Andara menatap sang kakak dengan tatapan penuh tanya. Apalagi setelah kakaknya itu tak melanjutkan kalimatnya hingga selesai. Menambah rasa penasaran dalam benak Andara. Namun, saat matanya melihat sosok yang sedang berjalan mendekat ke arah mereka. Tahu lah dia kenapa sang kakak menghentikan kata-katanya.
“Pagi-pagi bukannya ngerjain kerjaan rumah malah ngerumpi,” sinis sosok wanita paruh baya yang baru saja tiba di rumah Andara. “Tahu diri dikit lah kalau tinggal di rumah mertua. Jangan seenak jidatnya aja,” lanjutnya dengan nada yang semakin tak enak didengar. Wanita berhijab yang sejak tadi duduk bersama dengan Andara hanya menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Dia lalu menatap wanita itu dan tersenyum. “Ini lagi,” lanjutnya. Matanya menatap Andara dengan sinis. “Bukannya belajar bagaimana jadi istri yang baik. Malah ikut-ikutan ngerumpi di sini.” “Dasar malas!” umpatnya. “Untung masih ada yang mau nikahin,” lanjut wanita itu. Andara mengerutkan keningnya. Dia lantas berdiri dari tempat duduknya. Mulutnya sedikit terbuka untuk menjawab omongan orang itu. Akan tetapi, tangannya ditarik oleh sang kakak. “Apa? Enggak terima?” tantang wanita berbadan bongsor itu. Andara mendecakkan lidahnya. Kemudian tanpa menggubris wanita itu, dia berjalan masuk ke dalam rumah. Diikuti oleh sang kakak di belakangnya. Kini tinggallah wanita itu yang menggerutu tak jelas. Di lain tempat, seorang laki-laki tengah menatap kosong keluar jendela. Hatinya dipenuhi rasa tak nyaman setelah menerima perjodohan ini. Namun, dirinya tak bisa mundur lagi. Dia harus tetap maju dan menjalani ini semua dengan ikhlas. “Kok melamun?” tegur seseorang yang baru saja masuk ke dalam ruangan itu. Lelaki yang tak lain adalah Galang—calon suami Andara itu menoleh. Seulas senyum tergambar di wajah tampannya. “Lagi mikirin apa sih, Mas?” tanya seseorang yang tak lain adalah Anessa. Dia lantas mempercepat jalannya dan memeluk pinggang kakaknya dengan manja. Galang menghela napas panjang dan menggeleng. “Enggak ada yang dipikirkan kok. Cuma lagi gabut aja,” terang laki-laki yang mirip dengan Arlonsy Miraldi itu. “Terus? Kenapa ngelamun? Enggak baik tahu ngelamun gitu,” cerocos Anessa. Galang mengalihkan pandangannya lagi. Ada perasaan asing di sudut hatinya ketika mengingat tentang pernikahan yang sebentar lagi akan dilangsungkan. Bukan perasaan terpaksa, tetapi perasaan yang tak pernah ia rasakan selama ini. Apalagi setelah melihat wajah calon istrinya. Perasaannya semakin tak karuan saja. “Aku senang Mas Galang mau menikah lagi,” ujar Anessa membuyarkan lamunan sang kakak. Galang menatap sang adik yang masih bergelayut manja. Keningnya berkerut ketika matanya beradu pandang dengan sang adik kesayangannya. “Apalagi calon istri Mas Galang itu adalah sahabat baik aku. Makin senang aja aku.” Anessa tersenyum ketika melontarkan kalimat itu. Sedangkan Galang masih belum bisa mencerna ucapan sang adik. “Kenapa begitu?” tanyanya. “Bukannya dulu kamu paling nggak suka kalau lihat Mas bawa cewek ke rumah? Kenapa sekarang malah berbeda?” Anessa tersenyum manis. “Karena cewek yang sekarang ini beda dari cewek-cewek yang pernah Mas Galang kenalin ke aku,” sahut Anessa. “Bedanya?” Galang semakin dibuat heran dan penasaran dengan jawaban yang diberikan Anessa. “Nanti juga Mas Galang bakalan tahu sendiri. Yang jelas dia ini orang yang sangat baik. Bahkan lebih baik dari mantan istri Mas yang sok artis itu,” ujar Anessa. “Jangan bawa-bawa orang lain! Apalagi orang dari masa lalu,” kesal Galang. Anessa tersenyum. “Aku bahagia banget ketika dengar Mas Galang pisah dari dia. Cewek yang nggak tahu sopan santun itu,” lanjut Anessa. Galang menatap sang adik dengan sorot mata tajam. Dia tak suka mendengar ada orang yang mengungkit kejadian di masa lalunya. Melihat sorot mata sang kakak, Anessa segera menghentikan omongannya. Dia paham betul ketika sorot mata kakaknya berubah, itu berarti emosinya sudah mulai naik. “Aku jadi nggak sabar melihat Mas Galang bersanding dengan Andara,” ucap Anessa mengalihkan pembicaraan. “Semoga ini menjadi yang terakhir buat Mas Galang,” lanjutnya. Setelah itu Anessa melepaskan pelukannya dan keluar dari kamar sang kakak. ******************* Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Halaman rumah Andara sudah dipasang tenda dan pernak-pernik khas acara pernikahan. Di dalam tenda juga sudah terpasang pelaminan bernuansa putih dan krem. Tampilannya semakin cantik dengan bunga-bunga yang menghiasi di sekitarnya. Desty—kakak ipar Andara tampak sibuk menata aneka kue di atas piring suguhan untuk para tamu yang datang. Ada juga beberapa camilan seperti keripik dan juga kacang. “Mbak ini ditaruh mana?” Seorang gadis cantik bertanya pada Desty sembari mengangkat sebuah piring yang berisi aneka kue. “Taruh meja depan ya. Terus stoplesnya kamu taruh di ruang tamu aja,” jelas Desty. Gadis itu mengangguk dan segera berlalu meninggalkan Desty yang kembali sibuk dengan kegiatannya. “Des,” tegur seseorang. “Kok belum dandan sih?” tanya orang itu. Desty menoleh dan tersenyum. “Desty mau nyelesain ini dulu, Ma. Tanggung sebentar lagi selesai,” jawab Desty. “Udah tinggalin aja. Biar dikerjain sama yang lain. Kamu kan harus siap-siap untuk menyambut tamu,” sergah Mama. “Bentar lagi, Ma. Tinggal dikit lagi kok. Sebentar lagi juga …” “Udah tinggalin aja itu! Tinggal kamu aja lho yang belum dandan,” potong Mama. “Mama tunggu di kamar ya.” Tanpa menunggu respon dari Desty, Mama berlalu pergi dari sana. Desty hanya menghela napas panjang sembari meneruskan pekerjaannya yang belum selesai. Saat tengah asik menyusun makanan di piring, seseorang menegur Desty dengan ketusnya. “Tinggalin aja Ndoro Ratu. Biar kami para Abdi yang nyelesain ini semua.” Seorang wanita bertubuh bongsor menegurnya dengan nada yang tak enak didengar telinga. Desty menoleh dan mendapat wajah masam saudara dari mama mertuanya itu. Dalam hati dia kesal juga kenapa mama mertuanya harus meminta tolong pada saudaranya yang terkenal dengan mulut pedasnya itu. Tanpa menunggu jawaban Desty, wanita berbadan bongsor itu merebut piring yang sedang dipegang oleh Desty. Kemudian dia mulai mengisinya dengan aneka kue yang ada di situ. Desty menghela napas panjang. Setelah itu dia segera bangkit dari duduknya dan mengikuti langkah mama mertuanya masuk ke sebuah kamar. “Dasar menantu nggak guna! Bisanya cuma nyari muka dan perhatian saja! Huh!” gerutu wanita itu. “Kalau aku jadi mertuanya, sudah aku suruh cerain wanita modelan begitu. Nikah udah lama belum bisa hamil. Eh malah belagu minta didandanin segala. Menyambut tamu konon. Huh! Dasar nggak tahu malu!” Wanita itu terus saja mengomel sembari menatap kue di atas piring. Pukul 09.00 para tamu dan pengiring pengantin sudah datang. Desty dan beberapa orang yang dimintai tolong sebagai