(Dark Romance) Zora Kaureen tak menyangka akan bertemu kembali dengan Nevano Abraham yang menjadi CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Kehadiran Nevano benar-benar membuat hidup Zora bagai mimpi buruk. Penyesalan Zora yang dulu rela ditiduri Nevano 9 tahun silam karena terdesak uang demi keluarganya, membuat Zora tak bisa berkutik saat Nevano yang brengsek memanfaatkan kelemahannya untuk mengintimidasinya. Entah karena dendam ataupun obsesi, Nevano seolah tak ingin melepaskan Zora dari genggamannya. Bagi Nevano, melihat gadis keras kepala itu menderita dan tampak tak berdaya di hadapannya merupakan hal terindah yang Nevano rasakan. Namun, Nevano tak sadar alasan terbesar penyiksaannya terhadap Zora sebenarnya bukanlah karena dendam atau obsesi gilanya semata, melainkan karena sebuah perasaan cinta. Sayangnya, ketika Nevano menyadari hal itu. Semuanya sudah terlambat!
view moreHujan yang menetes diiringi embusan angin kencang tak menyurutkan langkah gadis berseragam putih abu-abu itu untuk berhenti. Terlihat tubuhnya sedikit bergetar menahan hawa dingin yang menyerang. Udara malam disertai derasnya hujan tentu akan membuatnya kedinginan. Namun, gadis itu sama sekali tak peduli.
Pandangannya terfokus pada sebuah rumah megah berlantai dua yang berada tepat di seberang jalan dari tempatnya berdiri.
Gadis bernama Zora itu semakin mempercepat langkah menyeberangi jalan. Ia tak ingin membuang-buang waktu lagi. Ketika jarak antara dirinya dengan rumah berlantai dua itu telah dekat, ada keraguan yang merasuki benak Zora hingga membuat langkahnya terhenti. Benarkah keputusan yang diambilnya saat ini? Bagaimana jika ia akan menyesalinya?
Zora memejamkan mata. Hatinya sakit membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapinya nanti setelah memasuki rumah megah itu. Namun, ia sudah tak memiliki pilihan. Meski buruk, ini adalah pilihan terbaik yang bisa diambil apapun resikonya nanti.
Sambil menarik napas dalam-dalam, gadis itu kembali melangkah. Tangannya bergerak mendorong pagar yang tak terkunci, lalu melintasi halaman berumput yang tampak sunyi. Suara binatang malam memanggil hujan sayup-sayup terdengar di kejauhan.
Begitu mencapai serambi rumah, Zora berhenti. Ada sesuatu yang mencengkram rongga perutnya hingga membuatnya mual. Tangannya pun tampak gemetaran kala mengetuk daun pintu yang tertutup.
Tak sampai satu menit, pintu itu terbuka, menampakkan seorang pemuda mengenakan T-shirt hitam dan celana jins. Senyuman pemuda itu seketika mencuat melihat kemunculan gadis yang ditunggunya sejak tadi.
"Akhirnya lo dateng juga." Masih menyunggingkan senyum smirk-nya yang khas, pemuda bernama Nevano itu langsung menarik tangan Zora untuk masuk ke dalam. "Ayo, masuk!"
Seorang asisten rumah tangga tampak tergopoh-gopoh muncul dari ruang tengah, membawakan handuk kering kepada Zora yang terlihat menggigil kedinginan karena kehujanan.
Zora menerima dan mengucapkan terima kasih tanpa suara. Kepalanya menunduk menatap ujung sepatu ketsnya yang basah. Air menetes-netes dari ujung pakaiannya.
Nevano memberi isyarat agar Zora mengikutinya menaiki tangga menuju kamar di lantai dua. Zora pun bergegas menyusul dengan jantung berdebar kencang.
Karpet tebal melapisi setiap undakan tangga serasa lembut ketika dipijak. Setiap kali netra Zora menatap ke sekeliling, ia bisa melihat berbagai macam perabotan mewah menghiasi rumah berlantai dua ini. Sungguh pemandangan yang sangat berbeda bila dibandingkan dengan rumahnya yang terletak di pinggiran kota.
