로그인“Kamu dari mana? Baru pulang jam segini?”
Ibu kos berdiri di depan pintu kamar Tiara. Dia adalah Ines, Tante Tiara. Ines melipat kedua tangan di depan dadanya yang besar. “Tante lihat semalam Naira cuman pulang sendiri,” kata Ines dengan tidak sabar. Ines mengendus aroma tubuh Tiara. “Kamu mabuk, ya?” Merasa ada yang salah, Tiara mencoba menciumi aroma tubuhnya sendiri. Tiara berkata, “Aku nggak tahu kalau minumanku dicampur alkohol, Tante. Sumpah!” Mata Ines melotot. Kemudian tangannya menggeplak bokong Tiara. “Kok bisa?! Bagaimana aku bisa mempertanggungjawabkan tingkah lakumu sama ibumu?” Tiara meringis. “Ampun Tante! Aku cuman minum seteguk, Tante. Beneran. Sumpah! Tapi habis itu aku nggak ingat apa-apa.” Ines berjalan mengelilingi Tiara. Tampak marah tapi juga khawatir. “Tapi kamu nggak digrepe-grepe lelaki hidung belang kan?” Untungnya, Tiara memakai gaun tanpa lengan dengan leher tinggi. Jadi, jejak ciuman pada kulit lehernya tertutup sempurna. Tiara menggeleng. “Nggak, Tante.” “Ya, sudah. Tante buatkan kamu sup hangat biar kamu nggak mabuk lagi. Cepat sana masuk kamar, mandi, dan langsung ke rumah Tante!” ucap Ines dengan tegas. Ines memang terlihat sangar dan galak. Tapi sebetulnya, dia adalah seorang wanita yang baik hati dan hangat. Dia kehilangan anak satu-satunya yang berumur 18 tahun. Sejak saat itu, ibunya Tiara menyuruhnya untuk tinggal di rumah Ines agar tidak kesepian. Rumah Ines sangat besar. Oleh karena itu, Tiara menyarankan untuk menjadikan rumahnya sebagai kos-kosan. Ines dan suaminya, Roberto Maximiliano, seorang warga negara Italia, setuju untuk merenovasi rumah dan membuat beberapa kamar kos untuk mahasiswa. Kebetulan, rumah mereka memang dekat sekali dengan kampus. Tiara segera masuk ke kamarnya dan melihat Naira masih tertidur pulas. Dengan kesal, Tiara membangunkan Naira. “Heh, Ira! Kamu keterlaluan banget sih!” Tiara menggoyang-goyangkan kaki Naira dengan kakinya. “Bangun nggak? Atau kamu aku siram sekarang!” Naira perlahan membuka matanya. Menggeliat. “Apa siiih?” Tiara menarik badan Naira hingga terduduk. Naira masih belum sadar sepenuhnya. “Kamu jahat banget sih! Aku kan sudah bilang, aku nggak bisa minum alkohol!” pekik Tiara. Naira malah cengar-cengir. “Sekali-kali nggak apa-apa kan. Biar kamu nggak cemberut mulu mikirin Pak Bima!” Tiba-tiba jantung Tiara berdebar kencang. Bayangan semalam berkelebatan di dalam ingatannya. Setelah Tiara meneguk minumannya, dia keluar. Bermaksud untuk pergi ke toilet. Tapi tubuhnya tidak bisa dikendalikan. Hingga dia menabrak Bima yang sedang duduk di meja bar sendirian. Bima langsung menangkapnya. Dia terkejut melihat mahasiswanya berada di bar dalam keadaan mabuk. Tiara mengangkat wajahnya dan menatap Bima. Dia tersenyum dan tiba-tiba mengecup bibir Bima. Kemudian, mereka berdua berciuman dengan penuh gairah, hingga berakhir di sebuah kamar hotel. Tiara kembali pada kesadarannya. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya mengusir semua ingatan itu. “Sialan!” umpat Tiara. “Tuh kan, kamu masih saja mengingat-ingat perlakuan Pak Bima sama kamu,” ucap Naira. Tiara melotot. ‘Ira nggak mungkin tahu apa yang aku lakukan sama Pak Bima semalam?’ “Pak Bima melemparkan skripsi dan menyuruh kamu penelitian lagi dari awal!” teriak Naira yang masih terlihat mabuk. Entah berapa botol dia minum sampai seperti itu. Tiara menghela napas lega. Untung saja Naira ternyata membahas kejadian saat Tiara bimbingan di kubikel Bima. Tiara memang sangat kesal karena kejadian itu. Padahal skripsinya sudah memasuki bab 4 dan dia sedang menggarap bab 5 supaya bisa lebih cepat selesai, malah disuruh mengulangi lagi penelitian. Meskipun dia tahu, Pak Bima memang seorang dosen yang terkenal killer dan sangat teliti. Tapi dia tidak pernah sampai marah-marah dan melemparkan skripsi kepada mahasiswanya. “Sudahlah! Aku mau mandi sekarang. Pokoknya lain kali, nggak ada ampun kalau kamu jebak aku mabuk lagi!” ucap Tiara kesal. Naira mengiyakan dan kembali tertidur. Tiara mengambil handuk dan pakaian gantinya. Lalu segera masuk ke kamar mandi. Saat Tiara menggosok gigi, dia langsung teringat momen berciuman dengan Bima. Saat Tiara melepas pakaian, dia juga langsung teringat ketika mereka saling melepas pakaian dengan penuh gairah. Bahkan, saat air dari shower membasahi tubuh Tiara, dia langsung teringat sentuhan lembut Bima. Tiara menggeleng-gelengkan kepalanya dan mengusap seluruh tubuh dengan kasar. Menghempaskan semua ingatan dan berusaha membersihkan perasaan jijik dari tubuhnya itu. Perlahan matanya berlinang. Dia menangis menyesali perbuatannya. “Apa yang telah kulakukan?!” Setelah selesai, Tiara segera berganti pakaian dan menuju rumah Ines. Sesampainya di sana, Tiara melihat di atas meja makan sudah tersaji sup ayam hangat, perkedel kentang, sambal bawang, dan air hangat madu. Roberto sudah duduk di kursinya. Sedangkan Ines masih menyiapkan alat makan untuk mereka. “Aku bantu, Tante,” ucap Tiara. “Sudah, duduk. Biar Tante saja,” sahut Ines. Roberto tersenyum melihat keponakannya yang ternyata kini sudah beranjak dewasa. “Pagi, Tiara. Selamat ya, kamu sudah resmi menjadi dewasa!” seru Roberto.“Diambil darahnya kan pas Ayah pingsan. Jelas nggak sakit,” celetuk Septha. Anak satu ini memang suka ceplas-ceplos. Gen Alpha memang beda. Semua orang jadi tertawa mendengarnya. Tidak lama kemudian, seorang dokter jaga bertubuh tinggi dengan kulit yang eksotis datang. Perawat cantik bertubuh mungil mengikutinya di belakang sambil membawa berkas medis. “Selamat siang Bapak dan Ibu, juga Kakak dan Adik. Hasil tes laboratorium sudah saya terima,” ucap dokter jaga sambil meminta berkas dari perawat. Dokter membaca kembali hasil tesnya. “Kadar hemoglobin Bapak cukup rendah di 8,5 g/dL, nilai normalnya untuk pria di angka 13 ke atas. Ada kemungkinan, Bapak mengalami anemia.”Tiara, Mia, dan juga Septha mendengarkan dokter dengan seksama. Mereka berpegangan tangan, berharap semuanya baik-baik saja. Dokter melanjutkan penjelasannya. “Dan juga kadar gula darah Bapak Jeremy juga cukup rendah, di angka 60 mg/dL. Kondisi ini bisa jadi membuat Bapak pusing, pandangan kabur, dan bahkan pingsa
Bima menggeleng. “Bukan menyiapkan, tapi membelikan dan mengantarkan ke sini.”“Yah, Pak, kalau saya tidak bisa bagaimana, Pak?” rengek Tiara. “Saya harus kerja soalnya, Pak.”Bima merapikan mejanya. “Saya tidak mau tahu. Bagaimanapun, sesibuk apapun, kamu harus menyempatkan diri untuk mengantar makanan saya ke sini.”Lalu, dia berdiri dan mencondongkan wajahnya ke arah Tiara. Tiara agak tersentak kaget. “Kamu harus ingat kesepakatan kita,” ucap Bima dengan tatapan yang tajam dan senyum sinisnya.Tiara tampak syok. “B-baik kalau begitu, Pak.”Bima melihat jam tangannya. “Ya sudah, kamu boleh keluar.”“Kita nggak bimbingan, Pak?” tanya Tiara tak percaya. “Sudah selesai,” ucap Bima. Tiara hanya mendengus kesal. Mau tidak mau dia hanya mengangguk dan bergegas membereskan laptopnya. Tidak lupa, dia masukkan black card milik Bima ke dalam dompetnya. Lalu, dia pamit. Belum juga Tiara melangkahkan kakinya keluar, Bima memanggilnya kembali. “Tiara,” ucap Bima.Tiara menoleh. “Ya, Pak?”“
“Aku nggak telat, kan?” tanya Tiara sambil melihat jam tangannya. Tiara segera masuk ke lift dan menekan tombol 4, jurusan Sastra Inggris berada. Gedung fakultas bahasa memiliki bentuk yang unik. Dari luar tampak seperti kubus-kubus bertumpuk tak beraturan dan berwarna-warni. Keluar dari lift, tampak sebuah lobby penuh dengan nuansa merah, biru, dan putih. Lengkap dengan ornamen bendera Inggris dan juga boneka singa sebagai hewan nasional Inggris. Di sebelah kiri lobby, terdapat kantor jurusan serta ruang Kepala Jurusan. Di sebelah kanan, terdapat ruang Ketua Program Studi dan juga Sekretaris Program Studi. “Tiara!” panggil Pak Fendy, Ketua Administrasi Jurusan. “Ini berkas laporan penelitian yang harus kamu isi, dan nanti harap dilampirkan di dalam skripsi kamu, ya!”“Oh, iya, Pak. Terima kasih,” ucap Tiara. “Bagaimana, skripsi kamu lancar?” tanya Pak Fendy. Tiara hanya bisa tersenyum getir. Skripsinya tidak lancar. Bahkan terancam mengulang lagi dari nol. Tapi, dia juga tidak
“Dih, belum bangun juga ini anak!”Tiara mengambil toner spray-nya dan segera menyemprotkan ke wajah Naira. Naira terkejut dan gelagapan. Seperti yang tenggelam di kolam renang. “Woy, bangun!” Tiara menepuk-nepuk pipi Naira pelan. “Kamu di kasur, kagak tenggelam, Ira!”Naira tiba-tiba membuka matanya. Tangannya mengusap wajahnya yang basah. “Aku masih hidup ya?”Tiara menyodorkan segelas air madu untuknya. “Nih, minum dulu. Dari Tante.”Naira mengambil gelas itu dan meminumnya. Rasa pusingnya mulai memudar. “Ini jam berapa sih?” tanya Naira. Matanya menyipit melihat jam. “Jam 9. Sana mandi, abis itu makan. Tuh udah aku bawain dari Tante,” jawab Tiara. Naira mengucek-ngucek matanya. Lalu dia tersentak kaget. “Hah?! Jam 9? Sialan! Kenapa kamu nggak bangunin aku dari tadi sih?”Naira bergegas bangun dan ke kamar mandi. Secepat kilat, Naira sudah keluar lagi dan berganti pakaian. “Heh, kamu nggak mandi?” tanya Tiara kaget. “Mandi, gigi doang,” jawab Naira cuek. “Nanti ajalah pulang
Ines melirik tajam. “Jangan macam-macam deh, Caro!”Caro adalah panggilan sayang dalam bahasa Italia. Sejak Ines dan Roberto menikah, mereka sepakat tetap memanggil masing-masing dengan panggilan sayang saat mereka masih pacaran dulu. “Jangan semangati Tiara seperti itu, nanti dia keluyuran lagi. Mabok lagi!” sindir Ines. Tiara menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nggak, Tante. Suer. Janji. Aku nggak mau clubbing lagi. Kapok!”Roberto terkekeh. “Bella, nggak apa-apa lah. Sesekali. Tiara juga sudah dewasa. Sudah 22 kan?”Tiara mengangguk. “Biarkan dia menentukan hidupnya,” lanjut Roberto. Ines menyendok nasi ke piring Roberto, lalu ke piring Tiara. “Sudah, ayo kita makan!”Tiara meminum air madunya terlebih dahulu. Rasa pusing hilang seketika. Lalu makan dengan lahap. “Ahh, masakan Tante memang juara!” ucap Tiara senang. Roberto menggerogoti tulang ayam. “Kamu tahu, Tiara, masakan Tantemu ini jugalah yang meluluhkan hati Mamma Om.”“Oh iya? Emang dulu kalian nggak direstui? Gimana ce
“Kamu dari mana? Baru pulang jam segini?”Ibu kos berdiri di depan pintu kamar Tiara. Dia adalah Ines, Tante Tiara. Ines melipat kedua tangan di depan dadanya yang besar. “Tante lihat semalam Naira cuman pulang sendiri,” kata Ines dengan tidak sabar. Ines mengendus aroma tubuh Tiara. “Kamu mabuk, ya?”Merasa ada yang salah, Tiara mencoba menciumi aroma tubuhnya sendiri. Tiara berkata, “Aku nggak tahu kalau minumanku dicampur alkohol, Tante. Sumpah!”Mata Ines melotot. Kemudian tangannya menggeplak bokong Tiara. “Kok bisa?! Bagaimana aku bisa mempertanggungjawabkan tingkah lakumu sama ibumu?”Tiara meringis. “Ampun Tante! Aku cuman minum seteguk, Tante. Beneran. Sumpah! Tapi habis itu aku nggak ingat apa-apa.”Ines berjalan mengelilingi Tiara. Tampak marah tapi juga khawatir. “Tapi kamu nggak digrepe-grepe lelaki hidung belang kan?”Untungnya, Tiara memakai gaun tanpa lengan dengan leher tinggi. Jadi, jejak ciuman pada kulit lehernya tertutup sempurna. Tiara menggeleng. “Nggak, Ta







