Share

6. Macam-macam

“Kusut banget, lo, Cit?” Aldo, camera person yang akan bertugas meliput dengan Cita hari ini, menghampiri. Pria itu berjongkok di depan Cita, lalu mengecek beberapa barang bawaan yang akan diletakkan di bagasi mobil. “Lagi dapet?”

“Hem,” gumam Cita sedang tidak berminat melakukan apa pun. Ia hanya ingin duduk diam seharian, dan memikirkan rencana hidup ke depan. Namun, bagaimana bisa bila setumpuk rencana tugas liputan sudah menanti untuk dieksekusi?

“Lo juga, sih, kayak nggak ada kerjaan aja gawe di sini,” lanjut Aldo masih sibuk mengecek semua peralatan sedetail mungkin. Dari microphone, kabel, serta baterai yang diperlukan untuk semua keperluan liputan nanti. “Bokap lo itu yang punya Lukito Grup. Suami lo, anaknya pak David Atma. tapi, lo-nya malah demen keliaran capek-capek nyari berita.”

“Yang punya perusahaan itu bokap gue, sama bokapnya laki gue,” kata Cita menjelaskan. “Dan gue nggak ada passion di sana. Cita-cita gue itu mau jadi news anchor, terkenal dan punya fans di mana-mana,” kata Cita lalu terkekeh garing, saat mengingat nasibnya saat ini. Akan tetapi, ia tidak boleh putus asa. Sedikit lagi, cita-citanya itu mungkin saja bisa terwujud.

“Kalau sekadar terkenal, lo jadi aja jadi news presenter,” seloroh Aldo kemudian menutup resleting tas, yang sudah diceknya. “Tinggal baca berita, masuk tv, terkenal! Lo udah punya modal cakep, sama pengalaman di lapangan, jadi cingcailah, Cit. Tinggal kedipin bang Jeremy, bisalah masuk tivi.”

“Iya juga, sih.” Cita lantas melambai pada driver yang hari ini akan liputan bersama mereka. “Tapi buat gue, news anchor lebih menantang aja, gitu, karena kita juga terjun ke lapangan sekalian nambah wawasan. Berangkat sekarang, Pak?” tanya Cita pada driver yang baru saja berhenti di belakang Aldo. 

“Bentar lagi,” jawab Jonathan sembari menunjuk ke arah gedung utama. “Lo ditunggu mas Qai depan kafe lobi, buruan katanya. Dia mau rapat sama pak Pras.”

“Buruan, Cit!” sambar Aldo. “Kita juga mau cabut habis ini.”

“Iyaaa!” Cita langsung beranjak dan berlari menuju kafe yang berada di samping lobi kantor Metro. Melihat Qai sudah bertolak pinggang di sana, Cita segera memberi senyum ramah selebar mungkin. “Napa, Mas?”

“Saya mau rapat, terus lanjut keluar kota.” Qai memutar tubuh, untuk mengambil sebuah paper bag yang ada di kursi kafe di belakangnya. “Ini, biasa. Titipan mas Nando buat kam—”

“Mas! Buruan!”

“Sudah kubilang, duluan ke atas!” Qai berdecak kesal, dan langsung meraih tangan Cita untuk menyerahkan paper bag titipan dari Nando. Ia menoleh sebentar pada Arya, yang juga memasang wajah kesal padanya. “Mas Nando baru pulang dari Surabaya, jadi dia nitip ini buat kamu.”

“Aku mana mau ketemu pak Pras sendiri …” Saat berhenti di samping Qai dan melihat gadis di hadapannya, Arya segera mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri. “Aku Arya, Arya Arkatama.”

“Dia Cita Lukito,” sahut Qai menarik tangan Arya dengan segera, dan membalik paksa tubuh pria itu. “Sudah punya suami, jadi jangan macam-macam.” Sembari terus membawa Arya pergi menjauh, Qai melambaikan tangan pada Cita. “Buruan pergi, Cit.”

Arkatama ….

Nama itu sudah tidak asing lagi di pendengaran Cita. Nama keluarga yang sampai saat ini berperan besar, dalam kelangsungan Metro Surabaya. Namun, baru kali ini Cita bertemu langsung dengan putra kedua Leonard Arkatama, yang berdomisili di Surabaya. 

Lantas, Cita hanya tersenyum kecil melihat kepergian kedua pria itu. Ia lalu menunduk, dan melihat isi dari paper bag yang diberi oleh Nando. Pria yang pernah menyatakan cinta padanya, sehari setelah lamaran keluarga Atmawijaya digelar di kediaman Lukito. Andai, Nando lebih dulu memberitahu perasaannya pada Cita, mungkin ia akan lebih memilih pria itu daripada Pandu. 

Namun, nasi sudah jadi bubur, dan tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh Cita. Ia hanya tinggal menunggu proses perceraian dalam diam, dan akan menikmati kebebasannya setelah itu.

