“Mami!” Cita segera berbalik, ketika mendengar suara Sandra memanggil. Ia tidak mau peduli dengan keadaan Pandu, yang mungkin tengah kebingungan menyembunyikan Laura. Bila Pandu saja tidak pernah peduli dengannya, mengapa Cita harus peduli dengan pria itu.
Hidup satu atap bagai orang asing selama satu tahun ke belakang, sudah cukup membuat Cita terluka. Puncaknya adalah hari ini, di mana Cita melihat Laura yang ternyata sudah berbadan dua, dan akan melahirkan dalam waktu dekat.
“Mami ngapain?” tanya Cita menyimpan kegugupannya rapat-rapat.
“Mami juga mau ke toi … Pandu?” Sandra menatap heran, sekaligus curiga dengan kehadiran menantunya. “Kamu ada di sini juga? Ngapain?”
Cita kembali berbalik menatap Pandu. Sorot matanya berlari mencari sosok Laura, tetapi, wanita itu mendadak hilang begitu saja.
“Kebetulan.” Pandu mengusap tengkuk, berusaha terlihat biasa dan sedang mencari alasan yang tepat. Tadinya, Pandulah yang ingin bersembunyi, dengan segera masuk ke dalam kamar kecil khusus pria. Namun, entah mengapa Pandu justru meminta Laura kembali masuk ke kamar kecil, sesegera mungkin. “Istrinya temenku baru melahirkan, Mi. Jadi, aku sempatin nengok ke sini.”
“Ohh … begitu.” Tetap saja, Sandra merasa curiga, dan tidak bisa percaya sepenuhnya dengan perkataan Pandu. Sandra pernah menjadi orang ketiga dalam pernikahan suaminya terdahulu, jadi, instingnya bisa sangat tajam ketika melihat gerak gerik seorang suami yang mulai mencurigakan. “Oke, Mami ke dalam dulu.”
Sandra melewati Cita, dan langsung masuk ke dalam kamar kecil khusus wanita. Berusaha berpikiran positif, seraya mencari bukti yang bisa mendukung kecurigaannya tentang Pandu.
“Ke mana dia?” tanya Cita dengan suara pelan.
“Di toilet.”
“Suruh dia keluar dan tunggu di mobil,” titah Cita dengan berani. Sepertinya, akan ada sandiwara lagi setelah ini.
“Cit, Laura itu lagi hamil, harusnya kamu bisa ngertiin dia.” Pandu kembali mengingat ucapan Cita, yang tidak menyenangkan pada Laura. “Orang hamil itu perasaannya sensitif, jadi kamu harus bisa jaga perasaan Laura.”
“Kenapa aku harus jaga perasaan dia?” tanya Cita dengan melempar satu tawa datarnya. “Memang dia siapaku? Bukan siapa-siapa, kan?’
Pandu menarik napas. Berusaha menahan sesuatu yang bergejolak di hatinya. “Sebagai sesama perempuan, harusnya kamu bisa paham dengan kondisi Laura yang lagi hamil.”
“Sebagai sesama perempuan, harusnya dia tahu diri dan nggak nikah dengan suami orang,” balas Cita lalu melirik pada Laura, yang baru saja keluar dari kamar kecil.
“Ehm, Sayang.” Pandu semakin serba salah dengan kehadiran Laura yang tiba-tiba. “Omongan Cita barusan, nggak usah diambil hati. Ayo kita pulang, kita periksa nanti malam aja.”
Laura menatap tajam pada Cita. Jelas saja ia tersinggung dengan perkataan gadis itu. “Kamu itu, nggak punya hati,” kata Laura sambil mengusap perutnya.
“Sayang, ayo.” Pandu sudah meraih pinggang Laura. Jangan sampai, Sandra terlanjur keluar dan mendapati perdebatan mereka bertiga. Namun, kaki istrinya itu terlalu berat untuk diajak melangkah. Laura sepertinya masih merasa kesal dan hendak menumpahkan amarahnya pada Cita. “Sudahlah, Cita nggak usah diladeni. Dia memang begitu.”
