“Malam, Pa,” sapa Cita saat melihat Harry berada di ruang tengah kediaman Lukito. Setelah bicara dengan Pandu, Cita memutuskan untuk pulang ke rumah. Tempat di mana ia dibesarkan, dengan mendengar banyak cacian dari mulut Joana setiap harinya.
“Malam,” balas Harry tanpa menoleh, dan tetap memandang televisi layar datar di hadapan. Melihat Cita, selalu mengingatkan Harry tentang kebodohan yang dilakukannya dahulu kala. Bermain api dengan Sandra, dan terlalu ceroboh sehingga Cita hadir di antara mereka. Harry tidak membenci Cita, tetapi sangat susah baginya untuk memberikan semua rasa cintanya kepada putrinya itu. Andai saja Sandra tidak hamil anak Harry, kemungkinan besar ia masih bisa rujuk dan kembali dengan Elok.
Namun, nasi sudah menjadi bubur. Karena kecerobohan Elok jualah, akhirnya Sandra memiliki satu senjata yang digunakannya untuk mengancam keluarga Lukito. Mau tidak mau, Harry akhirnya menikahi Sandra, dan membawa wanita itu ke dalam keluarganya.
Cita menarik napas melihat sikap Harry yang selalu saja dingin padanya. Kali ini, Cita memberanikan diri untuk mendekat, lalu duduk pada sofa yang berada di samping Harry.
“Bisa bicara sebentar?” pinta Cita menatap Harry penuh harap.
“Ke mana suamimu?” Harry bertanya balik, saat menyadari Pandu tidak datang bersama Cita. “Kenapa kamu datang di jam seperti ini sendirian?”
“Itu yang mau aku bicarakan,” ujar Cita lalu menoleh ke arah tangga. “Di mana mami?”
“Apa yang mau kamu bicarakan?” Harry kembali melempar pertanyaan, tanpa mau menjawab pertanyaan putrinya. Namun, firasatnya mengatakan ada hal buruk yang ingin dibicarakan Cita mengenai Pandu. Jangan-jangan …
Cita menghela. Terkadang, Harry akan mengabaikan ucapan Cita, bila pria itu tidak ingin membahasnya. Sebenarnya, Cita heran dengan sang mami. Mengapa Sandra masih saja bertahan menjadi istri Harry, padahal pria itu selalu saja dingin seperti sekarang.
“Aku mau cerai dengan mas Pandu.”
Harry akhirnya menoleh. Hanya menatap Cita, tetapi tidak membuka mulut. Untuk beberapa detik, Harry hanya diam dan berpikir tentang pernikahan yang dijalani putrinya selama setahun ke belakang.
“Apa masalahnya?” tanya Harry setelah terdiam cukup lama.
“Mas Pandu sudah menikah dengan perempuan lain, dan bulan depan mereka akan punya anak.” Cita tidak mau menutupi apa pun, karena tidak ingin membawa beban lagi ke depannya. Ia ingin melepas semuanya, dan ingin hidup sebebas-bebasnya setelah ini. Ia tidak ingin lagi membawa nama Lukito, dan persetan dengan semua harta, juga perusahaan keluarga.
“Kamu mau cerai, dan membiarkan perempuan itu merebut suamimu?” cibir Harry. “Papa heran, kenapa kamu nggak berani seperti mamimu? Dia itu bisa melakukan segala cara untuk—”
“Aku bukan mami,” putus Cita memberi senyum miring pada Harry dengan berani. “Aku, bukan, mami, yang mau diinjak-injak sama oma, dan dikasari setiap hari sama Papa.”
“Sudah berani bicara kamu sekarang?” Harry mulai berdiri, lalu bersedekap.
“Aku nggak mau ribut, Pa,” ujar Cita ikut berdiri dan memandang Harry tanpa rasa takut. “Aku nggak mau berdebat, dengan orang yang nggak pernah mau tahu tentang perasaanku. Selama ini aku diam dan selalu nurut, karena masih berharap Papa mau … sedikitnya ngasih perhatian ke aku. Dikit aja, Pa. Aku nggak pernah minta banyak, seperti Papa ngasih perhatian ke kak Kasih. Aku nggak pernah minta sebesar it—”
“Cita!” Sandra segera berlari menuruni tangga, saat melihat putrinya berdebat dengan Harry. “Masuk kamar, atau pulang ke rumahmu sekarang juga.”
