Home / Romansa / Dua Tuan Tampan / 3. Julian Pratama

Share

3. Julian Pratama

Author: bluaeya
last update Last Updated: 2025-05-06 06:04:20

Keesokan harinya, aroma kopi pagi yang diseduh Risa terasa sedikit lebih pahit dari biasanya bagi Karina. Insiden memalukan dengan Pak Julian masih terbayang jelas di benaknya. Ia khawatir kejadian itu akan memengaruhi penilaian atasannya terhadap kinerjanya, meskipun ia hanyalah staf administrasi biasa.

Sesampainya di kantor, Karina berusaha bersikap profesional dan fokus pada pekerjaannya. Ia menghindari area lift sebisa mungkin dan memilih menggunakan tangga darurat yang jarang dilalui karyawan lain. Di mejanya, tumpukan berkas sudah menanti, siap untuk ditangani.

"Pagi, Kar! Muka lo masih kayak abis dikejar setan," sapa Maya yang baru saja tiba sambil meletakkan tasnya dengan semangat.

"Pagi, May. Semalem gue nggak bisa tidur nyenyak," jawab Karina jujur sambil menyalakan komputer.

"Gara-gara numpahin kopi di sepatu Pak Julian?" tebak Maya sambil terkekeh kecil.

"Ya iyalah! Malu banget gue," keluh Karina sambil memijit pelipisnya.

Tiba-tiba, aroma parfum mahal yang lembut namun khas menusuk indra penciuman Karina. Ia mendongak dan melihat Sandra, sekretaris Pak Julian yang selalu tampil elegan, berdiri di dekat mejanya sambil membawa sebuah amplop putih.

"Selamat pagi, Karina," sapa Sandra dengan senyum profesional.

"Pagi, Mbak Sandra," jawab Karina sedikit gugup.

"Ini ada titipan dari Pak Julian untukmu," ujar Sandra sambil menyerahkan amplop tersebut.

Mata Karina membulat sedikit. Titipan dari Pak Julian? Apa isinya? Surat teguran karena insiden kopi kemarin? Atau mungkin... surat pemecatan? Jantungnya mulai berdebar tidak karuan.

"Isinya... apa ya, Mbak?" tanya Karina dengan nada hati-hati.

"Saya juga kurang tahu. Beliau hanya meminta saya untuk memberikannya langsung kepada kamu," jawab Sandra sambil mengangkat bahunya sedikit. "Semoga bukan surat cinta ya," candanya sambil terkekeh pelan sebelum berlalu menuju ruangannya.

Karina menatap amplop putih di tangannya dengan perasaan campur aduk. Ia membuka amplop tersebut. Di dalamnya terdapat sebuah kartu nama berwarna putih dengan tulisan minimalis dan nama keluarga yang familiar: Pratama. Di bawahnya tertulis jelas: Julian Pratama, Chief Executive Officer. Di balik kartu nama itu, terdapat tulisan tangan singkat dengan tinta hitam: "Hubungi saya jika sepatumu juga bermasalah." Di bawahnya tertera nomor telepon.

Karina mengerutkan kening. Itu saja? Hanya kartu nama dan tawaran untuk menghubungi jika sepatunya bermasalah? Ia mengharapkan sesuatu yang lebih buruk, seperti teguran keras atau bahkan surat peringatan. Namun, reaksi Pak Julian ternyata jauh lebih tenang dari yang ia bayangkan.

"Apa tuh dari Pak CEO? Surat cinta beneran?" celetuk Maya yang sedari tadi mengamati Karina dengan rasa penasaran yang tinggi.

"Enak aja! Cuma kartu namanya doang," jawab Karina sambil menunjukkan kartu nama tersebut kepada Maya.

Maya mengambil kartu nama itu dan membacanya dengan seksama. "Terus, ada tulisan apa di belakangnya?" tanyanya dengan nada menyelidik.

Karina membalik kartu nama itu dan membacakan tulisan tangan Pak Julian. " 'Hubungi saya jika sepatumu juga bermasalah' Gitu doang."

