“Kusut banget, lo, Cit?” Aldo, camera person yang akan bertugas meliput dengan Cita hari ini, menghampiri. Pria itu berjongkok di depan Cita, lalu mengecek beberapa barang bawaan yang akan diletakkan di bagasi mobil. “Lagi dapet?”
“Hem,” gumam Cita sedang tidak berminat melakukan apa pun. Ia hanya ingin duduk diam seharian, dan memikirkan rencana hidup ke depan. Namun, bagaimana bisa bila setumpuk rencana tugas liputan sudah menanti untuk dieksekusi?
“Lo juga, sih, kayak nggak ada kerjaan aja gawe di sini,” lanjut Aldo masih sibuk mengecek semua peralatan sedetail mungkin. Dari microphone, kabel, serta baterai yang diperlukan untuk semua keperluan liputan nanti. “Bokap lo itu yang punya Lukito Grup. Suami lo, anaknya pak David Atma. tapi, lo-nya malah demen keliaran capek-capek nyari berita.”
“Yang punya perusahaan itu bokap gue, sama bokapnya laki gue,” kata Cita menjelaskan. “Dan gue nggak ada passion di sana. Cita-cita gue itu mau jadi news anchor, terkenal dan punya fans di mana-mana,” kata Cita lalu terkekeh garing, saat mengingat nasibnya saat ini. Akan tetapi, ia tidak boleh putus asa. Sedikit lagi, cita-citanya itu mungkin saja bisa terwujud.
“Kalau sekadar terkenal, lo jadi aja jadi news presenter,” seloroh Aldo kemudian menutup resleting tas, yang sudah diceknya. “Tinggal baca berita, masuk tv, terkenal! Lo udah punya modal cakep, sama pengalaman di lapangan, jadi cingcailah, Cit. Tinggal kedipin bang Jeremy, bisalah masuk tivi.”
“Iya juga, sih.” Cita lantas melambai pada driver yang hari ini akan liputan bersama mereka. “Tapi buat gue, news anchor lebih menantang aja, gitu, karena kita juga terjun ke lapangan sekalian nambah wawasan. Berangkat sekarang, Pak?” tanya Cita pada driver yang baru saja berhenti di belakang Aldo.
“Bentar lagi,” jawab Jonathan sembari menunjuk ke arah gedung utama. “Lo ditunggu mas Qai depan kafe lobi, buruan katanya. Dia mau rapat sama pak Pras.”
“Buruan, Cit!” sambar Aldo. “Kita juga mau cabut habis ini.”
“Iyaaa!” Cita langsung beranjak dan berlari menuju kafe yang berada di samping lobi kantor Metro. Melihat Qai sudah bertolak pinggang di sana, Cita segera memberi senyum ramah selebar mungkin. “Napa, Mas?”
“Saya mau rapat, terus lanjut keluar kota.” Qai memutar tubuh, untuk mengambil sebuah paper bag yang ada di kursi kafe di belakangnya. “Ini, biasa. Titipan mas Nando buat kam—”
“Mas! Buruan!”
“Sudah kubilang, duluan ke atas!” Qai berdecak kesal, dan langsung meraih tangan Cita untuk menyerahkan paper bag titipan dari Nando. Ia menoleh sebentar pada Arya, yang juga memasang wajah kesal padanya. “Mas Nando baru pulang dari Surabaya, jadi dia nitip ini buat kamu.”
“Aku mana mau ketemu pak Pras sendiri …” Saat berhenti di samping Qai dan melihat gadis di hadapannya, Arya segera mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri. “Aku Arya, Arya Arkatama.”
“Dia Cita Lukito,” sahut Qai menarik tangan Arya dengan segera, dan membalik paksa tubuh pria itu. “Sudah punya suami, jadi jangan macam-macam.” Sembari terus membawa Arya pergi menjauh, Qai melambaikan tangan pada Cita. “Buruan pergi, Cit.”
Arkatama ….
Nama itu sudah tidak asing lagi di pendengaran Cita. Nama keluarga yang sampai saat ini berperan besar, dalam kelangsungan Metro Surabaya. Namun, baru kali ini Cita bertemu langsung dengan putra kedua Leonard Arkatama, yang berdomisili di Surabaya.
Lantas, Cita hanya tersenyum kecil melihat kepergian kedua pria itu. Ia lalu menunduk, dan melihat isi dari paper bag yang diberi oleh Nando. Pria yang pernah menyatakan cinta padanya, sehari setelah lamaran keluarga Atmawijaya digelar di kediaman Lukito. Andai, Nando lebih dulu memberitahu perasaannya pada Cita, mungkin ia akan lebih memilih pria itu daripada Pandu.
Namun, nasi sudah jadi bubur, dan tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh Cita. Ia hanya tinggal menunggu proses perceraian dalam diam, dan akan menikmati kebebasannya setelah itu.