“Itu hasilnya, kalau anakmu nggak pernah diajari sopan santun,” ujar Harry kemudian berbalik pergi, saat melihat Sandra menghampiri.
“Cita itu anakmu juga, Mas!” hardik Sandra masih bisa bersikap sabar, dan sabar dengan semua perbuatan keluarga Lukito.
“Anak yang nggak pernah aku inginkan,” ujar Harry tetap berlalu pergi dari ruang tengah, tanpa menoleh lagi.
“Mas!”
Cita bergeming. Menahan kabut yang mulai mengaburkan kedua bola matanya. Inilah puncaknya, dan Cita tidak akan mundur lagi. “Jangan dikejar,” larang Cita segera meraih tangan Sandra, saat sang mami hendak menyusul Harry.
“Tapi, Cit … kamu ini kenapa? Datang nggak ngasih kabar, tahu-tahu ribut sama papa?” cecar Sandra masih menoleh ke arah Harry, yang menghilang ke dalam ruang lainnya.
“Mi, ayo keluar dari rumah ini,” ajak Cita enggan menjawab cecaran Sandra. “Kerjaanku bisa dibilang sudah mapan, dan gajiku cukup buat nyicil rumah buat untuk berdua. Jadi, aku mau mami cerai sama papa, dan tinggalkan orang itu. Dia nggak pantas buat mami.”
“Cita!”
“Mami!” Dengan cepat Cita menarik napas, untuk mengontrol emosi yang baru saja terlepas pada Sandra. “Please, mas Pandu sudah nikah, dan bulan depan mereka mau punya anak. Jadi—”
“Pandu … sudah nikah sama perempuan lain?”
Apakah ini karma, pikir Sandra. Dahulu kala, Sandra telah merusak rumah tangga seseorang dan merebut Harry. Sekarang, rumah tangga putrinya juga telah dirusak oleh pihak ketiga.
“Aku yang ngasih izin dia nikah sama pacarnya.” Cita membawa Sandra duduk, lalu bercerita sedikit tentang malam pernikahannya dengan Pandu satu tahun yang lalu. “Dan sekarang, sudah waktunya kami untuk pisah.”
“Tapi, Cit.” Sandra menggeleng berkali-kali, sambil menggenggam kedua tangan putrinya. “Mami Tessa itu sayang banget sama kamu, jadi tolong, jangan gegabah ngambil keputusan. Kamu sendiri bilang barusan, kalau keluarga mereka nggak pernah setuju sama Laura, jadi—”
“Cukup, Mi,” henti Cita kemudian berdiri. “Aku nggak mau jadi orang ketiga dalam pernikahan mas Pandu dan Laura. Aku nggak mau ngulangi sejarah yang sama, karena nggak akan baik kalau dipaksakan. Andai, kami teruskan dan punya anak, nasib anakku nantinya kemungkinan besar seperti aku. Dan aku nggak mau anakku hidup dalam …”
Daripada mengingat-ingat masa lalunya, Cita memilih tidak meneruskan ucapannya. Ia lantas menghela panjang, dan bersiap untuk pergi. “Aku sudah minta carikan rumah sama bang Awan, jadi, ayo keluar dari rumah ini dan tinggalah sama aku, Mi. Mungkin rumahnya nggak akan sebesar ini, tapi aku jamin di sana kita akan bahagia dan nggak akan kekurangan apa pun.”