"Hah? Cuma gitu? Kirain mau ngajak lo kencan sebagai permintaan maaf," komentar Maya kecewa.

"Heh! Pak Julian mana mungkin ngajak karyawan biasa kayak gue kencan," balas Karina skeptis.

Tiba-tiba, Toni menghampiri meja mereka sambil membawa secangkir kopi besar. "Pagi, para wanita cantik! Lagi bahas apa nih? Gosip terbaru?"

"Ini nih, Toni. Karina dapet kartu nama dari Pak CEO," ujar Maya sambil menyodorkan kartu nama itu kepada Toni.

Toni mengambil kartu nama itu dan membacanya dengan ekspresi lucu. "Wah, Karina! Selamat! Kayaknya Pak CEO mulai tertarik sama lo! Mungkin dia tipe-tipe bos yang suka sama karyawan yang ceroboh tapi menggemaskan!" candanya sambil tertawa terbahak-bahak.

"Enak aja lo! Ini mah gara-gara gue numpahin kopi di sepatunya!" sanggah Karina kesal.

Sepanjang hari itu, kartu nama dari Pak Julian tergeletak di sudut meja Karina, sesekali menarik perhatiannya. Ia terus mempertimbangkan apakah perlu menghubungi atasannya itu terkait sepatunya yang terkena tumpahan kopi sedikit kemarin sore.

"Udah lo telepon aja, Rin. Biar masalahnya cepet kelar," saran Maya saat jam istirahat makan siang. Mereka sedang duduk di kantin kantor yang ramai, menikmati nasi padang yang pedas.

"Tapi gue nggak tahu mau ngomong apa, May. Masa cuma bilang, 'Sepatu saya baik-baik saja pak'?" jawab Karina sambil mengaduk-aduk kuah gulai dengan lesu.

"Ya terus kenapa? Kan emang itu intinya," balas Maya sambil menyuapkan rendang ke mulutnya. "Lagian, siapa tahu dengan lo nelepon, malah jadi ada chemistry tersembunyi?" godanya sambil menyeringai.

"Chemistry dari mana? Yang ada malah gue dipecat karena dianggap ceroboh," sanggah Karina skeptis.

Setelah makan siang yang dipenuhi teori konspirasi alien ala Toni dan godaan romantis ala Maya, Karina kembali ke mejanya dengan pikiran yang bercampur aduk. Kartu nama Pak Julian masih tergeletak di sana, menjadi pengingat akan insiden sepatu dan tawaran formal untuk menghubungi.

Sore itu, saat Karina memutuskan untuk membuat secangkir kopi hitam di pantry kantor, ia mendapati Pak Julian sedang berdiri di dekat mesin kopi otomatis. Aura dingin dan formal yang biasa melingkupi atasannya itu terasa sedikit lebih intens hari ini. Pak Julian tampak fokus menatap layar ponselnya, sesekali menghela napas pelan.

Karina berusaha bergerak senyap agar tidak terlalu menarik perhatian. Namun, nasib seolah sedang mempermainkannya. Saat ia meraih cangkir bersih dari rak, tanpa sengaja ia menyenggol tumpukan gelas di sebelahnya, menyebabkan beberapa gelas beradu dan menimbulkan suara berisik yang memecah keheningan pantry.

Pak Julian langsung mendongak, tatapannya bertemu dengan mata Karina yang sudah merasa malu dan bersalah. Ekspresi wajah CEO-nya itu tetap datar, namun ada sekilas kelelahan yang terlihat di matanya.

"Maaf, Pak," ujar Karina nyaris berbisik sambil berusaha menata kembali gelas-gelas yang hampir jatuh.

Pak Julian menghela napas lagi, kali ini lebih jelas terdengar. "Tidak apa-apa, Karina. Biar saya bantu." Ucapannya yang tak terduga, membuat Karina sedikit terkejut.

