Aku dihukum untuk mengasuh bayi laki-laki dari dosen baru, karena ketahuan tidur dan belum mengerjakan tugas yang diberikan olehnya kemarin. Mau tidak mau, ikhlas tidak ikhlas, aku akhirnya menggendong bayi Arjun. Begitu Pak Dosen memanggil bayinya. Lama kupandangi wajah bayi enam bulan ini, yang sama sekali tidak ada wajah Arab ataupun India. Lalu kenapa namanya Arjun? Apakah bayi ini ponakannya Tuan Ladusing? Ataukah dosenku pecinta dunia Bollywood?
"Pak, sepertinya Inspektur Arjun mau susu," bisikku pada Pak Dev, saat lelaki itu baru saja selesai memberikan materi di papan tulis. Sontak ia menoleh dengan wajah horor tanpa bicara."Tunggu!" katanya singkat, padat, jelas, dan begitu minimalis. Aku hanya bisa mengulum senyum, lalu memperhatikan gerak-geriknya menuangkan susu formula ke dalam botol susu yang sudah ia siapkan.Tak lupa air panas yang juga ia simpan di dalam tumbler berwarna hitam. Keningku berkerut, setahuku bayi tidak boleh dikasih susu formula, tapi Pak Dev malah memberikan susu tersebut untuk bayinya.Aku berjalan mendekat, maksud hati hendak memprotes perbuatannya. Kenapa tidak asi istrinya saja yang dibawa ke kampus?"Pak, emang bayi boleh minum sufor? Kenapa tidak asi istri Bapak yang dibawa ke kampus?" tanyaku lagi dengan keponya."Saya tidak punya istri," jawabnya singkat sambil mengocok botol susu yang sudah terisi sufor."Pulang kampung? Apa cere, Pak?" tanyaku lagi dengan tingkat kekepoan tertinggi. Ia memberikan botol itu padaku. Lalu dengan gerakan kepala memberi kode agar susu itu aku berikan pada Inspektur Arjun.Pertanyaanku tadi tak ia jawab. Kali ini kakinya berjalan perlahan mengitari meja teman-temanku, untuk mengecek tugas mereka. Inspektur Arjun menghabiskan susu di botol dalam sekejap. Pinggangku yang sakit, membuatku memutuskan untuk duduk di kursinya."Tidur ya, bayi inspektur. Kalau kamu gak tidur, nanti digigit gunderuwo loh," bisikku lagi pada bayi menggemaskan itu. Matanya mulai terpejam, lalu membuka lagi. Melihatnya seperti itu malah membuat mataku ingin terpejam lagi, seakan terhipnotis dengan mata bayi kedap-kedip di dalam gendonganku."Baiklah, kalau kamu gak mau tidur juga, Kak Andin nyanyiin ya."Arjun bobokOh Arjun bobokKalau tidak bobokDigigit keboArjun bobokOh Arjun bobokKalau tidak bobokDigigit pocong."Oke, kita ganti lagu ya," kataku lagi sambil terus menepuk-nepuk pantat gemoy bayi inspektur.Aku yang asik bernyanyi untuk Arjun dengan irama lagu Ayu Ting Ting yang berjudul alamat palsu, tak menyadari kalau dosenku itu sudah berdiri di hadapanku."Andini, lagu apa itu?!" pekiknya tertahan, membuatku terlonjak kaget."M-maaafkan saya Pak Devano.""T-tadi nyanyi lagu nina bobok, inspektur Arjun gak mau tidur. Pas saya nyayi lagu alamat palsu, malah tidur," jelasku lagi sambil menyeringai.~Bersambung~POV DevanoSepertinya aku tak asing dengan nama itu, tapi di mana aku pernah mendengarnya ya? Sepekan mengajar di kelas bisnis, aku benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan gadis itu. Jika tidak tidur di kelas, ya tidak mengerjakan tugas. Belum lagi bolak-balik ijin ke kamar mandi, dan selalu saja tak dapat menyahut dengan benar apa yang kita tanyakan.Untunglah dia bisa menenangkan Arjun yang cukup rewel hari ini. Jika tidak, dapat dipastikan aku gagal mengajar jam pertama tadi. Tak apalah lagu dangdut, yang penting Arjun tenang, dan aku bisa mengajar sampai jam tiga sore.Kupandangi wajah lelap Arjun di dalam boxnya. Bik Nur sudah pulang ke rumahnya setelah memandikan Arjun.Wajah bayi enam bulan itu nampak sangat tampan. Sungguh malang dan tega sekali orang tua yang membuang bayi seperti Arjun. Seandainya aku bisa mengulang semua masa lalu, tentulah saat ini aku akan menjadi ayah paling bahagia di dunia, karena memiliki istri cantik dan anak-anak yang cantik dan lucu. Berkas ad
