LOGIN
“Kamu benar-benar … perkasa!”
Tiara mendesah. Napasnya tersengal. Dia tenggelam dalam permainan seorang pria kekar dan tampan yang kini berada di atas tubuhnya. Penerangan di kamar hotel nomor 111 sengaja dipadamkan. Namun cahaya rembulan masuk melalui jendela yang terbuka, menciptakan siluet indah sepasang kekasih dadakan. Si pria tampan terus menggerakkan pinggulnya. Sosoknya terlihat semakin seksi. “Kamu yakin nggak akan menyesal kalau kita teruskan permainan hot ini?” Wajah Tiara merona merah. Dia menggelengkan kepala sambil memeluk tubuh pria itu dengan erat. Tiara mendesah, “Aaahhh …” Keduanya terus bergerak mengikuti irama musik orkestra yang diputar pada layar TV. “Punya kamu ini … ternyata masih disegel, ya,” gumam si pria. Malam semakin larut. Mereka kelelahan dan tertidur pulas setelah bermain tiga ronde. Keesokan paginya. Tiara terbangun karena cahaya matahari pagi yang menyilaukan. Perlahan, Tiara membuka matanya. Dia mengerjap-ngerjap sebentar. Muncul ingatan tentang semalam. Saat itu juga, dia tersadar. Tiara menatap tangan besar yang melingkar di atas perutnya. “Ini … tangan siapa?” Tiara terkejut mengetahui bahwa dia berada di sebuah kamar hotel bersama pria yang tidak dikenalnya. Dengan rasa penasaran yang bergejolak, Tiara menoleh. Dia ingin tahu, pria mana yang sedang tidur di sampingnya! ‘Astaga! Pak Bima?!’ pekik Tiara di dalam hati. ‘Kok dia bisa di sini?!’ Tiara menyingkirkan tangan Bima dengan sangat lembut, khawatir akan membangunnya. Sambil menahan nyeri pada bagian kewanitaan, Tiara bangkit dari ranjang besar. Dia mengambil pakaiannya yang tercecer di lantai dengan cepat. “Astaga! Badanku rasanya mau rontok,” keluh Tiara, pelan. Dalam hitungan dua menit, Tiara selesai mengenakan pakaiannya. Lalu, merapikan rambutnya sebentar dan mengambil tas tangan di atas meja. ‘Ya Tuhan! Apa yang sudah aku lakukan?’ jeritnya dalam hati. ‘Bodohnya aku!’ Saat Tiara hendak melangkah pergi, Bima mencengkram lengan Tiara dengan erat. “Kamu mau ke mana, Tiara?” tanya Bima, ketus. Mata Tiara melotot. ‘Mampus aku!’ Tiara kemudian menoleh. Tampak tubuh Bima yang kekar hanya mengenakan celana boxernya. Ototnya begitu nyata. Kulitnya yang putih dan tegap, dengan sorot matanya yang tajam membuat Tiara terpana hingga membayangkan kejadian semalam. Tiara begitu terpesona dengan ketampanan dosen pembimbingnya itu. ‘Sayangnya, tubuh Pak Bima tidak mungkin kumiliki!’ Tiara terkejut dengan pikirannya sendiri. Dia menepuk-nepuk kepalanya untuk mengusir pikiran-pikiran aneh itu. Lalu, Tiara meringis. “P-pak Bima, maafkan saya. Saya mohon. Anggap semalam tidak ada kejadian apa-apa.” Sebelah alis Bima naik. “Bagaimana bisa saya melupakan permainan kita semalam? Kamu begitu …” Bima kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Tiara. “Perkasa.” Tiara bergidik mendengarnya. Namun, Bima justru menyeringai. Tiba-tiba Tiara ingat mengatakan kalimat itu dengan suara yang menggoda semalam. Tiara menggeleng, mencoba mengusir semua bayangan yang muncul di dalam pikirannya. Tiara menyatukan kedua telapak tangan di depan wajahnya. “Saya mohon, Pak. Maafkan saya. Saya tidak ingat bagaimana kita bisa berakhir di sini berdua. Tolong, maafkan saya dan lupakan kejadian ini, Pak.” Melihat Tiara memelas dengan sangat, Bima pun menyetujuinya dengan cepat. Sepertinya, dia memiliki ide yang cemerlang. “Kalau begitu,” ucap Bima sambil memegang kedua lengan Tiara. Bima membalikkan badan Tiara dengan cepat. Lalu, menduduki Tiara di pangkuannya. Tanpa segan, dia mendekatkan wajahnya di telinga Tiara dari belakang. Bima berbisik, “Kamu harus terus mengikuti permainan saya.” Tiara kembali bergidik. Sekarang lebih kepada geli karena suara dan napas Bima begitu jelas di telinganya. “T-tapi, Pak–” Baru saja Tiara mau nyerocos, Bima sudah langsung memotong kalimatnya. “Tidak ada tapi-tapian. Kalau tidak, skripsi kamu saya batalkan semester ini. Jadi, kamu harus mengulangnya tahun depan dari nol! Bagaimana? Kamu sendiri yang menentukan pilihan, loh.” Wajah Tiara cemberut. “Pak …” Bima berdiri, membiarkan Tiara berperang dengan perasaan dan akal sehatnya sendiri. Dia mengambil pakaiannya yang juga tercecer di mana-mana. Dan memakainya dengan cepat. Bima mengancingkan lengan kemejanya. “Jangan lama-lama mikirnya, Tiara!” Tiara bingung. Dia tidak mungkin mengikuti permainan Bima yang jelas-jelas sudah beristri. Tiara tidak mau dicap sebagai perusak rumah tangga orang. Apalagi, Bima adalah Dosen pembimbingnya sendiri. Tapi, Tiara juga tidak ingin skripsinya dibatalkan. Pilihan ini benar-benar membuat Tiara bingung! Tiara harus segera lulus agar bisa segera bekerja dan meneruskan bisnis ayahnya. Dia tidak mungkin menunda skripsi, karena ayahnya sedang sakit. “P-pak,” ucap Tiara setelah bergelut dengan pikirannya sendiri. “Saya akan mengikuti permainan Bapak.” ‘Sudah kepalang basah, sekalian aja nyebur!’ pekiknya dalam hati. Bima tersenyum sinis. “Bagus. Kalau begitu, sekarang kamu boleh pulang. Dan besok, temui saya di kubikel jam 8 pagi.” “B-baik, Pak,” sahut Tiara tanpa ada jeda. Tiara pamit meninggalkan Bima dengan gelisah. Sesampainya di luar kamar hotel, Tiara memastikan tidak ada seorang pun yang mengenalnya. Tiara berjalan dengan perlahan sambil celingukan. “Kalau kejadian ini sampai viral, bisa-bisa aku dilabrak istrinya Pak Bima, bahkan dikeluarkan dari kampus,” ujar Tiara, pelan. Setelah sampai di lobi depan, Tiara, segera menghampiri taksi yang sedang terparkir rapi. Tiara membuka pintu mobil. “Jalan Garuda no. 19 ya, Pak!” Sopir taksi mengangguk. Taksi melaju bebas di jalan raya. Di dalam taksi, Tiara menepuk dahinya. Dia menyadari kebodohannya. ‘Apa-apaan, sih? Kenapa aku jadi terjebak begini?!’“Diambil darahnya kan pas Ayah pingsan. Jelas nggak sakit,” celetuk Septha. Anak satu ini memang suka ceplas-ceplos. Gen Alpha memang beda. Semua orang jadi tertawa mendengarnya. Tidak lama kemudian, seorang dokter jaga bertubuh tinggi dengan kulit yang eksotis datang. Perawat cantik bertubuh mungil mengikutinya di belakang sambil membawa berkas medis. “Selamat siang Bapak dan Ibu, juga Kakak dan Adik. Hasil tes laboratorium sudah saya terima,” ucap dokter jaga sambil meminta berkas dari perawat. Dokter membaca kembali hasil tesnya. “Kadar hemoglobin Bapak cukup rendah di 8,5 g/dL, nilai normalnya untuk pria di angka 13 ke atas. Ada kemungkinan, Bapak mengalami anemia.”Tiara, Mia, dan juga Septha mendengarkan dokter dengan seksama. Mereka berpegangan tangan, berharap semuanya baik-baik saja. Dokter melanjutkan penjelasannya. “Dan juga kadar gula darah Bapak Jeremy juga cukup rendah, di angka 60 mg/dL. Kondisi ini bisa jadi membuat Bapak pusing, pandangan kabur, dan bahkan pingsa
Bima menggeleng. “Bukan menyiapkan, tapi membelikan dan mengantarkan ke sini.”“Yah, Pak, kalau saya tidak bisa bagaimana, Pak?” rengek Tiara. “Saya harus kerja soalnya, Pak.”Bima merapikan mejanya. “Saya tidak mau tahu. Bagaimanapun, sesibuk apapun, kamu harus menyempatkan diri untuk mengantar makanan saya ke sini.”Lalu, dia berdiri dan mencondongkan wajahnya ke arah Tiara. Tiara agak tersentak kaget. “Kamu harus ingat kesepakatan kita,” ucap Bima dengan tatapan yang tajam dan senyum sinisnya.Tiara tampak syok. “B-baik kalau begitu, Pak.”Bima melihat jam tangannya. “Ya sudah, kamu boleh keluar.”“Kita nggak bimbingan, Pak?” tanya Tiara tak percaya. “Sudah selesai,” ucap Bima. Tiara hanya mendengus kesal. Mau tidak mau dia hanya mengangguk dan bergegas membereskan laptopnya. Tidak lupa, dia masukkan black card milik Bima ke dalam dompetnya. Lalu, dia pamit. Belum juga Tiara melangkahkan kakinya keluar, Bima memanggilnya kembali. “Tiara,” ucap Bima.Tiara menoleh. “Ya, Pak?”“