penyambut tamu segera berdiri dan menyambut para tamu yang datang. Beberapa di antaranya membantu membawakan barang seserahan yang dibawa oleh pengantin laki-laki dan memasukkannya ke dalam rumah. “Jam berapa akadnya?” tanya seorang bapak-bapak. “Sebentar lagi. Penghulunya masih dalam perjalanan ke mari,” jelas Zacky—kakak kandung Andara. Tepat pukul 10.00, akad akan nikah dilaksanakan. Galang tampak bersiap mengucapkan ikrar janji suci untuk kedua kalinya di hadapan penghulu dan wali nikah. Dia tampak begitu mempesona dalam balutan jas berwarna putih dan celana yang senada. Tak berapa lama, pengantin wanitanya keluar dari dalam rumah dan berjalan menuju meja akad. Andara tampak begitu cantik dengan busana pengantin berwarna putih lengkap dengan siger di kepalanya. “Apakah semuanya sudah siap? Atau masih ada yang ditunggu lagi?” Pak Penghulu bertanya sembari menatap wali dan saksi nikah secara bergantian. “Sudah siap semuanya, Pak. Monggo segera dilaksanakan akad nikahnya,” jawab Papa. “Baiklah kalau begitu kita ….” Pak penghulu menghentikan ucapannya ketika mendengar seruan dari seorang gadis yang tiba-tiba hadir di tengah prosesi akad nikah. Semua orang menoleh dan tampak saling berbisik ketika gadis itu mulai berbicara. "Tunggu!" pekik gadis itu. "Pernikahan ini tidak boleh dilanjutkan!"Bab 20. Kebencian Bunda Setelah kejadian mengerikan di rumah sakit tempo hari, ketika ada seseorang yang tak dikenal menyelinap masuk ke kamar Galang dan mencoba mencelakainya. Andara benar-benar tak bisa lagi mempercayakan keselamatan suaminya kepada siapa pun. Kejadian itu begitu melekat dalam ingatannya. Bunyi alat monitor yang tiba-tiba berbunyi nyaring, teriakan suster yang panik, dan Galang yang menggeliat lemah membuat Andara merasa hampir kehilangan segalanya. Sejak itu, ia memutuskan satu hal, Galang tak boleh lagi sendiri. Maka ia memutuskan membawa Galang pulang ke rumah orang tuanya. Di sana ada dirinya, ada Papa dan mamanya, dan yang terpenting, tempat itu terasa jauh lebih aman dibanding rumah mereka sendiri yang kini terasa begitu asing dan mengancam. Namun, keputusan itu justru menjadi awal dari badai baru. Pagi itu, suara langkah kaki Bunda terdengar menggema di koridor rumah orang tua Andara. Wanita paruh baya itu datang le
Andara berdiri terpaku di depan pintu bangsal. Matanya tak bisa beralih dari pemandangan yang tak ia duga: Galang, suaminya, sedang duduk di ranjang rumah sakit, tertawa kecil bersama Wulan yang duduk di sampingnya. Langkahnya yang semula yakin, kini ragu. Ia mengurungkan niat untuk masuk. Dalam hati, ia bertanya-tanya, sejak kapan Wulan sedekat itu dengan Galang? Kenapa bukan dirinya yang ada di sisi suaminya saat itu? Pintu tiba-tiba terbuka dari dalam. Wulan melangkah keluar, senyum sinis menghiasi wajahnya saat matanya bertemu dengan Andara. “Oh, kamu datang juga rupanya,” ucap Wulan mencibir. “Kupikir kamu lebih memilih ujian daripada menemani suamimu yang sedang terbaring di rumah sakit.” Andara menatapnya tanpa ekspresi. “Aku sudah bilang ke Mas Galang, aku akan datang setelah ujian selesai.” “Dan aku menepati janjiku itu. “ Andara berkata sembari menatap tajam ke arah Wulan. Perempuan yang menciptakan jarak antara dirinya dengan sang suami. “Tetap saja, seorang istr