~~
“Akhirnya, pulang juga.”
Langkah Cita terhenti dalam gelap ruang tengah di rumahnya sendiri. Menyadari suara tersebut milik Pandu, Cita segera menghampiri saklar dan menyalakan lampu di ruang tersebut. Tadinya, Cita ingin pulang ke kos yang baru saja disewanya. Namun, karena ada beberapa barang yang harus ia ambil, maka Cita memutuskan kembali pulang ke rumah.
Meskipun David sudah memutuskan rumah tersebut menjadi milik Cita, tetapi ia merasa lebih tenang bila tinggal di luar rumah. Paling tidak, setelah keputusan cerai ditetapkan oleh pengadilan. Sesudah itu, barulah Cita akan menempati rumah tersebut, tanpa sungkan lagi. Kalau bisa, Cita juga akan membujuk Sandra untuk tinggal bersamanya.
“Bukannya kamu sudah diusir sama papa?” Cita bersedekap setelah menyalakan lampu. Melihat Pandu yang duduk di sofa panjang, dan terlihat sangat kacau. Melebihi tampang kacau yang ditunjukkan pria itu pagi tadi, saat mereka berada di kediaman Atmawijaya. “Ngapain masih datang ke sini?”
Pandu mendesah panjang. Menggeram, sambil menyandarkan kepalanya di atas punggung sofa. Menatap langit-langit, dan memikirkan semua hal yang terjadi padanya seharian ini. Mengapa justru Pandu yang didepak dari keluarganya sendiri? Papanya justru lebih membela Cita, dan mengabaikan Pandu yang sebentar lagi akan memiliki anak dengan Laura.
Tidak mendapat respons dari Pandu, Cita kemudian berbalik. Ia menaiki tangga dengan perlahan, sambil memijat bahu dan leher bagian belakangannya yang sangat penat. Karena terlalu lelah, Cita memutuskan untuk tidak mandi dan langsung tidur saja malam ini. Besok, pagi-pagi sekali barulah Cita akan membereskan beberapa barangnya.
Akan tetapi, baru saja Cita membuka pintu kamar, tubuh terdesak masuk dengan paksa. Karena terkejut dan tidak bisa mengimbangi tubuhnya, Cita akhirnya terjerembap.
“Mas!” Sebagai seorang wanita, firasat Cita sedang tidak baik-baik saja. Melihat siluet Pandu dalam gelap, sungguh membuat bulu kuduk Cita merinding. Pria itu pasti memiliki niat buruk karena kejadian yang membuatnya kesal pagi. “Mau apa kamu, Mas.”
Cita meraih tas yang tergeletak di sebelahnya. Mencari ujung resleting dalam gelap, tremor, panik dan mulai frustasi karena tidak kunjung menemukan ujungnya. Melihat langkah pelan Pandu, tetapi terus mendekat, Cita beringsut mundur dan berusaha bangkit dalam gelap.
“Kamu masih istriku, kan?” Pandu merampas tas yang baru saja dibuka oleh Cita, lalu melemparnya ke sembarang arah. “Sudah waktunya, aku minta hakku sebagai seorang suami.”
“Jangan gila!” Firasat buruk Cita akhirnya terbukti. Detik itu juga, Cita menghindar dan berlari secepat ia bisa menuju pintu kamar yang tidak tertutup. Namun, langkah Pandu ternyata lebih gesit dari Cita.
Brak!
Cita terhenyak. Pintu di depannya terbanting kasar, dan tertutup dengan keras. Dalam remang cahaya yang dari luar jendela, Cita bisa melihat Pandu memutar kunci lalu membuangnya dengan asal.
“Mas.” Cita beringsut mundur. Tidak mampu berpikir jernih, karena kepanikan sudah menyergap kepalanya.
Kamar mandi. Begitu ruang tersebut terlintas di kepala Cita, detik itu juga ia berlari secepat mungkin untuk masuk ke dalam sana. Namun naas, lagi-lagi langkahnya terjegal oleh Pandu. Dalam satu kerjapan mata, tubuh Cita tertarik dan terhempas di atas tempat tidur.
“Mas, aku tuntut kamu kalau berani macam-macam!” ancam Cita beringsut mundur, tetapi satu kakinya langsung ditarik kasar oleh Pandu.
Pandu tertawa. Mengejek ketakutan Cita. Ada harga yang harus Cita bayar, atas keterpurukan Pandu yang sudah didepak dari rumah, dan perusahaan. “Macam-macam? Aku ini suamimu Cita, Sayang! Jadi … aku berhak untuk macam-macam … dengan kamu.”
