Bagaimana jadinya jika seorang dokter ahli forensik ternyata adalah seorang vampir? Callista Bradley, merupakan detektif wanita yang gigih dan terkenal sedikit gila. Ia diberi tugas untuk memecahkan sebuah kasus pembunuhan berantai yang sudah terjadi di Kota Edinburgh selama beberapa tahun terakhir. Callista menemukan petunjuk bahwa setiap korban dari kasus pembunuhan tersebut memiliki dua lubang bekas gigitan di leher, sekaligus darah korban yang selalu habis hingga tak tersisa barang setetes pun. Gadis itu yakin pelakunya bukanlah manusia, dan malam ini ia menyaksikan sendiri bagaimana sang pembunuh itu beraksi!
View MoreSeorang pria berkemeja putih dengan bagian lengan baju yang dilipat ke atas terlihat sedang duduk menyendiri di salah satu sudut ruangan. Wajahnya tampak pucat dan dengan napas yang terengah-engah, ia kembali menenggak wine-nya yang entah sudah gelas ke berapa hingga tandas.
“Sial! Kenapa masih tidak hilang juga?” gumam Alaric sembari menggigit rahangnya kuat-kuat. Pria itu terus merasa haus yang tak tertahankan. Padahal, biasanya dengan segelas wine saja sudah cukup untuk menghilangkan rasa hausnya untuk sementara waktu. Bartender yang ada di hadapannya pun mengangguk patuh ketika Alaric memberi kode untuk menuangkan wine itu lagi. Namun, sewaktu hendak kembali menenggaknya, ia terkejut saat ada yang menyentuh pundaknya dari belakang. “Hai, sedang menunggu seseorang?” sapa wanita berambut pirang lurus seraya langsung duduk di bangku kosong sebelahnya. “Ingin minum beberapa gelas lagi denganku?” Alaric menatap wanita cantik itu sejenak lantas menaruh gelas wine yang tadi hendak diminumnya ke atas meja. “Tidak. Aku sedang ingin sendirian.” “Oh, ayolah! Menyedihkan sekali rasanya kalau kau hanya minum-minum sendirian di sini. Apa kau baru saja putus cinta? Atau ... sekadar butuh hiburan karena lelah bekerja barangkali?” balas wanita itu sembari mengusap paha lawan bicaranya dengan tatapan menggoda. Aku? Butuh hiburan? Pft - Hahaha! Alaric terkekeh seraya berdecih kecil. Sudut bibirnya memberikan kesan mengejek seolah-olah itu adalah hal remeh yang bahkan tak pernah ia pikirkan. “Well, baiklah kalau begitu. Setelah kulihat-lihat, sepertinya aku memang perlu mencoba hiburan. Setidaknya sekali dalam seumur hidup, bukan?” “Yeah, tentu saja. Jadi, mau kutemani? Aku bisa membuat malam ini menjadi malam yang tidak akan terlupakan untukmu.” Seringaian miring Alaric semakin terangkat. Parasnya menunjukkan ketertarikan misterius. Ia kemudian beralih menatap bartender tadi yang kini sedang melirik mereka berdua dengan rasa penasaran. Bartender itu sontak terkesiap, mengerti apa yang dimaksud olehnya. “Uh-oh, ruangan VIP ... ada di lorong sebelah kanan, Tuan. Kau bisa langsung menggunakannya sesuai keperluanmu.” Alaric pun beranjak dari tempat duduk lalu melingkarkan lengannya di pinggang wanita itu. Mereka lantas berjalan pergi dari sana serta menghilang di balik dinding kaca. Sewaktu tiba di depan ruangan VIP yang dibicarakan, Alaric melepaskan pelukannya. Ia masuk terlebih dahulu ke dalam dan duduk di sebuah single sofa sementara wanita tadi segera menutup pintu. Tanpa diminta, wanita berambut pirang itu langsung menghampiri Alaric lalu duduk di pangkuannya. Ia mengusap dada bidang pria itu sembari mendekatkan wajahnya. “Oh, kau tampan sekali. Boleh kutahu siapa namamu?” Alaric menggeleng pelan. “Aku tidak mau bersenang-senang dengan wanita yang sama dua kali.” Wanita tersebut tampak sedikit kecewa. Kendati begitu, sentuhan jemarinya yang nakal tak lepas dari bagian sensitif tubuh Alaric. “Baiklah, kita lihat nanti. Kau pasti akan membuat pengecualian untukku.” “Yeah, silakan ... dengan senang hati.” Alaric merentangkan kedua tangannya pasrah. Wanita itu tertawa pelan kemudian melepas satu per satu kancing kemeja Alaric. Dibuangnya