“Aku memang nggak punya hati,” sahut Cita membenarkan ucapan Laura. Dibesarkan dengan banyak cacian dari sang oma, membuat Cita kesulitan memahami arti kasih sayang. Bukannya tidak tahu bagaimana menyayangi, tetapi perasaan Cita sudah tidak peka akan hal tersebut. “Tapi ingat, aku korbannya di sini, kan? Korban dari sikap pengecut Mas Pandu, dan–”
“Cita!” hardik Pandu mulai meninggikan nada bicaranya. Namun, enggan meneruskan perdebatan di tempat seperti ini. “Aku antar Laura dulu, nanti kita ketemu dan bicara empat mata! Di rumah!”
“Laura,” panggil Cita ketika kedua orang itu baru saja melewatinya. “Kalau mas Pandu memang benar-benar cinta sama kamu, dari awal dia pasti nolak perjodohan dan pernikahan kami.”
“Cita!” Panduk menghardik dengan pelan. Tidak ingin seorang pun, mendengar perdebatan mereka. “Jaga mulutmu ba–”
“Tapi, ternyata dia nggak secinta itu sama kamu,” lanjut Cita masih meneruskan ucapannya. Hal itu dilakukan Cita, untuk memuaskan ego yang selama ini sudah tersakiti. “Coba suruh suamimu itu ceraikan aku? Apa dia mau?”
“Kamu it–”
“Kita bicara di rumah nanti!” Pandu menunjuk Cita dan memutus ucapan Laura. “Ayo, Sayang, kita pergi dari sini.”
~~~
“Cita!”
Baru saja melewati pintu ruang tamu, Pandu sudah berteriak memanggil nama Cita. Sepanjang hari, gadis itu sama sekali tidak menghiraukan panggilan dari Pandu. Bahkan, chat yang dikirimkan Pandu pada Cita, tidak dibaca sama sekali.
“Cit! Di mana kamu?” Pandu berlari menaiki tangga, dan langsung menuju kamar Cita. Membuka pintunya, dan menerobos masuk untuk mencari gadis itu.
TIdak menemukan di kamar, Pandu kembali keluar dan berlari menuruni tangga. Dapur, Pandu segera berjalan cepat ke sana, tetapi tidak juga menemukan gadis itu.
“Cita!” Karena tidak ada asisten rumah tangga, maka di rumah tersebut tidak ada orang yang akan membalas teriakan Pandu, kecuali Cita. Hanya ada satu penjaga, yang bertugas bergantian di depan rumah. Lalu, ada orang suruhan keluarga Atmawijaya, yang akan datang dua kali seminggu, untuk membersihkan rumah. Selebihnya, mereka memutuskan untuk tidak mempekerjakan asisten rumah tangga, demi privacy dan rahasia keduanya.
Tidak menemukan Cita di dapur, Pandu kemudian menuju teras samping rumah. Tempat Cita biasa menghabiskan waktu, berdiam diri di samping kolam renang.
Benar saja, saat Pandu menggeser pintu teras, Cita terlihat berdiri di sudut kolam sambil memandang gemerlap bintang seperti biasanya.
“Cita! Aku hubungin kamu seharian, tapi nggak satupun telpon dan chatku yang kamu angkat.”
Cita menghela. Memalingkan wajahnya dari langit yang malam ini tampak cerah, dengan taburan bintang yang sangat indah. Melihat langit, selalu mengingatkan Cita dengan Kasih. Karena kebiasaan Kasih itu pula, Cita pun menyukai melihat ciptaan Tuhan yang luasnya tiada tara itu.
“Aku sibuk.” Cita kembali mengangkat wajahnya. “Bukannya, kamu lagi ngantar Laura ke rumah sakit?”
Pandu mencengkram lengan Cita, dan menarik tubuh itu agar menghadapnya. “Omonganmu tadi pagi, sudah kelewatan.”
Cita tersenyum miring. Satu tangan bebasnya kemudian menepuk pelan pipi Pandu. “Jujur itu, memang menyakitkan. Tapi lebih menyakitkan lagi, hidup dalam kepura-puraan.”
“Kamu sendiri yang setuju dan ngasih izin aku untuk nikah lagi,” desis Pandu semakin mengeratkan cengkramannya. “Dan, mendadak kamu ngerasa jadi korban di sini? Terus, ngelempar semua kesalahan sama aku dan Laura?”
“Betul.” Cita mengangguk mengiyakan, dan menahan rasanya nyeri di lengannya. “Tapi itu dulu, dan sekarang aku sudah berubah pikiran.”