“See, nggak seharusnya kamu bikin masalah denganku.” Pandu memakai kaos yang baru saja ia pungut dari lantai. Berdiri di samping tempat tidur, dan menatap Cita yang meringkuk dengan tubuh polosnya. Sebelum meraih beberapa pakaian yang juga tergeletak di lantai, Pandu menarik selimut dan menutup tubuh Cita dengan asal. “Dan aku peringatkan, aku bisa lebih kejam dari ini.”Pandu memungut pakaiannya yang masih tersisa, lalu memakainya dengan cepat. “Kamu dengar aku, Cit.” Pandu menghempas bokongnya di tepi ranjang. Membalik tubuh Cita yang memunggunginya, lalu meraih wajah gadis itu. “Nggak usah pura-pura tidur.”Pandu menepuk pipi Cita. Awalnya, Pandu hanya menepuk dengan pelan untuk membangunkan gadis itu. Namun, karena tidak ada respons atau pergerakan sama sekali, Pandu menepuk pipi itu lebih keras. “Cita!” panggil Pandu masih menepuk pipi Cita sampai berulang kali. “Jangan main-main, Cit!”Pandu berusaha tenang. Mencoba mengangkat tubuh bagian atas Cita, yang terasa berat. Gadis i
“Cita …” Tessa menyentuh bahu Cita yang meringkuk di tempat tidur. Sudah tiga hari ini, gadis itu tidak kunjung keluar dari kamar dan hanya meringkuk di tempat tidur. Tessa sudah menyewa dua orang perawat, yang bertugas bergantian untuk mengurus Cita, sampai kondisi gadis itu stabil. Selama tiga hari ini juga, Tessa selalu bolak balik ke rumah Pasha, dengan memberi berbagai alasan pada sang suami. Sampai detik ini, David masih tidak tahu menahu tentang kejadian yang menimpa Cita, karena hal tersebut memang ditutup rapat-rapat dari siapa pun. Termasuk Sandra.Dengan detail, Tessa telah membereskan satu per satu kemungkinan yang akan membuka aib keluarga mereka. Tessa juga sudah memerintahkan seseorang, untuk membersihkan kamar di rumah Cita, dan membawa ponsel gadis itu ke tangan Tessa.Dari ponsel itulah, Tessa bisa mengirim pesan pada Sandra, dan mengatakan Cita tengah bertugas ke luar kota. Tepatnya di daerah terpencil, yang masih susah untuk dijangkau oleh sinyal.Dan … semua aman
“Cita.” Tessa semakin dibuat pusing, ketika mendengar aduan Erina tentang Cita. Karena itulah, tepat ketika David pergi ke kantor, Tessa pun segera pergi ke rumah Pasha untuk menemui Cita. “Semua … semua sudah diurus sama papa. Jadi, Mama rasa kamu nggak perlu hubungin pengacara.”Semalam, Cita mengatakan pada Erina akan menghubungi pengacara karena ingin segera bercerai dari Pandu. Namun, Tessa tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Karena sedari awal, David tidak pernah benar-benar berniat untuk mengurus perceraian putranya dengan Cita. David hanya menggertak Pandu, dan ingin melihat sejauh mana Pandu akan mengambil sikap. Cita menggeleng kecil berkali-kali. “Aku … aku mau ketemu om Lex, biar …”“Sudah ada pak Abi yang urus semuanya,” putus Tessa mencoba menenangkan, sambil mengusap lengan Cita yang duduk bersandar pada headboard. Tessa tahu benar, Cita memiliki hubungan baik dengan keluarga Lex. Memang sedikit terasa aneh, karena Cita bisa menjalin hubungan baik dengan Elok, semen
“Mbak Cit, sarapannya sudah siap.”Cita membuang napas panjang. Menatap beberapa amplop yang berisi surat pengunduran dirinya di atas laptop. Setelah berpikir panjang, akhirnya Cita memutuskan untuk mengubur mimpinya. Mundur dari salah satu perusahaan media terbesar, dan membuang cita-citanya menjadi news anchor. Menjadi terkenal, bukanlah jalan yang harus ditempuh dalam kondisi Cita yang seperti sekarang. Karena Cita yakin, nantinya akan ada tekanan yang akan menimbulkan depresi di luar batas kuasanya. “Bik …” Cita meraih amplop-amplop tersebut, lalu beranjak menghampiri Juju. “Sebentar lagi ada kurir yang mau ke sini. Tolong, kasihkan surat-surat ini sama mas kurirnya. Bilang, titipkan aja di resepsionis. Oia, kurirnya sudah saya bayar.”Juju mengangguk bingung, sambil membolak balik amplop berwarna putih itu. “Ini … surat apa, Mbak? Mau dikirim ke mana?”“Surat pengunduran diri saya dari Metro.” Satu tangan bebas Cita meraih pergelangan tangan Juju. “Tolong, saya minta tolong sam