Andara tampak duduk di depan ruang UGD. Wajahnya menyiratkan kegelisahan dan kecemasan. Sesekali dia melongok ke dalam. Berharap seorang dokter atau perawat keluar untuk memberitahunya tentang keadaan Galang saat ini. “Sabar, Ra. Mas Galang pasti baik-baik saja kok,” ujar Anessa menenangkan sahabatnya itu. Andara menoleh dan mencoba untuk tersenyum. Walaupun bibirnya terasa kaku. “Mas Galang pasti bisa melewati ini semua. Aku yakin dia pasti kuat,” lanjut Anessa. Andara lagi-lagi tersenyum. Namun, dalam hatinya dia merasa tak begitu tenang. Dia takut akan terjadi sesuatu pada Galang. “Keluarga Galang Anugerah!” panggil salah seorang perawat. Andara lantas berdiri. “Saya istrinya, Sus. Bagaimana keadaan suami saya?” tanya Andara beruntun. Perawat itu tampak memperhatikan Andara dari ujung rambut hingga ujung kaki. Seolah memastikan lagi bahwa yang berdiri di depannya adalah benar
“Foto siapa itu?” tanya Andara. Galang yang hendak duduk pun menghentikan aksinya. Dia menatap Andara dengan tatapan bingung. “Di wallpaper hp kamu. Itu foto siapa?” Andara mengulangi lagi pertanyaannya sembari menatap mata sang suami. Galang menjadi gelagapan mendengar pertanyaan itu. Dia butuh sedikit improvisasi agar Andara tak salah paham padanya. “Itu foto … foto …” “Foto pacar kamu?” potong Andara cepat. Matanya masih menatap sang suami. Lelaki yang berstatus menjadi suaminya itu tampak bingung. Dia tak tahu harus menjawab apa pertanyaan yang mungkin bisa memancing pertengkaran di antara keduanya. “Heh! Lucu ya,” ujar Andara. “Kemarin aja bilang aku sayang kamu, Ra. Aku udah jatuh hati sama kamu. Sekarang …” “Nyimpen foto cewek. Dijadiin wallpaper lagi,” lanjut Andara. Galang menghela napas panjang. Tanpa menjelaskan apa-apa pun pada Andara, dia me
Wajah Andara memerah menahan tawa yang seolah-olah akan meledak. Walpaper yang terpasang di layar laptop milik Galang sukses membuat perutnya terasa kaku. “Narsis banget sih jadi orang!” gumam Andara. Seulas senyum tipis tergambar di wajahnya. Melihat senyum samar itu, Anessa lantas bertanya. “Kenapa, Ra? Senyum-senyum sendiri gitu?” Andara menoleh dan kemudian mengalihkan laptop itu ke arah Anessa. Seketika itu juga tawa Anessa meledak tanpa bisa tertahankan lagi. Bagaimana tidak? Dia melihat foto sang kakak dengan pose yang dibuat sok imut. “Sok cakep banget sih dia!” ujarnya di sela tawanya yang berderai. “Geli banget nggak sih, Ra?” tanya Anessa setelah tawanya reda. Andara menatap sang sahabat lalu tersenyum. “Entahlah! Aku nggak pernah lihat mukanya kalau ….” Belum sempat kalimat itu selesai, terdengar suara seseorang berjalan menuju tempat mereka. Tak lama kemudian munc
“Aku serius dengan ucapanku, Ra!” Galang berkata sembari menatap kedua mata sang istri. Andara mencoba mencerna ucapan yang keluar dari mulut Galang. Dia tak ingin terlalu berharap yang pada akhirnya membuatnya kecewa dan terluka. “Aku … sudah lama jatuh hati … sama … kamu, Andara.” Dengan susah payah Galang menyelesaikan ungkapan dari hatinya yang terdalam. “Aku … ingin selamanya bersamamu,” lanjut lelaki berbadan tegap itu. Dada Andara bergemuruh hebat. Cuping telinganya tak begitu saja bisa mempercayai apa yang keluar dari mulut seorang Galang. “Apa … kamu … bersedia hidup bersamaku?” tanya Galang. “Memang terdengar konyol dan gombal. Tapi, itulah yang aku rasakan saat ini. Hatiku sudah terpaut di kamu,” lanjut Galang. Andara masih belum bisa mengatakan sepatah kata pun juga. Lidahnya tiba-tiba saja menjadi kelu dan otaknya mendadak blank. Hanya jantungnya yang sejak tadi berd