Cita menarik napas panjang, sebelum memasuki ruang tengah keluarga Atmawijaya. Pagi-pagi sekali, mama mertuanya menelepon dan meminta Cita untuk datang ke rumah wanita itu. Tanpa bertanya kabar, ataupun berbasa-basi seperti biasanya. Cita yakin, Tessa sudah mengetahui kabar kisruh rumah tangga yang sudah ia simpan sendiri selama hampir satu tahun.
Setelah memantapkan hati, Cita pun memasuki ruang tersebut. Ia mendapati Sandra, dan seluruh anggota keluarga Atmawijaya ada di sana, tanpa terkecuali. Sepertinya, Sandra sudah menceritakan semua hal kepada besannya itu.
“Pagi,” sapa Cita menyematkan senyum kecil, dan langsung menghampiri kedua mertuanya lebih dulu. Setelah mencium punggung tangan sepasang suami istri itu dengan hormat, Cita segera beralih pada Sandra, dan duduk di sebelah sang mami. Sejenak, Cita menyapa Pasha dan Erina yang duduk berseberangan dengannya. Tidak lupa, ada Pandu yang duduk tepat di samping Pasha, dan sangat terlihat kacau.
“Ada liputan pagi ini, Cit?” tanya David, sang papa mertua yang selama ini tidak terlalu banyak bicara.
“Nggak ada, Pa.” Cita menyematkan senyum sebelum melanjutkan kalimatnya. “Tapi, saya harus ada di kantor jam sembilan.”
“Oke, kita langsung aja.” David pun harus pergi ke kantor dan menghadiri rapat pagi ini. “Mamimu sudah cerita semuanya tadi malam, dan Papa juga sudah tanya itu semua sama Pandu.” David menghela sebentar, dan tidak ada satu pun yang berani menyela. “Atas nama keluarga besar, Papa minta maaf atas keegoisan Pandu selama ini. Dan, Papa minta tolong, pikirkan lagi masalah gugatan cerai yang mau kamu ajukan.”
Sebenarnya, David menyesalkan ketidakhadiran Harry di antara mereka. Pria itu beralasan pergi keluar kota, dan lebih mementingkan pekerjaannya daripada masalah putrinya sendiri. David tahu benar bagaimana asal usul Cita sebenarnya, dan ia sama sekali tidak mempermasalahkan hal tersebut.
Ada satu alasan, mengapa David lebih memilih Cita menjadi menantunya, daripada Laura.
“Maaf, Pa, tapi keputusan saya sudah bulat.” Sebenarnya, Cita juga tidak menginginkan perceraian dalam pernikahannya. Meskipun terluka dengan sikap Pandu selama ini, tetapi Cita tidak terlalu memikirkannya. Yang terpenting, ia masih bisa bekerja dan bersenang-senang di luaran sana. Itu saja, sudah lebih dari cukup.
Akan tetapi, semuanya berubah ketika Cita bertemu dengan Laura. Terlebih-lebih, wanita itu tengah mengandung anak Pandu. Untuk itulah, Cita harus tahu diri dan mundur dari pernikahan tersebut, demi anak tidak berdosa yang sebentar lagi hadir ke dunia. Tidak mungkin Cita membiarkan anak itu tumbuh dalam kebohongan, yang diciptakan oleh Pandu nantinya.
“Iya, Cita,” sambar Tessa yang juga tidak menginginkan adanya perceraian. “Mama tahu Pandu salah, tapi kita masih bisa bicarakan lagi semuanya.”
“Semua masalah, pasti ada jalan keluarnya.” Sandra ikut bersuara, dan setuju dengan kedua besannya. Di mana lagi Sandra bisa mendapat besan yang sebaik keluarga Atmawijaya? Mereka mau menerima keberadaan Cita apa adanya. Baik David maupun Tessa, tidak pernah mempermasalahkan tentang asal usul Cita, yang lahir karena sebuah “kesalahan”.
“Saya …” Tatapan Cita beralih pada Pandu, yang ternyata juga tengah menatapnya. Pria itu tampak kurang tidur, dengan kedua mata lelah yang tampak cekung. “Saya tetap mau cerai sama mas Pandu, secara baik-baik.”
