Beranda / Romansa / Duka Cita / 4. Keputusan

Share

4. Keputusan

Penulis: Kanietha
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-04 18:13:26

“Malam, Pa,” sapa Cita saat melihat Harry berada di ruang tengah kediaman Lukito. Setelah bicara dengan Pandu, Cita memutuskan untuk pulang ke rumah. Tempat di mana ia dibesarkan, dengan mendengar banyak cacian dari mulut Joana setiap harinya.

“Malam,” balas Harry tanpa menoleh, dan tetap memandang televisi layar datar di hadapan. Melihat Cita, selalu mengingatkan Harry tentang kebodohan yang dilakukannya dahulu kala. Bermain api dengan Sandra, dan terlalu ceroboh sehingga Cita hadir di antara mereka. Harry tidak membenci Cita, tetapi sangat susah baginya untuk memberikan semua rasa cintanya kepada putrinya itu. Andai saja Sandra tidak hamil anak Harry, kemungkinan besar ia masih bisa rujuk dan kembali dengan Elok.

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Karena kecerobohan Elok jualah, akhirnya Sandra memiliki satu senjata yang digunakannya untuk mengancam keluarga Lukito. Mau tidak mau, Harry akhirnya menikahi Sandra, dan membawa wanita itu ke dalam keluarganya.

Cita menarik napas melihat sikap Harry yang selalu saja dingin padanya. Kali ini, Cita memberanikan diri untuk mendekat, lalu duduk pada sofa yang berada di samping Harry.

“Bisa bicara sebentar?” pinta Cita menatap Harry penuh harap.

“Ke mana suamimu?” Harry bertanya balik, saat menyadari Pandu tidak datang bersama Cita. “Kenapa kamu datang di jam seperti ini sendirian?”

“Itu yang mau aku bicarakan,” ujar Cita lalu menoleh ke arah tangga. “Di mana mami?”

“Apa yang mau kamu bicarakan?” Harry kembali melempar pertanyaan, tanpa mau menjawab pertanyaan putrinya. Namun, firasatnya mengatakan ada hal buruk yang ingin dibicarakan Cita mengenai Pandu. Jangan-jangan …

Cita menghela. Terkadang, Harry akan mengabaikan ucapan Cita, bila pria itu tidak ingin membahasnya. Sebenarnya, Cita heran dengan sang mami. Mengapa Sandra masih saja bertahan menjadi istri Harry, padahal pria itu selalu saja dingin seperti sekarang.

“Aku mau cerai dengan mas Pandu.”

Harry akhirnya menoleh. Hanya menatap Cita, tetapi tidak membuka mulut. Untuk beberapa detik, Harry hanya diam dan berpikir tentang pernikahan yang dijalani putrinya selama setahun ke belakang.

“Apa masalahnya?” tanya Harry setelah terdiam cukup lama.

“Mas Pandu sudah menikah dengan perempuan lain, dan bulan depan mereka akan punya anak.” Cita tidak mau menutupi apa pun, karena tidak ingin membawa beban lagi ke depannya. Ia ingin melepas semuanya, dan ingin hidup sebebas-bebasnya setelah ini. Ia tidak ingin lagi membawa nama Lukito, dan persetan dengan semua harta, juga perusahaan keluarga.

“Kamu mau cerai, dan membiarkan perempuan itu merebut suamimu?” cibir Harry. “Papa heran, kenapa kamu nggak berani seperti mamimu? Dia itu bisa melakukan segala cara untuk—”

“Aku bukan mami,” putus Cita memberi senyum miring pada Harry dengan berani. “Aku, bukan, mami, yang mau diinjak-injak sama oma, dan dikasari setiap hari sama Papa.”

“Sudah berani bicara kamu sekarang?” Harry mulai berdiri, lalu bersedekap.

“Aku nggak mau ribut, Pa,” ujar Cita ikut berdiri dan memandang Harry tanpa rasa takut. “Aku nggak mau berdebat, dengan orang yang nggak pernah mau tahu tentang perasaanku. Selama ini aku diam dan selalu nurut, karena masih berharap Papa mau … sedikitnya ngasih perhatian ke aku. Dikit aja, Pa. Aku nggak pernah minta banyak, seperti Papa ngasih perhatian ke kak Kasih. Aku nggak pernah minta sebesar it—”

“Cita!” Sandra segera berlari menuruni tangga, saat melihat putrinya berdebat dengan Harry. “Masuk kamar, atau pulang ke rumahmu sekarang juga.”

“Itu hasilnya, kalau anakmu nggak pernah diajari sopan santun,” ujar Harry kemudian berbalik pergi, saat melihat Sandra menghampiri.