“Cita.” Sandra kembali menggeleng, sembari berdiri. Ia tahu benar berapa pendapatan Cita setiap bulan sebagai reporter, dan itu masih jauh dari semua harta yang dimiliki keluarga Lukito. “Pikirkan lagi baik-baik. Bicarakan semua dengan Pandu, dan—”
“Aku nggak mau,” tolak Cita. “Oia, satu lagi yang perlu Mami tahu. Waktu kita ketemu mas Pandu di toilet rumah sakit tadi pagi, dia lagi ngantarkan istrinya periksa. Bukan jenguk istri temannya yang lagi melahirkan. Jadi, cukup, ya, Mi. Aku sudah nggak mau hidup dalam sandiwara lagi. Aku juga nggak peduli, kalau perusahaan Lukito nantinya diakuisisi, atau dikelola sama orang lain.”
“Cit—” Sandra terdiam saat Cita tiba-tiba memeluknya. Perasaannya kacau, tidak karuan karena masih belum bisa mengambil keputusan. Sudah terbiasa hidup dalam kemewahan dan status sosial yang terpandang, membuat Sandra enggan keluar dari zona nyaman.
“Aku cuma mau Mami bahagia,” kata Cita masih tidak melepaskan pelukannya. “Tinggalkan orang yang nggak pernah mau menghargai Mami, dan mulailah hidup baru. Papa itu toxic, Mi.”
“Cita, coba pikirkan lagi semuanya,” pinta Sandra sekali lagi. Sandra sudah berjalan sampai sejauh ini, jadi tidak mungkin ia akan mundur karena masalah sepele. Selama ini, Sandra melakukan semuanya demi Cita dan masa depannya. Karena itulah, Sandra harus membujuk putrinya agar tetap dalam rencana yang ada. “Satu-satunya pewaris keluarga Lukito itu cuma kamu.”
“Apa Mami lupa?” Cita melepaskan pelukannya, lalu memberi jarak pada Sandra. “Aku bukan satu-satunya, karena ada kak Kasih. Jadi, jangan pernah berharap tentang masalah itu.”
“Tapi, Cit—”
“Sementara ini aku ngekos dekat kantor,” putus Cita tidak mau lagi mendengar alasan Sandra. “Kalau bang Awan sudah dapat rumah yang sesuai dengan gajiku, nanti aku kabari. Dan … semua keputusan ada di Mami. Kalau Mami mau tinggalin papa dan hidup sama aku, pastinya aku terima dengan tangan terbuka. Tapi kalau Mami masih mau tinggal di sini, aku … sudah nggak bisa berbuat apa-apa lagi. Jadi, Mami pikirkan aja dulu baik-baik.”
Cita menarik napas panjang, sebelum memasuki ruang tengah keluarga Atmawijaya. Pagi-pagi sekali, mama mertuanya menelepon dan meminta Cita untuk datang ke rumah wanita itu. Tanpa bertanya kabar, ataupun berbasa-basi seperti biasanya. Cita yakin, Tessa sudah mengetahui kabar kisruh rumah tangga yang sudah ia simpan sendiri selama hampir satu tahun. Setelah memantapkan hati, Cita pun memasuki ruang tersebut. Ia mendapati Sandra, dan seluruh anggota keluarga Atmawijaya ada di sana, tanpa terkecuali. Sepertinya, Sandra sudah menceritakan semua hal kepada besannya itu. “Pagi,” sapa Cita menyematkan senyum kecil, dan langsung menghampiri kedua mertuanya lebih dulu. Setelah mencium punggung tangan sepasang suami istri itu dengan hormat, Cita segera beralih pada Sandra, dan duduk di sebelah sang mami. Sejenak, Cita menyapa Pasha dan Erina yang duduk berseberangan dengannya. Tidak lupa, ada Pandu yang duduk tepat di samping Pasha, dan sangat terlihat kacau. “Ada liputan pagi ini, Cit?” tany
“Kusut banget, lo, Cit?” Aldo, camera person yang akan bertugas meliput dengan Cita hari ini, menghampiri. Pria itu berjongkok di depan Cita, lalu mengecek beberapa barang bawaan yang akan diletakkan di bagasi mobil. “Lagi dapet?”“Hem,” gumam Cita sedang tidak berminat melakukan apa pun. Ia hanya ingin duduk diam seharian, dan memikirkan rencana hidup ke depan. Namun, bagaimana bisa bila setumpuk rencana tugas liputan sudah menanti untuk dieksekusi?“Lo juga, sih, kayak nggak ada kerjaan aja gawe di sini,” lanjut Aldo masih sibuk mengecek semua peralatan sedetail mungkin. Dari microphone, kabel, serta baterai yang diperlukan untuk semua keperluan liputan nanti. “Bokap lo itu yang punya Lukito Grup. Suami lo, anaknya pak David Atma. tapi, lo-nya malah demen keliaran capek-capek nyari berita.”“Yang punya perusahaan itu bokap gue, sama bokapnya laki gue,” kata Cita menjelaskan. “Dan gue nggak ada passion di sana. Cita-cita gue itu mau jadi news anchor, terkenal dan punya fans di mana-m
“See, nggak seharusnya kamu bikin masalah denganku.” Pandu memakai kaos yang baru saja ia pungut dari lantai. Berdiri di samping tempat tidur, dan menatap Cita yang meringkuk dengan tubuh polosnya. Sebelum meraih beberapa pakaian yang juga tergeletak di lantai, Pandu menarik selimut dan menutup tubuh Cita dengan asal. “Dan aku peringatkan, aku bisa lebih kejam dari ini.”Pandu memungut pakaiannya yang masih tersisa, lalu memakainya dengan cepat. “Kamu dengar aku, Cit.” Pandu menghempas bokongnya di tepi ranjang. Membalik tubuh Cita yang memunggunginya, lalu meraih wajah gadis itu. “Nggak usah pura-pura tidur.”Pandu menepuk pipi Cita. Awalnya, Pandu hanya menepuk dengan pelan untuk membangunkan gadis itu. Namun, karena tidak ada respons atau pergerakan sama sekali, Pandu menepuk pipi itu lebih keras. “Cita!” panggil Pandu masih menepuk pipi Cita sampai berulang kali. “Jangan main-main, Cit!”Pandu berusaha tenang. Mencoba mengangkat tubuh bagian atas Cita, yang terasa berat. Gadis i
“Cita …” Tessa menyentuh bahu Cita yang meringkuk di tempat tidur. Sudah tiga hari ini, gadis itu tidak kunjung keluar dari kamar dan hanya meringkuk di tempat tidur. Tessa sudah menyewa dua orang perawat, yang bertugas bergantian untuk mengurus Cita, sampai kondisi gadis itu stabil. Selama tiga hari ini juga, Tessa selalu bolak balik ke rumah Pasha, dengan memberi berbagai alasan pada sang suami. Sampai detik ini, David masih tidak tahu menahu tentang kejadian yang menimpa Cita, karena hal tersebut memang ditutup rapat-rapat dari siapa pun. Termasuk Sandra.Dengan detail, Tessa telah membereskan satu per satu kemungkinan yang akan membuka aib keluarga mereka. Tessa juga sudah memerintahkan seseorang, untuk membersihkan kamar di rumah Cita, dan membawa ponsel gadis itu ke tangan Tessa.Dari ponsel itulah, Tessa bisa mengirim pesan pada Sandra, dan mengatakan Cita tengah bertugas ke luar kota. Tepatnya di daerah terpencil, yang masih susah untuk dijangkau oleh sinyal.Dan … semua aman
“Cita.” Tessa semakin dibuat pusing, ketika mendengar aduan Erina tentang Cita. Karena itulah, tepat ketika David pergi ke kantor, Tessa pun segera pergi ke rumah Pasha untuk menemui Cita. “Semua … semua sudah diurus sama papa. Jadi, Mama rasa kamu nggak perlu hubungin pengacara.”Semalam, Cita mengatakan pada Erina akan menghubungi pengacara karena ingin segera bercerai dari Pandu. Namun, Tessa tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Karena sedari awal, David tidak pernah benar-benar berniat untuk mengurus perceraian putranya dengan Cita. David hanya menggertak Pandu, dan ingin melihat sejauh mana Pandu akan mengambil sikap. Cita menggeleng kecil berkali-kali. “Aku … aku mau ketemu om Lex, biar …”“Sudah ada pak Abi yang urus semuanya,” putus Tessa mencoba menenangkan, sambil mengusap lengan Cita yang duduk bersandar pada headboard. Tessa tahu benar, Cita memiliki hubungan baik dengan keluarga Lex. Memang sedikit terasa aneh, karena Cita bisa menjalin hubungan baik dengan Elok, semen
“Mbak Cit, sarapannya sudah siap.”Cita membuang napas panjang. Menatap beberapa amplop yang berisi surat pengunduran dirinya di atas laptop. Setelah berpikir panjang, akhirnya Cita memutuskan untuk mengubur mimpinya. Mundur dari salah satu perusahaan media terbesar, dan membuang cita-citanya menjadi news anchor. Menjadi terkenal, bukanlah jalan yang harus ditempuh dalam kondisi Cita yang seperti sekarang. Karena Cita yakin, nantinya akan ada tekanan yang akan menimbulkan depresi di luar batas kuasanya. “Bik …” Cita meraih amplop-amplop tersebut, lalu beranjak menghampiri Juju. “Sebentar lagi ada kurir yang mau ke sini. Tolong, kasihkan surat-surat ini sama mas kurirnya. Bilang, titipkan aja di resepsionis. Oia, kurirnya sudah saya bayar.”Juju mengangguk bingung, sambil membolak balik amplop berwarna putih itu. “Ini … surat apa, Mbak? Mau dikirim ke mana?”“Surat pengunduran diri saya dari Metro.” Satu tangan bebas Cita meraih pergelangan tangan Juju. “Tolong, saya minta tolong sam
“Per … misi.” Cita menyapa ragu pada seorang wanita paruh baya, yang tengah berjongkok di samping keran, yang berada di sudut carport. Detik itu pula, wanita itu menoleh dan mengerutkan dahinya saat menatap Cita.“Ada apa, ya?”“Maaf, Bu, saya barusan ngetok-ngetok rumah sebelah.” Cita menunjuk rumah yang ada di samping kirinya. “Saya juga sudah pencet belnya, tapi nggak ada yang keluar.”“Ahhh … Mbak yang mau ngekos, ya?”“I-ya.” Sejak kejadian malam itu, rasa percaya diri Cita seolah terkikis sedikit demi sedikit. Ia tidak lagi bisa memandang setiap orang dengan tegas, dan selalu saja overthinking akan banyak hal. “Ibu Asri?” tebak Cita, karena satu-satunya orang yang dihubungi setelah menemukan iklan kos-kosan, adalah wanita itu.“Iya.” Asri segera berdiri dan menghampiri Cita dengan tawa kecilnya. Ia mengulurkan tangan dengan ramah lebih dulu, untuk memperkenalkan diri. “Saya Asri, anak kos biasa manggil Bunda Asri. Ayo, ayo, masuk dulu.”Tanpa menunggu Cita meresponsnya, Asri lan
Arya mendesah panjang. Melihat jendela kamar yang ditempati Cita, dari carport rumah sebelah. Siang tadi, gadis itu tetap tidak bercerita apa pun pada Arya, walau ia sempat sedikit memberi ancaman. Namun, Cita tetap mengatakan dirinya baik-baik saja.Yang semakin mengganjal di hati Arya adalah, ia baru tahu Cita ternyata sudah mengundurkan diri dari Metro sekitar satu minggu yang lalu.Apa yang telah terjadi sebenarnya?Pergi ke mana orang tua dan suami gadis itu saat ini?Atau, jangan-jangan Cita sedang melarikan diri? Akan tetapi, benar-benar terasa tanggung jika melarikan diri masih di wilayah ibukota.Arya berdecak kecil. Berdiam sebentar saat ponselnya berdering, sambil memandang nama yang tertera di layar. Jika diangkat, pria itu pasti akan menyuruh Arya kembali tidur di rumahnya. Sementara Arya sendiri, ingin menginap di rumah Asri, karena merasa penasaran dengan Cita.Sampai akhirnya, Arya membiarkan ponselnya berdering, dan mati-mati sendiri. Arya menunggu sekitar lima menit,