“Berubah pikiran?” Pandu tersenyum miring. “Hei, apa kamu lupa, 35 persen pengelolaan perusahaan Lukito sudah ada di tanganku. Dan papamu, nggak akan ngasih apapun karena kamu itu anak yang nggak pernah diinginkan keluarga Lukito. Kalau kamu berani—”
“Cerai!” putus Cita memberi senyum yang sama pada Pandu. Ia tidak peduli, dan sudah kebal bila Pandu ingin mengatakan Cita adalah anak haram. Bukankah pria itu sudah tahu hal itu sebelumnya, dan Pandu tetap melanjutkan ijab kabul di depan semua orang. “Ayo kita sudahi sandiwara ini.”
Senyum yang terukir di wajah Pandu memudar. Bila ia bercerai dari Cita, maka Pandu bisa saja terdepak dari perusahaan Lukito. Sementara perusahaan Atmawijaya, sudah sepenuhnya berada di tangan kakaknya. Banyak hal yang menjadi pertimbangan Pandu, sebelum ia benar-benar bisa melepas Cita.
“Kenapa?” Cita menarik tangannya ketika cengkraman Pandu mulai melonggar. “Kamu takut? Khawatir nggak bisa menguasai perusahaan Lukito, karena perusahaan Atmawijaya sudah ada di tangan mas Pasha, begitu?”
“Justru kamu yang harusnya takut, Cit.” Pandu tidak boleh terlihat gamang di depan Cita. “Kalau kita bercerai, perusahaan keluargamu nggak akan punya penerus. Kalau nggak ada penerus, mau nggak mau, perusahaan itu nantinya akan dikelola dengan pihak yang punya saham terbanyak di Lukito Grup. Dan—”
“Aku sudah nggak mau peduli,” putus Cita kemudian berbalik meninggalkan Pandu. Berdebat tanpa ujung, hanya akan membuat kepalanya pusing. Apapun yang terjadi dengan perusahaan keluarga, Cita sudah tidak mau memikirkannya.
Selama hampir satu tahun ini, Cita juga tidak kunjung mendapat perhatian dari sang papa. Tadinya ia mengira, dengan menuruti permintaan Harry menikah dengan Pandu, akan membuat sikap papanya itu berubah. Namun, sikap Harry ternyata sama saja. Tetap dingin, dan tidak mau peduli dengan Cita. Jadi, kesabaran Cita cukup sampai di sini. Ia tidak ingin lagi mengemis kasih sayang dari papanya sendiri. Cita juga tidak akan mau peduli, bila perusahaan yang dibangun oleh keluarga Lukito itu akan berpindah tangan ke pihak luar.
“Kalau kamu sibuk dengan Laura dan nggak bisa ngurus perceraian kita, biar aku yang urus semuanya,” kata Cita dengan kembali memasuki rumah. "Dan kamu, tinggal terima beres!”
“Malam, Pa,” sapa Cita saat melihat Harry berada di ruang tengah kediaman Lukito. Setelah bicara dengan Pandu, Cita memutuskan untuk pulang ke rumah. Tempat di mana ia dibesarkan, dengan mendengar banyak cacian dari mulut Joana setiap harinya.“Malam,” balas Harry tanpa menoleh, dan tetap memandang televisi layar datar di hadapan. Melihat Cita, selalu mengingatkan Harry tentang kebodohan yang dilakukannya dahulu kala. Bermain api dengan Sandra, dan terlalu ceroboh sehingga Cita hadir di antara mereka. Harry tidak membenci Cita, tetapi sangat susah baginya untuk memberikan semua rasa cintanya kepada putrinya itu. Andai saja Sandra tidak hamil anak Harry, kemungkinan besar ia masih bisa rujuk dan kembali dengan Elok.Namun, nasi sudah menjadi bubur. Karena kecerobohan Elok jualah, akhirnya Sandra memiliki satu senjata yang digunakannya untuk mengancam keluarga Lukito. Mau tidak mau, Harry akhirnya menikahi Sandra, dan membawa wanita itu ke dalam keluarganya.Cita menarik napas melihat s
