로그인“Diambil darahnya kan pas Ayah pingsan. Jelas nggak sakit,” celetuk Septha.
Anak satu ini memang suka ceplas-ceplos. Gen Alpha memang beda. Semua orang jadi tertawa mendengarnya. Tidak lama kemudian, seorang dokter jaga bertubuh tinggi dengan kulit yang eksotis datang. Perawat cantik bertubuh mungil mengikutinya di belakang sambil membawa berkas medis. “Selamat siang Bapak dan Ibu, juga Kakak dan Adik. Hasil tes laboratorium sudah saya terima,” ucap dokter jaga sambil meminta berkas dari perawat. Dokter membaca kembali hasil tesnya. “Kadar hemoglobin Bapak cukup rendah di 8,5 g/dL, nilai normalnya untuk pria di angka 13 ke atas. Ada kemungkinan, Bapak mengalami anemia.” Tiara, Mia, dan juga Septha mendengarkan dokter dengan seksama. Mereka berpegangan tangan, berharap semuanya baik-baik saja. Dokter melanjutkan penjelasannya. “Dan juga kadar gula darah Bapak Jeremy juga cukup rendah, di angka 60 mg/dL. Kondisi ini bisa jadi membuat Bapak pusing, pandangan kabur, dan bahkan pingsan.” “Tapi, Ayah saya baik-baik saja kan, Dok? Boleh pulang hari ini juga?” tanya Tiara cemas. “Untuk saat ini, kondisinya sudah mulai stabil. Tapi sebaiknya, Bapak rawat inap untuk beberapa hari agar kami bisa menemukan penyebab anemia dan juga memantau gula darahnya,” jelas dokter jaga. Mia langsung menggenggam tangan Jeremy. Kemudian, dia bertanya kepada dokter. “Tapi, nggak bahaya kan, Dok?” Dokter jaga itu tersenyum. Barisan gigi putih terlihat di balik bibirnya. “Mudah-mudahan tidak sampai berbahaya, Bu. Tapi kami tetap harus menemukan segala macam kemungkinan.” Tiara dan Septha saling pandang. Mereka sangat khawatir. “Kak, tolong cari Pak Didi ya, minta tolong urus administrasi untuk rawat inap Ayah,” perintah Mia. Tiara mengangguk dan segera pergi ke parkiran. “Jika tidak ada lagi pertanyaan, kami permisi,” ucap dokter jaga. Mereka pun berlalu. Di tempat parkir, Tiara berkeliling mencari Didi, supir pribadi Jeremy. Didi perokok berat. Dia tidak mungkin betah lama di dalam rumah sakit. Tiara sangat mengetahui kebiasaan Didi yang lebih suka duduk di luar sambil mengajak ngobrol siapapun yang kebetulan ada di dekatnya. Betul saja, Didi sedang asyik mengobrol dengan pedagang asongan dan juga pedagang gorengan di pinggir jalan. Tapi Didi duduk di balik pagar, masih di dalam wilayah rumah sakit. “Pak Didi,” panggil Tiara sambil berjalan cepat. Didi langsung bangkit dari duduknya. “Ya Non, Bapak gimana? Sudah boleh pulang?” Tiara menggeleng pelan. “Ayah harus dirawat untuk beberapa hari. Kata Bunda, Bapak diminta untuk mengurus administrasi rawat inap Ayah sekarang.” “Oh, siap Non,” ucap Didi. Didi menyeruput kopinya yang tinggal sedikit sampai habis. Lalu, membayar kopi dan gorengan kepada para pedagang di luar pagar. “Mari, Non.” Tiara dan Didi bergegas kembali ke dalam rumah sakit. Begitu masuk, Didi segera menuju konter administrasi. Sedangkan Tiara kembali ke bangsal tempat Jeremy dirawat. Saat Tiara membuka tirai, Mia langsung membawa Tiara pergi. “Sebentar ya, Yah, Dek, Bunda mau ajak Kakak makan dulu, kasihan dari tadi belum makan,” ucap Bunda. Tiara bingung karena digered begitu saja oleh Mia. “E-eh Bun, nggak apa-apa. Aku nggak lapar kok!” Mia menghentikan langkahnya dan menatap Tiara lembut tapi tajam. “Bunda yang apa-apa. Ayo, kita ke kantin.” Mau tidak mau, Tiara menuruti keinginan ibunya. Tiara paling tidak bisa menolak permintaannya. Sekalipun, dia harus mendaki gunung dan menyeberangi samudra. Sesampainya di kantin, mereka mengambil paket makanan yang sudah tersusun rapi di etalase. Tidak lupa beberapa camilan dan juga makanan penutup. “Di kantin ini, yang paling Bunda nantikan yaitu minum Chocolate Milkshake-nya, Kak,” ucap Mia bersemangat. “Kamu juga suka itu, kan?” Tiara mengangguk senang. “Iya, Bunda. Aku juga mau.” Mia menghampiri counter barista dan memesan minuman favorit mereka. Setelah itu, mereka mencari kursi untuk makan dan mengobrol. “Kak, gimana skripsinya, lancar?” tanya Mia tiba-tiba. Tiara yang hendak duduk, agak terkejut dengan pertanyaan Mia yang tiba-tiba. Tiara bingung harus menjawab apa. “Bunda nih, baru aja bokongnya mau nempel ke kursi, langsung ditodong skripsi.” Tiara menarik kursinya. “Mmm … lumayan lah, Bun,” jawab Tiara. Wajah Tiara kini tampak murung. “Tapi sepertinya perjalanannya masih panjang, Bun.” Mia menatap cemas anaknya. “Memangnya kenapa? Dosen kamu terlalu perfeksionis ya? Atau … malah justru nggak pernah ngebimbing kamu, Kak?” Tiara menggeleng. “Nggak kok Bun, tenang aja. Hanya saja membuat skripsi ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan.” Mia menggenggam tangan Tiara erat. “Kak, kamu lihat kan, keadaan Ayah sekarang?” Tiara mengangguk pelan. “Bunda khawatir Ayah nanti malah semakin sakit kalau terus mengurus pekerjaannya,” lanjut Mia. “Bunda ingin kamu segera lulus dan meneruskan usaha Ayah kamu, Kak.” Tiara terdiam. Dia juga ingin sekali segera lulus dan tidak usah lagi berurusan dengan Bima.“Diambil darahnya kan pas Ayah pingsan. Jelas nggak sakit,” celetuk Septha. Anak satu ini memang suka ceplas-ceplos. Gen Alpha memang beda. Semua orang jadi tertawa mendengarnya. Tidak lama kemudian, seorang dokter jaga bertubuh tinggi dengan kulit yang eksotis datang. Perawat cantik bertubuh mungil mengikutinya di belakang sambil membawa berkas medis. “Selamat siang Bapak dan Ibu, juga Kakak dan Adik. Hasil tes laboratorium sudah saya terima,” ucap dokter jaga sambil meminta berkas dari perawat. Dokter membaca kembali hasil tesnya. “Kadar hemoglobin Bapak cukup rendah di 8,5 g/dL, nilai normalnya untuk pria di angka 13 ke atas. Ada kemungkinan, Bapak mengalami anemia.”Tiara, Mia, dan juga Septha mendengarkan dokter dengan seksama. Mereka berpegangan tangan, berharap semuanya baik-baik saja. Dokter melanjutkan penjelasannya. “Dan juga kadar gula darah Bapak Jeremy juga cukup rendah, di angka 60 mg/dL. Kondisi ini bisa jadi membuat Bapak pusing, pandangan kabur, dan bahkan pingsa
Bima menggeleng. “Bukan menyiapkan, tapi membelikan dan mengantarkan ke sini.”“Yah, Pak, kalau saya tidak bisa bagaimana, Pak?” rengek Tiara. “Saya harus kerja soalnya, Pak.”Bima merapikan mejanya. “Saya tidak mau tahu. Bagaimanapun, sesibuk apapun, kamu harus menyempatkan diri untuk mengantar makanan saya ke sini.”Lalu, dia berdiri dan mencondongkan wajahnya ke arah Tiara. Tiara agak tersentak kaget. “Kamu harus ingat kesepakatan kita,” ucap Bima dengan tatapan yang tajam dan senyum sinisnya.Tiara tampak syok. “B-baik kalau begitu, Pak.”Bima melihat jam tangannya. “Ya sudah, kamu boleh keluar.”“Kita nggak bimbingan, Pak?” tanya Tiara tak percaya. “Sudah selesai,” ucap Bima. Tiara hanya mendengus kesal. Mau tidak mau dia hanya mengangguk dan bergegas membereskan laptopnya. Tidak lupa, dia masukkan black card milik Bima ke dalam dompetnya. Lalu, dia pamit. Belum juga Tiara melangkahkan kakinya keluar, Bima memanggilnya kembali. “Tiara,” ucap Bima.Tiara menoleh. “Ya, Pak?”“
“Aku nggak telat, kan?” tanya Tiara sambil melihat jam tangannya. Tiara segera masuk ke lift dan menekan tombol 4, jurusan Sastra Inggris berada. Gedung fakultas bahasa memiliki bentuk yang unik. Dari luar tampak seperti kubus-kubus bertumpuk tak beraturan dan berwarna-warni. Keluar dari lift, tampak sebuah lobby penuh dengan nuansa merah, biru, dan putih. Lengkap dengan ornamen bendera Inggris dan juga boneka singa sebagai hewan nasional Inggris. Di sebelah kiri lobby, terdapat kantor jurusan serta ruang Kepala Jurusan. Di sebelah kanan, terdapat ruang Ketua Program Studi dan juga Sekretaris Program Studi. “Tiara!” panggil Pak Fendy, Ketua Administrasi Jurusan. “Ini berkas laporan penelitian yang harus kamu isi, dan nanti harap dilampirkan di dalam skripsi kamu, ya!”“Oh, iya, Pak. Terima kasih,” ucap Tiara. “Bagaimana, skripsi kamu lancar?” tanya Pak Fendy. Tiara hanya bisa tersenyum getir. Skripsinya tidak lancar. Bahkan terancam mengulang lagi dari nol. Tapi, dia juga tidak
“Dih, belum bangun juga ini anak!”Tiara mengambil toner spray-nya dan segera menyemprotkan ke wajah Naira. Naira terkejut dan gelagapan. Seperti yang tenggelam di kolam renang. “Woy, bangun!” Tiara menepuk-nepuk pipi Naira pelan. “Kamu di kasur, kagak tenggelam, Ira!”Naira tiba-tiba membuka matanya. Tangannya mengusap wajahnya yang basah. “Aku masih hidup ya?”Tiara menyodorkan segelas air madu untuknya. “Nih, minum dulu. Dari Tante.”Naira mengambil gelas itu dan meminumnya. Rasa pusingnya mulai memudar. “Ini jam berapa sih?” tanya Naira. Matanya menyipit melihat jam. “Jam 9. Sana mandi, abis itu makan. Tuh udah aku bawain dari Tante,” jawab Tiara. Naira mengucek-ngucek matanya. Lalu dia tersentak kaget. “Hah?! Jam 9? Sialan! Kenapa kamu nggak bangunin aku dari tadi sih?”Naira bergegas bangun dan ke kamar mandi. Secepat kilat, Naira sudah keluar lagi dan berganti pakaian. “Heh, kamu nggak mandi?” tanya Tiara kaget. “Mandi, gigi doang,” jawab Naira cuek. “Nanti ajalah pulang
Ines melirik tajam. “Jangan macam-macam deh, Caro!”Caro adalah panggilan sayang dalam bahasa Italia. Sejak Ines dan Roberto menikah, mereka sepakat tetap memanggil masing-masing dengan panggilan sayang saat mereka masih pacaran dulu. “Jangan semangati Tiara seperti itu, nanti dia keluyuran lagi. Mabok lagi!” sindir Ines. Tiara menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nggak, Tante. Suer. Janji. Aku nggak mau clubbing lagi. Kapok!”Roberto terkekeh. “Bella, nggak apa-apa lah. Sesekali. Tiara juga sudah dewasa. Sudah 22 kan?”Tiara mengangguk. “Biarkan dia menentukan hidupnya,” lanjut Roberto. Ines menyendok nasi ke piring Roberto, lalu ke piring Tiara. “Sudah, ayo kita makan!”Tiara meminum air madunya terlebih dahulu. Rasa pusing hilang seketika. Lalu makan dengan lahap. “Ahh, masakan Tante memang juara!” ucap Tiara senang. Roberto menggerogoti tulang ayam. “Kamu tahu, Tiara, masakan Tantemu ini jugalah yang meluluhkan hati Mamma Om.”“Oh iya? Emang dulu kalian nggak direstui? Gimana ce
“Kamu dari mana? Baru pulang jam segini?”Ibu kos berdiri di depan pintu kamar Tiara. Dia adalah Ines, Tante Tiara. Ines melipat kedua tangan di depan dadanya yang besar. “Tante lihat semalam Naira cuman pulang sendiri,” kata Ines dengan tidak sabar. Ines mengendus aroma tubuh Tiara. “Kamu mabuk, ya?”Merasa ada yang salah, Tiara mencoba menciumi aroma tubuhnya sendiri. Tiara berkata, “Aku nggak tahu kalau minumanku dicampur alkohol, Tante. Sumpah!”Mata Ines melotot. Kemudian tangannya menggeplak bokong Tiara. “Kok bisa?! Bagaimana aku bisa mempertanggungjawabkan tingkah lakumu sama ibumu?”Tiara meringis. “Ampun Tante! Aku cuman minum seteguk, Tante. Beneran. Sumpah! Tapi habis itu aku nggak ingat apa-apa.”Ines berjalan mengelilingi Tiara. Tampak marah tapi juga khawatir. “Tapi kamu nggak digrepe-grepe lelaki hidung belang kan?”Untungnya, Tiara memakai gaun tanpa lengan dengan leher tinggi. Jadi, jejak ciuman pada kulit lehernya tertutup sempurna. Tiara menggeleng. “Nggak, Ta