Bersama-sama, mereka menata kembali gelas-gelas di rak. Suasana di pantry terasa canggung namun tidak setegang kemarin sore di lift. Aroma kopi otomatis bercampur dengan aroma parfum mahal Pak Julian yang lembut, menciptakan kombinasi yang aneh namun mudah diingat bagi Karina.

"Soal... sepatu kemarin," ujar Karina akhirnya, memberanikan diri untuk membuka pembicaraan.

Pak Julian menghentikan gerakannya dan menatap Karina. "Sudah saya urus. Tidak perlu khawatir. Bagaimana sepatumu?" Jawabannya singkat.

"Oh... baik, Pak. Terima kasih," balas Karina merasa lega sekaligus sedikit kecewa karena percakapan berakhir begitu cepat.

Saat Karina menuangkan air panas ke dalam cangkirnya, Pak Julian tiba-tiba bertanya, "Kamu suka kopi jenis apa, Karina?"

Pertanyaan tak terduga itu membuat Karina sedikit tersentak. "Eh... saya biasanya minum kopi hitam biasa saja, Pak," jawabnya gugup.

"Saya lebih suka single origin dari Ethiopia," ujar Pak Julian sambil menyesap kopinya. "Aromanya lebih kompleks."

Karina hanya mengangguk formal, merasa sedikit canggung membahas preferensi kopi dengan CEO-nya. Selama ini, ia hanya tahu Pak Julian sebagai sosok yang dingin dan fokus pada pekerjaan. Obrolan singkat tentang kopi ini terasa sedikit... aneh.

Tiba-tiba, suara dering ponsel memecah keheningan pantry. Pak Julian meraih ponselnya dari saku jas dan melihat layar. Ekspresinya sedikit berubah, terlihat sedikit... terganggu.

"Maaf, saya harus mengangkat telepon ini," ujarnya sambil menjauh sedikit dari Karina.

Karina melanjutkan membuat kopinya, berusaha tidak mencuri dengar percakapan atasannya.

Saat Karina hendak keluar dari pantry dengan cangkir kopinya, ia berpapasan dengan Toni yang baru saja masuk.

"Wah, Karina! Lagi ngobrol pribadi sama Pak CEO nih?" goda Toni sambil menaikkan alisnya.

"Ngaco! Cuma bahas kopi doang," jawab Karina cepat, menyembunyikan sedikit rasa penasaran yang muncul akibat percakapan singkatnya dengan Pak Julian.

"Bahas kopi kok mukanya merah gitu? Jangan-jangan bahas... cinta yang terpendam?" celetuk Toni sambil tertawa kecil.

Karina hanya menggelengkan kepalanya sambil berjalan menuju mejanya, meninggalkan Toni yang masih terkekeh di pantry.

Sore itu, saat Karina hendak pulang kantor, ia kembali memilih menggunakan tangga darurat untuk menghindari lift. Namun, saat ia tiba di lobi, pemandangan yang tak terduga membuatnya terhenti. Pak Julian sedang berdiri di dekat pintu keluar, tampak sedang menunggu seseorang. Ia terlihat berbeda dari biasanya. Jasnya sudah dilepas, memperlihatkan kemeja putih yang digulung hingga siku. Ekspresi wajahnya terlihat lebih santai dan... sedikit gelisah.

Tiba-tiba, sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti tepat di depan pintu lobi. Dari dalam mobil itu keluar seorang wanita berambut panjang dan mengenakan pakaian yang sangat elegan. Pak Julian langsung tersenyum dan menghampiri wanita tersebut, lalu mereka berpelukan singkat sebelum berjalan keluar kantor bersama.

Karina tertegun melihat pemandangan itu. Jadi, Pak Julian sedang menunggu... seorang wanita. Sosok dingin dan formal yang ia lihat sehari-hari ternyata juga memiliki kehidupan pribadi. Pemandangan itu entah kenapa menimbulkan sedikit rasa lega di hatinya. Setidaknya, ia tidak perlu lagi merasa terlalu bersalah atau canggung atas insiden kopi kemarin.

Namun, saat Karina hendak melangkah keluar lobi, matanya kembali menangkap sosok yang familiar. Seorang pria berdiri tidak jauh dari pintu masuk, bersandar pada pilar dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jaket kulitnya. Tatapannya menyelidik namun kali ini terasa lebih tertuju padanya.

Karina berusaha mengabaikan tatapan itu dan mempercepat langkahnya menuju pintu keluar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dua Tuan Tampan   12. Perdebatan

    Malam semakin menghampiri di depan toko bunga "Lavender Dreams", namun ketegangan di antara Julian dan Alex belum juga mereda. Setelah Karina berpamitan dan bergegas menuju halte, keduanya masih berdiri di tempat yang sama, saling menatap dengan sorot mata yang menyimpan berbagai pertanyaan dan kecurigaan. Julian, sebagai pihak yang lebih dulu mengenal Karina (sebagai atasannya), merasa memiliki keunggulan. Ia memandang Alex dengan tatapan dingin, mencoba menunjukkan superioritasnya. "Saya tidak menyangka akan bertemu Anda di sini, Tuan...?" Julian menggantungkan kalimatnya, seolah meremehkan Alex yang belum ia ketahui identitasnya secara pasti. Alex menyeringai tipis, tidak terpengaruh sedikit pun oleh nada bicara Julian yang merendahkan. "Rossi. Alex Rossi. Dan saya juga tidak menyangka akan bertemu dengan seorang CEO yang berkeliaran di sekitar toko bunga pada malam hari. Sedang mencari inspirasi untuk buket ucapan selamat atas keberhasilan proyek?" balas Alex dengan nada san

  • Dua Tuan Tampan   11. Dua Tuan Tampan

    Senja merayap turun, membalut jalanan dengan cahaya temaram setelah kesibukan jam kantor mereda. Karina, dengan seulas senyum puas menghiasi wajahnya, baru saja keluar dari toko bunga "Lavender Dreams". Di tangannya tergenggam buket bunga matahari cerah untuk ulang tahun Risa. Namun, kedamaian sore itu terusik oleh kedatangan dua sosok pria secara bersamaan dari arah yang berlawanan. Tepat di sisi kanan Karina, sebuah mobil sedan mewah berwarna grafit berhenti. Pintu pengemudi terbuka, dan dari sana keluar Julian Pratama. Ia mengenakan kemeja biru muda yang digulung lengannya hingga siku, namun aura CEO yang berwibawa tetap melekat padanya. Karina terkejut bukan main. Belum hilang rasa kagetnya, dari sisi kiri Karina, suara deru motor sport yang khas terdengar mendekat. Sebuah motor Ducati berwarna hitam berhenti tepat di sampingnya. Pengendaranya menurunkan visor helm, memperlihatkan wajah tegas namun memikat milik Alex. Jaket kulit hitam yang dikenakannya semakin menambah daya ta

  • Dua Tuan Tampan   10. Kafe Eskrim

    Sore hari, Maya mengajak Karina untuk mencari udara segar sepulang kerja. "Kar, kepala gue udah berasap nih gara-gara brainstorming ide iklan yang nggak jelas. Kita cari es krim yuk di kafe Gelato. Siapa tahu ketemu oppa-oppa ganteng yang lagi nyari inspirasi juga," ajak Maya dengan nada penuh harapan. Karina, yang otaknya juga terasa lelah berjam-jam berkutat dengan angka, menyetujui ajakan Maya. Suasana sore yang ramai dengan lalu lalang kendaraan dan pejalan kaki sedikit mengalihkan pikirannya dari rutinitas kantor. Sesampainya di kafe Gelato dengan aroma manis yang melekat di udara, Maya langsung memesan dua scoop rasa mint chocolate dan strawberry cheesecake. Karina sendiri memilih rasa salted caramel yang selalu berhasil menghiburnya. Mereka duduk di salah satu meja di sudut kafe, menikmati es krim sambil sesekali mengamati pengunjung lain. "Tuh kan, Kar! Gue bilang juga apa, kafe ini tuh sarangnya cowok-cowok ganteng!" bisik Maya sambil menyikut lengan Karina, matanya berbin

  • Dua Tuan Tampan   9. Hiruk Pikuk Klub Malam

    Dentuman musik menimbulkan vibrasi di lantai dan riuh rendah percakapan menyelimuti malam itu dengan atmosfer yang memekakkan telinga. Di tengah kerumunan pesta yang berjingkrak-jingkrak mengikuti ritme musik, Karina merasa semakin tidak nyaman. Ia seolah menjadi sosok asing di tengah dunia yang menarik namun sedikit mengintimidasi baginya. Meskipun Maya dan Toni tampak menikmati suasana pesta dengan bersemangat, Karina merindukan ketenangan kamar kosnya. Aroma alkohol dan keringat yang bercampur di udara menimbulkan perasaan tidak nyaman. Dengan langkah hati-hati, Karina mulai menepi dari kerumunan yang semakin padat. Ia mencari sudut yang sedikit lebih sepi di mana ia bisa sedikit bernapas dan menjernihkan pikirannya. Matanya menyelidik sekeliling, mencari keberadaan sofa atau kursi kosong yang bisa ia duduki sejenak. Setelah beberapa saat mencari, Karina akhirnya menemukan sofa tersembunyi di sudut ruangan yang remang-remang. Sofa kulit berwarna gelap itu tampak menawarkan sedik

  • Dua Tuan Tampan   8. Kehebohan teman

    Mentari pagi menyusup malu-malu melalui celah ventilasi kamar Karina, membangunkan gadis itu dari tidur lelap yang menyenangkan. Karina menghela napas panjang dan bangkit dari tempat tidur dengan gerakan lemah. Ia masih merasa sedikit lelah namun rasa penasaran tentang kejadian kemarin lebih mendominasi. Ia perlu menceritakan ini pada kedua teman kosnya, Risa dan Beno, meskipun ia yakin reaksinya pasti akan heboh. Setelah menyelesaikan ritual pagi seadanya, Karina keluar dari kamar dan mendapati Risa sudah berkutat di dapur dengan aroma kopi yang memenuhi udara. Beno, seperti biasa di pagi hari, tampak duduk tenang di meja makan dengan sebuah buku tebal di tangannya. "Pagi, Kar! Muka lo kusut banget kayak cucian belum disetrika," sapa Risa mengalihkan pandangannya dari cangkir kopi merasuk indra penciumannya. "Pagi, Ris. Pagi, Ben," jawab Karina lemah sambil duduk di kursi sebelah Beno. Beno hanya mengangguk singkat tanpa memalingkan wajahnya dari bukunya yang berjudul "Eksistens

  • Dua Tuan Tampan   7. Tumpangan Julian

    Mobil mewah Julian meluncur lembut membelah jalanan Jakarta yang mulai sepi di tengah malam. Lampu-lampu jalan menari di kaca jendela, menciptakan refleksi cahaya di wajah Karina. Karina duduk dengan sedikit kaku di kursi penumpang. Ia melirik Julian yang fokus menyetir dengan ekspresi wajah tenang. Sorot lampu jalan sesekali menerangi garis rahangnya yang tegas. Julian memecah keheningan setelah beberapa saat dengan pertanyaan. "Jadi, kos kamu di daerah mana?" "Di daerah luar kota, Pak," jawab Karina. "Dekat dengan kampus baru." Julian mengangguk pelan, Karina memberanikan diri untuk melirik Julian lagi. Julian tiba-tiba memecah keheningan lagi. "Kamu sudah lama tinggal di sana, Karina?" "Sejak kuliah, Pak," jawab Karina pelan. "Sekitar lima tahunan." Karina memberanikan diri untuk bertanya balik. "Kalau Bapak... sudah lama tinggal di Jakarta?" Julian sekilas tersenyum tipis. "Sejak lahir. Tapi... kadang saya merasa pusat kota Jakarta terlalu ramai dan... melelahkan." "Kamu.

  • Dua Tuan Tampan   6. Pengirim Mawar

    Setelah berjam-jam berkutat dengan angka-angka dan laporan keuangan tanpa akhir, Karina akhirnya menghela napas lega. Pekerjaannya selesai. Rasa lelah menyelimuti tubuhnya, namun kepuasan kecil menangkap hatinya. Ia cepat-cepat merapikan mejanya, mematikan komputer, dan meraih tasnya, tidak sabar untuk segera kembali ke ketenangan kamar kosnya.Suasana kantor di lantai atas benar-benar sepi. Hanya lampu-lampu darurat yang memancarkan cahaya redup, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang tidak biasa. Langkah kaki Karina menggema pelan di koridor yang kosong saat ia berjalan menuju lift.Dalam lift yang lambat dan sunyi, pikiran Karina kembali melayang pada buket mawar merah dan sikap tidak biasa Julian malam ini. Pertanyaan-pertanyaan itu masih menanti jawaban di benaknya. Ia menggelengkan kepalanya pelan, mencoba mengusir kebingungan itu dan fokus pada keinginan untuk segera beristirahat.Tiba di lantai dasar, Karina sedikit terkejut melihat lampu lobi masih menyala terang. Biasany

  • Dua Tuan Tampan   5. Mawar

    Keesokan harinya, Karina terbangun dengan perasaan sedikit lelah. Rutinitas pagi di kos berjalan seperti biasa. Risa sudah sibuk dengan ritual dandan sebelum kerja, sementara Beno tampak tenang dengan laptopnya."Muka lo kenapa ditekuk gitu, Kar? Mimpi buruk ketemu Pak Bambang nagih laporan?" celetuk Risa sambil menyisir rambutnya di depan cermin."Nggak kok. Cuma kurang tidur aja," jawab Karina berbohong sambil meraih mug kopinya.Sesampainya di kantor, suasana pagi terasa sedikit lebih ramai dari biasanya. Beberapa karyawan tampak berbisik-bisik dan melihat ke arah pintu masuk. Karina tidak terlalu menghiraukannya dan langsung menuju mejanya."Pagi, Kar! Ada kejutan buat lo!" seru Maya dengan senyum misterius saat Karina baru sampai."Kejutan apaan?" tanya Karina skeptis. Biasanya, "kejutan" ala Maya berkisar antara gosip terbaru yang belum tentu benar atau makanan aneh dari kantin.Maya menunjuk ke arah mejanya dengan gerakan dramatis. Di atas mejanya, Karina melihat sebuket bunga

  • Dua Tuan Tampan   4. Alex Draxler

    Di balik tatapan menyelidik dan aura misterius yang melingkupi Alex Draxler, tersembunyi sebuah dunia yang jauh dari hiruk pikuk kantor biasa dan senyaman kedai kopi. Alex Draxler, nama lengkapnya, bukanlah sekadar pria asing. Ia adalah putra sulung dari keluarga Draxler, sebuah nama yang disegani sekaligus ditakuti dalam lingkaran bisnis yang abu-abu. Apartemen mewah Alex di pusat kota Jakarta menjadi saksi bisu kehidupannya yang diwarnai dengan pertemuan-pertemuan larut malam. Di ruang kerja apartemennya yang mewah dengan pemandangan kota yang gemerlap, ayah Alex, Don Rafael Draxler, sudah menunggunya. Don Rafael, pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih namun tatapan matanya masih setajam elang, duduk di kursi kulit besar di balik meja kerjanya yang dipenuhi dokumen dan telepon antik. Aura kekuasaan dan ketegasan melingkupi figur ayahnya. "Alex, akhirnya kau pulang juga," ujar Don Rafael dengan nada suara berat yang menandakan ketidaksenangan. "Aku menunggumu sejak

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status