidupan lama yang dulu ia kenal. Tetapi yang tidak ia ketahui, adalah bahwa seseorang telah menunggunya.
Seseorang yang namanya hanya ia dengar dalam bisikan-bisikan. Seseorang yang wajahnya telah muncul dalam mimpi-mimpinya. Sekar Puspita. Dan ketika mereka akhirnya bertemu, dunia di sekitar mereka akan mulai runtuh, karena ada rahasia yang lebih dalam dari yang pernah mereka bayangkan.
Di balik keindahan Batavia yang megah, ada sesuatu yang sedang bergerak. Ada bayangan yang menyusup di antara tembok-tembok tinggi rumah bangsawan. Ada dendam yang masih membara, ada cinta yang tak pernah mati, dan ada dosa yang belum tertebus.
Mereka mungkin berpikir bahwa mereka memiliki kendali atas hidup mereka, tetapi mereka tidak tahu bahwa takdir telah menuliskan sesuatu yang jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan. Dan malam ini, roda takdir itu mulai berputar.
Di bawah rembulan yang bersembunyi di balik awan kelabu, Batavia masih terjaga dalam kesunyian yang berbisik. Di sudut-sudut kota, di antara gang-gang sempit yang dipenuhi bayangan, ada sesuatu yang tak terlihat sedang bergerak—sesuatu yang lebih gelap dari malam itu sendiri.
Di rumah besar yang berdiri megah di pusat kota, Sekar Puspita masih berdiri di tepi jendela kamarnya, matanya yang tajam menerawang jauh ke dalam kegelapan. Ada kegelisahan yang tak bisa ia jelaskan, perasaan seolah sesuatu yang besar akan segera terjadi. Ia telah lama hidup dalam ketenangan yang penuh kehati-hatian, membangun dunianya sendiri dengan cermat, memastikan bahwa tidak ada yang bisa menyentuhnya. Tetapi malam ini, ia merasa bahwa tembok-tembok yang telah ia bangun selama ini mulai retak. Ia tidak tahu bahwa di tempat yang berbeda, seorang pria tengah melangkah menuju kehidupan yang tanpa sadar akan bersinggungan dengan miliknya.
Satrio Kusumo, dengan mantel panjangnya yang masih basah oleh embun laut, berdiri di depan rumah besar tempat ia dibesarkan. Udara Batavia membawa aroma tanah yang basah dan asap dupa dari kuil-kuil kecil di ujung jalan. Rasanya begitu familiar, tetapi juga begitu asing. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang berdetak lebih cepat dari yang seharusnya.
Rumah itu masih sama, tetapi juga terasa berbeda. Pilar-pilar besar yang menopang berandanya masih berdiri kokoh, tetapi ada sesuatu yang tak kasat mata telah berubah di dalamnya. Ia tahu bahwa di balik pintu besar itu, ada seseorang yang telah menunggunya. Ia mengetuk pintu perlahan, hanya satu kali, tetapi suaranya cukup untuk menggema di seluruh rumah.
Langkah kaki terdengar dari dalam, lalu pintu kayu besar itu terbuka, memperlihatkan wajah seseorang yang telah lama tidak ia lihat.
"Satrio..." suara lembut tetapi penuh emosi itu menyambutnya.
Di hadapannya, berdiri seorang wanita yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang tetapi juga menyimpan begitu banyak rahasia—Nyai Rahayu.
Sorot mata wanita itu dipenuhi kejutan, tetapi juga sesuatu yang lain. Ada ketakutan di sana, seperti seseorang yang telah menunggu sesuatu yang tak terhindarkan tetapi tetap berharap itu tidak akan pernah tiba.
Satrio menatapnya lama sebelum akhirnya berbicara, suaranya terdengar rendah tetapi penuh kepastian.
"Aku pulang, Ibu."
Tetapi pulang bukan berarti kembali ke kehidupan yang lama.
