Share

4. Keputusan

“Malam, Pa,” sapa Cita saat melihat Harry berada di ruang tengah kediaman Lukito. Setelah bicara dengan Pandu, Cita memutuskan untuk pulang ke rumah. Tempat di mana ia dibesarkan, dengan mendengar banyak cacian dari mulut Joana setiap harinya.

“Malam,” balas Harry tanpa menoleh, dan tetap memandang televisi layar datar di hadapan. Melihat Cita, selalu mengingatkan Harry tentang kebodohan yang dilakukannya dahulu kala. Bermain api dengan Sandra, dan terlalu ceroboh sehingga Cita hadir di antara mereka. Harry tidak membenci Cita, tetapi sangat susah baginya untuk memberikan semua rasa cintanya kepada putrinya itu. Andai saja Sandra tidak hamil anak Harry, kemungkinan besar ia masih bisa rujuk dan kembali dengan Elok.

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Karena kecerobohan Elok jualah, akhirnya Sandra memiliki satu senjata yang digunakannya untuk mengancam keluarga Lukito. Mau tidak mau, Harry akhirnya menikahi Sandra, dan membawa wanita itu ke dalam keluarganya.

Cita menarik napas melihat sikap Harry yang selalu saja dingin padanya. Kali ini, Cita memberanikan diri untuk mendekat, lalu duduk pada sofa yang berada di samping Harry.

“Bisa bicara sebentar?” pinta Cita menatap Harry penuh harap.

“Ke mana suamimu?” Harry bertanya balik, saat menyadari Pandu tidak datang bersama Cita. “Kenapa kamu datang di jam seperti ini sendirian?”

“Itu yang mau aku bicarakan,” ujar Cita lalu menoleh ke arah tangga. “Di mana mami?”

“Apa yang mau kamu bicarakan?” Harry kembali melempar pertanyaan, tanpa mau menjawab pertanyaan putrinya. Namun, firasatnya mengatakan ada hal buruk yang ingin dibicarakan Cita mengenai Pandu. Jangan-jangan …

Cita menghela. Terkadang, Harry akan mengabaikan ucapan Cita, bila pria itu tidak ingin membahasnya. Sebenarnya, Cita heran dengan sang mami. Mengapa Sandra masih saja bertahan menjadi istri Harry, padahal pria itu selalu saja dingin seperti sekarang.

“Aku mau cerai dengan mas Pandu.”

Harry akhirnya menoleh. Hanya menatap Cita, tetapi tidak membuka mulut. Untuk beberapa detik, Harry hanya diam dan berpikir tentang pernikahan yang dijalani putrinya selama setahun ke belakang.

“Apa masalahnya?” tanya Harry setelah terdiam cukup lama.

“Mas Pandu sudah menikah dengan perempuan lain, dan bulan depan mereka akan punya anak.” Cita tidak mau menutupi apa pun, karena tidak ingin membawa beban lagi ke depannya. Ia ingin melepas semuanya, dan ingin hidup sebebas-bebasnya setelah ini. Ia tidak ingin lagi membawa nama Lukito, dan persetan dengan semua harta, juga perusahaan keluarga.

“Kamu mau cerai, dan membiarkan perempuan itu merebut suamimu?” cibir Harry. “Papa heran, kenapa kamu nggak berani seperti mamimu? Dia itu bisa melakukan segala cara untuk—”

“Aku bukan mami,” putus Cita memberi senyum miring pada Harry dengan berani. “Aku, bukan, mami, yang mau diinjak-injak sama oma, dan dikasari setiap hari sama Papa.”

“Sudah berani bicara kamu sekarang?” Harry mulai berdiri, lalu bersedekap.

“Aku nggak mau ribut, Pa,” ujar Cita ikut berdiri dan memandang Harry tanpa rasa takut. “Aku nggak mau berdebat, dengan orang yang nggak pernah mau tahu tentang perasaanku. Selama ini aku diam dan selalu nurut, karena masih berharap Papa mau … sedikitnya ngasih perhatian ke aku. Dikit aja, Pa. Aku nggak pernah minta banyak, seperti Papa ngasih perhatian ke kak Kasih. Aku nggak pernah minta sebesar it—”

“Cita!” Sandra segera berlari menuruni tangga, saat melihat putrinya berdebat dengan Harry. “Masuk kamar, atau pulang ke rumahmu sekarang juga.”

“Itu hasilnya, kalau anakmu nggak pernah diajari sopan santun,” ujar Harry kemudian berbalik pergi, saat melihat Sandra menghampiri.

“Cita itu anakmu juga, Mas!” hardik Sandra masih bisa bersikap sabar, dan sabar dengan semua perbuatan keluarga Lukito.

“Anak yang nggak pernah aku inginkan,” ujar Harry tetap berlalu pergi dari ruang tengah, tanpa menoleh lagi.

“Mas!”

Cita bergeming. Menahan kabut yang mulai mengaburkan kedua bola matanya. Inilah puncaknya, dan Cita tidak akan mundur lagi. “Jangan dikejar,” larang Cita segera meraih tangan Sandra, saat sang mami hendak menyusul Harry.

“Tapi, Cit … kamu ini kenapa? Datang nggak ngasih kabar, tahu-tahu ribut sama papa?” cecar Sandra masih menoleh ke arah Harry, yang menghilang ke dalam ruang lainnya.