“Per … misi.” Cita menyapa ragu pada seorang wanita paruh baya, yang tengah berjongkok di samping keran, yang berada di sudut carport. Detik itu pula, wanita itu menoleh dan mengerutkan dahinya saat menatap Cita.“Ada apa, ya?”“Maaf, Bu, saya barusan ngetok-ngetok rumah sebelah.” Cita menunjuk rumah yang ada di samping kirinya. “Saya juga sudah pencet belnya, tapi nggak ada yang keluar.”“Ahhh … Mbak yang mau ngekos, ya?”“I-ya.” Sejak kejadian malam itu, rasa percaya diri Cita seolah terkikis sedikit demi sedikit. Ia tidak lagi bisa memandang setiap orang dengan tegas, dan selalu saja overthinking akan banyak hal. “Ibu Asri?” tebak Cita, karena satu-satunya orang yang dihubungi setelah menemukan iklan kos-kosan, adalah wanita itu.“Iya.” Asri segera berdiri dan menghampiri Cita dengan tawa kecilnya. Ia mengulurkan tangan dengan ramah lebih dulu, untuk memperkenalkan diri. “Saya Asri, anak kos biasa manggil Bunda Asri. Ayo, ayo, masuk dulu.”Tanpa menunggu Cita meresponsnya, Asri lan
Arya mendesah panjang. Melihat jendela kamar yang ditempati Cita, dari carport rumah sebelah. Siang tadi, gadis itu tetap tidak bercerita apa pun pada Arya, walau ia sempat sedikit memberi ancaman. Namun, Cita tetap mengatakan dirinya baik-baik saja.Yang semakin mengganjal di hati Arya adalah, ia baru tahu Cita ternyata sudah mengundurkan diri dari Metro sekitar satu minggu yang lalu.Apa yang telah terjadi sebenarnya?Pergi ke mana orang tua dan suami gadis itu saat ini?Atau, jangan-jangan Cita sedang melarikan diri? Akan tetapi, benar-benar terasa tanggung jika melarikan diri masih di wilayah ibukota.Arya berdecak kecil. Berdiam sebentar saat ponselnya berdering, sambil memandang nama yang tertera di layar. Jika diangkat, pria itu pasti akan menyuruh Arya kembali tidur di rumahnya. Sementara Arya sendiri, ingin menginap di rumah Asri, karena merasa penasaran dengan Cita.Sampai akhirnya, Arya membiarkan ponselnya berdering, dan mati-mati sendiri. Arya menunggu sekitar lima menit,
“Ada, Cit! Hari ini, jadwal periksa jam 10 pagi dengan dokter Aina.”“Atas nama Laura Riani, kan?”Karena dua buah info yang masuk ke aplikasi chatnya itulah, Cita segera memesan taksi dan pergi ke rumah sakit. Tempat yang sama, di mana Cita pernah bertemu dengan Laura untuk pertama kalinya.Bagi Cita, tidaklah sulit untuk mencari informasi apa pun. Rekan sesama profesinya banyak tersebar di mana-mana. Cita hanya menyediakan sejumlah uang, agar bisa melancarkan semua rencananya.Lantas, sampai jugalah Cita pada tempat yang dituju. Masuk ke rumah sakit dengan santai, dan melihat deretan ruang dokter yang ada.“Dokter … Aina,” gumam Cita, lalu melihat kursi tunggu yang ada di depan ruang dokter tersebut. Cita memindai dengan teliti setiap orang yang duduk di sana.Laura belum datang. Masih dengan hoodie yang menutup kepala, Cita menghampiri kursi tunggu. Memilih tempat paling sudut belakang, agar bisa melihat semua orang yang datang.Dalam diam, Cita menunduk dan menyentuh pelan perutn
Sebenarnya, Arya merasa bodoh sendiri. Mengikuti Cita sampai sejauh ini, tetapi tidak membawa dompet ataupun ponsel. Ia seorang pria, tetapi masuk ke dalam rumah sakit ibu dan anak seorang diri. Duduk pada kursi tunggu di depan ruang dokter yang berbeda, sambil mengawasi Cita.Apa gadis itu hamil, sehingga harus pergi ke dokter kandungan? Ya, Cita pasti hamil!Namun, mengapa tidak memeriksakan diri di rumah sakit terdekat? Cita justru pergi ke rumah sakit yang letaknya begitu jauh, hingga membuat punggung, tangan, dan kaki Arya pegal karena tidak terbiasa naik moge.Akan tetapi, di antara banyak pikiran yang terlintas di kepala Arya, akhirnya ia menemukan sebuah titik terang. Ia melihat Cita berdiri, lalu menghampiri sepasang suami istri yang baru saja datang. Pandu sampai harus memicing, dan berkedip berkali-kali.“Pandu? Atmawijaya?” Arya bergumam sendiri, ketika baru menyadari sosok pria itu. Setelah berkenalan dengan Cita tempo hari, Arya iseng mencari nama Cita di website pencari