sembarangan dasi pria itu ke lantai. Alaric diam saja. Ia tak peduli apa yang akan dilakukan oleh wanita itu karena ada hal lain yang lebih menggodanya ketimbang bercumbu, bahkan dengan wanita tercantik di dunia sekalipun. Tatapan matanya sejak tadi terus tertuju pada leher wanita tersebut. Ia bisa merasakan ada aliran darah yang mengalir deras di sana. “Apa kita bisa mulai sekarang?” tanya si wanita dan langsung mendapat anggukan persetujuan. Ia pun mulai menciumi Alaric, dan pria itu tanpa pikir panjang membalas dengan ciuman yang memabukkan. Hal ini tentu adalah keahliannya. Akan tetapi, ia kini betul-betul sudah tidak bisa menahan haus darah yang menguasainya. Aroma tubuh wanita itu membuatnya semakin menggila. Setelah memberikan ciuman panas, Alaric segera melepaskan lumatan bibirnya dari wanita tersebut. “Cukup ... aku ingin yang lain.” Wanita itu terkekeh. “Apapun akan kuberikan untukmu, Tuan.” Alaric tersenyum seraya bangkit berdiri dari sofa. Ia perlahan melangkah maju—menghimpit tubuh sang wanita ke dinding. Dipindahkannya rambut pirang wanita itu ke samping, memperlihatkan leher dan bahu yang begitu mulus tanpa cela. “Kau betul-betul akan memberikan apapun untukku?” Ia mengangguk. Tangannya menyelusup masuk ke balik kemeja. “Tentu saja.” “Kalau begitu, sekarang tutup matamu. Biar aku yang mengambil alih untuk bagian ini,” ujarnya lembut seraya menatap lekat. Wanita itu kembali mengangguk seolah telah terhipnotis dengan segala pesona yang dipancarkan oleh pria berparas rupawan ini. Satu tangan Alaric beralih memegangi leher belakang wanita itu. Ia segera membuka mulut dan dalam sekejap, kedua taring tajamnya muncul. Mata yang sebelumnya berwarna biru pucat pun kini tiba-tiba berubah menjadi semerah darah. Sesaat berikutnya, Alaric benar-benar menggigit leher wanita itu. Satu detik ... Dua detik ... Tiga detik ... Wanita berambut pirang tersebut mulai merintih kesakitan ketika Alaric berusaha mengisap darahnya dengan lebih agresif. Entah mengapa ia sungguh menyukai sensasi ini. Tidak ada yang lebih menyenangkan dibanding mendapat santapan gratis secara sukarela. Karena merasa kesaktian, wanita itu sontak berupaya melepaskan diri dari Alaric dengan mendorong tubuhnya. Ia menggeliat dan sedikit memberontak. Namun, Alaric yang seakan-akan sudah kehilangan kendali justru semakin mempertahankan gigitannya lebih dalam. Bersambung ...Orang itu membuka tudung jubahnya sembari menyeringai. “Apa kabar, dr. Huggins? Kau masih ingat denganku? Sudah lama kita tidak bertemu sejak prosedur autopsi terakhir kali.”dr. Huggins berpegangan pada nakas di belakangnya. Mata merah dan kulit putih pucat kedua makhluk tersebut membuat tungkainya seketika lemas seolah tak bersendi. Salah satu vampir berambut pirang yang bernama Draco itu pun membuka buku kecil—bertuliskan BRITISH PASSPORT—yang sedang dipegangnya tadi. Ia mengambil tiket pesawat yang terselip di sana.ECONOMY CLASSFrom: Edinburgh – ScotlandTo : Bukares – Romania“Wah-wah, coba lihat! Sepertinya kau memiliki rencana liburan ke luar negeri hari ini. Apa kau tidak berniat mengajak kami?”dr. Huggins menggeleng cepat. “T-tidak. Kembalikan ... kembalikan benda itu padaku!”“Seharusnya kalau kau ingin pergi berlibur, kau tinggal katakan saja pada tuanku, dr. Huggins. Dia bisa membelikanmu tiket pesawat business class yang paling mahal dan kami juga akan dengan sangat s