“Aku nggak telat, kan?” tanya Tiara sambil melihat jam tangannya. Tiara segera masuk ke lift dan menekan tombol 4, jurusan Sastra Inggris berada. Gedung fakultas bahasa memiliki bentuk yang unik. Dari luar tampak seperti kubus-kubus bertumpuk tak beraturan dan berwarna-warni. Keluar dari lift, tampak sebuah lobby penuh dengan nuansa merah, biru, dan putih. Lengkap dengan ornamen bendera Inggris dan juga boneka singa sebagai hewan nasional Inggris. Di sebelah kiri lobby, terdapat kantor jurusan serta ruang Kepala Jurusan. Di sebelah kanan, terdapat ruang Ketua Program Studi dan juga Sekretaris Program Studi. “Tiara!” panggil Pak Fendy, Ketua Administrasi Jurusan. “Ini berkas laporan penelitian yang harus kamu isi, dan nanti harap dilampirkan di dalam skripsi kamu, ya!”“Oh, iya, Pak. Terima kasih,” ucap Tiara. “Bagaimana, skripsi kamu lancar?” tanya Pak Fendy. Tiara hanya bisa tersenyum getir. Skripsinya tidak lancar. Bahkan terancam mengulang lagi dari nol. Tapi, dia juga tidak
“Dih, belum bangun juga ini anak!”Tiara mengambil toner spray-nya dan segera menyemprotkan ke wajah Naira. Naira terkejut dan gelagapan. Seperti yang tenggelam di kolam renang. “Woy, bangun!” Tiara menepuk-nepuk pipi Naira pelan. “Kamu di kasur, kagak tenggelam, Ira!”Naira tiba-tiba membuka matanya. Tangannya mengusap wajahnya yang basah. “Aku masih hidup ya?”Tiara menyodorkan segelas air madu untuknya. “Nih, minum dulu. Dari Tante.”Naira mengambil gelas itu dan meminumnya. Rasa pusingnya mulai memudar. “Ini jam berapa sih?” tanya Naira. Matanya menyipit melihat jam. “Jam 9. Sana mandi, abis itu makan. Tuh udah aku bawain dari Tante,” jawab Tiara. Naira mengucek-ngucek matanya. Lalu dia tersentak kaget. “Hah?! Jam 9? Sialan! Kenapa kamu nggak bangunin aku dari tadi sih?”Naira bergegas bangun dan ke kamar mandi. Secepat kilat, Naira sudah keluar lagi dan berganti pakaian. “Heh, kamu nggak mandi?” tanya Tiara kaget. “Mandi, gigi doang,” jawab Naira cuek. “Nanti ajalah pulang
Ines melirik tajam. “Jangan macam-macam deh, Caro!”Caro adalah panggilan sayang dalam bahasa Italia. Sejak Ines dan Roberto menikah, mereka sepakat tetap memanggil masing-masing dengan panggilan sayang saat mereka masih pacaran dulu. “Jangan semangati Tiara seperti itu, nanti dia keluyuran lagi. Mabok lagi!” sindir Ines. Tiara menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nggak, Tante. Suer. Janji. Aku nggak mau clubbing lagi. Kapok!”Roberto terkekeh. “Bella, nggak apa-apa lah. Sesekali. Tiara juga sudah dewasa. Sudah 22 kan?”Tiara mengangguk. “Biarkan dia menentukan hidupnya,” lanjut Roberto. Ines menyendok nasi ke piring Roberto, lalu ke piring Tiara. “Sudah, ayo kita makan!”Tiara meminum air madunya terlebih dahulu. Rasa pusing hilang seketika. Lalu makan dengan lahap. “Ahh, masakan Tante memang juara!” ucap Tiara senang. Roberto menggerogoti tulang ayam. “Kamu tahu, Tiara, masakan Tantemu ini jugalah yang meluluhkan hati Mamma Om.”“Oh iya? Emang dulu kalian nggak direstui? Gimana ce
“Kamu dari mana? Baru pulang jam segini?”Ibu kos berdiri di depan pintu kamar Tiara. Dia adalah Ines, Tante Tiara. Ines melipat kedua tangan di depan dadanya yang besar. “Tante lihat semalam Naira cuman pulang sendiri,” kata Ines dengan tidak sabar. Ines mengendus aroma tubuh Tiara. “Kamu mabuk, ya?”Merasa ada yang salah, Tiara mencoba menciumi aroma tubuhnya sendiri. Tiara berkata, “Aku nggak tahu kalau minumanku dicampur alkohol, Tante. Sumpah!”Mata Ines melotot. Kemudian tangannya menggeplak bokong Tiara. “Kok bisa?! Bagaimana aku bisa mempertanggungjawabkan tingkah lakumu sama ibumu?”Tiara meringis. “Ampun Tante! Aku cuman minum seteguk, Tante. Beneran. Sumpah! Tapi habis itu aku nggak ingat apa-apa.”Ines berjalan mengelilingi Tiara. Tampak marah tapi juga khawatir. “Tapi kamu nggak digrepe-grepe lelaki hidung belang kan?”Untungnya, Tiara memakai gaun tanpa lengan dengan leher tinggi. Jadi, jejak ciuman pada kulit lehernya tertutup sempurna. Tiara menggeleng. “Nggak, Ta







