로그인Ines melirik tajam. “Jangan macam-macam deh, Caro!”
Caro adalah panggilan sayang dalam bahasa Italia. Sejak Ines dan Roberto menikah, mereka sepakat tetap memanggil masing-masing dengan panggilan sayang saat mereka masih pacaran dulu. “Jangan semangati Tiara seperti itu, nanti dia keluyuran lagi. Mabok lagi!” sindir Ines. Tiara menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nggak, Tante. Suer. Janji. Aku nggak mau clubbing lagi. Kapok!” Roberto terkekeh. “Bella, nggak apa-apa lah. Sesekali. Tiara juga sudah dewasa. Sudah 22 kan?” Tiara mengangguk. “Biarkan dia menentukan hidupnya,” lanjut Roberto. Ines menyendok nasi ke piring Roberto, lalu ke piring Tiara. “Sudah, ayo kita makan!” Tiara meminum air madunya terlebih dahulu. Rasa pusing hilang seketika. Lalu makan dengan lahap. “Ahh, masakan Tante memang juara!” ucap Tiara senang. Roberto menggerogoti tulang ayam. “Kamu tahu, Tiara, masakan Tantemu ini jugalah yang meluluhkan hati Mamma Om.” “Oh iya? Emang dulu kalian nggak direstui? Gimana ceritanya Om?” tanya Tiara antusias. Ines mengambil ayam lagi dari mangkuk untuk Roberto. Roberto kembali melahap ayamnya. “Saat itu, kami bertemu di trem. Tante beserta temannya sedang jalan-jalan di Romaro. Saat turun, ternyata dompetnya jatuh dan tertinggal,” jelas Roberto. Tiara mendengarkan dengan seksama sambil melahap makanannya. Roberto kemudian mengambil sambal. Padahal wajahnya sudah merah kepedasan. “Om mau mengembalikan, tapi pintu trem sudah tertutup. Jadi, Om berencana untuk turun di halte berikutnya dan kembali ke halte tempat Tantemu turun tadi.” Ines sibuk makan. Tampaknya, dia sedikit malu mendengarkan kembali kisah cinta mereka. “Om membuka dompet Tantemu untuk memeriksa identitasnya,” lanjut Roberto. “Dan anehnya, saat itu juga Om merasa ada getaran-getaran yang nggak biasa.” Tiara semakin antusias. “Cinta pada pandangan pertama, Om?” Roberto tersenyum. Ia kemudian menggenggam tangan istrinya. Tiara reflek menutup matanya. “Aww, manis sekali, Om!” “Kamu tahu, setelah Om coba cari-cari ke beberapa tempat yang mungkin didatangi para turis, Om terkejut. Karena ternyata, Tantemu ini sedang dimarahi oleh Mamma Om!” pekik Roberto. Tiara tertawa. “Serius, Om?” Roberto mengangguk. “Mamma! Mia Mamma! Kata Om, ingin mencoba melerai. Ada apa ini? Kenapa Mamma ribut dengan orang asing?” Roberto menyendok nasinya lagi. Makannya sangat banyak. Pasti karena masakan Ines memang enak. Tubuh Roberto muda dulu begitu kurus, tapi sekarang badannya begitu mengembang. “Mamma Om bilang, ternyata karena Tantemu dan teman-temannya berjalan terlalu heboh sampai menyenggol belanjaan Mamma dan berhamburan!” ucap Roberto bersemangat. Mata Tiara melotot tak percaya. “Ya ampun! Pantas saja Mamma Om sampai nggak merestui hubungan kalian.” Roberto mengangguk-anggukkan kepalanya. “Perjuangan yang sangat berat.” Roberto dan Tiara tertawa. Ines hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nah, setelah semuanya tenang, Tantemu meminta maaf kepada Mamma, dan Mamma juga meminta maaf, Tantemu dan teman-temannya pamit. Barulah Om ingat, mau apa ke tempat itu,” lanjut Roberto. Tiara mengambil minumnya dan meneguk perlahan. Roberto kemudian berdiri dan memperagakan momen itu. “Ines! Lalu Tantemu menoleh tidak percaya.” Roberto menepukkan tangannya ke dada. “Saya?” Lalu dia celingukan. “Kamu memanggil saya? Dan Om pun mengangguk. Om lihat dengan sudut mata, Mamma menatap Om tak percaya. Kamu mengenalnya? Katanya.” “Lalu?” tanya Tiara antusias. “Om kemudian menunjukkan dompet milik Tantemu. Lalu dia mengecek tasnya dan baru menyadari kalau dompetnya nggak ada,” ucap Roberto. Tiara tersenyum. “Dompet yang mengantarkan Om kepada jodoh. Aww!” “Sudah selesai