“Cita, pikirkan sekali lagi,” pinta David masih berusaha membuat keduanya rujuk. “Kamu siap menyandang status janda? Dan, menerima omongan miring dari orang?”
“Saya rasa, nggak ada masalah dengan status janda.” Cita tetap bersikeras dengan pendiriannya. Ia ingin lepas dari Pandu, dan menikmati hidup dengan bebas. “Yang terpenting itu orangnya, bukan statusnya.”
“Tapi, Ci—”
“Ma.” David menggeleng, dan menyentuh tangan Tessa untuk menghentikan wanita itu berucap. “Kalau memang itu keputusanmu, Papa sama Mama sudah nggak bisa ikut campur lagi. Biar, kami yang urus semuanya secara diam-diam dan kamu tinggal terima beres.”
Tatapan David bergeser cepat pada putranya. “Pandu, hari ini juga angkat kaki dari rumahmu karena rumah itu akan jadi milik Cita.” Detik berikutnya, David berdiri sembari berujar. “Pasha, telpon pak Abi, minta dia utus orang datang ke kantor jam sembilan. Buatkan surat wasiat baru dan keluarkan nama Pandu dari sana. Dan siang nanti, kita adakan rapat direksi dengan agenda mengeluarkan Pandu dari jajaran manajemen dan direksi perusahaan.”
Pandu membelalak, karena imbas yang diterimanya ternyata tidak main-main. “Papa, kenapa—”
“Pergi dari sini,” usir David sambil beranjak pergi dari ruang tersebut. “Tinggalkan alamat Laura, nanti barang-barangmu akan dikirim semua ke sana. Tanpa, terkecuali.”
~~
“Puas kamu sekarang!”
Cita baru saja memasang sabuk pengaman, ketika Pandu tahu-tahu masuk ke mobilnya dan berujar sangat ketus. Setelah David memberi pernyataan yang cukup mengejutkan, Pandu dan Pasha segera menyusul pria itu. Sementara Cita, disibukkan dengan nasihat dari Sandra, Tessa, maupun kakak iparnya yang masih ingin mempertahankan pernikahan yang ada.
Namun, Cita sudah memutuskan untuk bercerai dan tidak akan mau peduli dengan nasib Pandu setelah itu.
“Aku sudah nuruti permintaanmu menikah dengan Laura,” kata Cita sambil mengeluarkan ponsel dari tas, lalu meletakkannya di door pocket. “Aku juga sudah sandiwara selama hampir satu tahun. Dan sekarang, waktumu untuk balas budi. Turuti permintaanku untuk cerai, dan sandiwara selesai. Berbahagialan dengan Laura, Mas.”
“Dan didepak dari rumah sendiri, juga perusahaan!”
“Hei!” Cita reflek menghardik. “Kalau yang kamu pikirin masalah harta, kita masih punya harta gono gini untuk dibagi. Lagian, Mas. Kamu itu laki-laki, pengalaman kerjamu banyak! Apa susahnya cari kerja di tempat lain?”
“Cita, Laura mau melahirkan dan butuh biaya yang nggak sedikit.”
“Dan kenapa aku harus mikirin Laura?” Cita bertanya balik. “Dia itu tanggung jawabmu, bukan aku. Sekarang keluar, karena aku mau ke kantor.”
“Kamu itu, betul-betul nggak punya perasaan.” Pandu masih tidak bisa terima, atas keputusan David. Tidak adil rasanya, bila ia harus hengkang dari rumah serta perusahaan sekaligus. “Laura it—”
“Laura, Laura, dan Laura lagi!” Cita muak dan meninggikan intonasi bicaranya. Bahkan, karena terlalu emosi Cita sampai memukul kemudinya dengan begitu keras. “Sekarang aku tanya, kenapa aku harus mikirin Laura, sedangkan kalian nggak pernah sama sekali mikirin perasaanku! Semua ini salahmu, Mas! Aku sudah pernah bilang, kan? Kalau cinta itu, perjuangin! Jangan jadi pengecut dan jadiin aku sebagai tameng! Ngerti sampai di sini!”