Begitu sampai di kamar yang dituju, Nevano segera menyuruh Zora untuk masuk. Namun, gadis itu malah bergeming di ambang pintu.
"Kenapa nggak masuk?" Nevano kembali memanggil, menepuk sofa di dekat tempat tidur yang didudukinya. Senyuman smirk pemuda itu membuat Zora merasa mual.
"Ayo, sini! Nggak usah takut."
Ragu-ragu, Zora akhirnya berjalan mendekat. Aroma musk berpadu mint menyeruak memenuhi rongga penciuman, memberi kesan maskulin. Kamar itu dua kali lipat lebih luas dari kamarnya. Seperangkat alat digital dan video games tersusun rapi di rak buffet kaca. Dindingnya dicat abu-abu dengan lampu penerang yang membuat Zora ingin sekali menenggelamkan dirinya jika pandangan mereka bertemu.
Dengan lutut sedikit gemetar, gadis itu akhirnya mendudukkan diri di sofa yang ditunjuk Nevano tadi.
"Baju lo basah. Buka aja biar nggak masuk angin," kata Nevano seraya beringsut mendekat.
Zora menahan napas. Jantungnya bagai tenggelam ke dasar perut. Jelas ini sudah terlambat baginya untuk mundur.
"Mau gue aja yang buka?" Tangan Nevano terulur hendak membuka kancing-kancing seragam gadis itu.
"Jangan!" Zora buru-buru menepis tangan Nevano "Bi-biar aku aja ...," ucapnya gugup sambil menelan ludah berkali-kali.
Nevano tersenyum lebar hingga kedua lesung pipinya terlihat. Mata elangnya mengawasi Zora yang sedang berusaha membuka sendiri seragam sekolahnya dengan raut memucat. Secara fisik, Nevano memiliki visual yang sangat sempurna, ditambah ia juga termasuk dari keluarga yang sangat tajir, menjadikannya idola di kalangan gadis sekolah mereka.
Nevano jelas menyadari kesempurnaan fisik dan materinya hingga ia memanfaatkan hal itu untuk berlaku bajingan, seperti malam ini yang akan dilakukannya pada Zora.
Satu kancing terbuka.
Dua kancing.
Tiga kancing.
Baru saja hendak melepas kancing keempat, Nevano sudah tak sabar. Ia langsung menarik Zora ke dalam dekapannya.
"Tu-tunggu!" seru Zora cepat-cepat dengan jantung berdegup kencang.
"Kenapa?" Nevano tersenyum mengejek. Melihat kepanikan dari wajah gadis itu, membuatnya merasa geli. "Lo takut nggak gue bayar?"
Zora hanya menunduk sambil mencengkram seragamnya yang basah. Ia semakin menggigil merasakan tatapan tajam pemuda itu dari jarak sedekat ini.
"Udah gue siapin uangnya di atas meja. Tunai! Silakan lo bawa setelah kegiatan kita berakhir." Nevano mengendikkan kepala ke arah meja nakas yang berada di samping tempat tidur.
Gadis itu meneguk ludah ketika menoleh ke arah yang ditunjuk Nevano. Dua tumpukan uang kertas seratus ribuan masih terikat rapi, membuat matanya memanas. Demi lembaran-lembaran merah itu ia sampai menggadaikan harga dirinya yang tersisa, membuang kehormatan yang ia punya.
"Nggak usah nangis. Entar juga lo suka dan ketagihan." Suara baritone Nevano membuat hati Zora bagai teriris. "Nikmatin aja malam ini sama gue."
Nevano sekali lagi tersenyum miring dengan gaya khasnya. Pelan-pelan, tangannya yang hangat mengusap pelan bahu Zora, merambat ke dada gadis itu, lalu menyibak kasar seragam Zora hingga terbuka lebar. Kedua mata tajam Nevano berkilat. Ditariknya wajah Zora mendekat.