makannya, Caro?” Ines menyela hendak mengambil piring Roberto yang tinggal setengah. Roberto segera duduk kembali dan melahap sisa makannya dengan cepat. Setelah selesai makan, dia menenggak minumnya dan melanjutkan kembali ceritanya. Tiara sangat suka mendengar cerita Roberto. Roberto selalu ekspresif dan penuh gestur. Tiara selalu merasa sedih karena orang sebaik Roberto dan Ines harus mengalami kehilangan yang begitu pedih. Makanya, Tiara juga sangat bersyukur bisa selalu hadir untuk mereka. Meskipun tidak bisa menggantikan keberadaan anak mereka yang sudah meninggal, tapi dia bisa menghibur hati mereka yang terluka begitu dalam. “Caro, sudah jam berapa tuh?” tanya Ines lembut sambil menunjuk jam. “Nggak mau kerja?” Roberto melihat jam. “Astaga! Aku lupa ada meeting dengan client sebentar lagi. Tiara, Om berangkat dulu ya.” Tiara mengangguk. “Ya, Om, hati-hati!” Roberto mengecup kening Ines lembut. Lalu bergegas pergi. Ines dan Tiara kemudian membereskan meja makan. Tidak lupa, Ines membungkus makanan untuk Naira, teman sekamar Tiara. Setelah Tiara selesai mencuci piring, dia pamit untuk kembali ke kamar. “Tante, tolong jangan bilang-bilang Bunda ya,” pinta Tiara sambil memeluk Ines dari belakang. Ines memutar bola matanya. “Tapi awas! Kalau kamu minum-minum lagi, Tante nggak akan segan-segan suruh Bunda bawa kamu pulang!” Tiara tersenyum senang. Lalu, dia mengecup pipi Ines. “Aku janji, Tante! Terima kasih sarapannya.”“Diambil darahnya kan pas Ayah pingsan. Jelas nggak sakit,” celetuk Septha. Anak satu ini memang suka ceplas-ceplos. Gen Alpha memang beda. Semua orang jadi tertawa mendengarnya. Tidak lama kemudian, seorang dokter jaga bertubuh tinggi dengan kulit yang eksotis datang. Perawat cantik bertubuh mungil mengikutinya di belakang sambil membawa berkas medis. “Selamat siang Bapak dan Ibu, juga Kakak dan Adik. Hasil tes laboratorium sudah saya terima,” ucap dokter jaga sambil meminta berkas dari perawat. Dokter membaca kembali hasil tesnya. “Kadar hemoglobin Bapak cukup rendah di 8,5 g/dL, nilai normalnya untuk pria di angka 13 ke atas. Ada kemungkinan, Bapak mengalami anemia.”Tiara, Mia, dan juga Septha mendengarkan dokter dengan seksama. Mereka berpegangan tangan, berharap semuanya baik-baik saja. Dokter melanjutkan penjelasannya. “Dan juga kadar gula darah Bapak Jeremy juga cukup rendah, di angka 60 mg/dL. Kondisi ini bisa jadi membuat Bapak pusing, pandangan kabur, dan bahkan pingsa
Bima menggeleng. “Bukan menyiapkan, tapi membelikan dan mengantarkan ke sini.”“Yah, Pak, kalau saya tidak bisa bagaimana, Pak?” rengek Tiara. “Saya harus kerja soalnya, Pak.”Bima merapikan mejanya. “Saya tidak mau tahu. Bagaimanapun, sesibuk apapun, kamu harus menyempatkan diri untuk mengantar makanan saya ke sini.”Lalu, dia berdiri dan mencondongkan wajahnya ke arah Tiara. Tiara agak tersentak kaget. “Kamu harus ingat kesepakatan kita,” ucap Bima dengan tatapan yang tajam dan senyum sinisnya.Tiara tampak syok. “B-baik kalau begitu, Pak.”Bima melihat jam tangannya. “Ya sudah, kamu boleh keluar.”“Kita nggak bimbingan, Pak?” tanya Tiara tak percaya. “Sudah selesai,” ucap Bima. Tiara hanya mendengus kesal. Mau tidak mau dia hanya mengangguk dan bergegas membereskan laptopnya. Tidak lupa, dia masukkan black card milik Bima ke dalam dompetnya. Lalu, dia pamit. Belum juga Tiara melangkahkan kakinya keluar, Bima memanggilnya kembali. “Tiara,” ucap Bima.Tiara menoleh. “Ya, Pak?”“