Cita menarik napas panjang, sebelum memasuki ruang tengah keluarga Atmawijaya. Pagi-pagi sekali, mama mertuanya menelepon dan meminta Cita untuk datang ke rumah wanita itu. Tanpa bertanya kabar, ataupun berbasa-basi seperti biasanya. Cita yakin, Tessa sudah mengetahui kabar kisruh rumah tangga yang sudah ia simpan sendiri selama hampir satu tahun. Setelah memantapkan hati, Cita pun memasuki ruang tersebut. Ia mendapati Sandra, dan seluruh anggota keluarga Atmawijaya ada di sana, tanpa terkecuali. Sepertinya, Sandra sudah menceritakan semua hal kepada besannya itu. “Pagi,” sapa Cita menyematkan senyum kecil, dan langsung menghampiri kedua mertuanya lebih dulu. Setelah mencium punggung tangan sepasang suami istri itu dengan hormat, Cita segera beralih pada Sandra, dan duduk di sebelah sang mami. Sejenak, Cita menyapa Pasha dan Erina yang duduk berseberangan dengannya. Tidak lupa, ada Pandu yang duduk tepat di samping Pasha, dan sangat terlihat kacau. “Ada liputan pagi ini, Cit?” tany
“Kusut banget, lo, Cit?” Aldo, camera person yang akan bertugas meliput dengan Cita hari ini, menghampiri. Pria itu berjongkok di depan Cita, lalu mengecek beberapa barang bawaan yang akan diletakkan di bagasi mobil. “Lagi dapet?”“Hem,” gumam Cita sedang tidak berminat melakukan apa pun. Ia hanya ingin duduk diam seharian, dan memikirkan rencana hidup ke depan. Namun, bagaimana bisa bila setumpuk rencana tugas liputan sudah menanti untuk dieksekusi?“Lo juga, sih, kayak nggak ada kerjaan aja gawe di sini,” lanjut Aldo masih sibuk mengecek semua peralatan sedetail mungkin. Dari microphone, kabel, serta baterai yang diperlukan untuk semua keperluan liputan nanti. “Bokap lo itu yang punya Lukito Grup. Suami lo, anaknya pak David Atma. tapi, lo-nya malah demen keliaran capek-capek nyari berita.”“Yang punya perusahaan itu bokap gue, sama bokapnya laki gue,” kata Cita menjelaskan. “Dan gue nggak ada passion di sana. Cita-cita gue itu mau jadi news anchor, terkenal dan punya fans di mana-m
“See, nggak seharusnya kamu bikin masalah denganku.” Pandu memakai kaos yang baru saja ia pungut dari lantai. Berdiri di samping tempat tidur, dan menatap Cita yang meringkuk dengan tubuh polosnya. Sebelum meraih beberapa pakaian yang juga tergeletak di lantai, Pandu menarik selimut dan menutup tubuh Cita dengan asal. “Dan aku peringatkan, aku bisa lebih kejam dari ini.”Pandu memungut pakaiannya yang masih tersisa, lalu memakainya dengan cepat. “Kamu dengar aku, Cit.” Pandu menghempas bokongnya di tepi ranjang. Membalik tubuh Cita yang memunggunginya, lalu meraih wajah gadis itu. “Nggak usah pura-pura tidur.”Pandu menepuk pipi Cita. Awalnya, Pandu hanya menepuk dengan pelan untuk membangunkan gadis itu. Namun, karena tidak ada respons atau pergerakan sama sekali, Pandu menepuk pipi itu lebih keras. “Cita!” panggil Pandu masih menepuk pipi Cita sampai berulang kali. “Jangan main-main, Cit!”Pandu berusaha tenang. Mencoba mengangkat tubuh bagian atas Cita, yang terasa berat. Gadis i
“Cita …” Tessa menyentuh bahu Cita yang meringkuk di tempat tidur. Sudah tiga hari ini, gadis itu tidak kunjung keluar dari kamar dan hanya meringkuk di tempat tidur. Tessa sudah menyewa dua orang perawat, yang bertugas bergantian untuk mengurus Cita, sampai kondisi gadis itu stabil. Selama tiga hari ini juga, Tessa selalu bolak balik ke rumah Pasha, dengan memberi berbagai alasan pada sang suami. Sampai detik ini, David masih tidak tahu menahu tentang kejadian yang menimpa Cita, karena hal tersebut memang ditutup rapat-rapat dari siapa pun. Termasuk Sandra.Dengan detail, Tessa telah membereskan satu per satu kemungkinan yang akan membuka aib keluarga mereka. Tessa juga sudah memerintahkan seseorang, untuk membersihkan kamar di rumah Cita, dan membawa ponsel gadis itu ke tangan Tessa.Dari ponsel itulah, Tessa bisa mengirim pesan pada Sandra, dan mengatakan Cita tengah bertugas ke luar kota. Tepatnya di daerah terpencil, yang masih susah untuk dijangkau oleh sinyal.Dan … semua aman