“Kamu lupa? Kamu sendiri yang setuju untuk tanda tangan malam itu.” Pandu jelas tidak mau menjadi satu-satunya orang yang disalahkan. “Aku sudah ajak kamu—”
“Dasar pengecut!” maki Cita sambil menginjak kopling dan menggeser tuas persnelingnya. Ia sudah muak dan tidak ingin melanjutkan perdebatan dengan Pandu. “Sekarang keluar! Dan selamat menikmati hidup barumu dengan Laura.”
“Dengar.” Pandu meraih lengan Cita dan mencengkramnya. “Kalau sampai sesuatu terjadi sama Laura, aku nggak akan lepasin kamu begitu aja, Cit.”
Cita mendesis nyeri, dan menarik kasar lengannya hingga terlepas dari Pandu. “Kalau sampai sesuatu terjadi sama Laura, itu salahmu sendiri. Bukan aku!”
“Jelas itu semu—” Ucapan Pandu terputus, karena pintu mobil yang berada di sampingnya terbuka tiba-tiba. “Ma—”
“Keluar!” titah Tessa sambil menarik lengan Pandu dengan paksa. Setelah putranya keluar dari mobil, Tessa pun sedikit merundukkan tubuhnya. “Hati-hati di jalan, Cit,” kata Tessa sembari tersenyum, lalu menutup pintu mobil tanpa menunggu jawaban dari Cita.
Tessa menarik Pandu ke sudut garasi, lalu memukul dada putranya dengan sekuat tenaga. “Satu! Mama kasih kamu satu kesempatan lagi untuk memperbaiki semuanya!” desis Tessa ingin berteriak, tetapi terlalu lelah memikirkan semua masalah yang baru saja terjadi dalam keluarganya. “Papa nggak akan urus perceraianmu dengan Cita, tapi kamu harus cerai dengan Laura.”
“Ma.” Pandu menautkan kedua tangan, lalu meletakkannya di atas kepala. Hampir putus asa. “Laura lagi hamil anakku, cucu Mama.”
Tessa mengangguk paham akan hal itu. “Setelah anakmu lahir, bawa dia ke sini dan lanjutkan pernikahanmu dengan Cita. Nanti … kita kasih Laura kompensasi dan biaya hidup buat dia.”
“Nggak akan!” tolak Pandu. “Mana ada orang tua yang mau dipisahkan dari anaknya? Apalagi—”
“Kesempatanmu hilang!” putus Tessa sudah tidak bisa menolong putranya. “Pergi dari sini, dan jangan pernah injakkan kakimu di sini. Kita lihat, sampai kapan Laura bisa tahan dengan kamu yang nggak punya apa-apa!”
“Kusut banget, lo, Cit?” Aldo, camera person yang akan bertugas meliput dengan Cita hari ini, menghampiri. Pria itu berjongkok di depan Cita, lalu mengecek beberapa barang bawaan yang akan diletakkan di bagasi mobil. “Lagi dapet?”“Hem,” gumam Cita sedang tidak berminat melakukan apa pun. Ia hanya ingin duduk diam seharian, dan memikirkan rencana hidup ke depan. Namun, bagaimana bisa bila setumpuk rencana tugas liputan sudah menanti untuk dieksekusi?“Lo juga, sih, kayak nggak ada kerjaan aja gawe di sini,” lanjut Aldo masih sibuk mengecek semua peralatan sedetail mungkin. Dari microphone, kabel, serta baterai yang diperlukan untuk semua keperluan liputan nanti. “Bokap lo itu yang punya Lukito Grup. Suami lo, anaknya pak David Atma. tapi, lo-nya malah demen keliaran capek-capek nyari berita.”“Yang punya perusahaan itu bokap gue, sama bokapnya laki gue,” kata Cita menjelaskan. “Dan gue nggak ada passion di sana. Cita-cita gue itu mau jadi news anchor, terkenal dan punya fans di mana-m