Di tempat lain, di dalam rumah yang berbeda, Rangga Adibrata duduk di dalam ruangannya yang remang, menyesap anggur dari cawan emas yang berkilauan di bawah cahaya lilin. Senyum tipis terbentuk di wajahnya, seolah ia telah mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh siapa pun. Kabar telah sampai ke telinganya lebih cepat dari yang seharusnya.
Satrio Kusumo telah kembali. Dan itu berarti roda takdir yang selama ini ia kendalikan perlahan mulai bergerak ke arah yang tak bisa ia cegah. Ia meletakkan cawannya dengan pelan, jemarinya mengetuk meja kayu dengan irama yang teratur, menandakan bahwa pikirannya tengah bekerja. Di dalam kepalanya, ia telah menyusun rencana baru.
Karena jika ada satu hal yang ia pelajari selama bertahun-tahun, itu adalah kenyataan bahwa setiap kepulangan membawa konsekuensi. Dan kali ini, ia akan memastikan bahwa kepulangan Satrio bukanlah awal dari kebangkitan, tetapi awal dari kehancurannya. Di dalam kamar beraroma kayu cendana, Sekar Puspita menutup jendelanya perlahan. Di balik kaca yang berembun, bayangannya sendiri tampak samar, tetapi bukan itu yang membuatnya merasa resah.
Ia tahu bahwa di suatu tempat di kota ini, seseorang yang tak pernah ia temui sebelumnya kini telah kembali. Dan entah bagaimana, ia merasa bahwa hidupnya yang selama ini tertata sempurna akan berubah selamanya. Tanpa ia sadari, di luar rumahnya, sepasang mata mengamati dari kegelapan. Seseorang telah memperhatikannya. Seseorang yang tidak pernah ingin ia temui. Dan malam itu, Batavia tidak hanya menyimpan rahasia, tetapi juga menyembunyikan rencana yang akan mengguncang segalanya.
Langit di atas Batavia yang telah runtuh tidak lagi menunjukkan arah. Matahari tenggelam di balik reruntuhan kabut, dan laut, yang dahulu menjadi cermin bagi cahaya surga, kini hanya genangan gelap yang menelan semua bayangan. Sebuah desa kecil berdiri di ambang kehancuran dan kebangkitan, sunyi namun tak pernah sepenuhnya tidur. Di bawah pohon beringin yang tak lagi rimbun, di tengah tanah yang pernah terbelah oleh kutukan dan darah, seorang lelaki duduk bersila dalam diam.Satrio.Tubuhnya tua, tidak hanya oleh waktu tetapi oleh semua beban yang tak pernah benar-benar bisa dilepaskan. Di dadanya, bekas luka lama—luka dari perang, dari cinta, dari pengkhianatan—masih terasa berdenyut. Namun tidak lagi panas. Tidak lagi memohon untuk diperhatikan. Luka itu kini hanya menjadi tanda, bahwa ia pernah bertarung, dan meski kalah dalam banyak hal, ia tidak pernah sepenuhnya menyer
Langit di atas Batavia pagi itu memerah seperti luka yang baru menganga. Matahari menggeliat di balik kabut yang berat, memancarkan sinar samar yang terpecah di antara retakan awan, menciptakan semburat jingga yang pucat. Angin membawa aroma asin laut bercampur tanah hangus, bisikan masa lalu yang masih melekat di udara, seolah dunia ini belum sepenuhnya sembuh dari luka-lukanya.Satrio berdiri sendiri di tepi pantai, kakinya terbenam dalam pasir basah yang dingin. Tubuhnya tampak renta, punggungnya sedikit membungkuk, matanya kosong menatap cakrawala, tapi di sorotannya ada cahaya redup yang tak sepenuhnya padam—cahaya seseorang yang telah kehilangan banyak, namun tetap memilih bertahan. Di dadanya, liontin lama yang tergantung pada seutas benang lusuh bergoyang pelan, memantulkan cahaya samar dari matahari yang enggan.Di pikirannya, wajah-wajah
Langit sore menggantung rendah di atas pantai, sapuan jingga yang merambat perlahan ke kelabu,seolah dunia sedang bernafas pelan, menahan isak tangis yang tak pernah terucapkan. Ombak menggulung perlahan, menghantam pasir dengan irama yang dalam, membawa aroma asin laut bercampur dengan bau tanah basah dan samar-samar jejak darah yang telah lama mengering. Di tepi pantai, Satrio duduk dengan tubuh agak membungkuk, napasnya pendek-pendek, sementara di sampingnya, anak itu—Ananta—menatap cakrawala yang tak berujung, matanya kosong, dalam, seolah menatap sesuatu yang hanya bisa dilihat olehnya.Hening menggantung di antara mereka, bukan ketenangan yang utuh, melainkan semacam jeda di ambang ledakan, di mana setiap detik menjadi pengingat bahwa apa yang tampak damai hanyalah bayangan yang menyamarkan jurang di bawahnya.Satrio akhirnya memecah kesunyian, suaranya ser
Waktu bergerak seperti bisikan yang menelusup di antara cabang-cabang beringin, mengalir melalui udara yang basah oleh embun, menggoreskan jejak-jejak yang tak kasatmata di kulit dan tulang. Matahari menggantung rendah di langit, memancarkan cahaya keemasan yang tampak palsu di balik bayang-bayang kelam yang menempel di tanah—bayang-bayang yang tak sepenuhnya hilang, meski dunia tampak berjalan maju.Anak itu berdiri di tengah lapangan kecil, tubuhnya tegak, mata menatap jauh ke depan, ke batas-batas yang tak terlihat. Di wajahnya terpahat bekas luka yang tidak kasatmata—luka yang bukan berasal dari benturan fisik, melainkan dari ingatan yang mencengkeram, bisikan yang mengendap dalam gelap, dan mimpi-mimpi yang mengiris kesadaran setiap malam.Tapi di sorot matanya, ada api yang tumbuh, bukan api dendam, melainkan cahaya tekad yang membara.
Langit di atas Batavia pagi itu seperti kanvas kelabu yang menahan tangis. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan asap dupa, dan di antara bisikan daun-daun beringin yang bergoyang perlahan, ada rasa yang menggantung di udara—rasa yang samar antara kelegaan dan kesedihan, antara akhir dan awal.Satrio berdiri di bawah pohon beringin tua, tempat semua jejak darah, kutukan, dan pengkhianatan pernah bertaut. Tubuhnya tegak, tapi matanya basah, sorotnya bukan lagi mata seorang pejuang yang haus balas dendam, melainkan mata seorang pria yang telah lelah bertarung dengan dirinya sendiri. Di tangannya, ada seikat bunga kering yang ia kumpulkan dari makam-makam yang dulu ia kunjungi dalam keheningan penuh penyesalan. Di antara jari-jarinya, kain putih yang penuh bercak darah—sisa warisan yang kini ingin ia kubur bersama semua luka masa lalu.
Kabut pagi masih menggantung rendah di atas pantai, membalut garis horizon dengan kelabu pucat yang samar-samar, seolah dunia sendiri menahan napas. Laut yang semalam mengamuk kini kembali tenang, namun ketenangan itu seperti wajah palsu yang menutupi luka dalam; ombak hanya berdesir pelan, membasahi pasir yang masih retak, sementara angin membawa bau asin bercampur bau hangus yang samar—sisa dari sesuatu yang hampir saja memecah batas antara dunia dan kegelapan.Satrio berdiri di tepi pantai, telapak kakinya terasa dingin di atas pasir basah. Matanya menatap ombak yang bergulung pelan, namun pikirannya melayang jauh, menembus ruang yang tidak bisa dilihat mata: ruang di mana suara Kalina masih bergema, di mana mata merah itu masih menyala di kelam, menunggu, menuntut, menagih janji darah yang belum lunas.Namun ada sesuatu yang berbeda di dada Sa