POV Author"Jangan, Pak. Saya gak mau nikah sama aki-aki ini. Saya masih muda. Maunya nikah sama yang muda," rengek Andini dengan berlinang air mata. Beberapa orang petugas lingkungan yang berkeliling menertibkan beberapa kos-kosan karena sebentar lagi akan menyambut bulan Ramadhan. Kosan Andini termasuk salah satunya dan sialnya lagi, bertepatan dengan Andini dan Devano tengah berada di dalam kamar yang sama, sambil berpelukan."Kalau tidak mau dinikahi pria dewasa ini, kenapa tadi kamu tidur memeluknya kuat banget?" sahut petugas keamanan lingkungan sambil menahan tawa."Saya kirain guling, Pak. Rupanya aki-aki ini," jawab Andini lagi sambil menunjuk Devano yang hanya bisa menyeringai sambil menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Di dalam ruangan itu, ada sepuluh pasangan yang bukan suami istri sedeng bercumbu di dalam kamar kos mereka. Rata-rata mahasiswi dan para pekerja yang masih sangat muda. Termasuk Andini di dalamnya. Gadis itu masih saja menangis, sambil menarik keras air h
POV DevanoAku membawa tubuh lemah Andini kembali ke rumah sakit. Rasa khawatir semakin menjadi, karena setelah satu jam pingsan, Andini belum juga siuman. Dengan menumpang mobil RT setempat, aku dan Andini diantarkan ke rumah sakit terdekat."Saya hanya sampai di sini ya, Pak. Maaf, banyak pasangan lain yang harus dipantau acara akadnya dan ada juga yang harus dibawa ke kantor polisi, karena mereka tidak mau dinikahkan," ujar Pak Sanusi, selaku sekretaris RT yang mengantarku sampai lobi IGD rumah sakit."Baik, Pak. Maaf, saya sudah merepotkan, Bapak. InsyaAllah kami baik-baik saja," jawabku sambil tersenyum."Sebagai lelaki, tentu kita baik-baik saja, yang tidak baik adalah pengantin perempuan. Pasti sakit," ledek Pak Sanusi sambil mencolek lenganku. Sontak wajahku memerah karena malu. Benar saja, aku hampir lupa, jika saat ini Andini adalah mahasiswi sekaligus istri dadakanku. Itu tandanya, kami akan malam pertama sebentar lagi. Semoga dapat berjalan dengan lancar, sampai waktunya t
POV AndiniAku hanya ingin punya pacar yang baik dan setia, tapi kenapa Tuhan malah mengirimkanku suami yang sudah tua. Ingin rasanya aku meng-cancel doa waktu itu. Dalam salat kuberdoa, agar segera dipertemukan dengan lelaki terbaik yang tidak akan pernah melukai perasaanku, tapi pacar, bukan suami. Apakah ini bagian dari takdir Tuhan, agar perasaanku tidak selalu tersakiti? Namun, bukankah Pak Dev menyukai Andrea? Kenapa malah sepertinya dia senang dengan pernikahan ini? Aku terus saja memikirkan bagaimana nasibku kelak? Apakah sudah benar-benar menjadi istri Pak Dev, atau hanya berpura-pura saja? Bagaimana nanti reaksi papa dan ibu? Kepalaku semakin berat saat memikirkan itu semua.Tak ada pergerakan lagi di belakang punggungku. Apakah lelaki itu sudah benar-benar terlelap? Dengan gerakan hati-hati aku menoleh ke belakang. Ada lelaki itu di sana, tengah berbaring di sofa panjang. Tangan kanannya ia letakkan di atas wajahnya. Sehingga aku tidak bisa memastikan lelaki itu benar-bena
POV AuthorKeesokan harinya, kondisi Andini sudah lebih baik dan lebih segar. Gadis itu juga sudah mau makan, walau tak banyak. Dia terpaksa melakukannya karena jika dia kembali menolak makan, maka Devano akan kembali menciumnya. Bibirnya sudah memerah karena tak mau sarapan tadi pagi, dan berakhir dengan ciuman panas dan menyebalkan dari suaminya. Percuma ia menolak, karena Devano memiliki surat pernyataan bahwa mereka sudah menikah siri. Surat yang bertanda tangan keduanya dan juga bermaterai.Pukul sembilan pagi, Andini akhirnya mau menelan bubur ayam dari rumah sakit, tentu saja dengan Devano yang menyuapinya."Saya mau keluar dari rumah sakit," ujar Andini pada Devano."Mau ngapain? Mau ngamen lagi?" tanya Devano balik, sambil meletakkan nampan kosong di dekat pintu."Iya. Bosan di sini," jawab Andini dengan tak semangat."Ngamen sama saya saja. Biar saya yang bayar. Kamu gak perlu ngamen di bus kota, atau ke mana-mana. Sekarang kamu istri saya, sudah menjadi tanggung jawab saya
POV Author“Bagaimana keadaan Bapak tua ini, Dok?” tanya Andini saat dokter jaga stasiun baru saja selesai memeriksakan keadaan Devano.“Ada masalah dengan tangan palsunya. Saran saya, begitu sampai di Jakarta, harus segera diperiksakan. Kalau bisa, untuk sementara jangan mengangkat yang berat dulu ya,” jawab dokter itu sambil menoleh pada Devano dan Andini bergantian.“Mbak, juga tolong perhatikan Bapaknya. Jangan disuruh angkat galon air, atau angkat barbell ya. Pkoknya jangan angkat yang berat-berat dulu,” lanjut dokter itu lagi sembari memberikan senyuman tipisnya pada Andini. Devano merasakan aura negative pada tatapan leleki yang bergelar dokter pada Andini. Lelaki itu masih muda dan tampan, tentulah ia perlu merasa was-was dengan suasana saat ini. Apalagi, dokter muda itu mengira Devano adalah ayah dari Andini.“Maaf, Dok. Saya bukan ayah gadis ini, tapi saya suaminya. Kami masih pengantin baru. Lihat saja wajah saya dan wajah istri saya yang ceria. Tangan saya sakit karren
Pov AuthorAndini menangis melewati malam perkenalan dengan Edo. Gadis yang sudah tak gadis lagi itu, terisak sesegukan sambil memunggungi suaminya. Selimut tebal ia tarik hingga menutupi seluruh tubuh hingga kepala. Devano menjadi merasa sangat bersalah. Dia tak bisa menahan diri untuk bereksperimen kembali dengan Edo. Hingga melukai Andini. Namun di sisi lain, ia merasa senang tak terkira, karena memang bersama Andini'lah keperkasaannya bisa kembali aktif. Setelah belasan tahun mati suri."Sayang, maaf ya," bisik Devano sambil menyentuh pelan kain selimut yang menutupi seluruh tubuh istrinya.Tak ada sahutan. Hanya isakan dan suara air hidung yang ditarik berkali-kali, yang sampai ke telinganya. Mungkinkah Andini benar-benar marah padanya? "Apa yang harus kulakukan?" gumam Devano sembari menggigit bibirnya."Saya rela kamu hukum apa saja, asal jangan nangis," katanya lagi sambil terus membujuk sang istri. Selimut yang menutupi seluruh tubuh Andini akhirnya terbuka hingga memperliha
POV AuthorDua satu plusAndini dan juga Devano sudah berada di depan rumah keluarga Andini. Mereka sengaja tiba lebih awal, agar bisa bertemu dengan seluruh anggota keluarga. Andini mencoba membuka pagar, tetapi tidak bisa karena masih terkunci. Itu pertanda subuh tadi, papanya tidak berangkat salat Subuh di masjid."Assalamualaikum, Andrea, Aleta!" teriak Andini. Devano meletakkan telunjuk di bibirnya, maksud hati memberitahu Andini agar tidak terlalu histeris memanggil orang di dalam rumahnya."Kalau suara saya pelan, tidak ada yang buka pintu. Jadi, harus keras manggilnya, Pak," ujar Andini sudah bersiap dengan menarik napas kembali, hendak berteriak kembali."Aleta! Andrea! Buka woy!" Andini berteriak lebih keras. Namun yang keluar bukanlah anggota keluarganya, tetapi para tetangga yang keluar dari rumah mereka. Andini dan Devano langsung menjadi pusat perhatian. Lelaki itu menempelkan kedua telapak tangannya, lalu diletakkan di dada. Tubuhnya juga sedikit membungkuk, tanda permo
"Pokoknya saya gak mau, kalau sampai teman-teman di kampus tahu, jika kita sudah menikah," tukasku saat tengah memasang tali sepatu sneaker. Pak Dev mengangguk, sambil mengunci pintu rumah."Memangnya kenapa gak boleh tahu?" tanyanya kemudian. Aku memutar bola mata malas, lalu menoleh pada suamiku yang nampak serius menunggu jawaban. Lelaki setengah baya itu duduk di sebrangku, sambil terus menatap ke arahku. "Gak boleh, selagi belum menikah secara negara. Ada tentara yang menembakkan senjatanya ke langit saat kita berjalan memasuki ruang akad. Ada juga pasukan yang mengiringi kita di belakang, dengan seragam serba putih," ujarku dengan antusias. Ah ... Benar-benar pernikahan impianku selama ini."Mm ... Itu kalau nikah sama tentara atau polisi, baru ada pasukan serba putih yang mengiringi. Karena nikahnya sama saya, pasukan serba putihnya bukan tentara, melainkan pocong. Ha ha ha ...." jawaban Pak Dev membuatku sangat kesal. Aku bangun dari duduk, lalu berjalan lebih dahulu keluar d