Home / Romansa / Duka Cita / 5. Satu Kesempatan

Share

5. Satu Kesempatan

Author: Kanietha
last update Last Updated: 2023-09-04 18:16:23

Cita menarik napas panjang, sebelum memasuki ruang tengah keluarga Atmawijaya. Pagi-pagi sekali, mama mertuanya menelepon dan meminta Cita untuk datang ke rumah wanita itu. Tanpa bertanya kabar, ataupun berbasa-basi seperti biasanya. Cita yakin, Tessa sudah mengetahui kabar kisruh rumah tangga yang sudah ia simpan sendiri selama hampir satu tahun. 

Setelah memantapkan hati, Cita pun memasuki ruang tersebut. Ia mendapati Sandra, dan seluruh anggota keluarga Atmawijaya ada di sana, tanpa terkecuali. Sepertinya, Sandra sudah menceritakan semua hal kepada besannya itu. 

“Pagi,” sapa Cita menyematkan senyum kecil, dan langsung menghampiri kedua mertuanya lebih dulu. Setelah mencium punggung tangan sepasang suami istri itu dengan hormat, Cita segera beralih pada Sandra, dan duduk di sebelah sang mami. Sejenak, Cita menyapa Pasha dan Erina yang duduk berseberangan dengannya. Tidak lupa, ada Pandu yang duduk tepat di samping Pasha, dan sangat terlihat kacau. 

“Ada liputan pagi ini, Cit?” tanya David, sang papa mertua yang selama ini tidak terlalu banyak bicara.

“Nggak ada, Pa.” Cita menyematkan senyum sebelum melanjutkan kalimatnya. “Tapi, saya harus ada di kantor jam sembilan.”

“Oke, kita langsung aja.” David pun harus pergi ke kantor dan menghadiri rapat pagi ini. “Mamimu sudah cerita semuanya tadi malam, dan Papa juga sudah tanya itu semua sama Pandu.” David menghela sebentar, dan tidak ada satu pun yang berani menyela. “Atas nama keluarga besar, Papa minta maaf atas keegoisan Pandu selama ini. Dan, Papa minta tolong, pikirkan lagi masalah gugatan cerai yang mau kamu ajukan.”

Sebenarnya, David menyesalkan ketidakhadiran Harry di antara mereka. Pria itu beralasan pergi keluar kota, dan lebih mementingkan pekerjaannya daripada masalah putrinya sendiri. David tahu benar bagaimana asal usul Cita sebenarnya, dan ia sama sekali tidak mempermasalahkan hal tersebut. 

Ada satu alasan, mengapa David lebih memilih Cita menjadi menantunya, daripada Laura.

“Maaf, Pa, tapi keputusan saya sudah bulat.” Sebenarnya, Cita juga tidak menginginkan perceraian dalam pernikahannya. Meskipun terluka dengan sikap Pandu selama ini, tetapi Cita tidak terlalu memikirkannya. Yang terpenting, ia masih bisa bekerja dan bersenang-senang di luaran sana. Itu saja, sudah lebih dari cukup.

Akan tetapi, semuanya berubah ketika Cita bertemu dengan Laura. Terlebih-lebih, wanita itu tengah mengandung anak Pandu. Untuk itulah, Cita harus tahu diri dan mundur dari pernikahan tersebut, demi anak tidak berdosa yang sebentar lagi hadir ke dunia. Tidak mungkin Cita membiarkan anak itu tumbuh dalam kebohongan, yang diciptakan oleh Pandu nantinya.

“Iya, Cita,” sambar Tessa yang juga tidak menginginkan adanya perceraian. “Mama tahu Pandu salah, tapi kita masih bisa bicarakan lagi semuanya.”

“Semua masalah, pasti ada jalan keluarnya.” Sandra ikut bersuara, dan setuju dengan kedua besannya. Di mana lagi Sandra bisa mendapat besan yang sebaik keluarga Atmawijaya? Mereka mau menerima keberadaan Cita apa adanya. Baik David maupun Tessa, tidak pernah mempermasalahkan tentang asal usul Cita, yang lahir karena sebuah “kesalahan”.

“Saya …” Tatapan Cita beralih pada Pandu, yang ternyata juga tengah menatapnya. Pria itu tampak kurang tidur, dengan kedua mata lelah yang tampak cekung. “Saya tetap mau cerai sama mas Pandu, secara baik-baik.”

“Cita, pikirkan sekali lagi,” pinta David masih berusaha membuat keduanya rujuk. “Kamu siap menyandang status janda? Dan, menerima omongan miring dari orang?”

“Saya rasa, nggak ada masalah dengan status janda.” Cita tetap bersikeras dengan pendiriannya. Ia ingin lepas dari Pandu, dan menikmati hidup dengan bebas. “Yang terpenting itu orangnya, bukan statusnya.”