“Cita itu anakmu juga, Mas!” hardik Sandra masih bisa bersikap sabar, dan sabar dengan semua perbuatan keluarga Lukito.

“Anak yang nggak pernah aku inginkan,” ujar Harry tetap berlalu pergi dari ruang tengah, tanpa menoleh lagi.

“Mas!”

Cita bergeming. Menahan kabut yang mulai mengaburkan kedua bola matanya. Inilah puncaknya, dan Cita tidak akan mundur lagi. “Jangan dikejar,” larang Cita segera meraih tangan Sandra, saat sang mami hendak menyusul Harry.

“Tapi, Cit … kamu ini kenapa? Datang nggak ngasih kabar, tahu-tahu ribut sama papa?” cecar Sandra masih menoleh ke arah Harry, yang menghilang ke dalam ruang lainnya.

“Mi, ayo keluar dari rumah ini,” ajak Cita enggan menjawab cecaran Sandra. “Kerjaanku bisa dibilang sudah mapan, dan gajiku cukup buat nyicil rumah buat untuk berdua. Jadi, aku mau mami cerai sama papa, dan tinggalkan orang itu. Dia nggak pantas buat mami.”

“Cita!”

“Mami!” Dengan cepat Cita menarik napas, untuk mengontrol emosi yang baru saja terlepas pada Sandra. “Please, mas Pandu sudah nikah, dan bulan depan mereka mau punya anak. Jadi—”

“Pandu … sudah nikah sama perempuan lain?”

Apakah ini karma, pikir Sandra. Dahulu kala, Sandra telah merusak rumah tangga seseorang dan merebut Harry. Sekarang, rumah tangga putrinya juga telah dirusak oleh pihak ketiga.

“Aku yang ngasih izin dia nikah sama pacarnya.” Cita membawa Sandra duduk, lalu bercerita sedikit tentang malam pernikahannya dengan Pandu satu tahun yang lalu. “Dan sekarang, sudah waktunya kami untuk pisah.”

“Tapi, Cit.” Sandra menggeleng berkali-kali, sambil menggenggam kedua tangan putrinya. “Mami Tessa itu sayang banget sama kamu, jadi tolong, jangan gegabah ngambil keputusan. Kamu sendiri bilang barusan, kalau keluarga mereka nggak pernah setuju sama Laura, jadi—”

“Cukup, Mi,” henti Cita kemudian berdiri. “Aku nggak mau jadi orang ketiga dalam pernikahan mas Pandu dan Laura. Aku nggak mau ngulangi sejarah yang sama, karena nggak akan baik kalau dipaksakan. Andai, kami teruskan dan punya anak, nasib anakku nantinya kemungkinan besar seperti aku. Dan aku nggak mau anakku hidup dalam …”

Daripada mengingat-ingat masa lalunya, Cita memilih tidak meneruskan ucapannya. Ia lantas menghela panjang, dan bersiap untuk pergi. “Aku sudah minta carikan rumah sama bang Awan, jadi, ayo keluar dari rumah ini dan tinggalah sama aku, Mi. Mungkin rumahnya nggak akan sebesar ini, tapi aku jamin di sana kita akan bahagia dan nggak akan kekurangan apa pun.”

“Cita.” Sandra kembali menggeleng, sembari berdiri. Ia tahu benar berapa pendapatan Cita setiap bulan sebagai reporter, dan itu masih jauh dari semua harta yang dimiliki keluarga Lukito. “Pikirkan lagi baik-baik. Bicarakan semua dengan Pandu, dan—”

“Aku nggak mau,” tolak Cita. “Oia, satu lagi yang perlu Mami tahu. Waktu kita ketemu mas Pandu di toilet rumah sakit tadi pagi, dia lagi ngantarkan istrinya periksa. Bukan jenguk istri temannya yang lagi melahirkan. Jadi, cukup, ya, Mi. Aku sudah nggak mau hidup dalam sandiwara lagi. Aku juga nggak peduli, kalau perusahaan Lukito nantinya diakuisisi, atau dikelola sama orang lain.”

“Cit—” Sandra terdiam saat Cita tiba-tiba memeluknya. Perasaannya kacau, tidak karuan karena masih belum bisa mengambil keputusan. Sudah terbiasa hidup dalam kemewahan dan status sosial yang terpandang, membuat Sandra enggan keluar dari zona nyaman.

“Aku cuma mau Mami bahagia,” kata Cita masih tidak melepaskan pelukannya. “Tinggalkan orang yang nggak pernah mau menghargai Mami, dan mulailah hidup baru. Papa itu toxic, Mi.”