“Cita.” Tessa semakin dibuat pusing, ketika mendengar aduan Erina tentang Cita. Karena itulah, tepat ketika David pergi ke kantor, Tessa pun segera pergi ke rumah Pasha untuk menemui Cita. “Semua … semua sudah diurus sama papa. Jadi, Mama rasa kamu nggak perlu hubungin pengacara.”Semalam, Cita mengatakan pada Erina akan menghubungi pengacara karena ingin segera bercerai dari Pandu. Namun, Tessa tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Karena sedari awal, David tidak pernah benar-benar berniat untuk mengurus perceraian putranya dengan Cita. David hanya menggertak Pandu, dan ingin melihat sejauh mana Pandu akan mengambil sikap. Cita menggeleng kecil berkali-kali. “Aku … aku mau ketemu om Lex, biar …”“Sudah ada pak Abi yang urus semuanya,” putus Tessa mencoba menenangkan, sambil mengusap lengan Cita yang duduk bersandar pada headboard. Tessa tahu benar, Cita memiliki hubungan baik dengan keluarga Lex. Memang sedikit terasa aneh, karena Cita bisa menjalin hubungan baik dengan Elok, semen
“Mbak Cit, sarapannya sudah siap.”Cita membuang napas panjang. Menatap beberapa amplop yang berisi surat pengunduran dirinya di atas laptop. Setelah berpikir panjang, akhirnya Cita memutuskan untuk mengubur mimpinya. Mundur dari salah satu perusahaan media terbesar, dan membuang cita-citanya menjadi news anchor. Menjadi terkenal, bukanlah jalan yang harus ditempuh dalam kondisi Cita yang seperti sekarang. Karena Cita yakin, nantinya akan ada tekanan yang akan menimbulkan depresi di luar batas kuasanya. “Bik …” Cita meraih amplop-amplop tersebut, lalu beranjak menghampiri Juju. “Sebentar lagi ada kurir yang mau ke sini. Tolong, kasihkan surat-surat ini sama mas kurirnya. Bilang, titipkan aja di resepsionis. Oia, kurirnya sudah saya bayar.”Juju mengangguk bingung, sambil membolak balik amplop berwarna putih itu. “Ini … surat apa, Mbak? Mau dikirim ke mana?”“Surat pengunduran diri saya dari Metro.” Satu tangan bebas Cita meraih pergelangan tangan Juju. “Tolong, saya minta tolong sam
“Per … misi.” Cita menyapa ragu pada seorang wanita paruh baya, yang tengah berjongkok di samping keran, yang berada di sudut carport. Detik itu pula, wanita itu menoleh dan mengerutkan dahinya saat menatap Cita.“Ada apa, ya?”“Maaf, Bu, saya barusan ngetok-ngetok rumah sebelah.” Cita menunjuk rumah yang ada di samping kirinya. “Saya juga sudah pencet belnya, tapi nggak ada yang keluar.”“Ahhh … Mbak yang mau ngekos, ya?”“I-ya.” Sejak kejadian malam itu, rasa percaya diri Cita seolah terkikis sedikit demi sedikit. Ia tidak lagi bisa memandang setiap orang dengan tegas, dan selalu saja overthinking akan banyak hal. “Ibu Asri?” tebak Cita, karena satu-satunya orang yang dihubungi setelah menemukan iklan kos-kosan, adalah wanita itu.“Iya.” Asri segera berdiri dan menghampiri Cita dengan tawa kecilnya. Ia mengulurkan tangan dengan ramah lebih dulu, untuk memperkenalkan diri. “Saya Asri, anak kos biasa manggil Bunda Asri. Ayo, ayo, masuk dulu.”Tanpa menunggu Cita meresponsnya, Asri lan