“Tapi, Ci—”

“Ma.” David menggeleng, dan menyentuh tangan Tessa untuk menghentikan wanita itu berucap. “Kalau memang itu keputusanmu, Papa sama Mama sudah nggak bisa ikut campur lagi. Biar, kami yang urus semuanya secara diam-diam dan kamu tinggal terima beres.”

Tatapan David bergeser cepat pada putranya. “Pandu, hari ini juga angkat kaki dari rumahmu karena rumah itu akan jadi milik Cita.” Detik berikutnya, David berdiri sembari berujar. “Pasha, telpon pak Abi, minta dia utus orang datang ke kantor jam sembilan. Buatkan surat wasiat baru dan keluarkan nama Pandu dari sana. Dan siang nanti, kita adakan rapat direksi dengan agenda mengeluarkan Pandu dari jajaran manajemen dan direksi perusahaan.”

Pandu membelalak, karena imbas yang diterimanya ternyata tidak main-main. “Papa, kenapa—”

“Pergi dari sini,” usir David sambil beranjak pergi dari ruang tersebut. “Tinggalkan alamat Laura, nanti barang-barangmu akan dikirim semua ke sana. Tanpa, terkecuali.”

~~ 

“Puas kamu sekarang!”

Cita baru saja memasang sabuk pengaman, ketika Pandu tahu-tahu masuk ke mobilnya dan berujar sangat ketus. Setelah David memberi pernyataan yang cukup mengejutkan, Pandu dan Pasha segera menyusul pria itu. Sementara Cita, disibukkan dengan nasihat dari Sandra, Tessa, maupun kakak iparnya yang masih ingin mempertahankan pernikahan yang ada.

Namun, Cita sudah memutuskan untuk bercerai dan tidak akan mau peduli dengan nasib Pandu setelah itu.

“Aku sudah nuruti permintaanmu menikah dengan Laura,” kata Cita sambil mengeluarkan ponsel dari tas, lalu meletakkannya di door pocket. “Aku juga sudah sandiwara selama hampir satu tahun. Dan sekarang, waktumu untuk balas budi. Turuti permintaanku untuk cerai, dan sandiwara selesai. Berbahagialan dengan Laura, Mas.”

“Dan didepak dari rumah sendiri, juga perusahaan!”

“Hei!” Cita reflek menghardik. “Kalau yang kamu pikirin masalah harta, kita masih punya harta gono gini untuk dibagi. Lagian, Mas. Kamu itu laki-laki, pengalaman kerjamu banyak! Apa susahnya cari kerja di tempat lain?”

“Cita, Laura mau melahirkan dan butuh biaya yang nggak sedikit.”

“Dan kenapa aku harus mikirin Laura?” Cita bertanya balik. “Dia itu tanggung jawabmu, bukan aku. Sekarang keluar, karena aku mau ke kantor.” 

“Kamu itu, betul-betul nggak punya perasaan.” Pandu masih tidak bisa terima, atas keputusan David. Tidak adil rasanya, bila ia harus hengkang dari rumah serta perusahaan sekaligus. “Laura it—”

“Laura, Laura, dan Laura lagi!” Cita muak dan meninggikan intonasi bicaranya. Bahkan, karena terlalu emosi Cita sampai memukul kemudinya dengan begitu keras. “Sekarang aku tanya, kenapa aku harus mikirin Laura, sedangkan kalian nggak pernah sama sekali mikirin perasaanku! Semua ini salahmu, Mas! Aku sudah pernah bilang, kan? Kalau cinta itu, perjuangin! Jangan jadi pengecut dan jadiin aku sebagai tameng! Ngerti sampai di sini!” 

“Kamu lupa? Kamu sendiri yang setuju untuk tanda tangan malam itu.” Pandu jelas tidak mau menjadi satu-satunya orang yang disalahkan. “Aku sudah ajak kamu—”

“Dasar pengecut!” maki Cita sambil menginjak kopling dan menggeser tuas persnelingnya. Ia sudah muak dan tidak ingin melanjutkan perdebatan dengan Pandu. “Sekarang keluar! Dan selamat menikmati hidup barumu dengan Laura.”

“Dengar.” Pandu meraih lengan Cita dan mencengkramnya. “Kalau sampai sesuatu terjadi sama Laura, aku nggak akan lepasin kamu begitu aja, Cit.”

Cita mendesis nyeri, dan menarik kasar lengannya hingga terlepas dari Pandu. “Kalau sampai sesuatu terjadi sama Laura, itu salahmu sendiri. Bukan aku!”