~~

“Akhirnya, pulang juga.”

Langkah Cita terhenti dalam gelap ruang tengah di rumahnya sendiri. Menyadari suara tersebut milik Pandu, Cita segera menghampiri saklar dan menyalakan lampu di ruang tersebut. Tadinya, Cita ingin pulang ke kos yang baru saja disewanya. Namun, karena ada beberapa barang yang harus ia ambil, maka Cita memutuskan kembali pulang ke rumah.

Meskipun David sudah memutuskan rumah tersebut menjadi milik Cita, tetapi ia merasa lebih tenang bila tinggal di luar rumah. Paling tidak, setelah keputusan cerai ditetapkan oleh pengadilan. Sesudah itu, barulah Cita akan menempati rumah tersebut, tanpa sungkan lagi. Kalau bisa, Cita juga akan membujuk Sandra untuk tinggal bersamanya. 

“Bukannya kamu sudah diusir sama papa?” Cita bersedekap setelah menyalakan lampu. Melihat Pandu yang duduk di sofa panjang, dan terlihat sangat kacau. Melebihi tampang kacau yang ditunjukkan pria itu pagi tadi, saat mereka berada di kediaman Atmawijaya. “Ngapain masih datang ke sini?”

Pandu mendesah panjang. Menggeram, sambil menyandarkan kepalanya di atas punggung sofa. Menatap langit-langit, dan memikirkan semua hal yang terjadi padanya seharian ini. Mengapa justru Pandu yang didepak dari keluarganya sendiri? Papanya justru lebih membela Cita, dan mengabaikan Pandu yang sebentar lagi akan memiliki anak dengan Laura. 

Tidak mendapat respons dari Pandu, Cita kemudian berbalik. Ia menaiki tangga dengan perlahan, sambil memijat bahu dan leher bagian belakangannya yang sangat penat. Karena terlalu lelah, Cita memutuskan untuk tidak mandi dan langsung tidur saja malam ini. Besok, pagi-pagi sekali barulah Cita akan membereskan beberapa barangnya.

Akan tetapi, baru saja Cita membuka pintu kamar, tubuh terdesak masuk dengan paksa. Karena terkejut dan tidak bisa mengimbangi tubuhnya, Cita akhirnya terjerembap.

“Mas!” Sebagai seorang wanita, firasat Cita sedang tidak baik-baik saja. Melihat siluet Pandu dalam gelap, sungguh membuat bulu kuduk Cita merinding. Pria itu pasti memiliki niat buruk karena kejadian yang membuatnya kesal pagi. “Mau apa kamu, Mas.”

Cita meraih tas yang tergeletak di sebelahnya. Mencari ujung resleting dalam gelap, tremor, panik dan mulai frustasi karena tidak kunjung menemukan ujungnya. Melihat langkah pelan Pandu, tetapi terus mendekat, Cita beringsut mundur dan berusaha bangkit dalam gelap. 

“Kamu masih istriku, kan?” Pandu merampas tas yang baru saja dibuka oleh Cita, lalu melemparnya ke sembarang arah. “Sudah waktunya, aku minta hakku sebagai seorang suami.”

“Jangan gila!” Firasat buruk Cita akhirnya terbukti. Detik itu juga, Cita menghindar dan berlari secepat ia bisa menuju pintu kamar yang tidak tertutup. Namun, langkah Pandu ternyata lebih gesit dari Cita.

Brak!  

Cita terhenyak. Pintu di depannya terbanting kasar, dan tertutup dengan keras. Dalam remang cahaya yang dari luar jendela, Cita bisa melihat Pandu memutar kunci lalu membuangnya dengan asal.

“Mas.” Cita beringsut mundur. Tidak mampu berpikir jernih, karena kepanikan sudah menyergap kepalanya.

Kamar mandi. Begitu ruang tersebut terlintas di kepala Cita, detik itu juga ia berlari secepat mungkin untuk masuk ke dalam sana. Namun naas, lagi-lagi langkahnya terjegal oleh Pandu. Dalam satu kerjapan mata, tubuh Cita tertarik dan terhempas di atas tempat tidur. 

“Mas, aku tuntut kamu kalau berani macam-macam!” ancam Cita beringsut mundur, tetapi satu kakinya langsung ditarik kasar oleh Pandu. 

Pandu tertawa. Mengejek ketakutan Cita. Ada harga yang harus Cita bayar, atas keterpurukan Pandu yang sudah didepak dari rumah, dan perusahaan. “Macam-macam? Aku ini suamimu Cita, Sayang! Jadi … aku berhak untuk macam-macam … dengan kamu.”

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
benar² brengsek nih pandu.. diq yg salah tapi ga mau disalahkan dan malah menyalahkan orang lain
goodnovel comment avatar
Siti Juli
awal mula cita depressi nih
goodnovel comment avatar
Yuli Chaca
hmm,, ya gmn ya? salah semua deh nak dah KY gtu...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status