Tubuh gadis itu terasa begitu dingin dalam rangkulannya. Pun kala Nevano mulai menempelkan bibirnya ke bibir Zora. Melumatnya dengan kasar, memaksa gadis itu membuka mulutnya agar ia bisa menjelajah semakin dalam.
Tangan Nevano perlahan merambat ke sisi-sisi tubuh Zora yang lain. Menanggalkan satu per satu pakaian yang mereka kenakan dan membimbing gadis itu ke atas tempat tidur ketika tak ada lagi sehelai benang memisahkan mereka.
Zora hanya bisa meneteskan air mata merasakan kehormatannya telah tergadaikan dengan begitu menjijikan. Seandainya ia tahu bahwa malam ini akan menjadi permulaan mimpi buruknya, mungkin gadis itu takkan pernah mengambil keputusan ini dalam hidupnya.
✨✨✨
"Bagaimana kalau kita mencoba mengenalkan new product kita dengan mengusung tema healthy, smarty and friendly?" usul Zora saat Tim Perencanaan, Tim Marketing dan Tim Produksi meeting bersama untuk ke sekian kali di Rabu pagi hari itu.Meeting kali ini dilakukan untuk membahas pengembangan desain serta penyempurnaan uji coba new product yang sebentar lagi akan dirilis ke pasaran."Healthy, smarty and friendly?" ulang Tami, salah satu staff Divisi Marketing, yang duduk tak jauh dari Zora. Ia terlihat menimbang-nimbang usul tersebut.Zora menatap ke arah wanita berambut hitam legam itu dan mengangguk. "Iya, karena dari product concept yang sudah kita kembangkan, tema ini yang paling cocok. Terutama untuk mie sagu.""Bisa dijelaskan lebih rinci?" pinta staff yang lain."Oke." Zora bangkit dari duduknya, sementara rekan-rekannya di Tim Perencanaan menatap gadis itu takjub. Ya, selama meeting berlangsung, mereka tak menyangka Zora begitu antusias memberikan banyak ide ajaib yang amat sangat
RING DING DONG!RING DING DONG!Suara dering alarm dari jam weker digital di atas nakas terdengar beberapa kali berdering. Pemuda di balik selimut itu perlahan-lahan mengulurkan tangan ke atas nakas untuk mematikannya. Namun, karena tak berhati-hati ia malah menjatuhkan benda berbentuk segi empat itu hingga menimbulkan bunyi jatuh cukup keras.Levi mengerang kasar. Matanya yang masih terpejam, seketika terbuka. Disibak selimut yang masih membalut tubuhnya dan menegakkan badan. Rasa pusing tiba-tiba saja mendera dan pemuda itu tersentak kala menyadari bahwa ada jejak air mata yang membasahi kedua pipinya.Hell? Rupanya tanpa sadar, Levi sejak tadi menangis dalam tidurnya.Apa-apaan ini? pikir pemuda itu, heran sekaligus aneh. Kenapa ia bisa menangis seperti ini?Dengan napas yang terembus kasar, Levi pun mencoba mengingat-ingat. Dan pemuda itu langsung terhenyak kala menyadari apa yang menyebabkan dirinya menangis dalam tidur. Ternyata itu karena ia memimpikan Zora.Ya Tuhan! Apa sih y
Sepi.Tak ada apapun selain angin yang berembus menerbangkan dedaunan kering serta tapak sepatu beradu aspal hitam yang dipenuhi jejak hujan semalam. Matahari baru sejengkal menampakkan sinarnya di ujung cakrawala dan keheningan itu masih terasa sama seperti hari-hari sebelumnya.Namun, ada sesuatu yang rasanya janggal.Sesuatu yang menjadi alasan remaja laki-laki itu berdiri diam dengan alis bertautan. Menatap penasaran pada sosok gadis di balik pintu gerbang. "Zora?" Vokal itu datang dengan sedikit tertahan. Ada keterkejutan di ujung nadanya."Ada apa? Kenapa nggak kasih tahu mau kemari sepagi ini?"Gadis yang dipanggil Zora itu tak menjawab. Ia berdiri dengan kepala tertunduk serta kedua bahu bergetar, seolah-olah sedang menahan sesuatu yang mengguncang. Jejemarinya mengepal, mencengkram ujung seragam lusuh yang masih dikenakan, sementara rambut hitam panjangnya yang tergerai, tampak lembab dan kusut di beberapa bagian."Kenapa kamu masih pake seragam? Kamu nggak pulang ke rumah?