“Aku nggak telat, kan?” tanya Tiara sambil melihat jam tangannya. Tiara segera masuk ke lift dan menekan tombol 4, jurusan Sastra Inggris berada. Gedung fakultas bahasa memiliki bentuk yang unik. Dari luar tampak seperti kubus-kubus bertumpuk tak beraturan dan berwarna-warni. Keluar dari lift, tampak sebuah lobby penuh dengan nuansa merah, biru, dan putih. Lengkap dengan ornamen bendera Inggris dan juga boneka singa sebagai hewan nasional Inggris. Di sebelah kiri lobby, terdapat kantor jurusan serta ruang Kepala Jurusan. Di sebelah kanan, terdapat ruang Ketua Program Studi dan juga Sekretaris Program Studi. “Tiara!” panggil Pak Fendy, Ketua Administrasi Jurusan. “Ini berkas laporan penelitian yang harus kamu isi, dan nanti harap dilampirkan di dalam skripsi kamu, ya!”“Oh, iya, Pak. Terima kasih,” ucap Tiara. “Bagaimana, skripsi kamu lancar?” tanya Pak Fendy. Tiara hanya bisa tersenyum getir. Skripsinya tidak lancar. Bahkan terancam mengulang lagi dari nol. Tapi, dia juga tidak
“Dih, belum bangun juga ini anak!”Tiara mengambil toner spray-nya dan segera menyemprotkan ke wajah Naira. Naira terkejut dan gelagapan. Seperti yang tenggelam di kolam renang. “Woy, bangun!” Tiara menepuk-nepuk pipi Naira pelan. “Kamu di kasur, kagak tenggelam, Ira!”Naira tiba-tiba membuka matanya. Tangannya mengusap wajahnya yang basah. “Aku masih hidup ya?”Tiara menyodorkan segelas air madu untuknya. “Nih, minum dulu. Dari Tante.”Naira mengambil gelas itu dan meminumnya. Rasa pusingnya mulai memudar. “Ini jam berapa sih?” tanya Naira. Matanya menyipit melihat jam. “Jam 9. Sana mandi, abis itu makan. Tuh udah aku bawain dari Tante,” jawab Tiara. Naira mengucek-ngucek matanya. Lalu dia tersentak kaget. “Hah?! Jam 9? Sialan! Kenapa kamu nggak bangunin aku dari tadi sih?”Naira bergegas bangun dan ke kamar mandi. Secepat kilat, Naira sudah keluar lagi dan berganti pakaian. “Heh, kamu nggak mandi?” tanya Tiara kaget. “Mandi, gigi doang,” jawab Naira cuek. “Nanti ajalah pulang
Ines melirik tajam. “Jangan macam-macam deh, Caro!”Caro adalah panggilan sayang dalam bahasa Italia. Sejak Ines dan Roberto menikah, mereka sepakat tetap memanggil masing-masing dengan panggilan sayang saat mereka masih pacaran dulu. “Jangan semangati Tiara seperti itu, nanti dia keluyuran lagi. Mabok lagi!” sindir Ines. Tiara menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nggak, Tante. Suer. Janji. Aku nggak mau clubbing lagi. Kapok!”Roberto terkekeh. “Bella, nggak apa-apa lah. Sesekali. Tiara juga sudah dewasa. Sudah 22 kan?”Tiara mengangguk. “Biarkan dia menentukan hidupnya,” lanjut Roberto. Ines menyendok nasi ke piring Roberto, lalu ke piring Tiara. “Sudah, ayo kita makan!”Tiara meminum air madunya terlebih dahulu. Rasa pusing hilang seketika. Lalu makan dengan lahap. “Ahh, masakan Tante memang juara!” ucap Tiara senang. Roberto menggerogoti tulang ayam. “Kamu tahu, Tiara, masakan Tantemu ini jugalah yang meluluhkan hati Mamma Om.”“Oh iya? Emang dulu kalian nggak direstui? Gimana ce
“Kamu dari mana? Baru pulang jam segini?”Ibu kos berdiri di depan pintu kamar Tiara. Dia adalah Ines, Tante Tiara. Ines melipat kedua tangan di depan dadanya yang besar. “Tante lihat semalam Naira cuman pulang sendiri,” kata Ines dengan tidak sabar. Ines mengendus aroma tubuh Tiara. “Kamu mabuk, ya?”Merasa ada yang salah, Tiara mencoba menciumi aroma tubuhnya sendiri. Tiara berkata, “Aku nggak tahu kalau minumanku dicampur alkohol, Tante. Sumpah!”Mata Ines melotot. Kemudian tangannya menggeplak bokong Tiara. “Kok bisa?! Bagaimana aku bisa mempertanggungjawabkan tingkah lakumu sama ibumu?”Tiara meringis. “Ampun Tante! Aku cuman minum seteguk, Tante. Beneran. Sumpah! Tapi habis itu aku nggak ingat apa-apa.”Ines berjalan mengelilingi Tiara. Tampak marah tapi juga khawatir. “Tapi kamu nggak digrepe-grepe lelaki hidung belang kan?”Untungnya, Tiara memakai gaun tanpa lengan dengan leher tinggi. Jadi, jejak ciuman pada kulit lehernya tertutup sempurna. Tiara menggeleng. “Nggak, Ta