“See, nggak seharusnya kamu bikin masalah denganku.” Pandu memakai kaos yang baru saja ia pungut dari lantai. Berdiri di samping tempat tidur, dan menatap Cita yang meringkuk dengan tubuh polosnya. Sebelum meraih beberapa pakaian yang juga tergeletak di lantai, Pandu menarik selimut dan menutup tubuh Cita dengan asal. “Dan aku peringatkan, aku bisa lebih kejam dari ini.”Pandu memungut pakaiannya yang masih tersisa, lalu memakainya dengan cepat. “Kamu dengar aku, Cit.” Pandu menghempas bokongnya di tepi ranjang. Membalik tubuh Cita yang memunggunginya, lalu meraih wajah gadis itu. “Nggak usah pura-pura tidur.”Pandu menepuk pipi Cita. Awalnya, Pandu hanya menepuk dengan pelan untuk membangunkan gadis itu. Namun, karena tidak ada respons atau pergerakan sama sekali, Pandu menepuk pipi itu lebih keras. “Cita!” panggil Pandu masih menepuk pipi Cita sampai berulang kali. “Jangan main-main, Cit!”Pandu berusaha tenang. Mencoba mengangkat tubuh bagian atas Cita, yang terasa berat. Gadis i
“Cita …” Tessa menyentuh bahu Cita yang meringkuk di tempat tidur. Sudah tiga hari ini, gadis itu tidak kunjung keluar dari kamar dan hanya meringkuk di tempat tidur. Tessa sudah menyewa dua orang perawat, yang bertugas bergantian untuk mengurus Cita, sampai kondisi gadis itu stabil. Selama tiga hari ini juga, Tessa selalu bolak balik ke rumah Pasha, dengan memberi berbagai alasan pada sang suami. Sampai detik ini, David masih tidak tahu menahu tentang kejadian yang menimpa Cita, karena hal tersebut memang ditutup rapat-rapat dari siapa pun. Termasuk Sandra.Dengan detail, Tessa telah membereskan satu per satu kemungkinan yang akan membuka aib keluarga mereka. Tessa juga sudah memerintahkan seseorang, untuk membersihkan kamar di rumah Cita, dan membawa ponsel gadis itu ke tangan Tessa.Dari ponsel itulah, Tessa bisa mengirim pesan pada Sandra, dan mengatakan Cita tengah bertugas ke luar kota. Tepatnya di daerah terpencil, yang masih susah untuk dijangkau oleh sinyal.Dan … semua aman
“Cita.” Tessa semakin dibuat pusing, ketika mendengar aduan Erina tentang Cita. Karena itulah, tepat ketika David pergi ke kantor, Tessa pun segera pergi ke rumah Pasha untuk menemui Cita. “Semua … semua sudah diurus sama papa. Jadi, Mama rasa kamu nggak perlu hubungin pengacara.”Semalam, Cita mengatakan pada Erina akan menghubungi pengacara karena ingin segera bercerai dari Pandu. Namun, Tessa tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Karena sedari awal, David tidak pernah benar-benar berniat untuk mengurus perceraian putranya dengan Cita. David hanya menggertak Pandu, dan ingin melihat sejauh mana Pandu akan mengambil sikap. Cita menggeleng kecil berkali-kali. “Aku … aku mau ketemu om Lex, biar …”“Sudah ada pak Abi yang urus semuanya,” putus Tessa mencoba menenangkan, sambil mengusap lengan Cita yang duduk bersandar pada headboard. Tessa tahu benar, Cita memiliki hubungan baik dengan keluarga Lex. Memang sedikit terasa aneh, karena Cita bisa menjalin hubungan baik dengan Elok, semen
“Mbak Cit, sarapannya sudah siap.”Cita membuang napas panjang. Menatap beberapa amplop yang berisi surat pengunduran dirinya di atas laptop. Setelah berpikir panjang, akhirnya Cita memutuskan untuk mengubur mimpinya. Mundur dari salah satu perusahaan media terbesar, dan membuang cita-citanya menjadi news anchor. Menjadi terkenal, bukanlah jalan yang harus ditempuh dalam kondisi Cita yang seperti sekarang. Karena Cita yakin, nantinya akan ada tekanan yang akan menimbulkan depresi di luar batas kuasanya. “Bik …” Cita meraih amplop-amplop tersebut, lalu beranjak menghampiri Juju. “Sebentar lagi ada kurir yang mau ke sini. Tolong, kasihkan surat-surat ini sama mas kurirnya. Bilang, titipkan aja di resepsionis. Oia, kurirnya sudah saya bayar.”Juju mengangguk bingung, sambil membolak balik amplop berwarna putih itu. “Ini … surat apa, Mbak? Mau dikirim ke mana?”“Surat pengunduran diri saya dari Metro.” Satu tangan bebas Cita meraih pergelangan tangan Juju. “Tolong, saya minta tolong sam