128 Calton Road, Block 4A.Leon menatap secarik kertas yang dipegangnya dengan cermat. Laki-laki itu kemudian berjalan mendekati sebuah rumah bangunan kuno berlantai dua yang berjarak selang beberapa meter di hadapannya. Ia baru saja mendapatkan alamat tempat tinggal dr. Huggins dari Andrew dan memutuskan untuk segera menemui dokter forensik itu. Setelah menganalisis semua arsip yang diberikan oleh Samantha kemarin, Leon semakin yakin ada sesuatu yang tidak beres, terutama dengan seluruh laporan hasil autopsi yang ada.Menurutnya, laporan itu terkesan cukup tidak masuk akal serta patut dipertanyakan kembali keabsahannya. Semua orang yang bersangkutan harus diperiksa tanpa terkecuali. Dan karena sekarang kasus ini juga sudah menjadi tanggung jawabnya, ia tentu memiliki wewenang untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.RUMAH INI DIJUAL. SILAKAN HUBUNGI NOMOR PERANTARA DI BAWAH UNTUK MENDAPATKAN INFORMASI LEBIH LANJUT.Leon mengerutkan kening ketika melihat plang bertuliskan FOR SALE
Callista pun menggelengkan kepala untuk mengenyahkan pikiran kotornya yang berkecamuk.“Nona Cale?” ujar Alaric membuat dirinya terkesiap.“Ugh, ya? Ada apa?”“Kau mau minum wine juga?”“Tidak.”“Lalu kenapa kau terus menatapku seperti itu?”“Aku ... aku tidak menatapmu,” sangkalnya panik. Ia mengerjap beberapa kali sambil mencari alasan. “Tadi aku cuma sedang ... eh ... anu ... gelas wine-mu bagus. Kau beli di mana?”Alaric memiringkan kepala dan menoleh ke gelas yang sedang dipegangnya. “Oh, ini aku memesannya secara khusus. Gelas ini terbuat dari kristal yang diproduksi oleh ahli profesional di Slovakia. Waktu itu aku beli satu buah gelas ini dengan harga sekitar £280 karena termasuk edisi spesial.”“Satu gelas ini harganya £280?!”“Yeah, kau mau beli?”Callista menggeleng cepat. “Sorry, aku tidak ingin menghabiskan uang gajianku hanya untuk sebuah gelas. Lagi pula, memangnya kau tidak mabuk minum wine terus-terusan?”Malvin tiba-tiba malah terbahak. “Tidak ada zamannya Alaric mabu
RINGGG!Suara alarm dari ponsel di atas nakas membuat Callista tersentak kaget mendengarnya. Gadis itu pun mengucek-ngucek mata dan mengerjap beberapa kali. Ia tertegun bingung sewaktu mendapati dirinya sekarang malah berada di atas kasur dengan balutan selimut hangat.“Loh, kenapa aku di sini?” gumamnya keheranan; teringat kalau terakhir kali ia tertidur di kursi meja kerja. Callista celingukan ke sana-kemari dan menemukan ada seseorang yang sedang berdiri di area balkon. Gadis itu cepat-cepat menyibak selimutnya lantas berjalan mendekat.“Alaric …?”Ia pun menoleh ke arah Callista dan tersenyum. “Kau sudah bangun?”“Ya, aku barusan terbangun. Kau sendiri sudah sembuh?” tanyanya seraya kembali memegang kening pria itu—terasa dingin seperti es. “Wow, kelihatannya obatnya bekerja dengan baik.”“Yeah, aku baik-baik saja sekarang. Terima kasih kau tadi sudah mau menolongku, Nona Cale.”Callista mengangguk, tetapi masih ada sedikit kekhawatiran yang terpancar dari matanya. “Kau sedang ap
“Bajingan kikir! Dia pikir nyawa orang bisa dibeli pakai uang?!” Callista menggulung lengan blazernya sembari mengumpat secara terang-terangan. Ia baru saja selesai memaki-maki seorang pria kaya sombong yang ditangkap karena mengendarai mobil ugal-ugalan di jalan. Sebenarnya menegur pelanggar lalu lintas bukanlah tugasnya, tapi gadis itu sudah terlanjur emosi duluan melihat kelakukan tengik pria itu.“Awas saja kalau aku sampai bertemu dia di jalan! Akan kuhajar wajah dungunya itu sampai babak belur!” makinya lagi. Ia menghembuskan napas kasar lalu melirik jam tangannya, sudah pukul lima sore sekarang. Callista pun memutuskan kembali ke ruang kerja timnya lagi untuk beberes. Marah-marah membuatnya jadi malas melanjutkan pekerjaan. Lebih baik sekarang ia pulang, mandi, dan tidur.Tapi sewaktu baru berjalan sekian langkah dari tempat berdiri tadi, ponselnya tahu-tahu berdering. Callista meraba saku celana belakangnya dan sontak menaikkan satu alis begitu melihat siapa yang menelepon.“V
“Maaf, Honey. Saat ini masih belum ada perkembangan yang signifikan lagi. Setelah disuntikan virus yang genetiknya sudah kami rekayasa, orang-orang itu seperti kehilangan kendali atas diri mereka sendiri,” kata Olive ketika Alaric menanyakan tentang keadaan manusia yang digunakan untuk objek eksperimen pada siang hari di rumah sakit.Alaric menghela napas resah. “Aku tidak habis pikir. Sebetulnya apa tujuan Profesor Ignatius melakukan eksperimen ini, dr. Rodriguez? Kau tahu bukan, apa yang kalian lakukan itu sangat tidak manusiawi?”“Ya, aku tahu. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Semua anggota tim penelitian ini sudah terlanjur menandatangani perjanjian kontrak. Kalau kami melanggar, kami bisa dipecat atau bahkan dipenjara.” Olive menundukkan kepala, sedangkan Alaric menyentuh pelipisnya berpikir.“Apa kalian juga membuat obat untuk menyembuhkan orang-orang yang sudah terinfeksi itu?”“Sudah, tetapi tidak ada yang berhasil. Setiap kami merekayasa genetik virus itu, kami juga
“Malvinnn! Apa kau lihat di mana sepatuku?” Alaric berteriak dari ruang tengah dengan suara lantang. Sejak tadi ia terus sibuk mondar-mandir hanya untuk mencari sepatunya yang hilang. Ini adalah kebiasaan buruknya—menaruh barang sembarangan dan ketika hilang, Malvin lah yang terkena imbasnya.Pagi ini pria itu sedang bersiap-siap untuk berangkat bekerja. Ia sudah memakai kemeja, dasi, celana panjang, bahkan sampai kaos kaki. Akan tetapi, tinggal satu hal yang kurang, yaitu sepatu. Ia sudah mencari ke mana-mana, namun anehnya tetap tidak ketemu.Di area dapur Malvin yang baru saja ingin menuang teh spontan menyahut, “Tidak tahu! Waktu pulang kerja kemarin kau taruh di mana?”“Aku taruh di sini, tapi kenapa sekarang malah tidak ada?”“Ck! Cari dulu yang benar,” balasnya. “Coba lihat juga di kamar! Barangkali ada di sana.”“Tidak ada …!”“Ya Tuhan!” Malvin pun menutup toples gulanya dan pergi menghampiri Alaric. “Kau ini kebiasaan. Hampir setiap pagi selalu ribut masalah sepatu.”“Ya maa
“Ini kuncinya, Miss. Mobilmu sudah selesai diperbaiki. Kau bisa langsung menggunakannya lagi setelah ini,” kata seorang montir dari bengkel setempat seraya mengembalikan kunci mobil milik Callista.Gadis itu segera meraihnya dan mengucapkan terima kasih. “Thank you, Sir!” imbuhnya, sedangkan montir tersebut membalas dengan murah senyum.Setelah memastikan kendaraannya selesai diperbaiki, Callista dan Leon pun pergi menuju kasir untuk membayar biaya service. Mereka mengantre sebentar sebelum giliran membayar. “Total semuanya jadi £250, Miss. Sudah termasuk potongan 10% karena kau adalah salah satu pelanggan tetap kami.”“Oh, okey. Thank’s a lot.” Ia membuka tasnya dan mengeluarkan dompet. Namun, Leon yang sedang berdiri di sampingnya dengan gerakan cepat berhasil menempelkan kartunya di mesin kasir duluan. Callista sontak melongo, menatap lelaki itu dengan ekspresi terkejut bercampur bingung. “Sersan, aku baru saja ingin membayarnya ....”“Tidak apa-apa. Tagihannya sudah kubayar.”Ia
Drrt ... Drrt ...Langkah kaki Malvin sontak terhenti ketika ia tak sengaja mendengar ada suara ponsel yang bergetar. Pemuda itu refleks merogoh saku celananya dan melihat menu kotak pesan masuk. Ternyata bukan ponsel miliknya yang bergetar. Ia pun memasukkan telepon genggamnya kembali kemudian lanjut berjalan ke arah kulkas, mencari bahan-bahan untuk membuat Hotpot sebagai sarapan pagi.Hotpot merupakan hidangan yang terdiri dari daging, bawang merah, serta irisan kentang yang dipanggang dengan api kecil. Ia sering membuat makanan itu karena mudah dibuat dan juga praktis.Drrt ... Drrt ...Suara ponsel itu terdengar kembali. Malvin pun menutup pintu kulkas dan memutuskan untuk mencari dari mana sumber suara itu berasal. Di atas meja marmer seberang kabinet dapur, terlihat ada sebuah ponsel yang tergeletak begitu saja. Layar ponsel tersebut berkedip-kedip menyala setiap ada pesan yang masuk.—Sersan Leon: “Callista, aku sudah ada di depan rumahmu.”“Callista?” gumam Malvin yang membac
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments