Pagi hari, Selene membuka mata dengan berat. Cahaya lembut dari jendela menembus tirai, menerangi sebagian wajahnya. Ia menoleh sedikit, dan matanya langsung menangkap sosok Dirian yang masih terlelap di sampingnya.
Itu adalah pemandangan langka. Biasanya, saat ia bangun, tempat di sampingnya selalu kosong. Dirian jarang—atau hampir tidak pernah—menemaninya tidur hingga pagi. Ada banyak perubahan akhir-akhir ini, dan Selene sendiri tidak tahu harus menafsirkannya bagaimana.
mungkin karena mereka melakukannya hingga hampir pagi , sehingga Dirian kelelahan sekarang dan tidak sadar dia masih tidur disamping Selene . atau mungkin karena ini adalah kamarnya sendiri sehingga dia cukup nyaman tertidur hingga pagi seperti sekarang ini
Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi gagal. Lengan Dirian yang berat melingkari perutnya, menahan tubuhnya erat agar tak bisa kabur. Nafas hangat lelaki itu berembus di tengkuknya, membuat Selene hanya bisa diam.
Tubuhnya terasa pegal luar biasa. Semalam ia dipaksa melayani suaminya berkali-kali, tanpa henti, hingga pikirannya hampir kosong. Pipi Selene kembali memanas hanya dengan mengingat satu hal—untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun mereka bercinta, Dirian memanggil namanya.
"Selene."
Begitu lembut, begitu berbeda dari biasanya.
Selene menutup mata erat, berusaha menepis perasaan asing yang menusuk hatinya. Ia tahu, itu tak boleh membuatnya goyah. Namun bagaimana bisa ia melupakan momen itu?
Tiba-tiba, ia merasakan tangan Dirian bergerak di perutnya. Ia menoleh, mendapati lelaki itu membuka mata, menatapnya dengan sorot merah yang masih diselimuti kantuk.
“Kau sudah bangun,” ucap Dirian serak, suaranya berat.
Selene tidak menyahut. Ia buru-buru mengalihkan pandangan, kembali menghadapkan wajah ke depan. Ia terkejut ketika Dirian menarik tubuhnya lebih dekat, menempelkan tubuh mereka tanpa memberi jarak.
Wajah Selene seperti udang rebus saat ini karena merasakan tonjolan yang mengeras dipinggulnya . ini benar benar memalukan namun berhasil membuat sekujur tubuh Selene kembali meremang dan menegang
“Apa yang kau lakukan sekarang?” tanya Selene, berusaha memberontak dari dekapan itu.
Dirian menunduk, bibirnya hampir menyentuh telinga Selene, lalu berbisik rendah, “Milikku sudah bangun. Aku ingin lagi.”
Selene menegang. “Apa kau gila—Uuugh!”
Ia belum sempat menyelesaikan protesnya ketika Dirian sudah melancarkan aksinya. Tanpa memberi waktu, tanpa memberi kesempatan, ia menuntut tubuh Selene sekali lagi.
Selene hanya bisa pasrah saat tubuh Dirian mengungkungnya , dia benar benar menjadi mangsa dari suaminya pagi ini . suaminya yang tidak pernah puas dan tentu saja suami yang bahkan tidak akan pernah membiarkannya menolak . Selene adalah wanita paling bodoh yang terjerat hasrat dengan suaminya itu , Dirian selalu benar , walaupun Selene mengatakan tidak namun tubuhnya adalah yang paling jujur
"kau sudah basah saja " goda Dirian
"maniak ! hentikan sekarang aku lelah " pinta Selene
"bagaiamana caraku menghentikannya ?" tanya Dirian
"Aku lelah Dirian " pinta Selene sekarang dengan mata yang mirip kelinci
"kau harus melayani suamimu " ucap Dirian menuduk dan mencium leher Selene lembut
"aku sudah melayanimu semalaman " balas Selene
"itu harus , jika bukan kau maka siapa yang akan melayani suamimu sendiri ?" tanya Dirian sekarang sebenarnya ingin tertawa karena biasanya Selene tidak akan protes dan akan menuruti keinginanya , namun sekarang benar benar berbeda dan baru kali ini dia merasa jika istrinya memang manusia hidup
"pergi pada kekasihmu " ucap Selene
Dirian menghentikan gerakannya saat menciumi da da Selene dan Selene meneguk ludah kasar karena tatapan suaminya yang tak bisa dibaca . entah dia marah atau apa ? kali ini Selene tidak bisa menilai tatapan itu
"kau ingin dia melayaniku ?" tanya Dirian
"bukankah seperti itu selama ini ? kau bahkan terus bersamanya ?" sahut Selene
"orang akan salah paham dengan fitnah yang kau ucapkan sekarang " ucap Dirian
Selene meneliti wajahnya itu , ingin mencari sebenarnya apa maksud dari Dirian atas semua ucapannya itu
"terserah saja , aku tidak mau melayanimu lagi ! " ucap Selene mendorong Dirian sekuat tenaga namun gagal sebab tubuh suaminya jelas lebih keras dari batu
Dirian menahan tangan Selene
"lepaskan aku ! aku akan teriak sekarang ! " ancam Selene
Dirian tertawa
"kau bersama suamimu , siapa yang akan membantumu ?" tanya Dirian mengejek
Selene mengatupkan bibirnya dan memang benar jika dia bersama suaminya sendiri . lagipula semua orang tidak mungkin akan mendekat karena mereka diluar sana tahu jika Selene bersama suaminya yang merupakan penguasa wilayah ini
"kalau begitu hentikan" ucap Selene sekarang
"tidak akan !" balas Dirian langsung menerjangnya lagi dengan ciuman sambil menahan tubuh Selene dengan tubuhnya.
Selene tidak bisa bergerak dan sekali lagi dia hanya bisa pasrah dengan hasrat suaminya itu .
"aakkhh ! " Dirian terjingkat
Selene menyeringai mengejeknya sekarang karena dia menggigit Leher Dirian
"kau mengerang walaupun hanya digigit kelinci ? padahal semalaman kau menggigit tubuhku " ejek Selene sekarang
"bagus ! " Dirian menyeringai " si Kelinci sepertinya tidak tahu jika dia membangunkan Hasrat sang serigala sekarang !"
Selena tidak bisa lari karena sekali lagi Dirian mengguncang tubuhnya dengan lebih kuat dan menimbulkan suara yang membuat Dirian senang dengan penyatuan mereka dipagi hari ini .
Selimut tebal kembali berguncang, menyelimuti tubuh mereka yang saling menempel rapat. Ciuman rakus, belaian panas, dan desahan bercampur jadi satu. Pagi itu, dunia seakan berhenti, menyisakan hanya mereka berdua dalam permainan yang tak terhindarkan.
Selene menggigit bibir, menahan suara yang nyaris lolos. Ia ingin menolak, ingin berontak, tapi tubuhnya terlalu letih, dan kekuatan Dirian terlalu besar. Lagi-lagi, ia terjebak.
Bagi Dirian, pagi itu hanyalah kelanjutan dari malam panjang yang belum cukup. Bagi Selene, itu adalah pengingat pahit: ia hanyalah milik yang tak bisa memilih.
Tidak berhenti hanya disana , Dirian melakukannya sebanyak dua kali pagi ini dan itu membuat Selene tak pernah menyangka jika suaminya ini benar benar gila .
"hah !
"hah ! "
Selene menatap Dirian yang terengah setelah berbaring disampingnya , bahkan benda lonjong milik Dirian itu masih mengeras dan seolah siap bertempur lagi .
sebenarnya bagaimana bisa suaminya ini bisa sekuat ini ? apakah karena latihan fisik yang dia lakukan ? tentu karena suaminya selain menjadi duke juga adalah ksatria yang sudah menjadi panglima perang didalam militer . suaminya bukan orang sembarangan , lelaki ini adalah orang yang sangat terkenal diseluruh benua karena kekuatannya.
Selene sangat bangga menjadi istrinya dulu , namun sekarang tidak ada lagi kebanggaan karena semua hal yang dimiliki oleh lelaki ini hanya akan diberikan pada satu wanita , yaitu Viviene.
"kau mau lagi ?" tanya Dirian padanya sedikit menggoda.
Selene mengalihkan pandangan , tentu dia sudah tidak sanggup lagi mengimbangi kegagahan suami yang layaknya kuda jantan itu .
"tidak mau ?" tanya Dirian manarik selimut dan menutupi tubuh Selene
"aku akan mati jika melakukannya sekali lagi " ucap Selene kesal disela nafasnya yang masih tersengah
"tidak akan membuatmu mati , paling hanya pingsan " ketus Dirian terdengar kesal karena Selene mengatakan mati
Selene menghela nafas , mengontrol dirinya sendiri dan menatap Dirian yang terbaring disampingnya yang juga menatapnya.
"bagaimana jika aku mati ?"
Dirian benar-benar kembali sebelum makan malam, seperti janjinya. Namun bukan sendirian—ia pulang bersama Viviene, yang menempel erat di sisinya. Dari pembatas lantai dua, Selene berdiri diam. Pandangannya lurus, dingin, tetapi sorot matanya menyembunyikan riak yang tak bisa dikendalikan. Ia menyaksikan keduanya masuk ke aula besar, berjalan beriringan seolah dunia hanya milik mereka.“Dirian…” suara Viviene terdengar manja, namun penuh tekanan. Jari-jarinya mencengkeram lengan lelaki itu erat-erat, tanpa peduli tatapan puluhan pelayan yang memenuhi aula. “Ibu dan nenekmu sudah pergi. Kau masih akan mengusirku juga?”Gema suaranya memantul di dinding tinggi aula, membuat suasana menegang. Biasanya, Viviene dan Dirian cukup berhati-hati menjaga kedekatan mereka di hadapan Selene. Tapi hari ini? Se
“Mati?” suara Dirian meninggi, tubuhnya bangkit dari pembaringan. Tatapannya tajam, nyaris menusuk.“Jangan bicara omong kosong,” sambungnya, lalu berdiri. Ia harus membersihkan diri—masih banyak hal menantinya.“Aku juga pasti akan mati,” ucap Selene lirih, tapi penuh kesungguhan.Dirian menoleh, matanya menancap pada wajah istrinya.“Kaupun juga akan mati… kalau waktunya tiba,” Selene melanjutkan dengan nada tenang.Keheningan menebal. Dirian diam, sorotnya tak bergeser sedikit pun.“Aku hanya ingin tahu,” suara Selene pelan, namun setiap kata menggetarkan, “bagaimana kau… jika aku mati?”Dirian menghela napas, menepis beban yang tak ingin ia hadapi.“Jangan bicarakan hal yang tidak masuk akal,” sahutnya dingin, lalu melangkah masuk ke ruang mandi.Selene tetap berbaring. Aroma khas suaminya memenuhi ruangan, melekat di udara, menenangkan sekaligus menusuk kalbunya. Mungkin benar kata orang—kita akan selalu merasa lebih nyaman di dekat orang yang kita cintai. Namun bagi Dirian, tent
Pagi hari, Selene membuka mata dengan berat. Cahaya lembut dari jendela menembus tirai, menerangi sebagian wajahnya. Ia menoleh sedikit, dan matanya langsung menangkap sosok Dirian yang masih terlelap di sampingnya.Itu adalah pemandangan langka. Biasanya, saat ia bangun, tempat di sampingnya selalu kosong. Dirian jarang—atau hampir tidak pernah—menemaninya tidur hingga pagi. Ada banyak perubahan akhir-akhir ini, dan Selene sendiri tidak tahu harus menafsirkannya bagaimana.mungkin karena mereka melakukannya hingga hampir pagi , sehingga Dirian kelelahan sekarang dan tidak sadar dia masih tidur disamping Selene . atau mungkin karena ini adalah kamarnya sendiri sehingga dia cukup nyaman tertidur hingga pagi seperti sekarang iniIa mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi gagal. Lengan Dirian yang berat melingkari perutnya, menahan tubuhnya erat agar tak bisa kabur. Nafas hangat lelaki itu b