"Jadi Nevano membuat ulah lagi di kantor?" Rafianto menatap sekretaris pribadinya yang sedang berdiri di hadapannya dengan pandangan tajam."Ya, Pak. Saya mendengar dari sekretaris Tuan Nevano kalau Tuan Muda mencium gadis bernama Zora itu di kantor kemarin. Sepertinya Tuan Muda sengaja melakukannya untuk membuat kehebohan," sahut Pak Hendris seraya menganggukkan kepala.Rafianto mengepalkan buku-buku jarinya dan mendengkus kasar. "Anak brengsek itu kenapa selalu saja bertindak ceroboh?""Apa yang harus kita lakukan, Pak?"Pertanyaan itu membuat perasaan Rafianto berkecamuk."Apa Anda yakin ingin tetap menjodohkan Tuan Nevano dengan putri Adi Nugraha itu? Saya rasa ini tidak akan berjalan lancar.""Saya harus melakukannya," tegas Rafianto. "Saya tidak bisa membiarkan apa yang sudah saya bangun dengan susah payah harus runtuh begitu saja. Lagipula ini semua demi kebaikan Nevano juga. Dia adalah ahli waris utama keluarga Abraham saat ini. Jadi mencarikannya pendamping yang tepat adalah s
"Oh ya, Pak Septian mana?" tanya Zora seraya mengedarkan pandang. Baru tersadar kalau pria tangan kanan Nevano itu sejak tadi tak kelihatan batang hidungnya."Pak Septian udah pergi dari subuh tadi," jawab Nevano. Kali ini ia bergerak memecah beberapa butir telur dan mengocoknya di dalam wadah kecil untuk dijadikan omelet. "Ke mana?""Ke acara peringatan kematian bunda."Kalimat itu membuat Zora tersentak. "Kamu nggak pergi?"Nevano menoleh sekilas dan menggeleng. "Nggak.""Kenapa?""That's just waste of time." Pemuda itu tersenyum miris. "Aku lebih suka ziarah ke makam bunda secara langsung daripada ikut acara seperti itu."Jeda."Karena apapun yang mereka lakukan sekarang, nggak mengubah fakta kalau mereka dulunya juga ikut andil atas kematian bunda."Zora terdiam. Ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Tetapi, ucapan itu juga turut membuat hati Zora merasa sedih."Nanti siang kita jadi ziarah ke makam bunda kamu, 'kan?" tanya Zora kemudian, menatap Nevano lekat.Yang ditatap refl
It's so sweet, knowing that you love me.Though we don't need to say it to each other, sweet...Knowing that I love you, and running my fingers through your hair.It's so sweet...(Sweet ~ Cigarettes After Sex)❣"Ayo, kita menikah, Zora."Kalimat itu terus terngiang-ngiang dalam benak Zora sepanjang hari itu. Sepanjang Zora membuka mata dan terbangun dari tidurnya.Gadis itu bahkan sudah membersihkan diri dalam bathub selama nyaris satu jam. Memasang instrumental klasik kesukaan pada speaker phone. Menghidu lilin aromatherapy yang ia bakar dan diletakkan di atas lemari nakas. Melihat bagaimana sinar mentari pagi menyusup masuk melalui jendela dan membias di langit-langit membentuk pola kristal temaram.Namun, Zora masih saja belum bisa mengenyahkan kalimat itu dari pikirannya.Oke, satu hal yang rasanya aneh.Sepanjang Zora mengenal Nevano, pemuda itu memang tipikal pribadi yang spontanitas, impulsif dan sulit ditebak. Namun, tak pernah terbayangkan Nevano bisa mengatakan kalimat ing
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments