Beranda / Romansa / Dua Tuan Tampan / 3. Acara Lelang Amal

Share

3. Acara Lelang Amal

Penulis: bluaeya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-06 06:04:20

Pagi merambat perlahan di sudut kota Jakarta. Mentari belum terlalu muncul, namun hiruk pikuk kehidupan sudah dimulai. Raina terbangun dengan sisa-sisa kegelisahan semalam. Ia tak bisa lagi berlama-lama meratapi nasib. Ada tagihan listrik, cicilan motor, dan kebutuhan harian yang menunggu. Setelah sarapan seadanya dengan Ibu dan Rian, ia segera membersihkan diri dan meraih ponsel usang nya.

Ia mulai menelusuri berbagai platform pencarian kerja, dari situs freelance hingga part-time. Setiap kata kunci yang ia ketikkan – desainer grafis, ilustrator, bahkan asisten administrasi – terasa seperti menampar wajahnya dengan kenyataan pahit.

Kebanyakan lowongan membutuhkan pengalaman minimal dua tahun, atau portofolio yang sudah matang, dan berbagai macam persyaratan yang ketat. Raina merasa seperti sudah berada di ambang jurang. Bagaimana ia bisa mendapatkan pengalaman jika tak ada yang mau memberinya kesempatan?

Tepat saat semangatnya mulai menguap, sebuah notifikasi pesan masuk dari Maya, sahabat dekatnya sejak SMP. Maya adalah kebalikan Raina: ceria, blak-blakan, dan selalu tahu cara meringankan suasana. Maya bekerja di sebuah event organizer yang cukup dikenal di Jakarta.

May: Hei, Rain! Gimana? Udah dapet kerjaan?

Raina menghela napas. Jarinya ragu mengetik balasan. Ia belum siap menceritakan soal pemecatannya. Rasa malu dan takut mengecewakan temannya sendiri melingkupinya.

Raina: Belum, May. Masih nyari-nyari.

Tak lama, Maya membalas dengan deretan emoji semangat, disusul sebuah pesan yang membuat kening Raina berkerut.

May: Kebetulan banget! Gue ada proyek besar nih, acara lelang amal. Butuh banget bantuan tambahan buat tim katering sama persiapan dekorasi. Mau nggak? Lumayan buat nutup biaya hidup lo sementara.

Jantung Raina berdesir. Acara lelang amal? Ini berarti keramaian, orang-orang penting, dan kemungkinan besar, formalitas yang luar biasa. Trauma insiden tabrakan dengan Arjuna Dirgantara kemarin sore tiba-tiba terlintas di benaknya. Ia tidak suka menjadi pusat perhatian, apalagi dalam situasi canggung seperti itu.

Raina: Lelang amal? Hmm, May. Gue kayaknya nggak cocok deh buat acara begitu. Kan lo tau gue gimana.

Maya segera menelepon. Suaranya riang, seolah tak mendengar nada ragu dalam balasan Raina. "Alah, lo ini! Nggak usah drama, Rain. Lo cuma bantu ngangkat-ngangkat, nata meja, atau ngurusin makanan. Nggak disuruh nyanyi di panggung kok. Lagian, gaji harian lumayan banget. Bisa buat makan sebulan!"

Raina terdiam. Gaji harian yang lumayan. Kalimat itu bagai mantra yang mampu menembus tembok kecemasannya. Ia berpikir tentang Rian, tentang Ibu. Ini bukan saatnya memikirkan gengsi atau rasa tidak nyaman. Ini tentang bertahan hidup.

"Tapi... acaranya di mana, May?" tanya Raina, suaranya masih sedikit ragu.

"Di Grand Ballroom Hotel Dharmawangsa! Pokoknya mewah banget deh. Lo bisa sekalian liat orang-orang tajir bertebaran, kali aja nyantol dapet jodoh!" gurau Maya, disusul tawa renyah.

Mendengar nama hotel itu, bayangan gedung pencakar langit tempat Arjuna bekerja tiba-tiba muncul. Kota Jakarta yang kecil, pikirnya sinis. Mungkin saja ia akan berpapasan lagi dengan pria dingin itu. Pikiran itu membuat perutnya sedikit mual. Tapi apa pedulinya? Jakarta ini luas, kemungkinan bertemu lagi sangat kecil. Lagi pula, siapa dia? Hanya seorang asisten katering. Arjuna Dirgantara pasti tak akan mengingat wajahnya, apalagi memedulikannya.

"Gimana, Rain? Mau nggak? Cepetan, besok udah mulai persiapan lho!" desak Maya.

Raina menarik napas dalam-dalam. Ini bukan pekerjaan impiannya, jauh dari itu. Ini hanya sebuah tambalan jembatan sementara. Tapi untuk saat ini, jembatan itulah yang ia butuhkan.

"Oke, May. Gue ambil," putusnya.

Suara Maya langsung melonjak kegirangan. "Nah, gitu dong! Nanti gue kirim detailnya ya. Lo dateng besok pagi jam delapan. Jangan telat!"

Percakapan berakhir, namun kegelisahan Raina belum sepenuhnya hilang. Ia tahu, pekerjaan ini akan menuntut banyak energi dan kesabaran. Lingkungan yang serba formal, tuntutan yang tinggi, dan kemungkinan bertemu dengan orang-orang dari "dunia lain" adalah hal yang paling ia hindari. Namun, ia tidak punya pilihan.

Malam harinya, setelah Ibunya tertidur dan Rian sibuk dengan PR-nya, Raina kembali mengambil buku sketsa. Kali ini, ia mencoba menggambar sesuatu yang lebih positif: siluet kota Jakarta di malam hari, dengan gemerlap lampu seolah bintang jatuh di bumi. Ia mencoba menyuntikkan harapan ke dalam setiap goresan pensilnya. Mungkin, siapa tahu, di antara keramaian acara lelang itu, ada secercah kesempatan yang menunggu. Mungkin ada seseorang yang melihat karyanya, seseorang yang bisa membantunya mewujudkan impian yang terasa semakin jauh.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dua Tuan Tampan   59. Cahaya

    Suara tembakan yang menusuk telinga, kegelapan yang mencekam, dan aura ancaman dari Prakoso kini memudar, digantikan oleh gema sirene polisi yang mendekat. Raina terhuyung, bersandar pada dinding yang dingin, membiarkan napasnya tersengal.Ia mencengkeram erat tangan Arjuna Dirgantara, yang kini berdiri di sampingnya, memandangi Bima Samudra yang menahan Prakoso yang tak sadarkan diri. Mata Raina berkaca-kaca, bukan karena takut, melainkan karena lega yang luar biasa. Mereka berhasil. Mereka selamat. Polisi tiba beberapa menit kemudian, menggeledah rumah Prakoso dan mengamankan Bramantyo yang juga masih terlihat syok. Mereka menemukan pistol Prakoso yang tergeletak di sudut ruangan, dan segera mengambil berkas bukti yang dipegang Arjuna. Rekaman suara kecil dari dalam berkas itu menjadi kunci utama, suara yang merekam percakapan Prakoso dan kaki tangannya mengenai skandal yayasan dan, yang paling mengerikan, perintah untuk membungkam Arya. Seluruh ruangan itu kini dipenuhi petugas y

  • Dua Tuan Tampan   58. Jejak di Dalam

    Rencana Raina untuk memicu alarm kebakaran di kediaman Prakoso bagaikan percikan api yang akan menyulut ledakan. Di dalam mobil yang terparkir tak jauh dari rumah mewah itu, Arjuna Dirgantara mengangguk, menyetujui strategi berani Raina. Ketegangan memenuhi udara pagi di kota kecil itu, sebuah ketegangan yang hanya bisa dibandingkan dengan bisikan angin dingin yang menyelinap melalui celah jendela mobil. Raina merasakan jantungnya berdebar kencang, setiap detiknya terasa seperti sebuah hitungan mundur menuju momen krusial."Bagaimana Anda akan melakukannya, Raina?" tanya Arjuna, suaranya rendah, matanya menatap Raina penuh kekaguman sekaligus kekhawatiran. Ia melihat tekad di mata Raina, sebuah keberanian yang jauh melampaui tugas seorang asisten.Raina tersenyum tipis, sebuah senyum penuh keyakinan. "Saya sudah mempelajari beberapa sistem keamanan yang biasa digunakan di rumah-rumah mewah. Ada celah kecil yang bisa dimanfaatkan pada panel alarm eksternal. Dengan sedikit modifikasi pa

  • Dua Tuan Tampan   57. Dalang

    Nama yang dibisikkan Arjuna Dirgantara di dalam mobil, nama yang seharusnya menjadi pilar kepercayaan dalam dunia Grup Dirgantara, kini terasa bagai hantaman palu godam bagi Raina. Prakoso. Mitra bisnis terdekat Tuan Dirgantara Senior. Sosok yang selama ini dianggap sebagai tangan kanan keluarga. Kenyataan bahwa dialah dalang di balik pembunuhan Arya adalah pengkhianatan yang paling kejam, sebuah duri yang menusuk hingga ke inti jiwa Arjuna.Raina merasakan darahnya berdesir dingin. Ia menatap Arjuna, wajah pria itu kini lebih pucat dari sebelumnya, matanya memancarkan campuran duka yang mendalam dan kemarahan yang membara. Aura kuat yang biasa menyelimuti Arjuna kini tergantikan oleh kerapuhan yang menyayat hati. Raina tahu, ini adalah titik balik. Arjuna tidak hanya kehilangan adiknya, tetapi juga kepercayaannya pada dunia yang selama ini ia anggap aman."Prakoso..." Raina berbisik, namanya terasa asing di lidahnya, berlumuran pengkhianatan. "Bagaimana mungkin?"Arjuna menggeleng, t

  • Dua Tuan Tampan   56. Terowongan Kegelapan

    Beberapa hari setelah penemuan surat Arya, Arjuna dan Raina menghabiskan waktu luang mereka untuk menggali lebih dalam tentang Bramantyo. Mereka menyadari, nama ini tidak hanya terkait dengan skandal yayasan, tetapi juga dengan kepergian Arya yang misterius.Raina, dengan kemampuannya yang teliti, mulai mencari informasi tentang Bramantyo melalui jaringan internal kantor dan sumber-sumber terbuka. Ia menemukan bahwa Bramantyo, setelah skandal yayasan mereda, tidak benar-benar menghilang. Ia hanya mengubah namanya, dan hidup di bawah radar, jauh dari sorotan publik. Ia memiliki beberapa bisnis kecil di luar kota, yang tidak terkait langsung dengan sektor keuangan atau properti."Dia sengaja bersembunyi," Raina berbisik pada Arjuna saat mereka membahas temuan ini di ruang kerja Arjuna yang sepi. "Dia tahu ada yang mencarinya."Arjuna mengangguk, rahangnya mengeras. "Kita harus menemukannya. Dia pasti tahu sesuatu."Namun, Raina tahu, mendekati Bramantyo adalah langkah yang sangat berbah

  • Dua Tuan Tampan   55. Surat Arya

    Pengakuan Tuan Dirgantara Senior tentang Sinta adalah bom yang telah meledak, menghancurkan tembok kebohongan yang ia bangun selama bertahun-tahun. Namun, penolakannya untuk berbicara tentang kaitan Arya membuat Raina, Arjuna Dirgantara, dan Bima Samudra terdiam. Ada sesuatu yang jauh lebih gelap, lebih menyakitkan, yang masih terkubur dalam-dalam di benak pria tua itu. Sebuah bayangan yang enggan terungkap, mengisyaratkan tragedi yang lebih besar dari sekadar skandal yayasan.Raina merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Ia kini tahu bahwa perannya tidak hanya sebagai jembatan antara Arjuna dan Bima, melainkan juga sebagai penyelidik kebenaran yang sesungguhnya. Ia harus menemukan apa yang Tuan Dirgantara Senior sembunyikan, bahkan jika itu berarti menggali lebih dalam ke masa lalu yang penuh rasa sakit.Setelah percakapan singkat di kamar rumah sakit, Arjuna dan Bima sepakat untuk tidak menekan Ayah mereka lebih jauh. Mereka tahu, memaksanya dalam kondisi seperti itu tidak

  • Dua Tuan Tampan   54. Sunyi

    Keesokan harinya, suasana di kantor terasa lebih mencekam. Ketidakhadiran Arjuna dan Tuan Dirgantara Senior meninggalkan kekosongan yang terasa berat. Lia, sekretaris senior, tampak lebih sibuk dari biasanya, menjawab telepon-telepon dari media dan kolega yang penasaran. Raina mencoba fokus pada pekerjaannya, namun pikirannya terus melayang ke rumah sakit. Bagaimana keadaan Tuan Dirgantara Senior? Bagaimana reaksi Arjuna terhadap semua ini? Apakah ia akan dipecat?Desas-desus mulai beredar di antara karyawan. Ada yang mengasihani Tuan Dirgantara Senior, ada yang menyalahkan Bima karena terlalu gegabah, dan ada pula yang diam-diam menyalahkan Raina karena telah 'membocorkan' rahasia keluarga. Raina merasakan tatapan-tatapan sinis itu, namun ia berusaha mengabaikannya. Ia tahu, ia telah melakukan hal yang benar, terlepas dari konsekuensinya.Ia mencoba menghubungi Arjuna, namun tidak ada jawaban. Pesan singkat yang ia kirimkan juga tak berbalas. Raina merasa putus asa. Ia tahu, kepercay

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status