POV DevanoYa Tuhan, ada-ada saja dengan mahasiswiku satu itu. Sudah sore begini dia memintaku untuk ke kampus lagi, hanya untuk membawakan pembalutnya yang tanpa sengaja ada di dalam tas Arjun. Memang jarak dari kampus dan rumahku tidaklah jauh. Aku juga biasa bersepeda ke sana. Namun sangat aneh rasanya ke kampus untuk urusan tidak penting seperti itu. Lebih baik aku abaikan saja. Urusanku di rumah ini masih banyak. Mengoreksi, membuat soal, membuat kisi-kisi ujian, memasukkan nilai. Semua itu membuat kepalaku hampir saja pecah. Ditambah lagi Arjun yang sudah semakin aktif berkeliling di dalam rumah. Pasti aku harus lebih memperhatikannya lagi.PRAK!Aku terlonjak kaget saat mulai memasukkan satu suap nasi ke dalam mulutku. Suara benda jatuh dari dalam kamar membuatku langsung berlari menuju kamar. Aku takut sekali Arjun jatuh dari tempat tidur. Telepon yang kembali berdering pun kuabaikan. Fokusku kini melihat keadaan balita itu yang ternyata baik-baik saja. Ia hanya melemparkan
POV DevanoKukayuh sepeda dengan kecepatan kilat. Untunglah keadaan kampus sudah sepi, sehingga saat aku mengebut seperti ini tak ada mahasiswa yang memperhatikan. Hanya ada satpam kampus yang menyapaku karena melihatku terlalu tergesa. Sapaan itu hanya kujawab dengan anggukan dan senyuman tipis. Arjun yang masih setia berada di dalam gendonganku tentu saja sangat senang dengan kelakuan konyolku mala mini. Ditambah lagi angina malam yang hari ini tidak terlalu kencang, tetapi tetap menyejukkan, membuat Arjun tertawa-tawa senang.Mataku melihat aneka barang dagangan yang ada di warung besar depan kampus. Ada beberapa mahasiswa juga yang nampak duduk di meja panjang yang disediakan oleh pemilik warung. Sepertinya mereka sedang menumpang wifi untuk mengerjakan tugas.“Mau beli apa, Pak?” tanya penjaga warung—wanita bertubuh kurus tinggi.“Beli apa ya? Duh, kok saya lupa,” gumamku sambnil menggaruk kepala. Otakku benar-benar tak bisa diajak kerja sama disaat genting seperti ini.“Pa
POV Devano"Rumah kamu di mana?" tanyaku pada Andini, saat kami sedang menunggu taksi online di depan gerbang kampus. Wanita itu yang memesannya langsung dari ponselnya. Aku tak tahu menahu dan dia juga tidak memberitahu apapun."Di rumah ibu saya, Pak. Saya kan single, jadi belum ada rumah," jawabnya sambil tersenyum tak sedap. Ya, tak sedap menurutku karena aku bertanya apa, dia menjawab layaknya anak TK. Malah, anak TK bisa menjawab dengan benar."Iya, saya tahu kamu tinggal di rumah Ibu kamu. Gak mungkin kamu tinggal di rumah saya'kan? Maksud ....""Emang boleh tinggal sama, Bapak?" tanyanya balik memotong ucapanku dengan polosnya. Sudahlah, lebih baik aku tidak perlu bertanya apapun lagi, jika ingin usiaku lebih panjang. Buat para pembaca yang ingin segera mengakhiri hidup, aku sarankan banyaklah berbincang dengan Andini. Tak lama kemudian, taksi tiba untuk menjemput kami. Aku duduk di depan bersama Arjun yang berada dalam gendonganku, lalu Andini duduk di belakang. Tak ada perc