“Per … misi.” Cita menyapa ragu pada seorang wanita paruh baya, yang tengah berjongkok di samping keran, yang berada di sudut carport. Detik itu pula, wanita itu menoleh dan mengerutkan dahinya saat menatap Cita.“Ada apa, ya?”“Maaf, Bu, saya barusan ngetok-ngetok rumah sebelah.” Cita menunjuk rumah yang ada di samping kirinya. “Saya juga sudah pencet belnya, tapi nggak ada yang keluar.”“Ahhh … Mbak yang mau ngekos, ya?”“I-ya.” Sejak kejadian malam itu, rasa percaya diri Cita seolah terkikis sedikit demi sedikit. Ia tidak lagi bisa memandang setiap orang dengan tegas, dan selalu saja overthinking akan banyak hal. “Ibu Asri?” tebak Cita, karena satu-satunya orang yang dihubungi setelah menemukan iklan kos-kosan, adalah wanita itu.“Iya.” Asri segera berdiri dan menghampiri Cita dengan tawa kecilnya. Ia mengulurkan tangan dengan ramah lebih dulu, untuk memperkenalkan diri. “Saya Asri, anak kos biasa manggil Bunda Asri. Ayo, ayo, masuk dulu.”Tanpa menunggu Cita meresponsnya, Asri lan
Arya mendesah panjang. Melihat jendela kamar yang ditempati Cita, dari carport rumah sebelah. Siang tadi, gadis itu tetap tidak bercerita apa pun pada Arya, walau ia sempat sedikit memberi ancaman. Namun, Cita tetap mengatakan dirinya baik-baik saja.Yang semakin mengganjal di hati Arya adalah, ia baru tahu Cita ternyata sudah mengundurkan diri dari Metro sekitar satu minggu yang lalu.Apa yang telah terjadi sebenarnya?Pergi ke mana orang tua dan suami gadis itu saat ini?Atau, jangan-jangan Cita sedang melarikan diri? Akan tetapi, benar-benar terasa tanggung jika melarikan diri masih di wilayah ibukota.Arya berdecak kecil. Berdiam sebentar saat ponselnya berdering, sambil memandang nama yang tertera di layar. Jika diangkat, pria itu pasti akan menyuruh Arya kembali tidur di rumahnya. Sementara Arya sendiri, ingin menginap di rumah Asri, karena merasa penasaran dengan Cita.Sampai akhirnya, Arya membiarkan ponselnya berdering, dan mati-mati sendiri. Arya menunggu sekitar lima menit,
“Ada, Cit! Hari ini, jadwal periksa jam 10 pagi dengan dokter Aina.”“Atas nama Laura Riani, kan?”Karena dua buah info yang masuk ke aplikasi chatnya itulah, Cita segera memesan taksi dan pergi ke rumah sakit. Tempat yang sama, di mana Cita pernah bertemu dengan Laura untuk pertama kalinya.Bagi Cita, tidaklah sulit untuk mencari informasi apa pun. Rekan sesama profesinya banyak tersebar di mana-mana. Cita hanya menyediakan sejumlah uang, agar bisa melancarkan semua rencananya.Lantas, sampai jugalah Cita pada tempat yang dituju. Masuk ke rumah sakit dengan santai, dan melihat deretan ruang dokter yang ada.“Dokter … Aina,” gumam Cita, lalu melihat kursi tunggu yang ada di depan ruang dokter tersebut. Cita memindai dengan teliti setiap orang yang duduk di sana.Laura belum datang. Masih dengan hoodie yang menutup kepala, Cita menghampiri kursi tunggu. Memilih tempat paling sudut belakang, agar bisa melihat semua orang yang datang.Dalam diam, Cita menunduk dan menyentuh pelan perutn