“Jelas itu semu—” Ucapan Pandu terputus, karena pintu mobil yang berada di sampingnya terbuka tiba-tiba. “Ma—”

“Keluar!” titah Tessa sambil menarik lengan Pandu dengan paksa. Setelah putranya keluar dari mobil, Tessa pun sedikit merundukkan tubuhnya. “Hati-hati di jalan, Cit,” kata Tessa sembari tersenyum, lalu menutup pintu mobil tanpa menunggu jawaban dari Cita.

Tessa menarik Pandu ke sudut garasi, lalu memukul dada putranya dengan sekuat tenaga. “Satu! Mama kasih kamu satu kesempatan lagi untuk memperbaiki semuanya!” desis Tessa ingin berteriak, tetapi terlalu lelah memikirkan semua masalah yang baru saja terjadi dalam keluarganya. “Papa nggak akan urus perceraianmu dengan Cita, tapi kamu harus cerai dengan Laura.”

“Ma.” Pandu menautkan kedua tangan, lalu meletakkannya di atas kepala. Hampir putus asa. “Laura lagi hamil anakku, cucu Mama.”

Tessa mengangguk paham akan hal itu. “Setelah anakmu lahir, bawa dia ke sini dan lanjutkan pernikahanmu dengan Cita. Nanti … kita kasih Laura kompensasi dan biaya hidup buat dia.”

“Nggak akan!” tolak Pandu. “Mana ada orang tua yang mau dipisahkan dari anaknya? Apalagi—”

“Kesempatanmu hilang!” putus Tessa sudah tidak bisa menolong putranya. “Pergi dari sini, dan jangan pernah injakkan kakimu di sini. Kita lihat, sampai kapan Laura bisa tahan dengan kamu yang nggak punya apa-apa!” 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
Laura ini sepertinya hanya mau hartanya Pandu aja... suka nih sama sikap papanya Pandu yg ga segan menghukum anaknya yg salah
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
Panduuu.. sini TK bejek bejek. situ yg egois kok mlah nyalahin Cita.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Duka Cita   Duka Cita ~ 80 (FIN)

    “Cita … nggak ikut, Mi?” Sandra yang baru saja duduk, segera memberi gelengan untuk menjawab pertanyaan Arya tanpa senyuman. Sandra hanya sempat bersikap ramah pada Lee dan Gemi, yang kini duduk melingkar pada satu meja yang sama dengannya. “Cita harus istirahat.” “Pak Lee, maaf kalau harus merepotkan dan meminta Bapak datang ke Singapur dengan segera.” Tidak ingin berbasa basi, Harry pun segera mengutarakan maksud diadakannya pertemuan keluarga malam ini. “Untuk masalah anak kita, Bapak mungkin sudah tahu kronologinya dari bu Gemi. Dan kenapa saya minta Bapak datang, itu karena saya mau cabut semua investasi saya dari Arka Lukito. Bukan cuma itu, tapi saya mau menarik lisensi nama Lukito dari perusahaan tersebut. Untuk mekanismenya, nanti akan ditangani langsung sama Kasih. Dan setelah semua selesai, Lukito Grup sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan perusahaan yang dipimpin Arya.” “Pa—” Lee segera mengangkat tangan ke arah Arya. Meminta putranya tidak bersuara, agar permasa

  • Duka Cita   Duka Cita ~ 79

    “Dia? Dia siapa?” Mendengar suara Sandra yang mendadak terdengar di balkon, membuat Arya dan Cita spontan menoleh dengan mata yang terbelalak. Karena terlalu sibuk berdebat, Arya dan Cita sampai-sampai melupakan hal lain di sekitarnya. “Cita, nama “dia” siapa yang sering kamu lihat nelpon Arya?” buru Sandra segera menghabiskan jarak, dan tetap fokus pada putrinya. “Apa Arya selingkuh? Iya? Jadi karena itu kamu minta pisah? Begitu, kan? Arya punya perempuan lain di luar sana? Begitu?” Jika benar Arya berselingkuh, orang yang paling terpukul dengan kabar tersebut adalah Sandra sendiri. Dulu, Sandra adalah wanita selingkuhan Harry, dan sekarang? Putrinya justru diselingkuhi oleh suaminya sendiri. Karma apa lagi yang menimpa Sandra kali ini? Tidak cukupkah, Tuhan menghukum Sandra dengan membuat Cita terpuruk dengan kondisinya? Sampai-sampai, harus memberi cobaan tambahan seperti sekarang? Bertahun-tahun Sandra hidup seperti di neraka bersama Harry, tetapi, itu pun belum sanggup menebu