POV DevanoHari yang sungguh melelahkan. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan aku baru bisa berbaring di ranjang kuno empuk, tempat biasa aku melepaskan lelah. Arjun sudah terlelap setelah menyusu satu botol dan bermain sebentar denganku.Jika kupikirkan lagi, betapa hari ini aku berlakon bukan seperti diriku. Ke sana-kemari hanya untuk mahasiswi yang membuatku kesal setiap masuk ke dalam kelasnya. Sepanjang usia, baru malam inilah aku pergi ke warung untuk membeli pembalut untuk seorang wanita yang bukan siapa-siapa. Seandainya aku adalah pemilik kampus, pasti mahasiswi seperti Andini tidak akan aku loloskan masuk kampus, karena pasti akan mengakibatkan gagal jantung para dosen dan teman-temannya.Kembali kuteringat akan parasnya. Gadis itu benar-benar seperti pernah kulihat, tapi di mana? Tak mungkin dia anak mantanku, atau anak saudara. Berkali-kali aku coba mengingat di mana pernah melihatnya, tetapi tak juga ketemu. Mungkin aku memang benar-benar tak pernah bertemu denga
POV DevanoAku merasa sangat beruntung bisa mengajar di fakultas ekonomi milik Opa Wijaya ini. Selain aku mengenal banyak staf yang tadinya pernah bekerja denganku, aku juga merasa nyaman dan diberi sedikit kelonggaran perihal Arjun yang ikut ke kampus bersamaku.Walau bayarannya tidak banyak, tetapi cukup bagiku yang saat ini masih sendiri, serta lingkungan yang cukup nyaman bagiku.Hari ini sungguh padat. Sedari pagi punggungku belum benar-benar bisa bersandar di kursi dan selera makanku menjadi buruk. Pagi tadi, aku hanya memasukkan sepotong roti bakar ke dalam mulut, dan minum segelas teh jahe. Sekarang, disaat jam sudah menunjukkan pukul sebelas, cacing di dalam perutku pun meronta minta diisi kembali.Aku masih berada di kelas D anak semester dua. Tersisa dua puluh menit lagi jam baru akan usai. Mau tidak mau, sabar tidak sabar, aku harus bersabar menunggu, sambil terus mengajak Arjun bermain. Balita itu duduk nyaman di atas meja dosen sambil memainkan mainan bunyi-bunyian.Tok
POV AndiniAku sudah bersiap sejak sore hari. Kebetulan sekali, pukul satu siang jam perkuliahanku selesai, sehingga aku bisa lebih awal pulang ke rumah. Sempat berpapasan dengan Pak Dev saat di gerbang kampus, tetapi sepertinya beliau tidak menyadari senyum yang aku lemparkan padanya. Menunggu jemputan dari Dimas sungguh membuatku berdebar. Lelaki itu adalah kakak kelasku saat SMA. Sering mengirimkan pesan dan juga salam, tetapi kami tidak juga jadian. Karena saat itu Kak Dimas sudah memiliki pacar yang satu kelas dengannya. Pertemuan kembali seminggu yang lalu, saat acara sekolah, membuat Kak Dimas kembali mengirimiku pesan. Dari yang aku tahu, dia sedang skripsi dan malah sudah bekerja. Paling tidak, jika nanti kami jadian, aku pasti merasa bangga padanya, karena pacarku mempunyai pekerjaan yang layak, walau usianya masih muda dan pastinya berbeda dengan Aleta dan Andrea yang memiliki pacar tajir karena harta orang tuanya. Aku terus saja tersenyum sambil memandang keluar rumah da
POV Devano"Jadi, itu pacar kamu?" tanyaku pada Andini yang masih saja meringis meraba kepalanya."Bukan, Pak. Baru diajak makan doang. Saya berharap dia menyatakan perasaannya, tapi malah sudah punya pacar," omelnya dengan wajah sebal. Aku tak ingin menanggapi terlalu berlebihan, tetapi jujur anak jaman sekarang pada nekat dan berani, bahkan di tempat umum. "Untung Bapak jadi Spiderman saya hari ini, kalau tidak, bisa botak saya dijambak wanita itu," tambahnya lagi sambil melirik keluar restoran. Jelas sekali wajahnya kecewa dan sedih, tetapi ia menutupinya. Ada satu yang cukup membuatku heran, kenapa malam Minggu seperti ini, dia dapat berkomunikasi dengan baik? Biasanya, kepalaku pasti berasap saat berbincang dengannya."Sini, saya pangku Arjun!" pintanya sembari memberikan kedua tangannya. Aku pun berdiri untuk memberikan bayi gemas ini untuk dipangku oleh Andini."Eh ... Saya bukan mau pangku Bapak. Itu loh, Inspektur," ujarnya lagi dengan gugup. Seketika perasaanku mulai tidak