“Mi, ayo keluar dari rumah ini,” ajak Cita enggan menjawab cecaran Sandra. “Kerjaanku bisa dibilang sudah mapan, dan gajiku cukup buat nyicil rumah buat untuk berdua. Jadi, aku mau mami cerai sama papa, dan tinggalkan orang itu. Dia nggak pantas buat mami.”

“Cita!”

“Mami!” Dengan cepat Cita menarik napas, untuk mengontrol emosi yang baru saja terlepas pada Sandra. “Please, mas Pandu sudah nikah, dan bulan depan mereka mau punya anak. Jadi—”

“Pandu … sudah nikah sama perempuan lain?”

Apakah ini karma, pikir Sandra. Dahulu kala, Sandra telah merusak rumah tangga seseorang dan merebut Harry. Sekarang, rumah tangga putrinya juga telah dirusak oleh pihak ketiga.

“Aku yang ngasih izin dia nikah sama pacarnya.” Cita membawa Sandra duduk, lalu bercerita sedikit tentang malam pernikahannya dengan Pandu satu tahun yang lalu. “Dan sekarang, sudah waktunya kami untuk pisah.”

“Tapi, Cit.” Sandra menggeleng berkali-kali, sambil menggenggam kedua tangan putrinya. “Mami Tessa itu sayang banget sama kamu, jadi tolong, jangan gegabah ngambil keputusan. Kamu sendiri bilang barusan, kalau keluarga mereka nggak pernah setuju sama Laura, jadi—”

“Cukup, Mi,” henti Cita kemudian berdiri. “Aku nggak mau jadi orang ketiga dalam pernikahan mas Pandu dan Laura. Aku nggak mau ngulangi sejarah yang sama, karena nggak akan baik kalau dipaksakan. Andai, kami teruskan dan punya anak, nasib anakku nantinya kemungkinan besar seperti aku. Dan aku nggak mau anakku hidup dalam …”

Daripada mengingat-ingat masa lalunya, Cita memilih tidak meneruskan ucapannya. Ia lantas menghela panjang, dan bersiap untuk pergi. “Aku sudah minta carikan rumah sama bang Awan, jadi, ayo keluar dari rumah ini dan tinggalah sama aku, Mi. Mungkin rumahnya nggak akan sebesar ini, tapi aku jamin di sana kita akan bahagia dan nggak akan kekurangan apa pun.”

“Cita.” Sandra kembali menggeleng, sembari berdiri. Ia tahu benar berapa pendapatan Cita setiap bulan sebagai reporter, dan itu masih jauh dari semua harta yang dimiliki keluarga Lukito. “Pikirkan lagi baik-baik. Bicarakan semua dengan Pandu, dan—”

“Aku nggak mau,” tolak Cita. “Oia, satu lagi yang perlu Mami tahu. Waktu kita ketemu mas Pandu di toilet rumah sakit tadi pagi, dia lagi ngantarkan istrinya periksa. Bukan jenguk istri temannya yang lagi melahirkan. Jadi, cukup, ya, Mi. Aku sudah nggak mau hidup dalam sandiwara lagi. Aku juga nggak peduli, kalau perusahaan Lukito nantinya diakuisisi, atau dikelola sama orang lain.”

“Cit—” Sandra terdiam saat Cita tiba-tiba memeluknya. Perasaannya kacau, tidak karuan karena masih belum bisa mengambil keputusan. Sudah terbiasa hidup dalam kemewahan dan status sosial yang terpandang, membuat Sandra enggan keluar dari zona nyaman.

“Aku cuma mau Mami bahagia,” kata Cita masih tidak melepaskan pelukannya. “Tinggalkan orang yang nggak pernah mau menghargai Mami, dan mulailah hidup baru. Papa itu toxic, Mi.”

“Cita, coba pikirkan lagi semuanya,” pinta Sandra sekali lagi. Sandra sudah berjalan sampai sejauh ini, jadi tidak mungkin ia akan mundur karena masalah sepele. Selama ini, Sandra melakukan semuanya demi Cita dan masa depannya. Karena itulah, Sandra harus membujuk putrinya agar tetap dalam rencana yang ada. “Satu-satunya pewaris keluarga Lukito itu cuma kamu.”

“Apa Mami lupa?” Cita melepaskan pelukannya, lalu memberi jarak pada Sandra. “Aku bukan satu-satunya, karena ada kak Kasih. Jadi, jangan pernah berharap tentang masalah itu.”

“Tapi, Cit—”

“Sementara ini aku ngekos dekat kantor,” putus Cita tidak mau lagi mendengar alasan Sandra. “Kalau bang Awan sudah dapat rumah yang sesuai dengan gajiku, nanti aku kabari. Dan … semua keputusan ada di Mami. Kalau Mami mau tinggalin papa dan hidup sama aku, pastinya aku terima dengan tangan terbuka. Tapi kalau Mami masih mau tinggal di sini, aku … sudah nggak bisa berbuat apa-apa lagi. Jadi, Mami pikirkan aja dulu baik-baik.”

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
nyesek banget jadi cita... biarkan cita dapat jodoh yg baik
goodnovel comment avatar
Kenzien Yodha
sandra belum berubah tetep aja ga mau kehilangan harta lukito,
goodnovel comment avatar
Siti Juli
tetap baca ulang nih. awal cita berdesih
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status