“Cita, coba pikirkan lagi semuanya,” pinta Sandra sekali lagi. Sandra sudah berjalan sampai sejauh ini, jadi tidak mungkin ia akan mundur karena masalah sepele. Selama ini, Sandra melakukan semuanya demi Cita dan masa depannya. Karena itulah, Sandra harus membujuk putrinya agar tetap dalam rencana yang ada. “Satu-satunya pewaris keluarga Lukito itu cuma kamu.”

“Apa Mami lupa?” Cita melepaskan pelukannya, lalu memberi jarak pada Sandra. “Aku bukan satu-satunya, karena ada kak Kasih. Jadi, jangan pernah berharap tentang masalah itu.”

“Tapi, Cit—”

“Sementara ini aku ngekos dekat kantor,” putus Cita tidak mau lagi mendengar alasan Sandra. “Kalau bang Awan sudah dapat rumah yang sesuai dengan gajiku, nanti aku kabari. Dan … semua keputusan ada di Mami. Kalau Mami mau tinggalin papa dan hidup sama aku, pastinya aku terima dengan tangan terbuka. Tapi kalau Mami masih mau tinggal di sini, aku … sudah nggak bisa berbuat apa-apa lagi. Jadi, Mami pikirkan aja dulu baik-baik.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (5)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
nyesek banget jadi cita... biarkan cita dapat jodoh yg baik
goodnovel comment avatar
Kenzien Yodha
sandra belum berubah tetep aja ga mau kehilangan harta lukito,
goodnovel comment avatar
Siti Juli
tetap baca ulang nih. awal cita berdesih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Duka Cita   Duka Cita ~ 80 (FIN)

    “Cita … nggak ikut, Mi?” Sandra yang baru saja duduk, segera memberi gelengan untuk menjawab pertanyaan Arya tanpa senyuman. Sandra hanya sempat bersikap ramah pada Lee dan Gemi, yang kini duduk melingkar pada satu meja yang sama dengannya. “Cita harus istirahat.” “Pak Lee, maaf kalau harus merepotkan dan meminta Bapak datang ke Singapur dengan segera.” Tidak ingin berbasa basi, Harry pun segera mengutarakan maksud diadakannya pertemuan keluarga malam ini. “Untuk masalah anak kita, Bapak mungkin sudah tahu kronologinya dari bu Gemi. Dan kenapa saya minta Bapak datang, itu karena saya mau cabut semua investasi saya dari Arka Lukito. Bukan cuma itu, tapi saya mau menarik lisensi nama Lukito dari perusahaan tersebut. Untuk mekanismenya, nanti akan ditangani langsung sama Kasih. Dan setelah semua selesai, Lukito Grup sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan perusahaan yang dipimpin Arya.” “Pa—” Lee segera mengangkat tangan ke arah Arya. Meminta putranya tidak bersuara, agar permasa

  • Duka Cita   Duka Cita ~ 79

    “Dia? Dia siapa?” Mendengar suara Sandra yang mendadak terdengar di balkon, membuat Arya dan Cita spontan menoleh dengan mata yang terbelalak. Karena terlalu sibuk berdebat, Arya dan Cita sampai-sampai melupakan hal lain di sekitarnya. “Cita, nama “dia” siapa yang sering kamu lihat nelpon Arya?” buru Sandra segera menghabiskan jarak, dan tetap fokus pada putrinya. “Apa Arya selingkuh? Iya? Jadi karena itu kamu minta pisah? Begitu, kan? Arya punya perempuan lain di luar sana? Begitu?” Jika benar Arya berselingkuh, orang yang paling terpukul dengan kabar tersebut adalah Sandra sendiri. Dulu, Sandra adalah wanita selingkuhan Harry, dan sekarang? Putrinya justru diselingkuhi oleh suaminya sendiri. Karma apa lagi yang menimpa Sandra kali ini? Tidak cukupkah, Tuhan menghukum Sandra dengan membuat Cita terpuruk dengan kondisinya? Sampai-sampai, harus memberi cobaan tambahan seperti sekarang? Bertahun-tahun Sandra hidup seperti di neraka bersama Harry, tetapi, itu pun belum sanggup menebu

  • Duka Cita   Duka Cita ~ 78

    “Cita, semua nggak seperti yang kamu bayangkan.” Arya segera beranjak menghampiri Cita, lalu berlutut untuk menyamakan tubuhnya. “Aku … aku memang sibuk, aku capek, aku … ya! Aku jenuh dengan semua ini. Bolak balik Surabaya Singapur, Surabaya Jakarta, Jakarta Singapur, itu semua bikin aku muak.” Satu sudut bibir Cita tertarik tipis. “Semua yang kamu dapat sekarang, semua yang kamu jalani sekarang, itu semua adalah kemauanmu sendiri. Kamu bisa sukses dan berdiri seperti sekarang, itu semua juga hasil dari doa-doa orang yang sayang sama kamu, Mas. Kalau sekarang kamu mengeluh, itu artinya kamu nggak pernah bersyukur, karena di luar sana, banyak orang yang ingin ada di posisimu.” “Aku tahu itu, aku tahu, tap—“ “Sebenarnya, bukan itu inti dari pembicaraan kita malam ini, Mas.” Cita memundurkan kursi rodanya, ketika kedua tangan Arya hendak menyentuhnya. “Jadi nggak perlu melebar ke mana-mana. Aku tahu kamu capek, jenuh, dan … muak dengan semua ini. Aku juga tahu, kalau kamu sudah punya

  • Duka Cita   Duka Cita ~ 77

    “Sayang …” Sandra mengusap lembut puncak kepala Cita yang hanya duduk di tempat tidur, dan enggan keluar dari kamar. “Sarapan dulu, kita harus ke rumah sakit hari ini.”“Aku nggak mau terapi.” Cita menunduk, dan melanjutkan membaca bukunya. Kali ini, sudah tidak ada lagi yang bisa memengaruhi keputusannya. Cita ingin berpisah dari Arya, dan ingin melanjutkan hidupnya hanya seorang diri.“Cita, papa sudah telpon Arya tadi malam, dan—““Percuma,” putus Cita datar, lalu menutup bukunya. “Aku sudah nggak mau jadi beban mas Arya, atau siapa pun. Kalau Mami mau aku lanjut terapi, tolong ada di pihakku, dan ngerti dengan keadaanku.”“Mami selalu ada di pihakmu, Cit,” ucap Sandra meyakinkan. Di satu sisi, Sandra sangat mengerti dengan perasaan dan kondisi Cita saat ini. Namun di sisi lain, Sandra tidak ingin pernikahan putrinya berakhir, hanya karena kurangnya komunikasi antara keduanya.Sebenarnya, Cita masih bisa membicarakan masalahnya dengan Arya, dan mencari solusi yang terbaik untuk hub

  • Duka Cita   Duka Cita ~ 76

    “Pindah?” Sandra sontak berdiri, lalu menarik kursi besi yang sempat didudukinya ke arah Cita, yang duduk di samping pagar. “Maksudnya?”“Aku mau menyendiri, Mi.” Cita sudah memikirkan semuanya dengan matang. Hubungannya dengan Arya belakangan ini semakin berjarak, dan Cita melihat tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari semuanya.Sejak pembicaraan mereka terakhir kali, Arya tidak lagi datang ke Singapura satu bulan belakangan ini. Intensitas obrolan mereka melalui telepon pun, juga bisa dihitung dengan jari. Mereka hanya bicara dan bertukar kabar seperlunya, tanpa ada gurauan, rayuan, atau obrolan hangat seperti dahulu kala.Semuanya hambar.“Menyendiri?” Sandra menghadapkan kursinya pada Cita, lalu duduk di samping putrinya. “Sayang, Mami masih nggak ngerti. Kenapa? Apa ada hubungannya dengan Arya?”Cita membuang napas panjang, dan masih memandang teluk Marina yang terlihat begitu tenang. “Pernikahanku sama mas Arya, kayaknya sudah nggak bisa lagi diteruskan. Ak—““Cita, kenapa bic

  • Duka Cita   Duka Cita ~ 75

    Sibuk. Ketika perusahaan yang dipegang Arya semakin berkembang, ia merasakan waktu yang dimiliki untuk diri sendiri semakin sedikit. Dulu, Arya masih bisa pergi ke Negeri Singa di hari jumat malam, dan akan kembali pada senin paginya. Namun, tidak setelah semuanya berkembang semakin pesat. Arya baru bisa pergi ke Singapura pada sabtu pagi, dan akan kembali pada minggu malamnya. Rutinitas tersebut ternyata benar-benar melelahkan, dan semakin menjemukan. Memikirkannya saja, Arya bisa langsung sakit kepala. Bahkan, Arya tidak lagi memiliki kualitas dalam hubungannya dengan Cita. Ketika bertemu, yang Arya lakukan lebih banyak tidur dan beristirahat untuk melepas lelah. “Mas …” Cita menepuk pelan lengan Arya yang tertidur di sofa. Meskipun tidak tega, tetapi Cita harus tetap membangunkan sang suami, karena sudah tiba waktunya makan siang. “Ayo bangun bentar.” Arya menghela panjang nan lelah. Membuka sedikit matanya yang berat, sembari tersenyum tipis. “Bentar..” “Makan dulu, habis itu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status