Puas?Selene tidak pernah tidak terpuaskan, bahkan tidak pernah memikirkan lelaki lain karena Dirian yang selalu mendominasinya . Dimana letak ketidakpuasannya ketika dia harus mengimbangi hasrat suaminya?Dirian memiliki libido yang tinggi sehingga tidak pernah puas bahkan dengan tiga kali permainan. Apalagi mereka memiliki jadwal malam intim sehingga tidak melakukanya setiap hari, itu menyebabkan tingkat kemesumannya bisa tinggi jika malam intim seperti ini. Pernah sekali ketika mereka bersama pergi kewilayah utara dimana disana adalah wilayah kekuasaan Dirian yang dipegang oleh nenek dan ibunya serta beberapa orang kepercayaannya. Selama satu bulan disana setiap malam Dirian tidak membiarkan dia tidur dan terus menggagahinya sampai dia hampir keguguran. Itu adalah kehamilan pertamanya dan tentu saja setelah itu dia benar benar keguguran hanya karena suaminya tidak membiarkan dia hamil benihnya. Miris !Mereka kembali ke ruang tidur. Dirian membaringkan Selene di atas ranjang besar
Air hangat sudah disiapkan pelayan. Dirian membuka pakaian tanpa ragu, tubuhnya tampak sempurna dalam cahaya redup. Ia masuk ke bak mandi, membuka botol wine, menuang isinya ke dalam gelas. Dia duduk dengan tenang didalam bak.“Aku tidak boleh minum alkohol,” ucap Selene, mengingatkan. Tubuhnya masih rapuh setelah keguguran.“Aku akan minum sendiri. Kemarilah.” Dirian mengulurkan tangan.Selene melepas jubah, lalu menurunkan gaun tidurnya hingga jatuh ke lantai. Tubuh polosnya terekspos sempurna , Dirian menatapnya tanpa berkedip, matanya penuh dengan hasrat yang tak ia sembunyikan. Selene kemudian meraih tangan Dirian dan masuk ke bak, duduk di pangkuannya. Dia duduk membelakangi Dirian walaupun dia dipangku oleh Dirian.Air hangat menyelimuti tubuh mereka. Sentuhan kulit tanpa sehelai kain membuat wajah Selene merona. Aroma wine dan tubuh Dirian bercampur, menjeratnya dalam suasana yang intim. Suasana yang selalu ada ketika mereka melakukan hal ini bahkan sejak malam pertama . Jika
Begitu pintu kastil menutup di belakang mereka, Selene melepaskan genggamannya dari tangan Viviene. Udara sore terasa berat, langit merona merah keemasan, namun hawa di antara kedua saudara itu dingin membeku. Para pengawal yang tadi mengikuti langkah mereka sudah menjauh, sengaja memberi ruang.Selene menatap lurus ke depan, suaranya datar tanpa getar.“Ibu memang seperti itu. Keras, sulit dihadapi… apalagi ditenangkan.”Viviene hanya menatapnya, matanya berkilat, masih menyimpan luka dari makian Odette barusan.“Dan jika beliau sudah membenci seseorang,” lanjut Selene lirih, “selamanya takkan ada pengampunan. Beliau tidak pernah lupa.”Viviene mendengus, senyum getir muncul.“Apa kau sedang memperingatkanku? Tentang apa yang terjadi sebelumnya?”“Aku hanya memberitahumu,” jawab Selene, menoleh sebentar lalu kembali menatap ke depan. “Setidaknya, kau bisa bersiap mencari cara merebut hatinya.”Viviene menyipitkan mata. “Kau bicara seolah kau mampu melakukannya.”Selene tertawa pendek