  • Duka Cita   Duka Cita ~ 78

    “Cita, semua nggak seperti yang kamu bayangkan.” Arya segera beranjak menghampiri Cita, lalu berlutut untuk menyamakan tubuhnya. “Aku … aku memang sibuk, aku capek, aku … ya! Aku jenuh dengan semua ini. Bolak balik Surabaya Singapur, Surabaya Jakarta, Jakarta Singapur, itu semua bikin aku muak.” Satu sudut bibir Cita tertarik tipis. “Semua yang kamu dapat sekarang, semua yang kamu jalani sekarang, itu semua adalah kemauanmu sendiri. Kamu bisa sukses dan berdiri seperti sekarang, itu semua juga hasil dari doa-doa orang yang sayang sama kamu, Mas. Kalau sekarang kamu mengeluh, itu artinya kamu nggak pernah bersyukur, karena di luar sana, banyak orang yang ingin ada di posisimu.” “Aku tahu itu, aku tahu, tap—“ “Sebenarnya, bukan itu inti dari pembicaraan kita malam ini, Mas.” Cita memundurkan kursi rodanya, ketika kedua tangan Arya hendak menyentuhnya. “Jadi nggak perlu melebar ke mana-mana. Aku tahu kamu capek, jenuh, dan … muak dengan semua ini. Aku juga tahu, kalau kamu sudah punya

  • Duka Cita   Duka Cita ~ 77

    “Sayang …” Sandra mengusap lembut puncak kepala Cita yang hanya duduk di tempat tidur, dan enggan keluar dari kamar. “Sarapan dulu, kita harus ke rumah sakit hari ini.”“Aku nggak mau terapi.” Cita menunduk, dan melanjutkan membaca bukunya. Kali ini, sudah tidak ada lagi yang bisa memengaruhi keputusannya. Cita ingin berpisah dari Arya, dan ingin melanjutkan hidupnya hanya seorang diri.“Cita, papa sudah telpon Arya tadi malam, dan—““Percuma,” putus Cita datar, lalu menutup bukunya. “Aku sudah nggak mau jadi beban mas Arya, atau siapa pun. Kalau Mami mau aku lanjut terapi, tolong ada di pihakku, dan ngerti dengan keadaanku.”“Mami selalu ada di pihakmu, Cit,” ucap Sandra meyakinkan. Di satu sisi, Sandra sangat mengerti dengan perasaan dan kondisi Cita saat ini. Namun di sisi lain, Sandra tidak ingin pernikahan putrinya berakhir, hanya karena kurangnya komunikasi antara keduanya.Sebenarnya, Cita masih bisa membicarakan masalahnya dengan Arya, dan mencari solusi yang terbaik untuk hub

  • Duka Cita   Duka Cita ~ 76

    “Pindah?” Sandra sontak berdiri, lalu menarik kursi besi yang sempat didudukinya ke arah Cita, yang duduk di samping pagar. “Maksudnya?”“Aku mau menyendiri, Mi.” Cita sudah memikirkan semuanya dengan matang. Hubungannya dengan Arya belakangan ini semakin berjarak, dan Cita melihat tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari semuanya.Sejak pembicaraan mereka terakhir kali, Arya tidak lagi datang ke Singapura satu bulan belakangan ini. Intensitas obrolan mereka melalui telepon pun, juga bisa dihitung dengan jari. Mereka hanya bicara dan bertukar kabar seperlunya, tanpa ada gurauan, rayuan, atau obrolan hangat seperti dahulu kala.Semuanya hambar.“Menyendiri?” Sandra menghadapkan kursinya pada Cita, lalu duduk di samping putrinya. “Sayang, Mami masih nggak ngerti. Kenapa? Apa ada hubungannya dengan Arya?”Cita membuang napas panjang, dan masih memandang teluk Marina yang terlihat begitu tenang. “Pernikahanku sama mas Arya, kayaknya sudah nggak bisa lagi diteruskan. Ak—““Cita, kenapa bic

  • Duka Cita   Duka Cita ~ 75

    Sibuk. Ketika perusahaan yang dipegang Arya semakin berkembang, ia merasakan waktu yang dimiliki untuk diri sendiri semakin sedikit. Dulu, Arya masih bisa pergi ke Negeri Singa di hari jumat malam, dan akan kembali pada senin paginya. Namun, tidak setelah semuanya berkembang semakin pesat. Arya baru bisa pergi ke Singapura pada sabtu pagi, dan akan kembali pada minggu malamnya. Rutinitas tersebut ternyata benar-benar melelahkan, dan semakin menjemukan. Memikirkannya saja, Arya bisa langsung sakit kepala. Bahkan, Arya tidak lagi memiliki kualitas dalam hubungannya dengan Cita. Ketika bertemu, yang Arya lakukan lebih banyak tidur dan beristirahat untuk melepas lelah. “Mas …” Cita menepuk pelan lengan Arya yang tertidur di sofa. Meskipun tidak tega, tetapi Cita harus tetap membangunkan sang suami, karena sudah tiba waktunya makan siang. “Ayo bangun bentar.” Arya menghela panjang nan lelah. Membuka sedikit matanya yang berat, sembari tersenyum tipis. “Bentar..” “Makan dulu, habis itu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status